Tristian POVSudah hampir dua minggu sejak Om Yose di rawat, kondisinya belum begitu stabil pasca operasi. Beliau sudah pindah ke ruang rawat biasa, tapi masih dalam pengawasan ketat. Kadang aku mengantar Luna sepulang kerja, menemaninya sebentar lalu pulang ke tempat Greet.Minggu lalu Greet pindah ke apartemen pemberian Papanya, dia merasa lebih menghemat waktu jika berangkat dari sana. Aku membelikan semua isi furniturenya, awalnya dia tidak mau, tapi saat aku bilang kalau aku membelinya sebagai hadiah karena dia menerima lamaranku, Greet tidak punya alasan untuk menolak.Setiap malam wanitaku itu menyempatkan diri untuk masak, sekalian belajar katanya supaya saat kami menikah nanti, kami lebih sering makan dirumah daripada menghabiskan waktu diluar. Aku setuju saja, lebih menguntungkan malah karena aku bisa makan makanan penutupnya kapan saja, tidak perlu menunggu sampai hanya ada kami berdua didalam ruangan tertutup.Astaga, membayangkan Greet dibawahku membuat aku tidak sabar in
Greet POVAku menggigit bibir, sudah pukul sepuluh malam tapi Tristian belum datang, aku juga tidak bisa menghubungi ponselnya. Ada apa ya?Aku menonton televisi hingga mengantuk dan tertidur di sofa. Tubuhku terasa kaku saat pagi hari aku bangun, aku tidur dengan posisi duduk sepanjang malam. Aku tersadar dan melihat jam, baru pukul tujuh pagi. Aku meraih ponsel dan terkejut melihat banyak pesan. Mataku terbelalak saat melihat grup di WA yang mengabarkan kalau papa Mba Luna meninggal semalam.Pantas saja Tristian tidak mengabariku, pasti dia terus mendampingi keluarga mba Luna. Aku berkirim pesan dengan rekanku yang lain, dan janjian akan datang ke rumah duka di daerah Pluit.Astaga, kasihan mba Luna. Pasti dia dan Mamanya akan sangat terpukul. Aku mengabari Mama dan memberitahu kalau mungkin aku tidak jadi pulang sore ini. Aku berpikir akan membantu mba Luna, bagaimana pun mba Luna sudah sangat baik padaku.Aku tidak terlalu memikirkkan Tristian, tidak mau membebaninya, pikiran dia
Aku terdiam menatap langit-langit kamar, entah sudah berapa lama aku hanya membiarkan airmataku mengalir, aku menangis tanpa suara.Rasanya jantungku berhenti berdetak. Paru-paru ku tidak bernapas, darahku berhenti mengalir, nyawaku terenggut.Aku mengangkat tanganku menatap jari tangan, kilau cincin berlian yang Tristian sematkan tampak redup. Aku meringkuk dan kembali menangis.Aku tidak ingin apa-apa lagi.Tuhan, bolehkah aku memintaMu untuk menghentikan waktu, agar tidak merasa sesakit ini?***"Greet!"Suara ketukan dipintu terdengar, aku duduk di sofa bed di tengah ruangan. Ruangan aku biarkan gelap, horden masih tertutup, aku tidak tahu jam berapa sekarang."Greet, ini aku Silvy."Suara halus wanita itu menyentakku. Aku menyeret tubuhku, meraih gagang pintu dan membukanya, menatap kosong ke wajah yang terlihat cemas menatapku."Greet ... Oh dear ..." Mba Silvi memelukku.Aku memejamkan mata, tangis yang baru sepuluh menit lalu terhenti kini kembali pecah. Aku meraung, menjerit
"Greeet ...."Aku tersenyum setengah berlari menghampiri mba Silvy yang berjalan ke arahku. Kami berpelukan layaknya anak SMA sudah lama tidak bertemu setelah liburan panjang sekolah. Sedikit meloncat-loncat tidak peduli tatapan heran orang lain. Hihi"Apa kabar kamu?"Aku terpana menatap mba Silvy yang semakin cantik dan sempurna walau dengan perut yang membuncit."Ya ampun, Mba, udah gede aja!" Aku mengusap perutnya pelan. Kami berjalan ke arah salah satu restoran pasta di dalam mall daerah Jakarta Selatan."Udah jalan lima bulan say ..."Aku tersenyum lebar ikut merasa senang dengan kehamilan mba Silvy."Kamu beda banget sekarang, Say ... makin cantik Greet, kurusan juga!"Aku tersipu malu. "Cuma turun sedikit, Mba ..."Kami berbincang setelah memesan makanan, dan bicara tentang banyak hal. Sudah lebih dari dua tahun sejak aku meninggalkan Jakarta. Aku memutuskan untuk kuliah lagi mengambil S2 jurusan Ilmu Komunikasi di University of Auckland, New Zealand.Kesempatan itu datang saa
Aku berhenti bernapas melihat banyak sticky note tertempel dibagian belakang lemari dengan banyak tulisan tangan. Aku tidak ingat pernah melakukan ini, menempelkan note di dalam lemari. Aku mendekat dan mengambil salah satunya.Hari ke 513,Aku harap kamu selalu dalam keadaan baik Bee ........Aku mengambil lagi kertas lainnya.Hari ke 376,Sudah satu tahun kamu pergi Bee, and I can't stop missing you ........Aku menarik satu lagi.Hari ke 487,Bee ... kamu dimana? Aku butuh kamu ........Hari ke 220,Apa kamu pernah inget aku Bee? Seperti aku yang selalu kepikiran kamu ........Hari ke 605,Bee, aku butuh kamu ........Hari ke 125,Bee ... I'm lost in this world without you ........Aku memandang nanar semua kertas itu yang terus ku ambil dan kubaca, airmataku menetes. Semua kertas kecil ini ditulis oleh Tristian. Entah berapa banyak ...Aku terduduk di lantai, berbagai goresan tangannya ada disemua kertas. Jadi, selama ini dia ...Aku menengadah, kert
"Mba ga makan sama pak Tian?" tanyaku."Ga, dia ada meeting ketemu klien diluar."Aku bernapas lega. Aku pikir akan makan bersama dia juga. Selama satu bulan sejak aku pindah ke Jakarta, mba Luna selalu mengajakku keluar untuk makan atau hangout, tapi aku selalu menolak. Aku takut jika akan bertemu dia. Saat tadi pagi aku datang ke kantor pun aku mengendap-endap, takut berpapasan atau dia melihatku.Aku tahu mungkin dia sudah mendengar dari mba Luna kalau aku sudah kembali, tapi tetap saja. Aku belum mau bertemu dia.Mba Luna mengajakku makan tomyum seafood di sekitaran Permata Hijau."Greet, kamu kenapa sih susah banget aku ajak jalan?" Mba Luna memutar setirnya berbelok masuk ke parkiran restoran."Ga enak kan, Mba ... hari kerja Mba Luna udah sibuk, hari libur pasti mau dirumah sama suami." jawabku.Dia menggeleng. "Tian tuh jarang ajak aku pergi kok! Makanya kalau ada waktu luang aku suka jalan sendiri."Sendiri? Kenapa?Aku diam tidak ingin menduga. Kami berjalan dan memesan sete
"Dan maaf udah seenaknya rubah semuanya." Aku merasa bersalah. "Ma ... makasih, nanti aku akan ganti ...." Tristian menggeleng "No Greet, aku yang thankyou." "Hah?" "Karena kamu udah kembali." Aku bergeming saat Tristian hilang dari pandanganku, pintu tertutup dan aku merasa kosong. Aku menunduk mengatur napasku yang terasa sesak. Sulit rasanya berpura-pura sudah move on, terlihat tegar dan kuat. Aku berjalan dan duduk di ranjang, menghela napas panjang. Bicara memang mudah, tapi aku tidak bisa membohongi perasaanku sendiri, aku masih mencintai Tristian. Pintu lemari terbuka satu, aku melirik ke dalam dan terheran melihat satu sticky note tertempel didalam. Seingatku aku sudah melepas semua dan menyimpannya di kotak. Aku mendekat dan hatiku mencelos saat membacanya. Today. Day 828 I still love you ... *** "Greet! Ini undangannya." Nora, asisten Tristian melongok ke dalam ruanganku. "Hei Nor, masuk!" Ajakku. Dia tersenyum dan meletakkan selembar kertas tebal. "Hmmm ... Haru
"Greet, santai aja. Anggep aja kita tuh sahabat yang lagi liburan bareng." bisik mba Luna sebelum dia duduk di depanku di bangku kelas bisnis pesawat berlogo burung biru ini.Dan aku hanya bisa menghela napas panjang. Sejak tadi aku merasa jengah dan kikuk.Saat tiba di bandara SoeTa, kedua orang itu tengah menungguku di coffe shop dengan outfit yang sama. Sebenarnya tidak couple'an, hanya warnanya saja yang senada membuat mereka terlihat serasi. Belum lagi keduanya memakai kacamata bak model aiport fashion.Mba Luna terus mengaitkan lengannya pada Tristian jika sedang berjalan, yang seharusnya bukan menjadi masalah untukku tapi aku merasa tidak nyaman. Untungnya mba Luna bilang kalau saat di Bali mereka akan menginap di tempat yang berbeda membuatku sedikit merasa lega. Toh tugasku hanya datang ke tempat seminar dan mengikutinya dengan baik. Tidak penting peduli dengan apa yang akan mereka lakukan.Aku menyumpal telingaku dengan earphone dan menutup mata agar tidak melihat dari celah
Greet POVAku mendorong pintu tanpa peduli, meringsek masuk kedalam. Respon terkejut Laura saja membuatku semakin berpikir macam-macam."Kak Greet!!!" Perempuan muda itu menahan lenganku tapi tenagaku lebih kuat, ditambah emosiku yang meledak membuat dia oleng saat aku menyentak tanganku. Aku melangkah dan terbelalak saat melihat Tristian sedang berdiri tidak kalah terkejutnya dengan Laura saat melihatku. Dia berdiri didepan sebuah meja bundar dengan....Jordan???Sedang apa Jordan ada di sini juga??KENAPA DIA ADA DISINI???Sontak aku menutup mulut, mataku membulat, ingatanku terlempar ke kejadian dulu saat......Astaga!!!! Astaga!!!!!Aku langsung berbalik."Bee!!!"Aku berlari tidak menghiraukan suara Tristian yang memanggil namaku, mengabaikan situasi menegangkan yang entah apakah nanti akan ku sesali tapi jelas aku yakin, aku kembali masuk kedalam situasi kesalahpahaman seperti dulu.Pandanganku kabur saat mencari nomor kamar yang tadi kupesan, hanya itu tempat yang kupikirkan ag
Tristian POV"Gimana La? Udah ada hasilnya?". Tanyaku penuh harap."Belum ada Tian, aku udah ngarep banget padahal, tapi belum jelas keliatannya." Keluh Laura.Aku menghela napas "Ya udah sabar La.."Aku tidak ingin Laura merasa terbeban dengan permasalahanku, dia sudah bersedia membantu saja aku sudah merasa berterima kasih.Laura, teman dan juga salah satu arsitek dikantorku, perempuan baik tapi super bawel nan kepo. Sedikit banyak dia tahu mengenai rencanaku dan menawarkan diri untuk membantu. Kebetulan juga aku merasa kalau dia orang yang tepat untuk mewujudkan rencanaku. Rencana yang sudah lama terus mengiang di mimpiku, berniat untuk kujadikan nyata."Jangan nyerah La, aku percaya kalau udah rejekinya pasti dimudahkan. Aku sabar kok, tapi kita ga boleh berhenti berusaha ya..." Aku terkekeh pelan berusaha mencairkan suasana hati perempuan itu."Ya kesel aja, aku ga mau ngecewain kamu. Udah ngarep banget dari kemarin-kemarin dapet kabar baiknya. Dia mendengus."Hehe.. gitu aja nga
Aku tengah memasak, sebenarnya hanya menghangatkan masakan saja sih, kedua orangtua kami datang hari ini, kami berencana makan malam di apartemen kami. Tadi Tristian memesan masakan dari restoran milik Pierce, pria itu khusus memesan aneka menu istimewa. Tristian ingin merayakan keberhasilan program IVF kami, dengan kedua Mama dan Papa.Aku sedikit kewalahan saat kedua Mama datang dan langsung berebut memelukku. Mereka menangis terharu, begitu juga dengan kedua Papa yang saling berpelukan. Kami semua larut dalam kebahagiaan."Aku ambilin buah dulu di kulkas." Tristian menepuk bahuku kemudian bangkit berdiri. Aku tersenyum mengambil puding coklat saat ponsel Tristian bergetar dan menyala diatas meja.Pop-up message terlihat.📩 LauraTian!!!! Astaga Tiaaaan!!! Aku punya berita baik!!! Segera telp aku, aku udah ga sabar pengen kasih tau kamu. Please cepet hubungi aku!!! Aku udah ga sabar mau kasih tau soal rencana kita!"Aku tertegun membaca isi pesan itu. Dadaku kembali berdebar tidak
"Kamu yakin?" Tristian menatapku, duduk di meja dengan kedua tubuhnya condong ke arahku, kedua tanganku digenggam olehnya. Aku mengangguk. "Aku mau coba. Kita ga pernah tau kalau ga coba." Sahutku lirih sambil menahan rasa cemas takut Tristian menolak usulanku. Pria itu menghela napas sambil menegakkan tubuhnya. "Bee, aku udah bilang kan? Aku ga masalah kalau memang Tuhan ga kasih anak buat kita. Buat aku yang penting ada kamu dihidup aku. Kamu segalanya buat aku." Tristian menarikku berdiri dan mendekapku. Aku menggigit bibir menahan isakan. Berkali Tristian mengatakan itu, tapi aku tahu dalam hatinya pasti ada keinginan itu. Tiga tahun, entah apakah bisa di anggap waktu yang cukup atau belum untuk usaha yang kami lakukan agar mendapat momongan. Aku tahu walau Tristian sama sekali tidak pernah menuntut untuk segera memiliki anak, tapi kerinduan itu tetap menghantuiku. Anak angkatku, Pieter yang terlihat semakin lucu dan menggemaskan, tidak sepenuhnya dapat mengisi kekosonganku ak
"Selamat pagi, Bapak dan Ibu Tristian Delmar. Silahkan." Seorang petugas maskapai penerbangan menyambut kami saat kami sampai di lobby Bandara Ngurah Rai. Rasanya aku harus terbiasa dengan panggilan baruku itu.Aku menatap ke arah pria itu yang terkekeh melihat wajah heranku. Dia sebenarnya mau mengajakku kemana sih?Kedua orangtua kami tidak mengatakan apapun. Mereka juga bilangnya tidak tahu apa-apa tentang kemana Tristian akan membawaku. Mama bahkan menangis haru saat aku hendak pergi dan bilang harus segera mengabari kalau sudah sampai di negara tujuan.Seorang rekan bisnis Papa Tjandra memberikan kartu debit dengan limit 100jt sebagai hadiah pernikahan kami. Lalu ada hadiah mobil, lalu voucher department store, lalu voucher belanja. Belum lagi 'amplop' yang langsung di transfer ke rekeningku dan Tristian, entah darimana mereka tahu, aku belum mengecek siapa saja yang mengirimkan angpao itu.Wanita itu mengantar kami ke VIP lounge, menyediakan minuman dan makanan kecil lalu menyur
Aku menarik napas dan memejamkan mata saat ci Kanika, MUA professional langganan Mama Ivon sedang me'retouch wajahku. Rasanya mataku mengantuk, saat kuas ringannya menyapu bagian mata, aku serasa di usap-usap nina bobo. Sudah 5 jam sejak aku berpenampilan bak putri kerajaan. Ternyata seperti ini rasanya menjadi ratu semalam. Jadi pusat perhatian, semua mata memandang dan terpukau, seolah hanya aku satu-satunya yang bisa mereka pandang. Haha. Berlebihan sekali aku menggambarkannya.Hari ini, tepat dua minggu setelah Tristian melamarku untuk yang kesekian kalinya, kami menikah. Satu jam lalu aku dan Tristian mengikat janji seumur hidup disaksikan Pendeta dan keluarga kami. Aku menangis haru, untung makeupnya waterproof semua, aman tidak merubah wajahku seperti zombie. Hihi.Dan sekarang kami bersiap untuk pestanya. Tadi saat pemberkatan rambutku di sanggul, sekarang aku minta untuk menggerainya agar terlihat lebih santai. Ci Kanika membuatnya gelombang acak terlihat elegan tapi natural.
Tristian memutar tubuhku ke segala arah. "Kamu tadi nungguin aku pake baju ini?!" Tanpa ragu dia meraba dadaku, matanya semakin terbuka lebar meneliti bagian lainnya."Astaga Bee!! Sadar ga sih kamu kalau Jordan bisa lihat..."Aku kembali menarik kerah kemejanya, melumat bibirnya, tidak membiarkan dia bicara lagi. Sumpah aku tidak sabar agar dia berhenti bicara dan melakukan apa yang sudah semenjak kemarin terbayang di otakku.Tristian seolah ingin menahan bahuku, tapi aku malah menarik tengkuknya dan memiringkan kepalaku agar lidahku bisa masuk lebih dalam. Pria itu sedikit tercengang dengan apa yang aku lakukan, tapi lima detik kemudian Tristian membalas ciumanku.Napas kami terengah seiring ciuman yang tidak berhenti. Aku menariknya ke kamar, dia terus menyentuh tubuhku dimanapun. Aku melepas jas dan kemejanya sedikit tergesa, dia tidak melakukan apapun selain menangkup kepalaku agar ciuman kami tidak terputus.Tanganku mengarah ke ban pinggangnya membuat Tristian menahan napasnya.
Greet POV"Bee!!""BEE!!"Aku menghapus airmataku, hancur perasaanku. Tristian selingkuh! Aku tidak percaya dia bisa melakukan itu."Bee, buka pintunya! Ini aku! Kamu salah paham Bee.. tadi bukan aku yang... arggh!! Buka Bee, dengerin penjelasanku!!"Apa katanya? Salah paham? Dia kira aku bodoh tidak mengenali siluet tubuh pria itu? Memangnya dua bulan tidak bertemu membuat dia berubah begitu saja jadi gendut misalnya?Apa dia berusaha mengelabuiku? Aku tahu aku pernah berpikiran konyol kalau Tristian lebih baik mencari wanita sempurna lain, tapi aku tidak menyangka dengan cara seperti ini.Tapi aku harus tahu yang sebenarnya, emosi dan amarahku sudah memuncak. Aku mengusap airmataku yang turun lagi kemudian melangkah membuka pintu.Terlihatlah wajah pria itu yang terkejut, setengah senang setengah tidak percaya. Tapi bukan saatnya sekarang aku beramah tamah dengannya. Tanpa ragu tanganku melayang ke arah pipinya.PLAKK!!!Dadaku naik turun menahan amarah, begitu juga dengan pria di d
Tristian POVLaura menghampiri dan mengecup pipiku. "Siap!" Lalu mata wanita itu naik turun mengamati pakaianku. "Resmi banget pake bajunya, Pak!" Sindirnya.Aku tersenyum simpul. "Kamu yang kelewat sexy, mau blind date emang?" Balasku sambil menutup pintunya.Dia tergelak saat aku duduk di kursi pengemudi. "Kali aja ada yang nyangkut." Sahutnya.Aku tertawa lalu melajukan kendaraanku ke arah hotel untuk jamuan makan malam yang pastinya membosankan."Untung aku berangkat sama kamu, jadi ga bakal bosan deh nanti.." Ucapnya membuatku tercenung sesaat. Kenapa pikirannya bisa sama?Hmmm, aku harap juga demikian deh kalau dia sepikiran denganku.***Baru dua gelas scotch yang aku nikmati, setelah makan malam, kami dipersilahkan untuk menikmati pesta yang di adakan pemilik hotel mewah itu. Benar saja, aku sudah merasa bosan padahal belum dua jam aku disini. Entah mengapa aku merasa lelah dan ingin beristirahat. Laura terlihat sedang membaur, gadis itu pintar bergaul dengan yang lebih tua da