Aku terkejut melihat wanita cantik yang berdiri di depanku."Em ... Emma?"Wanita bertubuh kecil itu langsung memelukku. "Greet!"Aku seperti bermimpi saat mencium bau khas yang sudah lama tidak tercium di hidungku, wangi lavender dan cemara segar."How are you?"Dia melonjak menarik tanganku masuk ke dalam. Aku seperti berasa di tempat lain, tidak lama kemudian pria yang aku harapkan muncul keluar dari kamar."Hei, Hon ..." Rick mencium pipiku."Rick, kok ga bilang Emma ada disini?" Aku memekik menatap wajah Rick yang terkekeh."Surprise honey!" Emma kembali memelukku.Aku tertawa lepas sambil membalas pelukan wanita itu. Rasanya senang setelah sekian lama tidak bertemu dan wanita cantik kekasih Rick ini."Oh my God, Em ... how could you!!" Aku berpura-pura menatap sengit pada mereka berdua.Emma Dupont, seorang penari balet, berasal dari Prancis yang sudah tiga tahun ini menjadi kekasih Rick, mereka bertemu saat Emma menjadi model untuk pakaian ballet yang bekerja sama dengan agensi
Aku menggigit bibirku mengenyahkan pikiran burukku sendiri. Kami naik ke apartemennya, masih dalam diam. Setelah aku masuk Tristian malah keluar lagi, membuat aku terpaku. Aku duduk diam dan menghubunginya tapi ponselnya ada dimeja biasa dia meletakkan kunci mobil. Aku menghela napas dan mandi supaya pikiranku sedikit membaik.Saat aku keluar kamar mandi, pria itu sedang di dapur memindahkan makanan dari paper box ke piring. Dia menatapku dan aku mengerti, aku mengambil sendok dan mulai makan. Aku merasa lapar, nasi capcay udang itu meluncur begitu saja ke dalam perutku, tidak ada penolakan seperti mual yang mengganggu. Aneh.Aku hendak membereskan piring bekas makan tapi Tristian menyuruhku duduk. Aku terdiam melihatnya mondar-mandir didapur kecil itu. Lalu dia membuat es lemon madu untuk kami berdua.Dia duduk di sampingku, menyalakan lagu slow dengan suara kecil namun terdengar menenangkan. Aku menggeser tubuhku duduk mendekat dan langsung menghadapnya."Maaf ..." itu kata yang ter
"Hahahahaha ..." Mba Silvy tertawa sedangkan aku menunduk dalam karena malu. Sejak kemarin dia terlihat cemas melihatku dan aku menjadi tidak enak, akhirnya aku cerita kalau aku terlalu parno dan sudah mendapat tamu bulananku kemarin malam."Astaga! Ngakak ..." Dia menyeka butiran airmatanya. "Gitu deh Greet, kita jadi perempuan emang paling was-was soal beginian. Tapi yah ..." Dia mendekat dan berbisik. "Aku ga sangka Pak Tian bisa berbuat sejauh itu ...."Aku akhirnya sedikit banyak cerita tentang masa lalu kami, mba Silvy tidak terkejut saat kubilang kalau Tristian melamarku, dia bilang pria itu tidak akan berani melakukan hal sejauh itu kalau dia tidak ada rasa cinta. Kami menjadi dekat dan sering mengobrol. Aku merasa lega ada yang mendukung hubungan kami dikantor. Aku bukan takut dengan orang lain yang memojokkanku, hanya saja mereka tidak tahu apa-apa tentang hubunganku dan Tristian, aku juga tidak ingin kehidupan kami jadi konsumsi umum, aku juga ingin menjaga nama baik Tristi
Tristian POVAku meregangkan tubuhku, sudah menjelang pagi, aku masih di rumah sakit mendampingi Luna. Papa sudah pulang sejak tengah malam tadi, aku tidak enak jika harus pergi karena orangtuaku meminta agar aku tetap disini menemani Luna dan Mamanya.Operasi Om Yose berjalan lancar, beliau masih ada di ruang ICU untuk di observasi selama beberapa hari. Luna dan Mamanya beristirahat di ruang VVIP dan sepertinya aku bisa pulang. Aku mendekat ke arah Luna yang tidur meringkuk di sofa."Lun ..."Wanita itu mengerjap pelan, aku tahu dia pasti kelelahan. Dia menatapku dan bergeser."Sorry, Tian, aku ketiduran." sahutnya pelan."It's oke ... aku balik dulu ya." Aku menepuk bahunya."Kamu ... nanti kesini lagi kan?" Dia bertanya dengan ragu.Aku menghela napas dan mengangguk. "Kalau perlu sesuatu kasih tau aja ...""Thanks. Ah, tolong kasih tau Greet. Aku ga enak semalem ga anter dia keluar. Makasih udah anter aku kesini." Dia tersenyum kecil.Aku mengangguk dan berjalan ke arah pintu."Tia
Tristian POVAku menghembuskan napas kesal lalu masuk ke dalam toilet wanita, melihat Greet sedang terpaku dengan mata memerah. Aku meraih tangannya dan menariknya keluar. Sebelum berjalan menjauh aku menoleh ke arah bu Amanda, menatapnya sinis. Aku menghela napas, bagaimanapun beliau lebih tua dariku dan aku tidak ingin berkata kasar."Saya harap, ini terakhir kali anda berkata kasar seperti itu pada kekasih saya."Aku tidak menanti jawaban dan langsung menarik Greet keluar, melewati rombongan orang kantor yang terbingung melihat kami."Mba Silvy, tolong talangin dulu. Nanti saya ganti." Wanita itu terlihat bingung tapi mengangguk cepat lalu aku melanjutkan membawa Greet langsung pergi dari sana. Aku tidak peduli dengan pikiran mereka yang terbelalak melihat tanganku menggandeng Greet.Greet hanya diam, aku tahu dia menahan amarah, tidak ingin memperlihatkan kekesalannya padaku. Dia menghapus airmatanya dengan cepat tapi aku melihatnya. Semakin bulat keinginanku untuk memberi tahu sem
Tristian POVSudah hampir dua minggu sejak Om Yose di rawat, kondisinya belum begitu stabil pasca operasi. Beliau sudah pindah ke ruang rawat biasa, tapi masih dalam pengawasan ketat. Kadang aku mengantar Luna sepulang kerja, menemaninya sebentar lalu pulang ke tempat Greet.Minggu lalu Greet pindah ke apartemen pemberian Papanya, dia merasa lebih menghemat waktu jika berangkat dari sana. Aku membelikan semua isi furniturenya, awalnya dia tidak mau, tapi saat aku bilang kalau aku membelinya sebagai hadiah karena dia menerima lamaranku, Greet tidak punya alasan untuk menolak.Setiap malam wanitaku itu menyempatkan diri untuk masak, sekalian belajar katanya supaya saat kami menikah nanti, kami lebih sering makan dirumah daripada menghabiskan waktu diluar. Aku setuju saja, lebih menguntungkan malah karena aku bisa makan makanan penutupnya kapan saja, tidak perlu menunggu sampai hanya ada kami berdua didalam ruangan tertutup.Astaga, membayangkan Greet dibawahku membuat aku tidak sabar in
Greet POVAku menggigit bibir, sudah pukul sepuluh malam tapi Tristian belum datang, aku juga tidak bisa menghubungi ponselnya. Ada apa ya?Aku menonton televisi hingga mengantuk dan tertidur di sofa. Tubuhku terasa kaku saat pagi hari aku bangun, aku tidur dengan posisi duduk sepanjang malam. Aku tersadar dan melihat jam, baru pukul tujuh pagi. Aku meraih ponsel dan terkejut melihat banyak pesan. Mataku terbelalak saat melihat grup di WA yang mengabarkan kalau papa Mba Luna meninggal semalam.Pantas saja Tristian tidak mengabariku, pasti dia terus mendampingi keluarga mba Luna. Aku berkirim pesan dengan rekanku yang lain, dan janjian akan datang ke rumah duka di daerah Pluit.Astaga, kasihan mba Luna. Pasti dia dan Mamanya akan sangat terpukul. Aku mengabari Mama dan memberitahu kalau mungkin aku tidak jadi pulang sore ini. Aku berpikir akan membantu mba Luna, bagaimana pun mba Luna sudah sangat baik padaku.Aku tidak terlalu memikirkkan Tristian, tidak mau membebaninya, pikiran dia
Aku terdiam menatap langit-langit kamar, entah sudah berapa lama aku hanya membiarkan airmataku mengalir, aku menangis tanpa suara.Rasanya jantungku berhenti berdetak. Paru-paru ku tidak bernapas, darahku berhenti mengalir, nyawaku terenggut.Aku mengangkat tanganku menatap jari tangan, kilau cincin berlian yang Tristian sematkan tampak redup. Aku meringkuk dan kembali menangis.Aku tidak ingin apa-apa lagi.Tuhan, bolehkah aku memintaMu untuk menghentikan waktu, agar tidak merasa sesakit ini?***"Greet!"Suara ketukan dipintu terdengar, aku duduk di sofa bed di tengah ruangan. Ruangan aku biarkan gelap, horden masih tertutup, aku tidak tahu jam berapa sekarang."Greet, ini aku Silvy."Suara halus wanita itu menyentakku. Aku menyeret tubuhku, meraih gagang pintu dan membukanya, menatap kosong ke wajah yang terlihat cemas menatapku."Greet ... Oh dear ..." Mba Silvi memelukku.Aku memejamkan mata, tangis yang baru sepuluh menit lalu terhenti kini kembali pecah. Aku meraung, menjerit
Greet POVAku mendorong pintu tanpa peduli, meringsek masuk kedalam. Respon terkejut Laura saja membuatku semakin berpikir macam-macam."Kak Greet!!!" Perempuan muda itu menahan lenganku tapi tenagaku lebih kuat, ditambah emosiku yang meledak membuat dia oleng saat aku menyentak tanganku. Aku melangkah dan terbelalak saat melihat Tristian sedang berdiri tidak kalah terkejutnya dengan Laura saat melihatku. Dia berdiri didepan sebuah meja bundar dengan....Jordan???Sedang apa Jordan ada di sini juga??KENAPA DIA ADA DISINI???Sontak aku menutup mulut, mataku membulat, ingatanku terlempar ke kejadian dulu saat......Astaga!!!! Astaga!!!!!Aku langsung berbalik."Bee!!!"Aku berlari tidak menghiraukan suara Tristian yang memanggil namaku, mengabaikan situasi menegangkan yang entah apakah nanti akan ku sesali tapi jelas aku yakin, aku kembali masuk kedalam situasi kesalahpahaman seperti dulu.Pandanganku kabur saat mencari nomor kamar yang tadi kupesan, hanya itu tempat yang kupikirkan ag
Tristian POV"Gimana La? Udah ada hasilnya?". Tanyaku penuh harap."Belum ada Tian, aku udah ngarep banget padahal, tapi belum jelas keliatannya." Keluh Laura.Aku menghela napas "Ya udah sabar La.."Aku tidak ingin Laura merasa terbeban dengan permasalahanku, dia sudah bersedia membantu saja aku sudah merasa berterima kasih.Laura, teman dan juga salah satu arsitek dikantorku, perempuan baik tapi super bawel nan kepo. Sedikit banyak dia tahu mengenai rencanaku dan menawarkan diri untuk membantu. Kebetulan juga aku merasa kalau dia orang yang tepat untuk mewujudkan rencanaku. Rencana yang sudah lama terus mengiang di mimpiku, berniat untuk kujadikan nyata."Jangan nyerah La, aku percaya kalau udah rejekinya pasti dimudahkan. Aku sabar kok, tapi kita ga boleh berhenti berusaha ya..." Aku terkekeh pelan berusaha mencairkan suasana hati perempuan itu."Ya kesel aja, aku ga mau ngecewain kamu. Udah ngarep banget dari kemarin-kemarin dapet kabar baiknya. Dia mendengus."Hehe.. gitu aja nga
Aku tengah memasak, sebenarnya hanya menghangatkan masakan saja sih, kedua orangtua kami datang hari ini, kami berencana makan malam di apartemen kami. Tadi Tristian memesan masakan dari restoran milik Pierce, pria itu khusus memesan aneka menu istimewa. Tristian ingin merayakan keberhasilan program IVF kami, dengan kedua Mama dan Papa.Aku sedikit kewalahan saat kedua Mama datang dan langsung berebut memelukku. Mereka menangis terharu, begitu juga dengan kedua Papa yang saling berpelukan. Kami semua larut dalam kebahagiaan."Aku ambilin buah dulu di kulkas." Tristian menepuk bahuku kemudian bangkit berdiri. Aku tersenyum mengambil puding coklat saat ponsel Tristian bergetar dan menyala diatas meja.Pop-up message terlihat.đŠ LauraTian!!!! Astaga Tiaaaan!!! Aku punya berita baik!!! Segera telp aku, aku udah ga sabar pengen kasih tau kamu. Please cepet hubungi aku!!! Aku udah ga sabar mau kasih tau soal rencana kita!"Aku tertegun membaca isi pesan itu. Dadaku kembali berdebar tidak
"Kamu yakin?" Tristian menatapku, duduk di meja dengan kedua tubuhnya condong ke arahku, kedua tanganku digenggam olehnya. Aku mengangguk. "Aku mau coba. Kita ga pernah tau kalau ga coba." Sahutku lirih sambil menahan rasa cemas takut Tristian menolak usulanku. Pria itu menghela napas sambil menegakkan tubuhnya. "Bee, aku udah bilang kan? Aku ga masalah kalau memang Tuhan ga kasih anak buat kita. Buat aku yang penting ada kamu dihidup aku. Kamu segalanya buat aku." Tristian menarikku berdiri dan mendekapku. Aku menggigit bibir menahan isakan. Berkali Tristian mengatakan itu, tapi aku tahu dalam hatinya pasti ada keinginan itu. Tiga tahun, entah apakah bisa di anggap waktu yang cukup atau belum untuk usaha yang kami lakukan agar mendapat momongan. Aku tahu walau Tristian sama sekali tidak pernah menuntut untuk segera memiliki anak, tapi kerinduan itu tetap menghantuiku. Anak angkatku, Pieter yang terlihat semakin lucu dan menggemaskan, tidak sepenuhnya dapat mengisi kekosonganku ak
"Selamat pagi, Bapak dan Ibu Tristian Delmar. Silahkan." Seorang petugas maskapai penerbangan menyambut kami saat kami sampai di lobby Bandara Ngurah Rai. Rasanya aku harus terbiasa dengan panggilan baruku itu.Aku menatap ke arah pria itu yang terkekeh melihat wajah heranku. Dia sebenarnya mau mengajakku kemana sih?Kedua orangtua kami tidak mengatakan apapun. Mereka juga bilangnya tidak tahu apa-apa tentang kemana Tristian akan membawaku. Mama bahkan menangis haru saat aku hendak pergi dan bilang harus segera mengabari kalau sudah sampai di negara tujuan.Seorang rekan bisnis Papa Tjandra memberikan kartu debit dengan limit 100jt sebagai hadiah pernikahan kami. Lalu ada hadiah mobil, lalu voucher department store, lalu voucher belanja. Belum lagi 'amplop' yang langsung di transfer ke rekeningku dan Tristian, entah darimana mereka tahu, aku belum mengecek siapa saja yang mengirimkan angpao itu.Wanita itu mengantar kami ke VIP lounge, menyediakan minuman dan makanan kecil lalu menyur
Aku menarik napas dan memejamkan mata saat ci Kanika, MUA professional langganan Mama Ivon sedang me'retouch wajahku. Rasanya mataku mengantuk, saat kuas ringannya menyapu bagian mata, aku serasa di usap-usap nina bobo. Sudah 5 jam sejak aku berpenampilan bak putri kerajaan. Ternyata seperti ini rasanya menjadi ratu semalam. Jadi pusat perhatian, semua mata memandang dan terpukau, seolah hanya aku satu-satunya yang bisa mereka pandang. Haha. Berlebihan sekali aku menggambarkannya.Hari ini, tepat dua minggu setelah Tristian melamarku untuk yang kesekian kalinya, kami menikah. Satu jam lalu aku dan Tristian mengikat janji seumur hidup disaksikan Pendeta dan keluarga kami. Aku menangis haru, untung makeupnya waterproof semua, aman tidak merubah wajahku seperti zombie. Hihi.Dan sekarang kami bersiap untuk pestanya. Tadi saat pemberkatan rambutku di sanggul, sekarang aku minta untuk menggerainya agar terlihat lebih santai. Ci Kanika membuatnya gelombang acak terlihat elegan tapi natural.
Tristian memutar tubuhku ke segala arah. "Kamu tadi nungguin aku pake baju ini?!" Tanpa ragu dia meraba dadaku, matanya semakin terbuka lebar meneliti bagian lainnya."Astaga Bee!! Sadar ga sih kamu kalau Jordan bisa lihat..."Aku kembali menarik kerah kemejanya, melumat bibirnya, tidak membiarkan dia bicara lagi. Sumpah aku tidak sabar agar dia berhenti bicara dan melakukan apa yang sudah semenjak kemarin terbayang di otakku.Tristian seolah ingin menahan bahuku, tapi aku malah menarik tengkuknya dan memiringkan kepalaku agar lidahku bisa masuk lebih dalam. Pria itu sedikit tercengang dengan apa yang aku lakukan, tapi lima detik kemudian Tristian membalas ciumanku.Napas kami terengah seiring ciuman yang tidak berhenti. Aku menariknya ke kamar, dia terus menyentuh tubuhku dimanapun. Aku melepas jas dan kemejanya sedikit tergesa, dia tidak melakukan apapun selain menangkup kepalaku agar ciuman kami tidak terputus.Tanganku mengarah ke ban pinggangnya membuat Tristian menahan napasnya.
Greet POV"Bee!!""BEE!!"Aku menghapus airmataku, hancur perasaanku. Tristian selingkuh! Aku tidak percaya dia bisa melakukan itu."Bee, buka pintunya! Ini aku! Kamu salah paham Bee.. tadi bukan aku yang... arggh!! Buka Bee, dengerin penjelasanku!!"Apa katanya? Salah paham? Dia kira aku bodoh tidak mengenali siluet tubuh pria itu? Memangnya dua bulan tidak bertemu membuat dia berubah begitu saja jadi gendut misalnya?Apa dia berusaha mengelabuiku? Aku tahu aku pernah berpikiran konyol kalau Tristian lebih baik mencari wanita sempurna lain, tapi aku tidak menyangka dengan cara seperti ini.Tapi aku harus tahu yang sebenarnya, emosi dan amarahku sudah memuncak. Aku mengusap airmataku yang turun lagi kemudian melangkah membuka pintu.Terlihatlah wajah pria itu yang terkejut, setengah senang setengah tidak percaya. Tapi bukan saatnya sekarang aku beramah tamah dengannya. Tanpa ragu tanganku melayang ke arah pipinya.PLAKK!!!Dadaku naik turun menahan amarah, begitu juga dengan pria di d
Tristian POVLaura menghampiri dan mengecup pipiku. "Siap!" Lalu mata wanita itu naik turun mengamati pakaianku. "Resmi banget pake bajunya, Pak!" Sindirnya.Aku tersenyum simpul. "Kamu yang kelewat sexy, mau blind date emang?" Balasku sambil menutup pintunya.Dia tergelak saat aku duduk di kursi pengemudi. "Kali aja ada yang nyangkut." Sahutnya.Aku tertawa lalu melajukan kendaraanku ke arah hotel untuk jamuan makan malam yang pastinya membosankan."Untung aku berangkat sama kamu, jadi ga bakal bosan deh nanti.." Ucapnya membuatku tercenung sesaat. Kenapa pikirannya bisa sama?Hmmm, aku harap juga demikian deh kalau dia sepikiran denganku.***Baru dua gelas scotch yang aku nikmati, setelah makan malam, kami dipersilahkan untuk menikmati pesta yang di adakan pemilik hotel mewah itu. Benar saja, aku sudah merasa bosan padahal belum dua jam aku disini. Entah mengapa aku merasa lelah dan ingin beristirahat. Laura terlihat sedang membaur, gadis itu pintar bergaul dengan yang lebih tua da