Aku masih tak berani melihat Tiara. Tubuhku mematung diantara lorong rumah sakit. Tatapku kosong tak tau apa yang harus aku lihat, telingaku seketika tak mau mendengar apapun yang harus aku dengar. Hanya mataku yang saat itu bekerja mengeluarkan buliran-buliran air.
"kamu mau mandiin Tiara?" tanya Mei sangat pelanAku tak ingin merespon, karena memang aku tak tau apa yang akan aku lakukan."maafin aku il" bisikkuMei memelukku, perlahan mengajakku bangkit dan mengajakku menemui mas Deni. Kakiku sangat berat, tapi ada dorongan hebat yang seakan membawaku ke sana.Aku sudah sampai pada ruangan dimana Tiara brrada. Mas Deni menoleh ke arahku, sorot katanya sangat layu. Nyaris tak ada semangat secuilpun."sini" isyaratnyaSeorang ibu paruh baya menuntun tanganku agar menutup kain putih pada tubuh mungil Tiara.Ya Alloh, kehilangan ini lebih menyakitkan dari penghianatan yang dilakukan mas Radit. Ini sangat jauh me"sebelum terlanjur, lebih baik kamu urungkan pernikahanmu dengan Deni" jawabnyaAku malas menjawab ucapannya, aku memilih memalingkan wajahku memandang arah jendela."jika diteruskan pasti akan ada masalah lain lagi" imbuhnyaAku masih tak bisa mencerna apa yang diucapkan ibu paruh baya ini. Ia mudah sekali mengambil opini tanpa memikirkan perasaan orang lain. "Maksud tante apa? saya rasa itu tidak ada hubungannya. Semuanya itu takdir, kita hanya perlu bersabar" ucapku"bersabar atas resiko dari keputusanmu Nay?" ledeknyaMungkin ia sangat menyesal aku batal menjadi menantunya, Pikiranku merasa menang jika melihat sikap ibu mas Radit. Tapi apapun, tak akan merubah keputusanku agar kembali pada anaknya."tante, sebelumnya saya minta maaf jika ucapan saya akan menyinggung. Tapi, sepertinya perbincangan kita sangat tidak tepat dengan situasi saat ini" lanjutkuAku menghela nafas pelan, menahan emosi sebisaku agar tak meledak saat itu juga."justru tante hanya mengingatkan" belanya"maka
Sudah tiga hari kepergian Tiara, dan kelelahanku sudah pada puncaknya. Aku lelah mencari keberadaan mas Deni, semua rumah kerabat sudah kutemui berharap ada mas Deni disana. Bahkan ibuku harus menginap dirumah Ilma agar menemani bu dhe."Kemana lagi kita Nay?" tanya HendiMemang dia yang selalu setia menemaniku kemanapun tujuanku. "aku nyerah Hen" Kalimatku terucap bersama airmata, keputusasaanku sudah tak bisa kututupi lagi. Banyak yang ingin aku tanyakan. Perihal mengapa ia menghilang, tentang rencana pernikahan kita yang sudah semakin dekat, dan banyak teka teki yang harus dia jelaskan."lemah!" ucap Hendi seketika"kemana Nayra yang kukenal? yang gigih?" imbuhnya"ini sudah hari ketiga Hen, tapi keberadaan mas Deni belum juga ditemukan. Aku mesti nyari kemana lagi? aku nggak tega liat bu dhe, Hen" isakku"kita pulang Hen" rengekkuHendi bangkit dari duduknya, menyalakan motor dan memakaikan helm untukku.Kami sekali lagi mengelilingi jalanan, tapi nihil. Tak ada tanda keberadaan
Jalanan dengan bebatuan yang tertata rapi, tepat dikanan kiri terdapat hamparan sawah luas. Semilir tiupan angin menambah segar suasana. Tapi tak lantas terasa dingin di badanku. Dadaku berdetak tak beraturan, pikiranku tak lantas menikmati pemandangan. "Masih jauh Mei? udah empat jam lebih perjalanan loh" tegurkuMei menghentikan motornya, memeriksa GPS di ponselnya."harusnya sih nggak lama lagi Nay, sabar ya" pintanya Aku mengangguk, kami kembali melanjutkan perjalanan."Permisi bu, numpang tanya desa kali wangi dimana ya?" tanya Mei pada beberapa ibu-ibu yang tengah beristirahat di pinggir jalan tepat samping sawah"lurus aja mbak, nanti ada gapura desa kali wangi" Jawab ramah salah satu ibu"makasih ya bu, permisi"Kami kembali melaju, benar saja tak lama ada gapura dari bambu bertuliskan selamat datang di desa Kali wangi. "Kenapa Mei?" tanyaku melihat Mei kebingungan"hehe nggak ada sinyal disini Nay, GPSnya nggak bisa dipake" Mei nyengir"tapi kita bisa tanya rumah bapak Na
"sebelumnya saya mohon maaf ya pak, jika kedatangan kami membuat bapak bingung. Terlebih dengan apa yang akan kami beritahu. Jujur, berat bagi saya untuk bicara ke bapak. Tapi, saya rasa bapak berhak tau kebenarannya" jelasku"nggak apa apa nak, bilang saja" timpal beliau"Sebenarnya Tiara sudah meninggal empat hari lalu. Kami ke sini mencari mas Deni karena mas Deni tak pulang semenjak pemakaman Tiara. Kami khawatir dengan keadaan mas Deni juga mertuanya yang sangat kebingungan""Innalillahi wainna ilaihi rooji'uun Tiara cucuku meninggal? kenapa Deni bohong? kenapa dia bilang ke sini karena cuti kerja? kenapa anak itu? bocah edan!!" Pak Narto amat sangat marah, kami semakin bingung. Kami menyeruput teh setelah pak Narto berkali-kali mempersilahkan. Waktu sudah semakin siang tapi mas Deni belum juga pulang. Apa dia tau kedatangan kami? bagaimana jika dia pergi tanpa sepengetahuan kami lagi?Pikiranku berkecamuk, perkiraan-perkiraan buruk mulai melintas di otakku."belum, mas Deni be
Hari sudah semakin sore, tapi mas Deni belum menemui kami. Perut kami mulai protes, maklum kami belum makan apapun selain yang dihidangkan pak Narto.Rifki dan Hendi berkali-kali menghubungi aku dan Mei. Mereka khawatir karena membiarkan aku dan Mei pergi ke tempat yang sama sekali belum pernah kamu datangi."ehm, makan dulu. kalian pasti laper" Mas Deni tiba-tiba keluar dengan membawa nasi beserta lauk. Rasa lapar seakan menghilangkan urat maluku dan Mei. Kami menyantap makanan tanpa ragu, sungguh baru kali ini kami seperti ini.Mas Deni hanya melihat kami makan, mungkin benaknya heran melihat aku serta Mei seperti kalap."kamu nggak makan mas?" tegurku"saya sudah makan" singkatnyaHanya itu jawabannya, tak ada perkataan basa-basi lain. Rasanya aku ingin sekali mengungkapkan semua pertanyaan yang sudah aku susun tapi sekali lagi aku masih fokus pada perutku.Hingga akhirnya semua hidangan kami habis, baru aku mulai mengumpulkan nyali untuk meluapkan semua kekesalan."ehm mas, boleh
"sudah, kalian jemput aja Nayra sama Mei. Tante khawatir jika terjadi sesuatu dengan mereka" pinta ibu NayraRifki dan Hendi dengan cekatan menyiapkan apa yang sekiranya akan mereka bawa. Sudah sehari semalam Nayra pergi bersama Mei. Meskipun selalu berkabar, tapi semua tetap khawatir, terlebih mereka menebak jawaban apa yang akan Deni ucapkan. Bagaimana terpukulnya Nayra."Kalian hati-hati. Ajak pulang Nayra sama Mei" ucap ibu Ilma"Tapi bu dhe sama tante nggak papa kami tinggal? acara pengajian masih satu malam lagi loh" tanya Hendi"Kamu tenang aja, disini banyak tetangga yang bantu kok" jawab ibu Ilma yakinBeberapa tetangga tersenyum dan mengangguk. Memang selama acara pengajian banyak tetangga yang rela bergadang di rumah Ilma dan membantu semua keperluan pengajian.Motor Hendi melaju diiringi teriakan beberapa warga agar mereka berhati-hati dijalan.Ibu Nayra mendorong kursi roda ibu Ilma ke dalam rumah. "tat..." panggil ibu Ilma pada ibu NayraTangannya memegang pergelangan t
"pikirkan lagi mas, bukan cuma mas Deni yang kehilangan. Setidaknya mas harus ingat bu dhe, beliau pasti sangat sedih setelah kehilangan anak cucunya apalagi keadaan fisik bu dhe yang sakit" Rifki berusaha membujuk"kita bicara dirumah pakdhe mu saja mas" pinta HendiMereka menuju rumah pak Narto, pandangan Deni lurus dengan tatapan kosong. Pasti dikepalanya kini banyak sekali pertimbangan antara rasa kehilangan, empati pada mertuanya serta egonya yang saling berebut untuk mendominasi pikirannya.Mereka sampai, terdengar sayup tawa kecil dari dalam rumah sederhana itu. Ternyata Mei dan Nayra beserta pak Narto tengah bercengkerama di ruang tamu."Assalamu'alaikum" ucap ketiga laki-laki bersamaan"Wa'alaikum sallam" jawab lainnya"kamu, tamu kok dibiarin diteras seharian?" celetuk pak NartoWajahnya masih masam, mungkin masih ada kekesalan terselip didadanya pada Deni.Deni hanya membalas dengan senyum ragu. Mereka kini duduk pada satu ruangan yang sama dengan banyak pikiran yang berbed
Aku bergegas mengemasi apa yang aku bawa, dengan cekatan aku menyalaminya sebelum pak Narto mencegahku dan menahanku untuk berunding lagi. Rasanya keputusan mas Deni sudah mengobrak-abrik kepercayaanku."Hen, bisa antar aku pulang?" tanyakuHendi tak menjawab, ia hanya bangkit dari duduknya merapikan barang bawaannya lalu mengikuti langkahku keluar setelah berpamitan.Aku tak menghiraukan Mei dan Rifki, karena sudah tentu mereka akan pulang bersama.*****Hari ini hujan, dan aku tetap melakukan perjalanan. Aku ingin menangis tanpa harus terlihat orang lain. Beberapa kali Hendi melirikku dari spion, "kita neduh dulu apa lanjut Nay?" tanyanya setengah teriak"lanjut aja Hen !!" jawabku lantang"nanti kamu sakit loh !""biarin Hen !"Kami melanjutkan perjalanan dengan ditemani deras hujan. Tiba-tiba motor Hendi berhenti di sebuah rumah makan. Hanya kami, entah kemana Rifki Mei serta mas Deni dan pak Narto yang semula tak jauh dibelakang kami."kalau mau hujan-hujanan sambil nangis, peru
"Hen, besok kamu bisa nganterin Nay....""yuk bu, kita pulang. Lagian Mei sudah ijab qobul" potongku"nganterin kemana tan?" tanya Hendi"eh anu nggak kemana-mana. Mungkin maksud ibu, nganterin pulang sekarang. Tapi aku mau pulang sama ibu aja. ya kan bu?" Aku mengedip-ngedipkan mataku sebagai kode. Rupanya ibu baru sadar ia baru saja hampir keceplosan."e-iya Hen, tadinya tante mau minta tolong anterin Nayra pulang. Tapi nggak usah deh, biar pulang sama tante aja naik taksi online" jelas ibuAku menghela nafas lega. Tapi, Hendi seolah tak percaya dengan alasan ibu. Sorot matanya penuh keingintahuan, gerak-geriknya penuh rasa penasaran. Bahkan aku sempat melihat ia membuntuti kami hingga masuk ke dalam taksi online. Aku memergokinya dari balik pantulan kaca mobil.[tan, maaf. Saya pulang dulu ya. Ada urusan yang harus saya selesaikan][iya, Nay nggak papa. Maaf ya tadi nggak sempet nemenin kamu sama ibu]Aku menutup sambungan telephon, dan mobil mulai melaju. Dari arah depan, ku liha
Mas Radit, benar saja aku seperti mengenali suaranya. Ia meraih tanganku yang tengah membersihkan jas.nya. Jarak kami begitu dekat membuat jantungku berdegup kencang. Aku mengatur ulang nafasku, agar tak segugup ini."eh maaf mas, jasmu jadi kotor" tegurku seraya berusaha melepaskan genggaman tangannya.Tapi sialnya, entah kenapa ujung jilbabku tersangkut dijam tangannya. Pandangan kami saling tertaut, seperti terjebak pada satu titik. Hingga beberapa detik kami saling memandang kosong satu sama lain."maaf, jilbabku tersangkut" kataku membuyarkan fokusnya"bentar, pelan-pelan aja Nay nanti jilbabmu sobek kalo dipaksa"Aku menurut saja, tangannya segera mengambil alih berusaha melepas jilbabku. Tapi, dari adah lain Dini datang. Dan...kreekkk!!!Ia menggunting jilbabku,"gitu aja kok repot, nggak usah dilama-lamain biar bisa ambil kesempatan deketin suami orang!" ucapnya keras.'ya Alloh, jilbab kesayanganku pemberian Ilma' batinku"nggak perlu cari-cari alasan biar bisa deket sama m
"nggak papa kok mah" jawab Mei tersenyumAku sendiri telah paham kenapa sahabatku ini tak mau aku mendampinginya . Aku bahkan tidak keberatan ataupun merasa tersinggung, justru aku senang karena aku bisa leluasa menyembunyikan diriku jika saja ada tamu yang tak ingin ku temui.*****Akhirnya hari pernikahan Mei dan Rifki tiba, beberapa orang sudah mulai mendatangi lokasi."Nay, kok mukanya sedih? aku nikah sama Rifki loh, kita bertiga bakal tetep temenan. Kita tetep bisa pergi bareng-bareng"Mei menggenggam tanganku erat, seperti paham dengan apa yang aku rasakan. "janji ya Mei, sekarang temenku cuma kamu" ucapkuMei menatapku lekat, matanya yang sudah penuh riasan hampir meneteskan air mata. Cepat-cepat tangannya mengelap dengan tisu sebelum berhambur jatuh kepipi. Kami berpelukan sambil menahan tangis masing-maning. Aku menghela nafas, mencoba melonggarkan dada agar tak sesak oleh perasaan sedih. Mei pergi meninggalkan meja rias, ia bersiap ketempat akad. Wajahnya begitu ayu dengan
Siang hari terasa menyengat dari biasanya. Seseorang wanita paruh baya terlihat tengah menjemur beberapa lembar pakaian, tangannya nampak kesulitan."MasyaAlloh bu, biar saya bantu""biarin Den, ini tinggal satu aja kok"Deni meraih selembar pakaian yang masih dalam genggaman bu Nani."biar ibu aja Den" cegah sang mertuaDeni mendorong kursi roda bu Nani kedalam rumah. Lalu, ia duduk menekuk setengah lutut dihadapannya, Tangannya menggenggam jari sang mertua."bu, ibu nggak usah ngerjain kerjaan rumah kayak tadi ya. Saya takut ibu kecapean" terang Deni"tapi, ibu nggak enak Den, masa ibu cuma makan tidur aja. Lagian kan cuma beres-beres rumah""kalo ibu ngrasa nggak enak ke saya berarti ibu nganggep saya sebagai orang lain"Bu Nani terdiam, tangannya mengusap peluh di dahinya. "Bu, saat ini saya nggak lagi nganggep ibu sebagai mertua tapi sudah menjadi ibu bagi saya. Ibu adalah keluarga saya satu-satunya disini. Cuma ibu sama pakdhe Narto yang saya punya" Deni masih menatapnya dalam,
Akhirnya hari ini aku diharuskan datang kepernikahan mas Radit dengan Dini. Walau aku sudah tak punya perasaan apapun pada mas Radit, tetap saja bayang-bayang penghianatannya masih menyisakan sakit. Aku memaksa diriku untuk kuat hanya sekedar mengucapkan selamat, daripada Dini akan mengecapku sebagai orang yang masih mengharapkan suaminya itu."selamat ya Din" ucapkuDini menarik badanku, memelukku. Alih-alih sikapnya seperti sahabat, ia justru membisikkan sesuatu."pernikahanmu batal ya? yang sabar ya" ucapnya lirih tapi cukup didengar beberapa orang disekitar kamiAku menelan ludah, menarik nafas panjang sembari menekan emosiku."selamat ya mas" Aku ngeluyur dari hadapan Dini, bahkan aku mengabaikan mas Radit yang sudah mengulurkan tangan.Dihari bahagianya pun ia masih sempat meledek nasibku. "Andai Mei, Rifki atau minimal Hendi disini, mungkin mereka tidak akan membiarkan Dini mengucapkan pertanyaan itu" gumamkuSeorang kerabat Dini mempersilahkan aku mengambil hidangan. Karena
Sebuah toko tampak mulai berbenah, karena memang sudah mulai larut."iya deh calon manten, seharian semangat banget kerjanya" ledek HendiRifki hanya tertawa kecil."makaya nikah dong Hen, eh lupa jomblo" ledek Rifki"sialan. Liat aja ntar kalo aku nikah kamu bakal kaget" jawab Hendi percaya diri"udahlah aku mau pulang" lanjut HendiIa melangkah, tapi tak langsung memacu motornya. Ia duduk diemperan toko membuka Ponselnya yang sedari tadi didalam tas.Tangannya membuka aplikasi biru, wajahnya seketika muram. Melihat sebuah foto dalam aplikasi."kamu wanita baik, cantik. Tapi, kenapa laki-laki selalu bermain-main dengan perasaanmu" batinnyaHendi terus menatapi gambar Nayra. Gambar yang manis dengan balutan senyum yang sederhana. Tapi senyum itu tak seceria dulu. Baru dua menit foto itu diposting, dia segera meninggalkan jempolnya di foto Nayra. Seperti itu setiap hari, Hendi memastikan keadaan Nayra dari media sosial. Seperti dulu."kenapa sih kamu nggak jujur aja sama Nayra?" "eh k
"kenapa harus bertemu dia dua kali sepagi ini?" gumamku"Hai juga Mei" sapaya ceria"kamu ngapain disini Din?" tanya Mei"kan nyiapin acara pernikahanku, cuma beda satu hari sama kamu, tapi aku duluan hehe" jelasnya terkekehMei senyum kecut melihat tingkah serta penjelasannya."maksudmu peresmian pernikahanmu?" ledek Mei"apapun itu, intinya pernikahanku sama mas Radit" jawabnyaIa terlalu percaya diri bahkan saat tengah mempersiapkan pernikahan dengan kondisi perut yang sudah membesar. Seolah ia malah memamerkannya laksana sebuah kebanggaan."jangan lupa dateng ya Nay" jawabnya sembari berlalu"pasti" jawabkuLangkahnya yang sok anggun membuat Mei terlihat muak, dia terus saja mengusikku bahkan disaat aku sudah tak peduli dengan kehidupannya bersama mas Radit.Dari arah depan mas Radit menyambut sang isteri, tapi sikapnya berubah kikuk saat mendapati aku dan Mei ditempat itu juga. Dia melempar senyum, tapi aku membalas dengan tatapan datar tanpa ekspresi.Aku terus menemani Mei mem
Aku tak begitu peduli dengan mas Radit dan Dini, karena memang aku sudah tak mau terlibat masalah dengan mereka.Rifki menjemputku untuk menemani Mei menuju kantor urusan agama. Tidak, lebih tepatnya kami kesana untuk urusan masing-masing. Rifki kembali ke tokonya setelah aku sudah bersama Mei."ayo Nay" Aku menaiki motornya. Tiap langkah kami, kukumpulkan tekad beserta tujuanku. Membatalkan pernikahan untuk kedua kalinya adalah sesuatu yang membuatku malu. Tapi, itulah seharusnya."kenapa kamu nggak nunggu mas Deni ngasih keputusan lagi Nay, kemarin dia ngomong gitu karena suasana hatinya sedang sedih" ucap Mei"kenapa aku harus menunggu untuk sesuatu yang sudah diputuskan?" tanyaku balik"aku malu Mei, kok terkesannya aku yang ngejar-ngejar mas Deni. Padahal aku mau nikah sama dia juga karena wasiat dari almarhumah Ilma" lanjutku"Ya udah, tapi kamu jangan sedih ya" jawabnyaKami terus melaju pada tempat yang kami tuju. Seorang ibu berseragam coklat menyambut kami, ia begitu sumrin
Sepulang dari desa kaliwangi, aku belum lagi ke rumah bu dhe. Rasanya ada rasa sungkan bertemu mas Deni. Ibu masih di sana, mungkin sampai acara tujuh hari selesai. "Nanti malam kamu kesini ya Nay" ucap ibu pada sambungan telephon."InsyaAlloh bu" Aku menutup telephon, lalu melanjutkan sholat subuh. Masih terlalu pagi, tapi ibu sudah mengingatkan banyak acara untuk hari ini. Dimulai ke kantor urusan agama untuk kembali membatalkan pernikahanku, membantu persiapan pernikahan Mei, belum lagi aku harus ke rumah mas Deni, Itu adalah bagian yang paling berat bagiku.Setelah selesai beres-beres rumah dan menyiapkan sarapan, aku melongok jam bundar didinding. Sudah pukul tujuh. Aku bergegas, langkahku mantap menuju kantor urusan agama. Mungkin petugas disana akan menganggap aku bermain-main dengan pernikahan karena ini kali kedua aku membatalkan pernikahan.Tok tok tok !!!Terdengar Suara ketukan dari arah pintu depan, aku cepat-cepat menuju ruang tamu."mungkin ibu pulang, dia kan belum k