Seminggu setelah itu, aku sudah pindah menempati kontrakan yang akan kujadikan tempat bisnis dan tempat tinggal itu. Ibu sebenarnya berat melepaskanku tinggal berpisah darinya, tapi aku tak ingin selamanya bergantung pada orang tuaku. Aku pindah bersama Keenan dan Mbok Jum. Dua hari berikutnya setelah kami pindah, sudah ada dua orang karyawan yang berhasil direkrut Adam sebelumnya sebagai admin untuk bisnis kami. Mereka gadis-gadis muda fresh graduate bernama Santi dan Hera. Adam ternyata memang memiliki selera yang bagus. Gadis-gadis ini cantik seperti rata-rata karyawan wanita yang bekerja di kantornya. Aku menggoda Adam saat dia sedang sibuk mengajarkan job description pada dua gadis cantik itu. Kulihat keduanya memang seperti punya ketertarikan dengan Adam. "Apa senyum-senyum gitu?" tanya Adam berbisik saat kembali ke kursi kerjanya disampingku. "Apa? Nggak papa kok. Memangnya senyum dilarang?" kataku sewot. "Nggak, tapi senyummu aneh dan menyebalkan,"
Beberapa hari setelah pertemuan kami, Daniel tak pernah lagi mengirimiku pesan seperti biasanya. Mungkin dia memang benar-benar marah padaku. Bahkan dia melupakan janjinya sendiri waktu itu yang katanya akan menjemputku dan Keenan untuk liburan bersama Tasya, putrinya. Dan anehnya, aku justru merasa kehilangan perhatiannya yang walau terkesan sangat kaku itu. "Kamu lihat kan tadi, San? Nggak mungkin deh aku salah lihat. Dia melihat terus kesini." "Masa' sih? Tapi aku belum yakin, Her." Aku tersadar dari lamunanku tentang Daniel saat mendengar bisik-bisik dari kedua karyawanku yang sedang duduk di meja kerja mereka masing-masing. "Ada apa?" tanyaku penasaran. Keduanya nampak saling pandang sebelum akhirnya Santi berbicara. "Ini Mbak, masa' kata Hera dia melihat ada orang yang mengawasi rumah ini. Katanya melihat orang itu terus disekitaran sini beberapa hari ini." Dahiku berkerut. Ada yang mengawasi rumah ini? Apa itu Irwan? "Bagaimana ciri-ciri orang
P.O.V Adam Saat menerima telepon dari Hani hari itu dan dia tidak merespon candaanku, aku sudah tahu ada yang telah terjadi padanya. Apalagi saat dia berkata sedang membutuhkan uang dengan nominal yang cukup besar. Aku semakin yakin sesuatu sedang terjadi pada belahan jiwa yang belum sempat kumiliki itu. Segera kututup sambungan telpon darinya untuk segera menghubungi sahabatku. Daniel, pasti bisa membantu. Karena dia memang orang yang selalu bisa dalam hal seperti ini. Namun ada hal yang membuatku sangat kaget saat kuceritakan kecurigaanku tentang Hani pada Daniel. Daniel justru berkata dia sudah tahu semuanya. Hani sudah pernah menghubunginya beberapa hari yang lalu dan menceritakan bahwa dirinya mendapat ancaman dari seseorang. Hani? Menghubungi Daniel? Kenapa dia tidak menghubungiku jika memang ada masalah? Apa yang terjadi pada Haniku? Apa ada sesuatu yang tidak aku tahu diantara mereka berdua? Yang membuatku juga terkejut adalah bahwa Daniel juga sudah t
P.O.V Daniel Sepulang dari rumah Hani, aku melajukan mobilku bagai kesetanan menuju arena tembak tempatku sering melakukan latihan. Kuparkir mobilku asal asalan di pelataran dan bergegas menuju ruang ganti. Entah sudah berapa banyak sasaran yang berhasil kuhancurkan kali ini, tapi rasanya aku belum juga puas. Debaran jantungku sudah semakin menggila, mataku pun sepertinya semakin berkabut. Entah apa ini, tapi aku tidak mungkin menangis karena aku tidak pernah diajarkan untuk menangis selama ini. Saat rasa kesalku sudah tidak bisa lagi kuredam, kubanting senapan yang sudah tanpa isi itu ke lantai hingga menimbulkan bunyi yang sangat memekakkan telinga. Senior yang juga instrukturku menghampiri dengan wajah dinginnya seperti biasa. Dan saat sampai di depanku, dia mengulurkan sebotol air mineral tanggung yang tadi diambilnya dari lemari pendingin. "Ada apa? Soal wanita lagi?" tanyanya sambil memungut senapan yang baru saja kubuang itu. Tidak, dia bukan seda
Aku menyadari perasaanku pada Daniel bukan perasaan yang biasa adalah saat pertama kali aku datang ke kantornya meminta bantuannya untuk meminjam ponsel Mas Reyfan waktu itu. Lalu berlanjut ketika dia tiba-tiba mengajakku ke rumahnya pada suatu hari usai persidanganku. Aku pun semakin menyadari bahwa Daniel juga menyukaiku. Saat hari dimana Keenan diculik adalah hari dimana aku semakin sadar bahwa Daniel adalah pasangan yang tepat untukku. Dalam bayanganku, Daniel akan menjadi pelindung yang sempurna untukku dan Keenan. Tapi karena sidang perceraianku belum selesai, aku mencoba untuk menahan diri. Berharap tidak akan menimbulkan masalah baru dalam proses perceraianku dengan Mas Reyfan. Aku bukannya tak menyadari apa yang dirasakan Adam padaku. Aku tahu dia juga sepertinya menginginkanku. Tapi aku sangat menyayangi Adam sebagai seorang sahabat. Disamping itu, aku ingin Adam memiliki pasangan hidup yang jauh lebih baik daripada aku yang sekarang berstatus seorang
Aku dan Daniel berjalan pelan menuju ke arah rumah. Tasya sengaja kami biarkan berada di mobil dengan mesin masih menyala karena dia masih tertidur lelap. Rencananya, Daniel akan langsung pulang setelah menidurkan Keenan yang saat ini sedang dia bopong dalam tangan kokohnya. Mbok Jum menyambut kami di teras rumah. Namun, kami tak melihat ada Adam bersamanya. "Sudah pulang, Bu?" tanyanya. "Itu ada Mas Adam di dalam. Ketiduran di sofa," kata Mbok Jum memberitahu sambil tangannya menunjuk ke dalam rumah. Astaga Adam! Aku dan Daniel saling berpandangan. Wajah Daniel tampak tenang tak bereaksi. Sementara aku yakin wajahku pasti pucat saat ini, karena kemudian dia bertanya. "Ada apa?" "Tidak." Aku menggeleng pelan. Lalu aku segera mengajaknya melangkah lagi ke dalam. Dan benar saja, di sofa, kulihat Adam sedang tertidur pulas masih dengan pakaian yang dia kenakan tadi pagi saat berpamitan padaku mau ke luar kota. Sudah berapa lama dia menungguku disini sampai ketidur
Daniel menelponku pagi harinya. Dia menghujaniku dengan perhatian-perhatian yang justru membuatku semakin merasa bersalah pada Adam. Masih belum hilang dari ingatanku bagaimana kemarahan di wajah Adam semalam. Lalu sebuah pertanyaan segera terlintas di pikiranku. Apa hari ini Adam akan tetap datang kesini seperti biasa? Atau dia justru tidak akan muncul di hadapanku lagi? Aku belum sanggup ditinggal Adam dengan kondisi bisnis yang sedang mulai berjalan seperti ini. Mendadak aku merasa sangat kotor. Seperti inikah aku sekarang? Memikirkan Adam hanya karena membutuhkan bantuannya saja? Aku merasa sepertinya aku telah menjadi orang yang sangat jahat. Sampai hari menjelang siang, Adam belum juga muncul disini. Entah sudah berapa ratus kali aku melirik ponsel yang tergeletak di atas meja kerjaku. Berharap tiba-tiba dia mengirimiku pesan candaan seperti biasanya, lalu tiba-tiba muncul membawakan makan siang untuk kami bertiga. Aku sudah mulai putus asa menunggu kemunculan Ada
Wanita seksi dengan tinggi 170 cm itu membanting pintu mobilnya dengan kesal saat sampai di garasi rumah. Dia merasa mantan suaminya itu semakin lama semakin menyebalkan. Kemarin-kemarin dia masih bisa bertemu Tasya, putrinya, walau dengan sembunyi-sembunyi menunggu Daniel pergi ke kantornya. Tapi sekarang, pria itu benar-benar menutup aksesnya untuk menemui putrinya. Pembantu rumah tangganya juga mendukungnya melakukan hal itu. "Brengs*k!!" umpatnya kesal sambil menghempaskan diri di sofa ruang tamu. Tangannya mengacak-acak rambut ikal berhigh light merahnya dengan sangat frustasi. "Ada apa sih, Kak?" Suara serak Vina bertanya dari arah ruang tengah. Lalu sejurus kemudian gadis yang pergelangan tangannya masih dibalut perban itu menghampiri Clarissa di sofa ruang tamu. "Daniel!" sebut Clarissa dengan nada kesal. "Maunya apa sih dia? Aku nggak dibolehin ketemu Tasya. Dia sendiri selalu menghindar waktu kuhubungi, sekarang nomerku malah diblokirnya. Lama-lama str
Satu bulan setelah pertemuannya kembali dengan Santi, hari ini keduanya nampak sedang duduk di sebuah ruang pertemuan di salah satu sudut kantor Adam.Di hadapan keduanya ada 4 orang karyawan inti di perusahaan Adam yang sedang menghadap ke arah mereka. Nampak di depan mereka tumpukan berkas yang baru saja selesai dibahas."Jadi rencanaku bisnis kosmetik ini nantinya akan seperti itu. Bagaimana menurut kalian?" tanya Adam pada keempat anak buahnya."Bagus, Pak. Saya rasa ide ini sangat cemerlang mengingat pasar kosmetik yang saya lihat saat ini sedang lesu-lesunya. Hampir tak ada brand baru yang muncul akhir-akhir ini," ujar salah satu karyawan itu."Iya itu maksudku. Ya sudah kalau gitu kita cukup
Malam itu entah kenapa ada sesuatu yang mengganggu pikiran Adam. Kedatangan mantan karyawannya dengan penampilan yang sedikit berbeda namun masih sama malu-malunya itu membuatnya justru susah untuk lupa.Dari sejak lelaki itu menginjakkan kaki di rumah orangtuanya, Adam hanya terlihat mondar mandir dari kamar menuju balkon. Secangkir kopi dibawanya ke sana kemari dengan perasaan kacau yang sulit dia mengerti sendiri."Lagi ngapain kamu, Dam? Mama perhatikan dari pintu tadi kayak orang lagi bingung gitu?"Ibunya yang sedari tadi mengamati tingkah aneh putranya menghentikan langkahnya di pintu balkon."Mama ngagetin aja." Muka Adam langsung memerah karenanya.
Beberapa minggu setelah pertemuannya dengan mantan bosnya, gadis itu melakukan treatment di sebuah klinik kecantikan. Hani juga telah membekalinya uang yang cukup untuk dia belanjakan beberapa potong baju yang akan lebih membuatnya percaya diri saat bertemu dengan Adam nanti.Dan siang itu adalah hari yang telah direncanakannya untuk menemui Adam. Santi melangkah dengan penuh kayakinan menuju ke kantor Adam usai turun dari taksi online yang ditumpanginya."Bisa saya bertemu dengan pak Adam?" tanyanya pada resepsionis."Maaf, apa ada sudah janji sebelumnya, Bu?" tanya balik sang gadis dengan seragam warna violet itu."Mmmm."Santi mulai men
Rapatnya Hani menyimpan rasa shock atas pertemuannya dengan Adam, bahkan membuat Daniel pun tak menyadari bahwa istrinya memang sedang sedikit tak enak badan hari itu. Sampai-sampai lelaki itu setengah memaksa mengajak sang istri untuk mau ikut bersamanya keluar larut malam.Hanya untuk membuat Daniel tak cemas dengan kondisi dirinya yang memang sedang kurang baik setelah kejadian yang menimpa siang harinya, Hani pun terpaksa menuruti ajakan suaminya.Daniel membawa istrinya ke sebuah Kafe bernuansa outdoor di daerah pinggiran kota malam itu. Mereka tiba di tujuan saat hari telah lewat. Meski begitu, suasana masih terlihat lumayan ramai. Tempatnya yang didesain sangat romantis ternyata sedikit membawa suasana hati Hani menjadi lebih membaik."Kamu suka temp
Tubuh Hani masih gemetar, bahkan ketika mobilnya sudah memasuki halaman rumah. Usai Adam membiarkannya pergi dari parkiran mall, wanita itu mengendarai dengan sangat pelan sembari berusaha menenangkan kembali gejolak di dalam dadanya. Kalimat demi kalimat Adam terngiang-ngiang di kepalanya seolah tak mau pergi."Lho, Bu Hani kenapa?" Bik Marni yang saat itu sedang bermain bersama dengan Tasya dan Keenan di serambi rumah sedikit kaget melihat Hani nampak seperti orang linglung saat keluar dari mobilnya di garasi.Sesaat Hani baru menyadari ada yang memperhatikannya. Buru-buru wanita itu menggeleng."Enggak kok, Bi'. Cuma agak pusing sedikit," jawabnya.Lalu dengan sigap, Bi' Marni pun segera m
"Sudah dibayar sama mas yang di sana, Bu."Hani dan 3 orang teman wanitanya saling pandang. Lalu bersamaan menoleh ke arah yang di tunjuk oleh kasir restoran."Yang mana? Yang di dalam ruangan itu?" tanya salah seorang teman Hani."Iya, yang sedang memimpin rapat itu, Bu."Hani tak mungkin tak mengenalnya. Di dalam ruang meeting dengan dinding kaca itu memang ada Adam dan beberapa orang yang mengenakan seragam yang dia kenali sebagai karyawan kantor Adam."Kamu kenal, Han?" tanya salah seorang temannya lagi, melihat Hani seolah sedang menunggu orang itu membalikkan badan untuk melihat ke arah mereka.
"Setelah sidang putusan minggu depan, datanglah ke kantor. Aku sudah menyiapkan semuanya untuk kamu," ucap Adam siang itu saat bangkit dari tempat duduknya di sebuah restoran mewah di kota itu.Diva mendongak, memandangnya dengan senyuman remeh."Menyiapkan apa?" tanyanya. Sebenarnya Diva sudah tahu apa maksud dari kata-kata lelaki yang sebentar lagi akan menjadi mantan suaminya itu. Namun Diva tak mudah begitu saja untuk merendahkan dirinya. Apalagi di hadapan Adam, yang menurutnya telah menghancurkan impian dan masa depannya."Bagianmu. Itu sudah kewajibanku sebagai mantan suami," jawab Adam singkat. Diva pun melengos mendengar itu. Baginya, ucapan Adam itu adalah sebuah penghinaan."Ambil saja u
"Kalau boleh aku sarankan, pertimbangkan lagi rencanamu untuk menaikkan kasus direktur PT Diwangga Karya itu, Daniel. Itu tidak akan baik untuk karirmu."Kapten Gunardi, lelaki yang masih nampak gagah di usianya yang sudah hampir menginjak masa pensiun itu menatap lekat bawahannya dari kursi kebesarannya.Daniel baru saja menceritakan semua kejadian yang telah menimpanya dan keluarganya pada atasannya itu dan semua hal yang berkaitan dengan kasus PT. Diwangga Karya."Tapi saya sudah merasa dirugikan dengan kelakuan direktur itu, Pak. Saya hanya ingin minta keadilan. Lagipula, dia telah melakukan pelanggaran hukum dengan membuat laporan palsunya. Merekayasa kejadian demi untuk mencapai tujuannya.""Aku ta
"Pak, ada perkembangan terbaru kasus Diwangga," kata seorang ajudan yang baru saja masuk ke ruangan Daniel siang itu.Setelah memerintahkan anak buahnya itu untuk duduk, Daniel pun memeriksa berkas yang baru saja diserahkan."Jadi gudang yang terbakar itu sebenarnya sudah tidak dipakai?" tanya Daniel kemudian. Dahinya nampak berkerut."Betul, Pak. Tim sudah menyelidiki semuanya. Bahkan menurut warga setempat, semuanya juga bilang seperti itu. Jadi, ada kemungkinan ini bukan sabotase, melainkan memang sengaja dibakar."Dahi Daniel makin berkerut."Lalu apa kira kira motifnya?""Itu yang