"Sekarang ponselnya ndak aktif, Bu," ucap Fitri yang masih berusaha menghubungi Rudi. Mendengar penuturan perempuan yang sudah dianggap seperti anaknya sendiri itu, Rahayu menghela napasnya. Wanita senja itu terlihat kecewa sekaligus sedih. Harapannya pupus, kini Rahayu semakin yakin kalau putra yang dulu sangat dicintainya sudah melupakannya.Ambar yang secara tidak sengaja mendengar ucapan Fitri dan melihat kesedihan di wajah Rahayu, mencoba untuk tetap menghibur wanita yang disayanginya tersebut. Ambar sepenuhnya sadar jika Rudi sudah menjadi orang asing untuk dirinya, bahkan mungkin untuk Alif juga. Namun, Rahayu adalah wanita yang telah melahirkannya, pasti wanita senja itu juga merindukan lelaki itu."Mungkin dia sibuk, Fit. Jangan diganggu lagi. Nanti, kalau ada waktu pasti Mas Rudi akan menghubungimu," ucap Ambar. "Taksinya sudah menunggu di depan, Bu. Sebaiknya kita segera membawa Alif ke rumah sakit," imbuh Ambar sambil menatap lekat mata Rahayu."Semua sudah kamu siapkan, M
"Bang, Jum'at besok Mbak Ambar ngak bisa bikin nasi kotak," ucap Vina setelah menghampiri Iyan di kamarnya. Lelaki itu terlihat sibuk di depan laptop."Kenapa emang?" tanyanya dengan tatapan yang tetap fokus ke layar laptop."Alif masuk ke rumah sakit," sahut Vina. Saat ini gadis yang tengah menggunakan celana caka pans itu merebahkan tubuh mungilnya di ranjang sang kakak."Kita ke rumah sakit jenguk Alif yuk," ajak Vina setelah memiringkan tubuhnya, kali ini dia menatap intens pada sang kakak."Nggak bisa sekarang, Vin. Aku lagi sibuk," sahut Iyan."Ayo lah, Bang. Aku udah kangen sama Alif. Sejak di wa Mbak Ambar tadi, aku jadi kepikiran Alif terus." "Ntar kalau ini sudah selesai. Kamu udah tahu Alif dirawat di rumah sakit mana?" tanya Iyan akhirnya. Karena sebenarnya dia juga merasa cemas dengan bocah berambut ikal tersebut, padahal mereka tak pernah bertegur sapa. Namun, Iyan sering memperhatikan tingkah pola Alif, ketika mereka sedang makan di warung Ambar. Ketika melihat Alif, d
Ruangan bernuansa klasik dengan warna gold itu nampak megah, berbanding terbalik dengan perasaan Santi yang muram. Dia sangat marah dan kecewa, hingga melampiaskannya dengan sebatang rokok. Perempuan itu benar-benar terluka melihat kemarahan suaminya, karena dia sangat mencintai Rudi dan berharap jika Rudi adalah lelaki terakhir dalam petualangan cintanya."Sebenarnya apa yang terjadi dengan kalian, San?" tanya Samina setelah dia masuk ke kamar putrinya. Santi tak langsung menjawab, dia menghisap rokok sangat dalam kemudian menghembuskannya secara perlahan."Sebaiknya ibu keluar. Saat ini aku sedang pusing," pinta Santi pada wanita yang telah melahirkannya itu. Samina menghela napasnya ketika mendengar perkataan sang buah hati. Tak ingin berdebat, dia pun berbalik hendak keluar."Buk! Sudah ke rumah Pak Dalang?" tanya Santi sebelum Samina benar-benar menghilang dari balik pintu."Sudah, tapi gak ketemu," sahut Samina tanpa menoleh."Harusnya ditunggu dong, Bu. Biar bisa ketemu! seru S
Rahayu pun menitihkan air matanya, perlahan wanita senja itu menunduk untuk menyentuh pundak putranya, kemudian memintanya untuk berdiri."Maafkan aku, Bu." Untuk kesekian kalinya Rudi mengucapkan kata maaf kemudian memeluk ibunya."Masuklah, Alif ada di dalam," ucap Rahayu yang mirip sebuah bisikan. Setelah itu dia pun melanjutkan langkahnya. Rudi terlihat ragu, tetapi sekejap kemudian dia pun mengayunkan langkahnya mengikuti Rahayu."Nenek ...!" seru Alif, bocah itu terlihat bahagia melihat kedatangan neneknya. "Nek, tadi—" Alif tak melanjutkan langkahnya. Bocah berambut ikal itu terperangah tak percaya melihat siapa yang berdiri di belakang neneknya."Ayah!" serunya, membuat Ambar segera menoleh. Rudi tersenyum kemudian berjalan mendekati sang putra. Senyum kebahagiaan terlihat jelas pada wajah keduanya, Rudi dan Alif. Jika Alif tersenyum bahagia, Rudi meneteskan air matanya. Air mata kebahagiaan. Sementara Ambar ikut bahagia ketika melihat senyum mereka di bibir sang putra.Alif
Kegaduhan terdengar dari dalam kamar Santi, kamar paling mewah diantara yang lainnya. Sumi yang baru datang pun segera masuk ke kamar kakaknya, dia khawatir jika sang bapak kembali berulah."Apa yang terjadi, Mbak?" tanya Sumi yang lebih suka dipanggil Mimi itu keheranan melihat kamar yang biasanya selalu rapi itu sekarang berantakan. Gadis yang wajahnya hampir mirip dengan Santi itu mendekati kakak perempuannya. Berkali-kali dia menggeleng sambil berdecak tak percaya."Brengsek!" umpat Santi sambil melempar asal kaleng bekas soft drink yang kesepuluh. Kali ini benda ringan itu mengenai vas bunga yang berada di meja keca. Semua pecah, meninggalkan bunyi yang cukup memekakkan telinga. "Mbak! Kenapa?!" Sumi terpekik melihat barang-barang yang hancur di depannya. Gadis yang menggunakan celana sebatas lutut itu mendekati kakaknya yang terlihat hancur."Mas Rudi sudah keterlaluan, Mi. Dia selalu menolak panggilanku," adunya pada sang adik yang sudah duduk di sebelahnya."Hanya itu? Barang
"Kamu di mana, Mas?" tanya Santi tanpa mengucap salam."Assalamualaikum." Rudi ingin mengawali semua dari sekarang, jika Santi masih ingin bersamanya, walaupun akan sulit baginya jika mengingat kejadian di hotel kemarin."Kamu di mana? Aku mencemaskanmu, Mas!" Santi tak menggubris ucapan salam dari Rudi. Saat ini perasaannya campur aduk, antara senang dan khawatir."Jawab dulu salamnya." Rudi berucap datar."Halah buat, apa? Jangan semakin membuatku emosi, Mas," sahut Santi di seberang sana."Jawablah dulu salamnya, apa kamu nggak bisa?" Rudi masih kekeuh, ingin mendengar Santi membalas salamnya."Wa'alaikumussalam," sahut Santi cepat karena kesal dan terpaksa."Aku sekarang berada di rumah sakit kota Bogor. Mungkin, untuk dua atau tiga hari ke depan aku belum bisa pulang." Rudi berusaha berbicara dengan nada normal, karena sebenarnya dia masih enggan berbicara dengan istrinya tersebut."Rum-rumah sakit? Kamu kenapa, Mas?" Dari suaranya Santi terdengar khawatir dan itu membuat Rudi te
Setelah mendengar kabar jika bapaknya tak sadarkan diri, bukannya bersedih, Santi malah terlihat kesal karena rencananya menyusul sang suami harus tertunda. Wanita dengan dandanan paripurna itu terdengar menggerutu di sepanjang langkanya. "Kenapa akhir-akhir ini selalu saja ada masalah.""Mi, kamu di mana?" tanya Santi setelah panggilannya tersambung pada sang adik."Lagi di jalan, masih nyari Suji. Ada apa?" tanya Sumi dari seberang."Balik sekarang, bapak tak sadarkan diri. Sekarang dia di rumah sakit." Setelah menyebutkan sebuah nama rumah sakit, Santi pun menutup panggilannya."Bik, Mina! Bik!" seru Santi lagi. Pemandangan wanita setengah baya berlari kecil kembali terlihat. Dia harus cepat sampai di depan majikannya, sebelum teriakannya kembali terdengar."Iya, Nya. Loh nggak jadi pergi?" tanyanya spontan. Dia lupa tengah berhadapan dengan sang Nyonya yang enggan ngobrol dengan pembantunya."Banyak tanya kamu ya. Ayo kamu ikut denganku," ajaknya pada sang pembantu."Iya, Nya." Se
"Vin, habis gini kamu ada acara?" tanya Iyan setelah dia pulang dari Masjid."Nggak ada, Bang. Ada apa?" tanya Vina sambil melipat mukenah."Ke rumah sakit, yuk," ajak Iyan, membuat Vina menatapnya tak percaya."Duh, yang kangen," canda Vina. Gadis itu sangat bahagia mendengar ajakan kakaknya. Dari sekian wanita yang dekat dengan Iyan, tak ada satupun yang Vina suka, tapi dia langsung jatuh cinta sama Ambar, dan ingin menyatukan mereka walaupun dia seorang janda."Iya, aku kangen sama Alif." Iyan berkata jujur, kakak beradik itu memang saling terbuka, tak ada rahasia diantara mereka."Aku, aku seperti bersama Dewa ketika berdekatan dengan Alif," imbuh Iyan dengan pandangan menerawang."Bang, Dewa dan Alif itu berbeda, Abang jangan gitu. Kalau memang Abang sayang sama Alif, ya anggap dia seperti Alif, jangan anggap dia seperti Dewa. Dewa sudah tenang di Surga, begitu juga dengan Mbak Farah, Insyaallah. Mengapa Abang harus menyiksa diri? Dulu aku sangat menyukai Mbak Farah, karena dia b