Empat puluh menit kemudian kami sampai disalah satu tempat wisata hits di Yogya. Sebenarnya hanya perkebunan madu, tapi ada cafe baru yang menjual makanan dan minuman serba madu, dan spot untuk foto yang pasti akan disukai pada netizen.
Aku dan Leon sebelumnya sudah mencari dan menentukan tempat apa saja yang akan kami kunjungi. Jadi tidak bingung harus kemana setelah sampai di kota kunjungan kami. Sebelumnya juga aku sudah menghubungi pengelola tempat itu dan berkata akan datang dan meminta ijin untuk meliput berita tentang tempat itu.
Hampir empat jam kami disana, mba Silvy sebagai presenter mencoba berbagai wahana yang ada, dan juga makanannya. Aku ikut tersenyum saat melihat dia berbicara dengan luwesnya di depan camera, hampir tidak pernah mengulang karena dia pintar bicara. Dia sangat berbeda jika sedang ngobrol biasa. Hebat!
Aku dan Leon mengamati gambar di layar kecil sambil menandai bagian mana yang akan kami potong. Sedikit banyak pekerjaanku sama, tapi ini lebih luas karena bukan hanya satu objek yang jadi fokus liputannya. Jadi memakan waktu lebih lama daripada saat syuting makanan saja.
Kami makan siang disana. Tristian bilang kami boleh memesan yang kami mau dan aku berubah semangat. Aku ingin mencoba jus sirsak madu dan makan steak ayam madunya. Aku memilih duduk dengan Leon sambil ngobrol dengannya. Leon bilang biasanya saat kembali ke hotel kami harus menonton lagi, lalu mulai memilih adegan yang akan dibuang. Leon itu jago soal sunting-menyunting video. Dan aku harus banyak belajar. Mereka semua sudah berpengalaman dan aku harus membuktikan kalau aku juga ahli di bidangku.
Pukul 3 sore kami sampai di hotel. Aku satu kamar dengan mba Silvy, Leon dengan mas Andreas, dan si head team sendirian. Untung kamar kami beda lantai. Malam itu Tristian mengajak kami makan keluar, tapi aku beralasan sakit perut sehingga memilih untuk stay di kamar hotel.
Mereka berempat pergi dan aku merasa lega. Entah kenapa aku merasa kewalahan, sudah lama tidak bertemu, sekarang malah bekerja bareng. Entah benar atau tidak aku sering mendapati dia menatapku. Tapi aku tidak ingin geer sendiri, mungkin dia mengamati anak buahnya dan itu hal yang wajar.
Suara ponsel berbunyi. Mba Luna yang menelepon.
"Halo mba ..."
"Hi Greet, udah di Yogya?"
"Udah mba. Ini udah di hotel." sahutku.
"Udah ketemu Tian?"
Aku terdiam menghela napas malas. "Udah mba. Tadi pagi kami ketemu pas udah masuk di pesawat."
"Telat ya dia? Dia anter oleh-oleh Semarang buatku dulu kerumah soalnya, makanya terlambat."
Aku merasakan perasaan tidak nyaman saat mendengar itu. Jadi dia terlambat bukan karena telat bangun ...
"Waah.. perhatian banget ya?" Suaraku mencicit tidak nyaman. Dan aku mendengar tawa mba Luna.
"Iya. Aku juga kaget. Eh kok kamu ga keluar makan malem Greet? Dia bilang lagi makan keluar."
Dadaku seperti tercubit, kok aneh ya?
"Iya mba, aku kecapean. Belum terbiasa sih ... dulu waktu liput kuliner kan cuma berapa jam doang. Ini lebih lama. Masih menyesuaikan." jawabku.
"Jaga kesehatan loh Greet, kalian keluar kota gitu beda ama di dalam kota. Ya udah kamu istirahat deh. Kabar-kabari ya Greet."
Aku mematikan ponsel setelah mengucapkan salam perpisahan pada mba Luna lalu merebahkan tubuhku ke ranjang. Mba Luna pernah bilang sebelum aku pindah, dia ingin aku mengenal calon tunangannya. Katanya mba Luna ingin minta pendapatku apakah dia cocok dengan Tristian.
Cocok, tentu saja cocok. Wanitanya cantik, prianya tampan. Mereka serasi secara fisik.
Tristian ...
Siapa yang tidak akan terpesona pada pria seperti dia. Aku pun pernah jatuh dalam pesonanya, dulu...
Ting tong!
Aku terkejut duduk tegak, siapa ya? Seingatku mereka sudah pergi sejak setengah jam lalu. Apa iya mba Silvy balik lagi?
Aku beranjak bangun dan mengintip dari balik lubang kecil di pintu hotel. Abang ojol? Emang aku pesan sesuatu ya? Perasaan belum deh ...
Aku membuka pintu perlahan.
"Dengan mba Greet?" tanyanya sambil membaca kertas kecil.
"Iya?" Aku menatapnya heran.
"Ini pesanannya mba." Dia menyodorkan kotak hangat didalam plastik bening tersegel.
"Saya ga pesan makanan Pak. Salah kali Pak ..." sahutku enggan menerima.
Dia mengecek ponselnya. "Dengan akun @DelmarIan mba atas nama pesanannya." Dia memperlihatkan layar ponselnya.
Aku menggigit bibirku, aku kenal betul nama akun itu. Akun yang dulu sering memesan makanan secara online. Aku menerima makanan itu dan menutup pintu setelah mengucapkan terima kasih.
Aku duduk di ranjang menghela napas. Lalu membuka makanan yang masih panas dan berasap. Bau harum dan cabe menyengat langsung tercium saat aku membuka kotaknya.
Nasi goreng iga bakar pedas. Makanan favoritku.
Apa maksudnya ini?
***
Aku mengaduk teh susu saat sarapan pagi. Semalam head team kami bilang tidak usah menyunting dulu di hari pertama kami kemarin, kami di ijinkan istirahat lebih cepat karena hari ini kegiatan kami full dari pagi hingga sore. Ada tiga tempat yang akan kami kunjungi. Aku duduk dengan mba Silvy saat sarapan.
"Udah ga sakit perut kamu Greet?"
Aku menggeleng sambil tersenyum "Udah baikan kok mba." Aku sedikit merasa tidak enak karena berbohong tapi mau bagaimana lagi, aku harus mempersiapkan hatiku supaya tidak terguncang seperti kemarin.
Jam sembilan kami mulai jalan ke daerah pesisir pantai di daerah Wonosari Gunung Kidul. Ada goa bawah tanah dan wisata pantai pasir putihnya. Cuaca sangat mendukung siang itu ketika kami sampai. Pencahayaan yang bagus membuat pengambilan gambar berjalan lancar. Mas Andreas juga hebat mengarahkan cameranya. Kami ikut turun ke bawah, Leon membantu mas Andreas membawa perlengkapannya. Dan aku memandang sedikit ngeri saat harus menuruni ke tangga batu agar sampai ke mulut goa.
Langkahku kikuk, aku memang tidak suka ketinggian. Tidak ada pegangan tangga juga saat aku berpijak untuk menjaga keseimbangan tubuhku. Aku merentangkan tanganku ke samping agar tubuhku tidak oleng. Lalu seseorang menggenggam tanganku. Aku mendongak dan pandangan kami bertemu.
"Kalau takut pegang tanganku, Greet.."
Suara dan tatapan itu, langsung melemparku ke kenangan masa lalu.
Ya masa lalu, saat dia memegang tanganku seperti ini saat kami pergi bersama ke Monas dan naik ke atasnya.
Empat tahun lalu.
-tbc-
Flashback On.. Monas"Leganyaaaa ...."Aku menghela napas saat menyerahkan hardcover tugas akhirku pagi ini. Hatiku terasa ringan, selesai sudah kewajibanku sebagai seorang mahasiswa."Greet!"Suara berat yang terngiang di benakku terdengar, walau dalam situasi gelap sekalipun aku akan mengenali suara itu. Aku menoleh dan melambai ke arah pria itu yang akhir-akhir ini dekat denganku. Tristian Delmar, yang biasa di panggil Ian oleh teman-teman seangkatan kami. Kami dekat sejak setahun belakangan ini. Ada tiga mata kuliah dimana aku dan dia sekelompok, dan hari ini kami janjian untuk jalan setelah menyelesaikan skripsi kami.
Tristian povDia mengacuhkanku. Benarkah dia tidak ingat padaku?Terkejut awalnya saat melihat dia di pesawat kemarin. Saat di Semarang, rekan kerjaku bilang ada dua anak baru yang akan masuk ke divisi kami. Salah satunya bernama Greet. Jujur pikiranku langsung terbayang Greet yang ku kenal. Gadis polos dan tulus saat berteman denganku waktu kuliah dulu. Pertemanan kami cukup unik, di tahun terakhir kuliah kami kebetulan satu kelas dalam tiga mata kuliah. Dan kami selalu satu kelompok. Dia, Greet yang chubby, selalu rajin mengerjakan dan mencatat tugas kelompok kami, terlihat menarik daripada Rinka yang terus sibuk mengulas lipstik atau Sophie yang membuat vlog kemana dan dimanapun kami berkumpul untuk mengerjakan tugas.Dan siapa sangka kalau Greet sama
Flashback On - Four Years AgoAku berlari dengan kecepatan cukup tergesa di atas rata-rata menurutku. Menaiki tangga tanpa peduli dengan orang-orang yang memandangku heran.Napasku berpacu seolah oksigen terbatas untuk dihirup. Setelah anak tangga terakhir langkahku melambat. Aku berjalan pelan menuju ruangan yang di tuju lalu berhenti di depan pintu. Menarik napas banyak-banyak, lalu mengusap peluh di dahi sebelum membuka pintu.Aku menunduk sedikit saat melihat ada empat puluh kepala menengok hampir bersamaan ke arahku.Seorang pria paruh baya berdiri di samping meja dosen, menurunkan kacamatanya memandangku dengan tatapan terganggu."Ma-maaf saya terlambat pak." Aku berjalan mendekat dengan perlahan sambil menelan saliva dengan susah payah. Gawat kalau sampe ga di perbolehkan masuk!"Ck ..." Pria tua itu melirik jam di pergelangan tangannya. "Lima belas menit! Lain k
Aku merapihkan meja kerja dan tasku, kemudian bergegas mengantre untuk absen pulang. Biasa aku bersantai-santai, tapi sekarang aku sedikit tergesa. Seseorang yang aku rindukan sudah menunggu di bawah, di lobby kantor tepatnya. Aku mengabaikan tatapan penasaran yang selalu aku hindari tiga hari belakangan ini. Tidak beda jauh dengan saat ke Yogya kemarin, dia terus membuatku kesal karena tidak berhenti mengawasiku. Tapi aku tidak peduli, tidak ingin terlihat peduli.Aku turun dari lift dan setengah berlari ke arah coffe shop yang terletak di tengah lobby kantor. Mataku menoleh ke berbagai arah kemudian pandanganku berubah gelap saat seseorang menangkup tangannya menutup inderaku itu."Rick!" Aku setengah berteriak dan berbalik."Hai ..." Pria tampan yang sudah lama aku rindukan itu tersenyum lebar. Aku memekik dan langsung memeluknya."Oh God, i miss you so much!" ucapnya tidak peduli dengan pandangan orang lain yang menatap kami.
Tristian POVAku merasa jengkel,sejengkel-jengkelnya! Ini pekerjaan kantor, untuk apa bule tidak jelas itu ikut kami kesini? Apakah dia tidak tahu bahwa kita kesini untuk bekerja bukan untuk liburan? Ditambah lagi panggilannya kepada Greet yang sok ke inggris-inggrisan.Han ... Hon ... Han ... Hon ...Di sini kan Indonesia bukan luar negeri! Tetapi anehnya anak buahku tidak ada yang keberatan kalau dia ikut, ditambah lagi pria itu seperti memberikan sogokan kepada anak buahku dengan membeli berbagai macam makanan seolah aku tidak pernah melakukannya. Cih!Kami menginap di salah satucottagebintang lima di pinggir pantai untuk menginap disini selama tiga hari. Plan kami kali ini meliput tentang fasilitas dan restauran yang ada di cottage. Yang semakin menyebalkan adalah si pria bule itu bahkan menginap di tempat yang sama dengan kami.Setelah jam makan siang, rencananya kami akan break sebentar sampai jam dua lal
Greet povHarusnya aku bernapas lega, Tristian terlihat cuek, dingin, tidak terus menatapku seperti biasa. Apakah karena ada Rick? Tapi kenapa aku sekarang malah gelisah?Aku belum bisa cerita apa-apa pada Rick. Untungnya dia tidak menuntut penjelasan saat kemarin aku bilang bahwa dia pacarku di depan Luna dan Tristian. Dia sekarang sedang tertidur lelap di kamarnya, katanya mau menikmati waktu zen-nya sampai saat makan malam nanti.Tidak terasa sudah matahari sudah hampir tenggelam, kami sudah berkeliling sambil mengupas setiap sudut di hotel ini. Tinggal makan malam dan wawancara dengan chef.Aku sangat suka sunset. Bagiku itu keindahan yang Tuhan ciptakan, agar kita bisa menghargai waktu di siang hari sebelum menikmati saat malamnya.Aku duduk di tepian batu-batu besar di pinggir pantai. Hotel ini membuat dermaga kecil sepanjang lima ratus meter yang menjorok ke pantai, biasanya digunakan bagi para tamu menginap yang in
Aku duduk dengan Rick saat kami sarapan. Dia melayaniku dengan baik, mengambilkan ini, membawakan itu, dia sengaja memberi perhatian lebih padaku setelah kejadian kemarin. Akhirnya aku mengungkap siapa Tristian. Aku pernah bercerita pada Rick tentang pria yang pernah membuatku patah hati, tapi aku tidak pernah memberi tahu siapa namanya. Dan dia terkejut saat tahu kalau pria itu adalah Tristian.Rick marah saat aku tidak bisa lagi menutupi perasaanku, selama ini dia pikir aku sudah melupakan Tristian tapi nyatanya pria itu masih saja menguasai pikiranku. Mungkin rasanya berlebihan, tapi untuk gadis dengan rasainsecuretinggi sepertiku, menyukai seorang pria bukan hal mudah, apalagi untuk membuka hati.Aku dulu merasa di permainkan. Tidak seorang pun seharusnya boleh memainkan perasaan orang lain. Dan aku d
"Pak, saya pulang duluan aja deh ... ga enak sama mba Luna.""Loh, kamu ga denger tadi Luna bilang apa? Kamu diminta temenin aku cari hadiah. Nanti aku anter pulang." sahutnya sambil nyeloyor jalan."Tapi Pak ... Pak!" Tristian tidak menghiraukan panggilanku, membuatku mau tak mau mengikutinya.Aku setengah hati saat menemaninya masuk ke satu toko dan toko lainnya. Asal menjawab saat dia minta pendapat."Greet, semakin kamu banyak diam maka semakin lama kita berkeliling di mall ini." sahutnya tanpa menatapku.Benar juga sih! Akhirnya aku fokus saat dia menanyakan pendapatku, semakin cepat dia menemukan hadiah maka semakin cepat aku pulang dan berpisah dengannya.Kami masuk ke salah satu toko perhiasan. Semua benda gemerlap berkilauan itu tampak cantik. Aku tidak pernah memakai perhiasan emas apalagi berlian walau Mama pernah membelikan untukku."Saudaranya umur berapa Pak?" tanya si karyawan toko."Umur kamu berapa Greet?" Tris
Greet POVAku mendorong pintu tanpa peduli, meringsek masuk kedalam. Respon terkejut Laura saja membuatku semakin berpikir macam-macam."Kak Greet!!!" Perempuan muda itu menahan lenganku tapi tenagaku lebih kuat, ditambah emosiku yang meledak membuat dia oleng saat aku menyentak tanganku. Aku melangkah dan terbelalak saat melihat Tristian sedang berdiri tidak kalah terkejutnya dengan Laura saat melihatku. Dia berdiri didepan sebuah meja bundar dengan....Jordan???Sedang apa Jordan ada di sini juga??KENAPA DIA ADA DISINI???Sontak aku menutup mulut, mataku membulat, ingatanku terlempar ke kejadian dulu saat......Astaga!!!! Astaga!!!!!Aku langsung berbalik."Bee!!!"Aku berlari tidak menghiraukan suara Tristian yang memanggil namaku, mengabaikan situasi menegangkan yang entah apakah nanti akan ku sesali tapi jelas aku yakin, aku kembali masuk kedalam situasi kesalahpahaman seperti dulu.Pandanganku kabur saat mencari nomor kamar yang tadi kupesan, hanya itu tempat yang kupikirkan ag
Tristian POV"Gimana La? Udah ada hasilnya?". Tanyaku penuh harap."Belum ada Tian, aku udah ngarep banget padahal, tapi belum jelas keliatannya." Keluh Laura.Aku menghela napas "Ya udah sabar La.."Aku tidak ingin Laura merasa terbeban dengan permasalahanku, dia sudah bersedia membantu saja aku sudah merasa berterima kasih.Laura, teman dan juga salah satu arsitek dikantorku, perempuan baik tapi super bawel nan kepo. Sedikit banyak dia tahu mengenai rencanaku dan menawarkan diri untuk membantu. Kebetulan juga aku merasa kalau dia orang yang tepat untuk mewujudkan rencanaku. Rencana yang sudah lama terus mengiang di mimpiku, berniat untuk kujadikan nyata."Jangan nyerah La, aku percaya kalau udah rejekinya pasti dimudahkan. Aku sabar kok, tapi kita ga boleh berhenti berusaha ya..." Aku terkekeh pelan berusaha mencairkan suasana hati perempuan itu."Ya kesel aja, aku ga mau ngecewain kamu. Udah ngarep banget dari kemarin-kemarin dapet kabar baiknya. Dia mendengus."Hehe.. gitu aja nga
Aku tengah memasak, sebenarnya hanya menghangatkan masakan saja sih, kedua orangtua kami datang hari ini, kami berencana makan malam di apartemen kami. Tadi Tristian memesan masakan dari restoran milik Pierce, pria itu khusus memesan aneka menu istimewa. Tristian ingin merayakan keberhasilan program IVF kami, dengan kedua Mama dan Papa.Aku sedikit kewalahan saat kedua Mama datang dan langsung berebut memelukku. Mereka menangis terharu, begitu juga dengan kedua Papa yang saling berpelukan. Kami semua larut dalam kebahagiaan."Aku ambilin buah dulu di kulkas." Tristian menepuk bahuku kemudian bangkit berdiri. Aku tersenyum mengambil puding coklat saat ponsel Tristian bergetar dan menyala diatas meja.Pop-up message terlihat.📩 LauraTian!!!! Astaga Tiaaaan!!! Aku punya berita baik!!! Segera telp aku, aku udah ga sabar pengen kasih tau kamu. Please cepet hubungi aku!!! Aku udah ga sabar mau kasih tau soal rencana kita!"Aku tertegun membaca isi pesan itu. Dadaku kembali berdebar tidak
"Kamu yakin?" Tristian menatapku, duduk di meja dengan kedua tubuhnya condong ke arahku, kedua tanganku digenggam olehnya. Aku mengangguk. "Aku mau coba. Kita ga pernah tau kalau ga coba." Sahutku lirih sambil menahan rasa cemas takut Tristian menolak usulanku. Pria itu menghela napas sambil menegakkan tubuhnya. "Bee, aku udah bilang kan? Aku ga masalah kalau memang Tuhan ga kasih anak buat kita. Buat aku yang penting ada kamu dihidup aku. Kamu segalanya buat aku." Tristian menarikku berdiri dan mendekapku. Aku menggigit bibir menahan isakan. Berkali Tristian mengatakan itu, tapi aku tahu dalam hatinya pasti ada keinginan itu. Tiga tahun, entah apakah bisa di anggap waktu yang cukup atau belum untuk usaha yang kami lakukan agar mendapat momongan. Aku tahu walau Tristian sama sekali tidak pernah menuntut untuk segera memiliki anak, tapi kerinduan itu tetap menghantuiku. Anak angkatku, Pieter yang terlihat semakin lucu dan menggemaskan, tidak sepenuhnya dapat mengisi kekosonganku ak
"Selamat pagi, Bapak dan Ibu Tristian Delmar. Silahkan." Seorang petugas maskapai penerbangan menyambut kami saat kami sampai di lobby Bandara Ngurah Rai. Rasanya aku harus terbiasa dengan panggilan baruku itu.Aku menatap ke arah pria itu yang terkekeh melihat wajah heranku. Dia sebenarnya mau mengajakku kemana sih?Kedua orangtua kami tidak mengatakan apapun. Mereka juga bilangnya tidak tahu apa-apa tentang kemana Tristian akan membawaku. Mama bahkan menangis haru saat aku hendak pergi dan bilang harus segera mengabari kalau sudah sampai di negara tujuan.Seorang rekan bisnis Papa Tjandra memberikan kartu debit dengan limit 100jt sebagai hadiah pernikahan kami. Lalu ada hadiah mobil, lalu voucher department store, lalu voucher belanja. Belum lagi 'amplop' yang langsung di transfer ke rekeningku dan Tristian, entah darimana mereka tahu, aku belum mengecek siapa saja yang mengirimkan angpao itu.Wanita itu mengantar kami ke VIP lounge, menyediakan minuman dan makanan kecil lalu menyur
Aku menarik napas dan memejamkan mata saat ci Kanika, MUA professional langganan Mama Ivon sedang me'retouch wajahku. Rasanya mataku mengantuk, saat kuas ringannya menyapu bagian mata, aku serasa di usap-usap nina bobo. Sudah 5 jam sejak aku berpenampilan bak putri kerajaan. Ternyata seperti ini rasanya menjadi ratu semalam. Jadi pusat perhatian, semua mata memandang dan terpukau, seolah hanya aku satu-satunya yang bisa mereka pandang. Haha. Berlebihan sekali aku menggambarkannya.Hari ini, tepat dua minggu setelah Tristian melamarku untuk yang kesekian kalinya, kami menikah. Satu jam lalu aku dan Tristian mengikat janji seumur hidup disaksikan Pendeta dan keluarga kami. Aku menangis haru, untung makeupnya waterproof semua, aman tidak merubah wajahku seperti zombie. Hihi.Dan sekarang kami bersiap untuk pestanya. Tadi saat pemberkatan rambutku di sanggul, sekarang aku minta untuk menggerainya agar terlihat lebih santai. Ci Kanika membuatnya gelombang acak terlihat elegan tapi natural.
Tristian memutar tubuhku ke segala arah. "Kamu tadi nungguin aku pake baju ini?!" Tanpa ragu dia meraba dadaku, matanya semakin terbuka lebar meneliti bagian lainnya."Astaga Bee!! Sadar ga sih kamu kalau Jordan bisa lihat..."Aku kembali menarik kerah kemejanya, melumat bibirnya, tidak membiarkan dia bicara lagi. Sumpah aku tidak sabar agar dia berhenti bicara dan melakukan apa yang sudah semenjak kemarin terbayang di otakku.Tristian seolah ingin menahan bahuku, tapi aku malah menarik tengkuknya dan memiringkan kepalaku agar lidahku bisa masuk lebih dalam. Pria itu sedikit tercengang dengan apa yang aku lakukan, tapi lima detik kemudian Tristian membalas ciumanku.Napas kami terengah seiring ciuman yang tidak berhenti. Aku menariknya ke kamar, dia terus menyentuh tubuhku dimanapun. Aku melepas jas dan kemejanya sedikit tergesa, dia tidak melakukan apapun selain menangkup kepalaku agar ciuman kami tidak terputus.Tanganku mengarah ke ban pinggangnya membuat Tristian menahan napasnya.
Greet POV"Bee!!""BEE!!"Aku menghapus airmataku, hancur perasaanku. Tristian selingkuh! Aku tidak percaya dia bisa melakukan itu."Bee, buka pintunya! Ini aku! Kamu salah paham Bee.. tadi bukan aku yang... arggh!! Buka Bee, dengerin penjelasanku!!"Apa katanya? Salah paham? Dia kira aku bodoh tidak mengenali siluet tubuh pria itu? Memangnya dua bulan tidak bertemu membuat dia berubah begitu saja jadi gendut misalnya?Apa dia berusaha mengelabuiku? Aku tahu aku pernah berpikiran konyol kalau Tristian lebih baik mencari wanita sempurna lain, tapi aku tidak menyangka dengan cara seperti ini.Tapi aku harus tahu yang sebenarnya, emosi dan amarahku sudah memuncak. Aku mengusap airmataku yang turun lagi kemudian melangkah membuka pintu.Terlihatlah wajah pria itu yang terkejut, setengah senang setengah tidak percaya. Tapi bukan saatnya sekarang aku beramah tamah dengannya. Tanpa ragu tanganku melayang ke arah pipinya.PLAKK!!!Dadaku naik turun menahan amarah, begitu juga dengan pria di d
Tristian POVLaura menghampiri dan mengecup pipiku. "Siap!" Lalu mata wanita itu naik turun mengamati pakaianku. "Resmi banget pake bajunya, Pak!" Sindirnya.Aku tersenyum simpul. "Kamu yang kelewat sexy, mau blind date emang?" Balasku sambil menutup pintunya.Dia tergelak saat aku duduk di kursi pengemudi. "Kali aja ada yang nyangkut." Sahutnya.Aku tertawa lalu melajukan kendaraanku ke arah hotel untuk jamuan makan malam yang pastinya membosankan."Untung aku berangkat sama kamu, jadi ga bakal bosan deh nanti.." Ucapnya membuatku tercenung sesaat. Kenapa pikirannya bisa sama?Hmmm, aku harap juga demikian deh kalau dia sepikiran denganku.***Baru dua gelas scotch yang aku nikmati, setelah makan malam, kami dipersilahkan untuk menikmati pesta yang di adakan pemilik hotel mewah itu. Benar saja, aku sudah merasa bosan padahal belum dua jam aku disini. Entah mengapa aku merasa lelah dan ingin beristirahat. Laura terlihat sedang membaur, gadis itu pintar bergaul dengan yang lebih tua da