Bab 43
POV 3
Jodoh, maut, rezeki, memang ditentukan oleh Tuhan. Kita semua tidak dapat mencegah saat kematian datang.
Ada rasa kecewa dalam benak keluarganya Karin. Namun, mereka tidak mampu meluapkan isi hati. Sebab, tidak punya kekuasaan dan kemampuan melawan takdir.
Ibundanya Karin melarang Irfan
Bab 44Irfan saling melirik, menatap sopir itu dari kaca spion. Tidak ada tanda-tanda sopir orang jahat. Namun, pikiran mereka terbagi dua, berharap sopir itu orang baik, tapi masih ragu karena Pak Angga tak mengirimkan sopir."Kalian pasti heran, saya disuruh siapa, ya kan?" Akhirnya pertanyaan itu muncul dari mulut sopir yang tak dikenalnya."Iya, Pak. Jantung saya benar-benar berdegup kencang, khawatir dan cemas jadi satu," tutur Irfan sambil menggenggam tangan istrinya, Anggi."Iya, Pak. Saya memang bukan orang suruhan Pak Angga, saya orang suruhan Pak Irgi." Ucapan sopir membuat mereka berdua menghela napas lega."Astaga, Pak. Saya dari tadi sudah takut," tambah Anggi."Maaf ya Bu, Pak Irgi yang meminta saya untuk diam-diam, sekarang kita ke re
Bab 45"Pah, tenang ya," suruh Anggi turut menghampiri.Kemudian, Pak Anggara dibawa ke tempat duduknya. Lalu diberikan air mineral oleh Anggi. Gita yang mendampinginya pun turut mengelus-elus pundak suaminya."Tadi Eyang makan makanan yang berkolesterol tinggi, lalu jatuh, dan menurut penuturan Dokter yang menangani, katanya ada pembuluh darah yang pecah, kalau Eyang sadar pun pasti mengalami stroke," terang Irfan pada Pak Angga."Astaga, Papa," lirih Pak Angga. Ia sangat mencemaskan kondisi orang tua satu-satunya.Seno, sahabat karibnya Angga mencoba menenangkan dengan diajaknya bicara yang positif. Mengajak Angga untuk berdoa pada Sang Pemilik usia. Mereka berlima ke mushola yang berada di rumah sakit. Melakukan usaha untuk sembuh sudah dilakukan, yaitu dengan masuk ke ICU, agar mendapatkan perawatan medis secara serius.
Bab 46Semua cemas dengan apa yang diutarakan suster tadi. Siapa yang kondisinya menurun? Mungkinkah Irgi Pratama?Anggara Pratama mondar mandir di depan ruangan. Ia terlihat sangat cemas dan khawatir pada papanya. Sebab, orang tuanya hanya tersisa sebelah saja. Mereka baru saja menyimpan kebahagiaan setelah kemelut masalah yang dihadapi keluarga Pratama selesai.Selang sepuluh menit dokter keluar. Mereka memanggil seluruh keluarga Irgi Pratama. "Mohon maaf, Pak, pasien Irgi Pratama telah mengembuskan napas terakhirnya."Ucapan dokter membuat keluarga seketika lemas. Terutama Angga, ia menggelengkan kepalanya seraya tak percaya."Jangan becanda, Dok," ucapnya sambil menggoyangkan tubuh dokter yang berada di hadapannya."Maaf, Pak. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi Tuhan berkehendak lain," terang dokter."Innalilahi wa innailaihi rojiun," ucap kami semua berbarengan.
Bab 47"Apa itu Irfan, Anggi?" tanya Gita. Kemudian diraihnya bingkisan itu."Nyawa harus dibayar dengan nyawa, paham itu keluarga Pratama!" Gita membacakan isi dari bingkisan yang mereka terima. Sebuah ancaman untuk keluarga Pratama. Mereka berdua saling beradu pandang, lalu menatap ke arah Fachri."Mah, tolong jaga baik-baik Fachri ya, kami jadi khawatir dengannya," pesan Anggi pada Gita, mamanya.Kemudian Anggara datang menghampiri, ia pun tengah bersiap untuk berangkat ke kantor. Tadinya Angga ingin fokus di rumah. Namun, entah mengapa perasaan selalu mengingat Irgi, sang ayah, jika ia terus berada di rumah. Jadi, Angga putuskan untuk memadati kegiatan, supaya ia bisa melupakan kenangan bersama almarhum sang ayah.Kemudian mereka berangkat ke kantor. Bingkisan yang mengancamnya dibuang dan menyuruh satpam untuk membakarnya. Angga menggunakan mobil terpisah, ia diantar sopir, sedangkan Irfan mengendarai mobil sendir
Bab 48"Halo, ini siapa?" Telepon pun diputus oleh sang peneror."Dimatikan," ucap Angga. Semua tampak tegang, mereka tidak henti-hentinya saling menatap seraya mencemaskan kondisi keluarga Pratama saat ini. Kemudian, Anggara coba meredam suasana yang tegang dengan menegur Fachri."Fachri, kalau kamu besar, jangan kayak mereka ya, wajahnya terlihat kaku seperti kanebo," celetuk Angga hingga membuat semua tertawa. Seketika suasana langsung mencair.Mereka sejenak melupakan kejadian barusan. Kemudian sampai larut malam mereka coba menunggu telepon misterius tadi. Namun, sudah tidak ada lagi yang menghubunginya.Setiap malam satpam mengelilingi rumah, tapi tidak ada kondisi yang mencurigakan. Semua aman dan tidak ada satu pun yang menurutnya aneh. Entah dari mana teror itu berasal, keluarga Pratama masih men
Bab 49"Kamu orang yang tadi di toilet?" Anggi menganga seketika, ia berharap wanita yang kini berada di dekatnya bukanlah orang yang selama ini meneror keluarganya."Iya, maaf Anda siapa, ya?" tanya wanita yang belum diketahui namanya oleh Anggi.Kemudian Alex menyuruhnya untuk duduk, mereka bertiga diajak duduk di sofa khusus tamu. Anggi tidak ada henti-hentinya menatap wajah wanita yang dari postur tubuhnya mirip Karin. Bedanya dia lebih tinggi dan putih. Style yang dikenakan wanita itu pun sangat sopan, tidak menunjukkan tanda-tanda wanita jahat.Bibir wanita itu merebahkan senyuman, sambil menunduk malu, ia tampak tidak nyaman dengan perilaku Anggi yang menyorotinya tanpa kedip. Padahal Irfan sudah dengan sengaja memberikan kedipan mata seraya tanda untuk bersikap biasa saja melihatnya.Alex duduk di hadapan mereka. Ia mulai bicara pada ketiganya."Jadi ini adiknya Karin, ia lama di Bandung makanya sa
Bab 50"Kita tidak boleh sembarangan nuduh, cari bukti dulu, tapi jangan minta tolong pada Pak Alex. Sebab, khawatir terdengar oleh Sherina," usul Irfan pada Anggi.Kemudian Anggi mengangguk dan naik ke mobil, mereka segera pulang karena matahari sudah hampir tenggelam.Sementara Angga dan Rendi menghentikan penyelidikannya. Mereka melanjutkan pekerjaan yang terbengkalai karena Rendi tidak dapat menghandle pekerjaannya sendirian.Mereka berkompeten jika mengerjakan tugas berdua. Ibaratnya Rendi butuh masukan dari bos nya, begitu juga dengan Angga, ia membutuhkan tenaganya Rendi yang cekatan dalam bekerja. Mereka berdua saling membutuhkan satu sama lainnya.Di Jogja, ia menghabiskan waktu untuk menyelesaikan pekerjaan, istirahat hanya jam makan siang dan jam pulang kantor. Mereka berdua berusaha menyelesaikan semuanya dalam kurun waktu cepat."Hari ini lembur, kalau bisa besok saya sudah terbang lagi
Bab 51"Kamu tahu nggak siapa lelaki itu?" tanya Irfan menyelidik."Nanti saya selidiki lagi, Pak."Kemudian sambungan telepon pun terputus. Arya telah berhasil membuntuti Sherina. Dari keterangannya, membuat Irfan dan Anggi diskusi untuk menyelidiki lebih dalam lagi. Ini tentang dendam kesumat, pasti di hati Sherina berkeinginan membalas apa yang telah diterima oleh Karin. Itu semua dugaan Anggi dan Irfan untuk sementara ini. Begitu juga dengan Anggara Pratama yang menduga semua ulah keluarga dari Karin."Aku semakin yakin, tapi kita harus memiliki bukti akurat. Kamu ada ide nggak, Mas?" tanya Anggi pelan, ia khawatir mamanya mendengar pembicaraan. Sebab, mereka tidak menginginkan Gita cemas berlebihan.Irfan berpikir sejenak, ia tidak mungkin mencari tahu sendirian. Tiba-tiba Anggi mengusulkan ide. "Bagaimana jika saranku waktu itu kita tanyakan kembali pada Sherina, yang menyuruhnya datang ke sini, Mas,"
Bab 72Tidak lama kemudian, berselang beberapa jam kemudian, Sherina dan Satrio datang. Mereka langsung bertemu dengan Anggi dan Irfan di kantor yang nyaris hancur.Sherina mengejutkan sesuatu, ia memberikan informasi yang membuat Satrio terbelalak."Pak, saya tahu pelaku pembakaran kantor Irgi Pratama," jelas Sherina.Anggi dan Irfan tertegun, ia nyaris tak berkedip menatap wajah wanita yang sempat dituduh sebagai penerornya. Kaki Anggi melangkah ke arah Sherina, meskipun berat Sherina hanya menghela napas di hadapan Anggi."Saya tahu, pasti kamu mau menuduh saya lagi, iya kan?" sindir Sherina. Sebelum ditanya ia sudah menebak apa yang akan Anggi lakukan.Kemudian, Irfan menggandeng erat tangan istrinya. Ia tidak ingin Anggi melakukan kesalahan yang kedua kalinya.&nbs
Bab 71Angga langsung menghubungi Rendi. Namun, ia ragu-ragu sebab orang kepercayaannya itu sedang berada di rumah sakit menemani Arya.Tangan Angga dihentak-hentakkan, seraya kebingungan harus menghubungi siapa untuk menugaskan ke Jogja. Sebab, ia sudah amat kelelahan mengurusi urusan di sini.Angga menghela napas panjang. Sedangkan Anggi dan Irfan saling beradu pandangan, mereka berdua tiba-tiba mengangguk."Pah, kami berdua yang ke Jogja, besok pagi berangkat," ucap Irfan membuat mata Angga seketika berair."Apa kalian tidak lelah? Aku khawatir dengan kesehatan kalian," tutur Angga belum mengizinkan mereka berdua."Pah, kami berdua masih muda, sedangkan Papa usianya sudah tidak memungkinkan lagi untuk kecapean, jadi biarkan saja ya, kami belajar mengurus hal yang ekstrim seperti ini," rayu Anggi.Kemudian, Gita merangkul pundak lelaki yang sangat setia padanya, dilingkarkan tangan di leher Angga.
Bab 70"Baiklah, kami bebaskan Sherina dan Satrio berdasarkan bukti yang Bapak berikan, tentunya kami juga akan segera mencari keberadaan saudara Dodi," ucap komandan membuat seketika suasana mencair. Semuanya mengelus dadanya masing-masing seraya lega dengan keputusan yang diambil oleh komandan.Kemudian, komandan memerintahkan petugas untuk membebaskan Sherina dan Satrio tanpa syarat apapun. Mereka berdua dibebaskan karena terbukti tidak bersalah.Semuanya bangkit menyambut kedatangan Sherina dan Satrio. Kemudian, seketika itu juga Alex menyergap tubuh Satrio."Pah," sapa Satrio pada Alex. Meskipun ayah sambung, tapi Alex memperlakukan Satrio seperti anak kandungnya. Mereka berdua melepaskan rasa haru, air matanya pun tak terasa meleleh membasahi pipinya."Kamu sudah bebas, janji Papa sudah ditepati," timpal Alex kepada anaknya.Seisi ruangan berjabat tangan, namun senyum Sherina terlihat sangat terpaksa
Bab 69Setelah dibuka rekaman yang tersimpan. Terdengar suara di antara mereka yang berada di satu meja restoran berdebat."Kenapa kamu lakukan ini sampai terlalu jauh? Bukankah Pak Irgi telah memberikan pesangon cukup besar?" tanya istrinya Dodi. "Kamu tega melihat anak istrimu kini luntang-lantung tidak jelas?" tambahnya lagi dengan nada menekan."Sudahlah, tahu apa kamu urusan lelaki? Sekarang habiskan makanan, kita akan terbang ke Jawa Timur!" Dodi terdengar tambah marah.Kemudian, hening seketika. Setelah itu Dodi terdengar menghubungi seseorang."Candra, tolong kamu habiskan laki-laki yang bernama Arya, dia telah terlalu jauh ikut campur," suruh Dodi melalui sambungan telepon."Gila kamu, Mas! Sudah bersalah malah nyelakain orang! Bukankah janji kamu hanya menakut-nakuti keluarga Pratama? Kenapa sejauh ini?" sentak istrinya."Kamu mau ikut pergi atau di sini?" Pertanyaan terakhir y
Bab 68"Ada apa dengan Arya, Ren?" tanya Anggara. Posisinya yang tadi duduk setelah menyuruh Anggi dan Irfan masuk kini berdiri."Pah, tenang ya, duduk bicaranya biar tenang," pesan Irfan sambil mengelus-elus punggung mertuanya."Arya kecelakaan, Pak," terang Rendi memberikan informasi yang membuat keluarga Pratama kehilangan harapan."Astaga, lalu bagaimana kondisinya?" tanya Angga terkejut sekaligus panik. Lalu mulutnya komat-kamit memberikan informasi pada anak mantu dan sahabatnya yang berada di sebelah Angga."Kondisinya belum sadarkan diri, Pak. Sekarang ada di Rumah Sakit Sentosa," ucapnya membuat Angga tanpa pikir panjang mematikan sambungan teleponnya. Ia menghela napas berat seraya tidak mempercayai takdir."Yuk kita ke Rumah Sakit Sentosa!" ajaknya sambil meraih tas kecil yang ia bawa.Mereka berempat bersiap ke rumah sakit. Kali ini sepasang suami istri itu yang menenangkan p
Bab 67"Saya minta maaf atas tuduhan yang kemarin," ucap Anggi dengan kerendahan hati."Tidak salah dengar? Anggi yang bersikeras menahanku kini minta maaf?" sindir telak Sherina. Sepertinya ada dendam kesumat di dalam hati Sherina.Kemudian, Irfan membuka percakapan dengan memotong pembicaraan Sherina. Ini supaya tidak berlarut-larut dalam dendam."Ya, ini kesalahpahaman, mohon dimaklumi, Sherina. Maaf kami benar-benar baru mengetahui yang sebenarnya," tutur Irfan coba membela istrinya.Hening, seketika suasana hening, Satrio pun menatap lekat ke arah Anggi."Saya tahu, kamu seperti itu karena tuduhan anak buah peneror itu, saya paham betul," timpal Satrio."Saya janji akan membersihkan nama baik kalian nantinya," ucap Anggi.Sedangkan Sherina masih duduk terpaku bersandar dengan santai. Ia merasa menang atas ucapan maaf yang telah dilontarkan Anggi dan Irfan."Saya
Bab 66"Iya, Sayang. Ini Papa ada di kediaman rumah Alex Subroto," ucap Angga membuat Anggi mencelos. Ia sendirian, tidak ada Irfan yang berusaha menenangkan."Pah, jadi aku benar salah tahan orang? Atau bagaimana?" tanya Anggi masih ragu."Ya, ini Bu Lastri telah menceritakan pada kami, sepulang dari Bali ia bolak-balik dari rumah ke perusahaan Alex kadang perusahaan Subroto, Satrio sangat diandalkan kedua perusahaan itu jadi tidak mungkin sempat memikirkan tindakan kriminal, lagi pula, ada urusan apa Satrio dan kita, Nak," ujar Angga semakin membuat Anggi merasa bersalah.Anggi yang sudah tidak tahu lagi harus bicara apa, ia hanya menyesali perbuatannya."Pah, tolong cari peneror yang sebenarnya, aku mohon maaf pada semua," tutur Anggi lalu mematikan sambungan teleponnya.An
Bab 65"Disuruh nyelidikin yang datang mengunjungi Karto? Apa ada yang mengunjunginya?" tanya Irfan penasaran."Iya, Pak. Ini saya sedang mencari keberadaannya, saya cari dari plat nomor kendaraan dulu," jawab Arya."Ya sudah, kalau begitu, nanti saya hubungi lagi ya," ucap Irfan. Kemudian telepon pun ia putus.Dalam hening, Irfan berpikir, kalau ada yang menjenguk Karto, itu artinya Sherina dan Satrio bukanlah orang yang menjadi dalang teror keluarga Pratama. Artinya ia salah tuduh, dan merugikan dua orang.Irfan coba membicarakan hal ini pada istrinya, Anggi."Sayang, kamu tahu nggak barusan Arya bilang apa?" tanya Irfan.Anggi pun menggelengkan kepalanya."Apa itu?" tanya Anggi singkat."Kata
Bab 64"Pah, Papa keluarkan aku dari sini!" ungkap Satrio membuat wajah Sherina yang tadinya marah kini berubah kebingungan."Papa ke sini untuk bicarakan sesuatu pada kalian," jawab Alex."Papa? Ini apa-apaan, Pak? Jadi Satrio ini anak Pak Alex?" tanya Sherina disertai tawa kebingungan."Tenang dulu, Sherina, kamu duduk," suruh Alex.Kemudian, ketika Sherina sudah tenang, Alex mulai bicara padanya. Angga pun turut menyimak Alex bicara. Semua menyoroti Alex."Pertama, saya akan ungkap kenapa Satrio panggil saya Papa. Dia anak tiri saya, jujur saja memang sengaja merahasiakan ini dari perusahaan. Tapi sebagian ada yang sudah tahu," tutur Alex membuat Sherina menghela napas.Sherina duduk dengan posisi tangan menyanggah dagunya."Lalu kenapa Pak Alex rela anaknya di penjara?" tanya Sherina."Saya anggap ini adalah karma untuk saya, dulu saya juga bertindak tanpa mencari