Aku menelan salivaku menatap Tristian. Mba Luna terbelalak menatap kami berdua."Tian?" Dia mengerjap, terlihat bingung tapi juga ada emosi lain.Tristian terlihat tenang, kemudian menarik napas. "Kamu bilang dompetnya ketinggalan, aku pikir ... aku belum turun, jadi aku sekalian ambilin."Hening.Lalu tawa pecah dari mulut Mba Luna. "Astaga, aku pikir ...” Mba Luna mengusap kasar wajahnya, “ ya ampun! Aku ampe bingung.” Dia terkekeh aneh sambil berjalan ke nakas dan mengambil dompetnya.Aku hanya diam sambil tersenyum getir, begitu juga dengan Tristian. Pria itu melirikku sejenak sebelum Mba Luna berbalik."Kita jalan dulu ya, Greet ..."Mba Luna mengamit lengan Tristian dan menariknya keluar. Aku terduduk sambil menghela napas, tidak ada debaran berlebih di dadaku. Tristian dengan cepat mencari alasan dan kebetulan tepat. Aku tidak berpikir apa-apa lagi. Setelah mereka pergi aku memutuskan untuk tidur sejenak.Malamnya saat makan malam, Mba Luna dan Tristian baru terlihat. Aku berbi
"Te-temanku.""Siapa? Pierce?" Wajah wanita itu tersenyum penasaran sambil duduk. Dia terlihat antusias.Aku menggeleng pelan."Masa? Ampe pink gitu pipi kamu Greet ... beneran bukan dia?" Mba Luna tertawa pelan.Aku sebenarnya tidak enak, aku dan Tristian menjalin hubungan di belakang Mba Luna. Tapi mau bagaimana lagi, pria itu tidak mau melepasku, aku pun tidak ingin dia menjauh. Tapi aku dan Tristian sudah membuat perjanjian untuk tetap menutup rapat hubungan kami. Saat di Indonesia Tristian bahkan menggunakan nomor lain untuk berkomunikasi denganku. Aku takut ada orang yang memperhatikan jika tanpa sengaja membaca nama yang kutulis di kontak ponselku untuk pria itu."Gila, rame banget ya!"Mata kami berdua berpendar ke sekeliling. Mungkin karena setelah jam makan siang makanya ramai, banyak orang membeli cookies atau coffe. Aku memesan caramel milkshake, Mba Luna memesan strawberry milkshake yang merupakan minuman favorit disini dan beberapa jenis cookies untuk kami coba. Tidak la
“Untung lukanya tidak dalam, tidak perlu dijahit.” Dokter yang bertugas di klinik wilayah setempat tersenyum padaku. Dia membersihkan dan mengoleskan antiseptik ke lukaku. "Kalau bengkak, kompres saja dengan es batu.”Aku mengangguk. "Thankyou, Dok ...."Setelah selesai aku duduk di taman disamping klinik. Merasa lega karena lukaku hanya lecet saja, lalu aku cemas, bagaimana keadaan Mba Luna?Aku memejamkan mata mengingat saat tadi bagaimana paniknya Tristian, dia bilang tengah berjalan ke arah kami saat melihatku dan Mba Luna terjatuh. Dia langsung menghampiriku tanpa sadar kalau ada mba Luna juga disana.Saat kami sudah ke pinggir aku menyuruhnya mengurus Mba Luna. Tristian terlihat enggan tapi aku memaksa. Lagipula rekan lainnya terlihat bingung melihat kejadian itu, mudah-mudahan tidak ada yang curiga apa-apa saat melihat Tristian malah menolongku terlebih dahulu bukannya membantu istrinya. Aku menghela napas, entah apa yang akan mba Luna pikirkan."Greet ..."Suara lembut itu mem
"Feeling better?" Pierce menempelkan kain terikat berisi es batu ke kedua lututku yang sedikit membiru.Aku meringis pelan tapi kemudian merasa nyaman. "Yeah, thanks."Pria itu kemudian berjalan ke kamar mandi setelah membantu mengganti perbanku. Saat Pierce datang, Mba Luna mengajak Tristian untuk pergi makan malam. Tristian sempat bertemu dan menyapa Pierce, dia tersenyum padaku sebelum keluar kamar. Mba Luna malah yang terlihat salah tingkah saat Pierce langsung cemas saat melihat lukaku."Wanna eat something?" Dia membuka buku menu layanan kamar, Pierce bilang kami akan tetap makan malam walau di kamar."Mmm, banana ice cream for dessert please ...." pintaku membuat Pierce terkekeh.Dia menelepon layanan kamar dan memesan makanan untuk kami. Satu jam kemudian pesanan kami datang. Sambil makan, kami bertukar cerita tentang kehidupan sehari-hari, dan juga obrolan seru lainnya. Setelah makanan utama ludes tak bersisa, Pierce membawakan semangkuk banana split with triple ice cream unt
Tristian POV"Bee... kamu kenapa?" Greet terlihat lemas dan pucat. Aku sedikit panik, tiba-tiba kondisinya berubah, padahal semula dia terlihat biasa saja. Greet hanya diam menatapku. Aku mengambilkan minum dan membantunya untuk duduk."Dingin ..." Dia mengerjap pelan."Tapi badan kamu panas. Kita ke dokter ya?" sahutku.Greet menggeleng. "Ga usah, aku mungkin cuma kecapekan."Dia memejamkan matanya. Aku memeluknya sambil berpikir apa yang harus aku lakukan. Sepuluh menit kemudian wanitaku tertidur. Aku menunggu hingga satu jam dan kembali mengecek suhu tubuhnya. Malah semakin panas. Tanpa menunggu lagi aku menghubungi dokter keluargaku dan menyuruhnya datang.Satu jam kemudian dr. Sandy datang. Wanita itu langsung memeriksa keadaan Greet."Saya curiga DBD, Mas." Dia melepas stetoskop kemudian mengambil sesuatu dari tasnya. Mataku menyipit melihat dia mengeluarkan jarum suntik."Saya akan ambil darahnya dan cek di lab."Aku membantu memegang lengan Greet, takut dia terkejut. Greet mer
Greet POVAku sudah merasa lebih baik, hampir sepuluh hari aku ijin kantor, berarti hampir dua minggu totalnya aku di rumah. Berkat ketelatenan Tristian dan perhatian Mamanya yang mengurusku selama aku sakit, aku tidak perlu dirawat, bahkan sekarang sudah siap untuk beraktivitas normal. Untungnya tidak ada rekan kantorku yang menjenguk, Tristian bilang dia sengaja menyebar isu kalau aku ada di Bandung saat sakit.Aku sedang merapihkan apartemen, membereskan baju-baju yang baru dikirim oleh laundry langganan Tristian. Mba Luna beberapa kali telepon dan bilang sayang sekali tidak bisa datang untuk menengok. Tapi ku bilang bahwa akhir pekan ini aku sudah kembali ke Jakarta. Dan senin sudah mulai kerja, dia bilang ingin cerita banyak.Tristian saat ini sedang pergi menemui Mama Mba Luna, mereka akan bicara mengenai perceraian itu. Aku harap semua berjalan lancar.Tristian terus menemani saat aku sakit, dia ingin membawaku ke apartemennya tapi aku lebih nyaman disini. Apalagi kalau Mamanya
Author POVGreet terbelalak mendengar teriakan Luna, dia dapat merasakan luapan amarah yang meledak. Napas Luna memburu, dadanya naik turun seolah habis berlari sekian kilometer, oksigen di paru-parunya seperti menghilang begitu saja. Matanya memandang sarat emosi pada kedua orang lainnya di ruangan itu. Luna tidak menduga akhirnya mendengar nama itu meluncur dari mulut Tristian dan ditujukan untuk wanita yang dia anggap sudah seperti sahabat bahkan adiknya sendiri.Tristian terlihat lebih tenang, pria itu tidak terlalu terkejut, memang ini yang dia mau. Cepat atau lambat Luna pasti akan tahu, entah dengan cara seperti apa."M-mba ..."Greet bangkit dari duduknya, suara Greet terdengar gemetar. Luna menatap Greet, seolah ada bara di mata wanita itu."Jadi selama ini kalian selingkuh!" Luna terus memojokkan Greet dengan tatapannya. "Kamu berkhianat sama dia!" Luna kembali berteriak ke arah Tristian."Lun, jangan berpikir ...."Tristian belum sempat meneruskan kalimatnya, tanpa terduga
Author POV"Bee ..."Suara Tristian menghentikan langkah Greet untuk mengejar Luna. Bahunya gemetar saat Tristian mendekat dan memutar tubuh wanita itu. Greet menangis tersedu di pelukan Tristian.Tristian berpikir, Luna perlu waktu untuk mencerna seluruhnya, dia akan membiarkan Luna tenang baru nanti mengajaknya bicara lagi. Sekarang ini dia merasa harus berkonsentrasi pada Greet, wanita itu baru sembuh dan Tristian tidak ingin kondisi Greet menurun lagi.Tapi Greet membutuhkan pelepasan emosi dan Tristian hanya diam selagi Greet meluapkannya dalam tangisan selama beberapa jam. Matanya bengkak, Greet seperti wanita patah hati, membuat Tristian membayangkan seperti apa dulu perasaannya saat Greet tahu dia menikah dengan Luna.Pelukan Tristian mengerat, sedikitpun dia tidak melepaskan Greet, dan kedepannya Tristian sudah menyiapkan diri untuk kemungkinan terburuk."Bee ... makan ya?" Tristian mencoba membujuk wanita itu setelah beberapa jam berlalu, sudah hampir lewat jam makan malam.
Greet POVAku mendorong pintu tanpa peduli, meringsek masuk kedalam. Respon terkejut Laura saja membuatku semakin berpikir macam-macam."Kak Greet!!!" Perempuan muda itu menahan lenganku tapi tenagaku lebih kuat, ditambah emosiku yang meledak membuat dia oleng saat aku menyentak tanganku. Aku melangkah dan terbelalak saat melihat Tristian sedang berdiri tidak kalah terkejutnya dengan Laura saat melihatku. Dia berdiri didepan sebuah meja bundar dengan....Jordan???Sedang apa Jordan ada di sini juga??KENAPA DIA ADA DISINI???Sontak aku menutup mulut, mataku membulat, ingatanku terlempar ke kejadian dulu saat......Astaga!!!! Astaga!!!!!Aku langsung berbalik."Bee!!!"Aku berlari tidak menghiraukan suara Tristian yang memanggil namaku, mengabaikan situasi menegangkan yang entah apakah nanti akan ku sesali tapi jelas aku yakin, aku kembali masuk kedalam situasi kesalahpahaman seperti dulu.Pandanganku kabur saat mencari nomor kamar yang tadi kupesan, hanya itu tempat yang kupikirkan ag
Tristian POV"Gimana La? Udah ada hasilnya?". Tanyaku penuh harap."Belum ada Tian, aku udah ngarep banget padahal, tapi belum jelas keliatannya." Keluh Laura.Aku menghela napas "Ya udah sabar La.."Aku tidak ingin Laura merasa terbeban dengan permasalahanku, dia sudah bersedia membantu saja aku sudah merasa berterima kasih.Laura, teman dan juga salah satu arsitek dikantorku, perempuan baik tapi super bawel nan kepo. Sedikit banyak dia tahu mengenai rencanaku dan menawarkan diri untuk membantu. Kebetulan juga aku merasa kalau dia orang yang tepat untuk mewujudkan rencanaku. Rencana yang sudah lama terus mengiang di mimpiku, berniat untuk kujadikan nyata."Jangan nyerah La, aku percaya kalau udah rejekinya pasti dimudahkan. Aku sabar kok, tapi kita ga boleh berhenti berusaha ya..." Aku terkekeh pelan berusaha mencairkan suasana hati perempuan itu."Ya kesel aja, aku ga mau ngecewain kamu. Udah ngarep banget dari kemarin-kemarin dapet kabar baiknya. Dia mendengus."Hehe.. gitu aja nga
Aku tengah memasak, sebenarnya hanya menghangatkan masakan saja sih, kedua orangtua kami datang hari ini, kami berencana makan malam di apartemen kami. Tadi Tristian memesan masakan dari restoran milik Pierce, pria itu khusus memesan aneka menu istimewa. Tristian ingin merayakan keberhasilan program IVF kami, dengan kedua Mama dan Papa.Aku sedikit kewalahan saat kedua Mama datang dan langsung berebut memelukku. Mereka menangis terharu, begitu juga dengan kedua Papa yang saling berpelukan. Kami semua larut dalam kebahagiaan."Aku ambilin buah dulu di kulkas." Tristian menepuk bahuku kemudian bangkit berdiri. Aku tersenyum mengambil puding coklat saat ponsel Tristian bergetar dan menyala diatas meja.Pop-up message terlihat.📩 LauraTian!!!! Astaga Tiaaaan!!! Aku punya berita baik!!! Segera telp aku, aku udah ga sabar pengen kasih tau kamu. Please cepet hubungi aku!!! Aku udah ga sabar mau kasih tau soal rencana kita!"Aku tertegun membaca isi pesan itu. Dadaku kembali berdebar tidak
"Kamu yakin?" Tristian menatapku, duduk di meja dengan kedua tubuhnya condong ke arahku, kedua tanganku digenggam olehnya. Aku mengangguk. "Aku mau coba. Kita ga pernah tau kalau ga coba." Sahutku lirih sambil menahan rasa cemas takut Tristian menolak usulanku. Pria itu menghela napas sambil menegakkan tubuhnya. "Bee, aku udah bilang kan? Aku ga masalah kalau memang Tuhan ga kasih anak buat kita. Buat aku yang penting ada kamu dihidup aku. Kamu segalanya buat aku." Tristian menarikku berdiri dan mendekapku. Aku menggigit bibir menahan isakan. Berkali Tristian mengatakan itu, tapi aku tahu dalam hatinya pasti ada keinginan itu. Tiga tahun, entah apakah bisa di anggap waktu yang cukup atau belum untuk usaha yang kami lakukan agar mendapat momongan. Aku tahu walau Tristian sama sekali tidak pernah menuntut untuk segera memiliki anak, tapi kerinduan itu tetap menghantuiku. Anak angkatku, Pieter yang terlihat semakin lucu dan menggemaskan, tidak sepenuhnya dapat mengisi kekosonganku ak
"Selamat pagi, Bapak dan Ibu Tristian Delmar. Silahkan." Seorang petugas maskapai penerbangan menyambut kami saat kami sampai di lobby Bandara Ngurah Rai. Rasanya aku harus terbiasa dengan panggilan baruku itu.Aku menatap ke arah pria itu yang terkekeh melihat wajah heranku. Dia sebenarnya mau mengajakku kemana sih?Kedua orangtua kami tidak mengatakan apapun. Mereka juga bilangnya tidak tahu apa-apa tentang kemana Tristian akan membawaku. Mama bahkan menangis haru saat aku hendak pergi dan bilang harus segera mengabari kalau sudah sampai di negara tujuan.Seorang rekan bisnis Papa Tjandra memberikan kartu debit dengan limit 100jt sebagai hadiah pernikahan kami. Lalu ada hadiah mobil, lalu voucher department store, lalu voucher belanja. Belum lagi 'amplop' yang langsung di transfer ke rekeningku dan Tristian, entah darimana mereka tahu, aku belum mengecek siapa saja yang mengirimkan angpao itu.Wanita itu mengantar kami ke VIP lounge, menyediakan minuman dan makanan kecil lalu menyur
Aku menarik napas dan memejamkan mata saat ci Kanika, MUA professional langganan Mama Ivon sedang me'retouch wajahku. Rasanya mataku mengantuk, saat kuas ringannya menyapu bagian mata, aku serasa di usap-usap nina bobo. Sudah 5 jam sejak aku berpenampilan bak putri kerajaan. Ternyata seperti ini rasanya menjadi ratu semalam. Jadi pusat perhatian, semua mata memandang dan terpukau, seolah hanya aku satu-satunya yang bisa mereka pandang. Haha. Berlebihan sekali aku menggambarkannya.Hari ini, tepat dua minggu setelah Tristian melamarku untuk yang kesekian kalinya, kami menikah. Satu jam lalu aku dan Tristian mengikat janji seumur hidup disaksikan Pendeta dan keluarga kami. Aku menangis haru, untung makeupnya waterproof semua, aman tidak merubah wajahku seperti zombie. Hihi.Dan sekarang kami bersiap untuk pestanya. Tadi saat pemberkatan rambutku di sanggul, sekarang aku minta untuk menggerainya agar terlihat lebih santai. Ci Kanika membuatnya gelombang acak terlihat elegan tapi natural.
Tristian memutar tubuhku ke segala arah. "Kamu tadi nungguin aku pake baju ini?!" Tanpa ragu dia meraba dadaku, matanya semakin terbuka lebar meneliti bagian lainnya."Astaga Bee!! Sadar ga sih kamu kalau Jordan bisa lihat..."Aku kembali menarik kerah kemejanya, melumat bibirnya, tidak membiarkan dia bicara lagi. Sumpah aku tidak sabar agar dia berhenti bicara dan melakukan apa yang sudah semenjak kemarin terbayang di otakku.Tristian seolah ingin menahan bahuku, tapi aku malah menarik tengkuknya dan memiringkan kepalaku agar lidahku bisa masuk lebih dalam. Pria itu sedikit tercengang dengan apa yang aku lakukan, tapi lima detik kemudian Tristian membalas ciumanku.Napas kami terengah seiring ciuman yang tidak berhenti. Aku menariknya ke kamar, dia terus menyentuh tubuhku dimanapun. Aku melepas jas dan kemejanya sedikit tergesa, dia tidak melakukan apapun selain menangkup kepalaku agar ciuman kami tidak terputus.Tanganku mengarah ke ban pinggangnya membuat Tristian menahan napasnya.
Greet POV"Bee!!""BEE!!"Aku menghapus airmataku, hancur perasaanku. Tristian selingkuh! Aku tidak percaya dia bisa melakukan itu."Bee, buka pintunya! Ini aku! Kamu salah paham Bee.. tadi bukan aku yang... arggh!! Buka Bee, dengerin penjelasanku!!"Apa katanya? Salah paham? Dia kira aku bodoh tidak mengenali siluet tubuh pria itu? Memangnya dua bulan tidak bertemu membuat dia berubah begitu saja jadi gendut misalnya?Apa dia berusaha mengelabuiku? Aku tahu aku pernah berpikiran konyol kalau Tristian lebih baik mencari wanita sempurna lain, tapi aku tidak menyangka dengan cara seperti ini.Tapi aku harus tahu yang sebenarnya, emosi dan amarahku sudah memuncak. Aku mengusap airmataku yang turun lagi kemudian melangkah membuka pintu.Terlihatlah wajah pria itu yang terkejut, setengah senang setengah tidak percaya. Tapi bukan saatnya sekarang aku beramah tamah dengannya. Tanpa ragu tanganku melayang ke arah pipinya.PLAKK!!!Dadaku naik turun menahan amarah, begitu juga dengan pria di d
Tristian POVLaura menghampiri dan mengecup pipiku. "Siap!" Lalu mata wanita itu naik turun mengamati pakaianku. "Resmi banget pake bajunya, Pak!" Sindirnya.Aku tersenyum simpul. "Kamu yang kelewat sexy, mau blind date emang?" Balasku sambil menutup pintunya.Dia tergelak saat aku duduk di kursi pengemudi. "Kali aja ada yang nyangkut." Sahutnya.Aku tertawa lalu melajukan kendaraanku ke arah hotel untuk jamuan makan malam yang pastinya membosankan."Untung aku berangkat sama kamu, jadi ga bakal bosan deh nanti.." Ucapnya membuatku tercenung sesaat. Kenapa pikirannya bisa sama?Hmmm, aku harap juga demikian deh kalau dia sepikiran denganku.***Baru dua gelas scotch yang aku nikmati, setelah makan malam, kami dipersilahkan untuk menikmati pesta yang di adakan pemilik hotel mewah itu. Benar saja, aku sudah merasa bosan padahal belum dua jam aku disini. Entah mengapa aku merasa lelah dan ingin beristirahat. Laura terlihat sedang membaur, gadis itu pintar bergaul dengan yang lebih tua da