"Tidak usah lah, Raf. Ibu takut!" tahan Bu Ajeng, tak ingin sang anak semakin syok melihat korban kecelakaan tersebut, karena khawatir akan mempengaruhi fokusnya nanti."Gak apa-apa, Bu.""Boleh, Pak. Kebetulan kami belum menemukan identitas para korban. Siapa tahu Bapak mengenal salah satu di antara mereka," ujar perawat laki-laki itu, lalu membantu membukakan penutup di bagian wajah korban kecelakaan itu."Jangan, Raffa!" tahan Bu Ajeng lagi, menarik lengan anaknya hingga sedikit menjauh dari brankar itu. Padahal kain putih itu sudah tersingkap oleh perawat yang membawanya."Ibu tenang, ya. Inshaa Allah Raffa tidak akan kenapa-kenapa. Takutnya, wanita itu adalah salah satu karyawan di kantor. Soalnya Raffa merasa tidak asing dengan wajah itu," jelas Raffa, mencoba memberi pengertian pada ibunya."Nanti kamu jadi tidak tenang saat menyetir, Nak. Atau kita batalkan saja perjalanan malam ini?" usul Bu Ajeng, dengan raut khawatir yang mendalam.Raffa hanya menggeleng dengan seulas senyu
Raffa berpikir beberapa saat, namun hatinya tetap meragu. 'Ini pasti gara-gara aku gak patuh sama ibu,' batinnya."Silakan, Pak."Raffa terpaksa mengangguk dan mengikuti langkah perawat itu. Ia mencoba lebih fokus ketika tirai dibuka.Seorang pria tengah diperiksa oleh dokter dengan selang terpasang di mulut dan hidungnya. Sementara wajah laki-laki tersebut sebagian membengkak dan sulit untuk dikenali. Raffa terfokus pada tangan sebelah kanan pria itu, seperti terkulai tanpa tulang sementara memar terlihat jelas di bagian bahunya.Pria yang bertelanjang dada dengan tato berbentuk ular di dadanya itu tak sadarkan diri. Bagian dada putih bersihnya dipasang alat-alat medis oleh dokter."Evano?" gumam Raffa.**Di ruangan rawatnya Yulia tengah menangis tersedu. Selain merasakan pilu karena sang suami sudah tak lagi peduli, ia juga baru saja dimaki habis-habisan oleh ayah dan adik-adiknya. Ia bahkan kini dibiarkan sendirian di dalam ruanganya, sebab keluarganya benar-benar sudah kecewa. Uc
"Turun, Yulia," pinta Raffa dengan dada bergetar ketakutan."Gak mau, Mas. Aku mau main di sana. Lihatlah, kunang-kunangnya banyak sekali," ucap Yulia seperti anak kecil. Telunjuknya mengarah pada kelap-kelip lampu dari rumah-rumah yang ada di kota tersebut, memang tampak indah jika dilihat dari atas.Raffa masuk dan mendekati sisi jendela tersebut. Lagi-lagi dirinya merasa punya kewajiban untuk menyelamatkan Yulia."Jangan ke sini, Mas! Di sini dingin. Mas Raffa tidak akan sanggup," larang wanita hamil yang tengah dikuasai oleh halusinasinya."Karena di situ dingin, makanya kamu turun. Di sini saja, ya," bujuk Raffa."Apa Mas Raffa masih mau main denganku?" tanya Yulia, layaknya seorang anak yang ingin memiliki teman bermain."Iya. Aku akan main denganmu," jawab Raffa dengan gemetar di sekujur tubuhnya.Belum habis rasa terkejutnya akan kecelakaan yang menimpa Evano, sudah dikejutkan kembali dengan kelakuan Yulia yang di luar nalar."Mas Raffa bohong! Mas sudah gak mau main denganku.
Sekelebat rasa syukur menerpa jiwanya. 'Syukurlah Allah tunjukkan semua ini sekarang, sebelum semuanya terlambat dan jatuh kian dalam.''Ya Allah ... inikah caramu menunjukkan segala kebenarannya terhadapku? Dengan tunai semuanya terbalas secara perlahan.''Yulia kecelakaan dan nyaris gi_la. Lalu sekarang Evano pun mengalami kecelakaan.'"Ada apa sebenarnya, Nak? Mengapa tadi kamu marah-marah?" tanya Bu Ajeng.Raffa menjawabnya dengan terperinci, tanpa ada yang terlewat."Ya Allah ... sungguh kuasa Allah luar biasa. Balasan itu atas ketentuannya, Nak. Kita tidak boleh menilai semua itu apakah balasan atau sekadar ujian," nasehat Bu Ajeng."Iya, Bu. Tapi, apa salah jika Raffa merasa lelah dan bosan dengan semua ini? Raffa benar-benar ingin segera mengakhirinya ...""Itu wajar saja, Nak. Tapi jangan lupa, selalu libatkan Allah dalam setiap tindakan."Pada akhirnya, Raffa dan Bu Ajeng benar-benar meninggalkan kota tersebut dan sudah memasuki kota kelahirannya tepat bersamaan dengan kuman
Raffa menyalakan ponselnya, mencari nama si penelepon di histori teleponnya."Pak Gunawan?" ucapnya, mengernyitkan alis. Pak Gunawan adalah pengacara yang akan membantu proses perceraiannya dengan Yulia. Sebelumnya sudah mengabarkan bahwa, kemungkinan membutuhkan waktu sekitar satu minggu untuk mengurusnya. Tapi hari ini, baru berjalan tiga hari sejak pengumpulan berkas.Tak ingin didera rasa penasaran, Raffa pun segera menelepon balik pengacaranya."Hallo, selamat pagi, Pak Raffa?" sapa pengacaranya begitu menerima telepon dari Raffa."Selamat pagi, Pak Gunawan. Maaf, tadi saya tidak mendengar suara telepon," balas Raffa."Iya. Tidak apa, Pak. Saya mau menyampaikan bahwa, berkas gugatan perceraian Pak Raffa sudah diterima oleh pihak pengadilan dan bahkan sudah dijadwalkan proses sidangnya.""Oh, ya? Secepat itu?" tanya Raffa. Meski ia merasa cintanya untuk Yulia masih tetap ada, namun ia merasa sangat bahagia sudah akan segera bebas dari permasalahan rumah tangganya.Bayangan Raffa,
"Saya masih di kampungnya Ibu Yulia, Pak. Seharusnya sudah kembali sejak kemarin sore, hanya saja, Ibu Yulia hampir melarikan diri saat turun di halaman rumahnya. Kami mengejar Ibu dan akhirnya memutuskan mencari rumah sakit khusus kejiwaan terlebih dahulu. Sesuai pesan Bapak, pastikan Ibu benar-benar dalam kondisi yang baik. Karena merasa Bu Yulia tidak sehat jiwanya, saya pun berinisitif demikian. Makanya saya kemalaman dan menginap di sini," jelas Agus--orang suruhan Raffa.Pria itu pun berpesan agar Yulia disehatkan terlebih dahulu. Namun agaknya, bukan hal mudah menyembuhkan kejiwaan seseorang yang tengah dalam obsesi yang kuat seperti Yulia."Bagus! Saya suka kerja kamu kali ini. Jika sudah beres, segera kembali." Raffa berpesan, sebab ia memerlukan Agus untuk hal lainnya."Iya, Pak. Mohon maaf saya baru bilang sekarang, karena baru sempat megang handphone. Semalam kami lelah sekali, baru sampai rumah pukul 02.00 dini hari." Agus kembali menjelaskan."Tidak apa, Gus. Hati-hati s
PoV AuthorSatu bulan berlalu.Kini Raffa sudah kembali fokus pada karirnya yang sempat terbengkalai oleh sebab permasalahan rumah tangganya. Lelaki itu nyaris terdepak dari jabatannya sebagai direktur personalia, karena sudah sering mangkir dalam pertemuan-pertemuan penting yang seharusnya menjadi kemajuan bagi perusahaan tersebut.Ketika Raffa berada di kampung halaman selama satu minggu, sang pemilik perusahaan mengancam akan menggantikan posisinya oleh orang lain yang lebih berkompeten, jika tidak segera fokus bekerja dan profesional.Raffa tidak ingin kehilangan segalanya. Jika ia tetap bekerja, setidaknya ada banyak senyuman yang akan tetap terjaga menanti uluran tangannya. Para malaikat kecil yang selalu menjadi motivasi Raffa untuk terus berbuat kebaikan.**"Raffa kembali ke kota ya, Bu. Ibu jaga diri di sini. Jika Bi Sri sedang tidak datang, Ibu beli saja untuk makannya. Jangan kerjakan pekerjaan rumah," pesan Raffa sebelum kembali ke kota.Bi Sri adalah orang yang bekerja d
"Khayra sangat mengagumi Mas Raffa, sejak dulu, sejak Mas Raffa memutuskan untuk mencari pekerjaan di kota.""Oh, ya? Kenapa?""Entah. Rasanya sangat berat melepas kepergian Mas Raffa. Apa itu artinya cinta?" tanya Khayra tak yakin."Saat itu kamu masih remaja. Jikapun memang cinta, hanya sekadar cinta monyet." Raffa melemparkan tawa ke arah gadis yang sudah ia anggap seperti adik kandung sendiri. Ia pun merasa tidak mungkin dengan apa yang Khayra katakanan. Usia mereka terpaut 11 tahun, masih terlalu kecil jika Khayra mengaguminya sejak ia hendak merantau."Kalau memang cinta monyet, mengapa rasa itu masih tetap ada hingga sekarang?""Mungkin, apa yang kamu rasakan padaku itu sama seperti dengan rasamu terhadap Zidan. Cinta seorang adik terhadap kakaknya." Raffa mengusap puncak kepala Khayra sejenak malam itu, lalu pergi berbaur dengan para lelaki.Sejak kejadian malam itu, Raffa menjadi canggung setiap kali bertemu dengan Khayra.Dan pagi itu saat berpamitan, Raffa tidak mengatakan
PoV AuthorDengan gagah Raffa keluar dari ruang persidangan. Senyum kepuasan tersirat di wajahnya yang kali ini mengenakan kacamata hitam. Setelan jas warna hitam dengan celana senada, membuatnya terlihat sangat elegan dan misterius.Hasil putusan sidang benar-benar telah memberinya kepuasan. Jeremy mendapatkan hukuman lebih dari delapan belas tahun, karena terjerat pasal berlapis. Kekerasan hingga percobaan pem_bu_nuhan, penggunakan obat-obatan keras dan telah membuka tempat haram berkedok gym."Terima kasih banyak, Pak Endri. Sudah ke sekian kalinya Bapak membantu saya dalam proses hukum yang terpaksa saya ambil. Kalau bukan Bapak yang menjadi pengacara saya, entahlah.""Kembali kasih, Pak. Tapi saya yakin, siapa pun itu, jika Pak Raffa kliennya sudah pasti menang. Bapak tidak bersalah dan terbilang cerdik dalam mengumpulkan bukti. Juga tidak mudah terperangkap oleh lawan," puji Pak Endri pada pria di hadapannya."Ya, berdasarkan pengalaman mungkin ya, Pak." Raffa terkekeh di akhir
PoV RaffaMalam ini, di rumah sakit kembali kami berada. Sore tadi, saat tengah menemani Embun memilih tas, sambil menunggu jam tayang film yang kami tonton, tiba-tiba saja ponselku berdering."Pak, maaf, ini Cyra badannya panas banget." Suara Bi Murni di ujung telepon, sontak saja membuyarkan konsentrasiku. Kutatap Embun yang tengah memandangku penuh khawatir."Ya Allah ... oke, Bi, saya segera pulang." Tanpa memberitahu Embun lebih dulu, kuputuskan untuk membatalkan acara nonton film."Ada apa, Yah?" tanya Embun tak sabar, ketika kumatikan panggilan."Cyra sakit, Sayang. Badannya panas," jelasku."Ya Allah! Ayo, Mas, kita pulang sekarang." Embun menarik jemariku, melupakan hasratnya untuk membeli tas.Kami berjalan cepat keluar dari mal, sore tadi. Melupakan tiket menonton yang sudah terlanjur dibeli, serta meninggalkan mobil yang belum selesai dipoles di bengkel.Sepanjang perjalanan, Embun sangat gelisah. Sesekali ia mengusap ujung netranya dengan tisyu, seperti tengah merasakan p
PoV Author"Saya minta maaf, Pak atas kejadian ini. Anak saya baru belajar nyetir," ucap seorang wanita berusia kisaran 60 tahun. Sementara anaknya yang menabrak adalah seorang gadis muda berpakaian seksi."Ndin, minta maaf!" suruh sang Ibu yang dandanannya tak kalah mentereng.Embun dan Raffa yang sejak tadi diam di depan mobil mereka, tampak risih melihat kedua wanita beda usia yang terlihat kurang senonoh."Ma-maaf, Mas, aku gak sengaja," ucap gadis bertubuh tinggi itu, sedikit terbata-bata."Ya, sudah, gak pa-pa. Lain kali hati-hati," pesan Raffa, sambil berjalan ke arah belakang mobilnya untuk mengecek kerusakan yang terjadi."Nanti kami ganti rugi atas kerusakannya, Pak." Ibu dari wanita itu menyusul dan menawarkan ganti rugi.Ada yang terasa tak enak didengar oleh Embun. Ibu dari gadis itu sudah berumur, tetapi memanggil Bapak pada suaminya. Sementara gadis itu, justeru memanggil suaminya dengan sebutan Mas."Ya ... sepertinya memang harus begitu. Tergores cukup dalam bamper mo
"Bunda gak sakit, Yah." Bibir manis istriku justeru melengkungkan senyuman."Mak-maksudnya?" Aku sedikit heran. Jelas-jelas ia sakit sejak tiga hari lalu, bahkan kini sampai tak sadarkan diri dan terpaksa dilarikan ke rumah sakit. Mengapa raut wajahnya justeru menampakkan kebahagiaan?"Dareen mau punya adik. Seperti yang Ayah mau, tambah anak biar tambah ramai dan tambah rezeki. Baju-baju hamil aku juga akan terpakai lagi," kekeh Embun, sedikit menggodaku.Allah ... benarkah apa yang barusan kudengar? Embun, istriku tengah mengandung untuk yang ke tiga kalinya, di usianya yang sudah tak muda lagi. Aku sangat bahagia, akan tetapi, ada rasa takut yang menggelayut perlahan. Usianya sudah bukan usia yang pantas untuk melahirkan. Apakah Embun-ku masih mampu melahirkan anak kami? Buah cinta kami yang ke sekian."Bunda serius?" tanyaku, untuk memastikan.Embun-ku mengangguk dengan wajah teduh nun manisnya. Layaknya tetesan embun pagi yang senantiasa memberikan kesejukan, senyumannya terus te
Aku terkejut bukan main. Dalam persidangan, Jeremy mengaku telah mengenal Yulia sejak lama. Ia juga mengaku sudah mengenal Evano. Kedua pasangan selingkuh yang kini telah sama-sama meninggal itu, rupanya sudah menyisakan luka di hati Jeremy."Jika saja saat itu kamu hanya melepaskan Yulia tanpa membu_nuhnya, aku tidak akan segi_la ini ingin menghabisimu!""Apa? Yulia? Membu_nuh? Aku tidak membu_nuh siapa pun. Baik Yulia maupun Evano, sama meninggal karena ulah mereka sendiri.""Ya! Yulia ma_ti karena tergi_la ingin bertahan denganmu!""Dia kecelakaan, karena berusaha mengambil alih kendaraan dalam kondisi yang lemah, Jeremy. Kamu tahu apa soal Yulia?" selidikku saat persidangan itu."Aku tau semua tentang dia. Aku tau betapa besar lukanya karena mencintaimu. Aku tau seberapa hancur Yulia saat kau tinggalkan! Kamu terlalu naif, Baji_ngan!""Mengapa aku yang disalahkan? Mereka telah selingkuh sampai Yulia yang kala itu masih sah menjadi istriku hamil oleh selingkuhannya."Kemarin, amara
Pagi yang begitu cerah, menampakkan semburat jingganya di sela jendela kamar kami. Kubuka selimut berwarna ungu, yang mana sudah tak menampakkan keberadaan wanita tercantik yang selalu tidur di sisiku.Pastilah wanita cantik berwajah teduh itu sudah sibuk mengurus rumah, sebelum anak-anak kami terbangun. Padahal, adzan subuh saja belum berkumandang.Hari ini adalah minggu, yang artinya aku tidak pergi ke kantor. Akan kumanfaatkan hari libur ini untuk membantu meringankan tugas istriku. Salah. Semua tugas rumah adalah tugasku, namun Embun memilih berbakti padaku dan mengurusnya sebagai sebuah ungkapan kasihnya."Sayang ..." Kupanggil wanita berambut hitam sepunggung itu, di balik dinding sekat ruang makan dan dapur."Eh, Yah. Sudah bangun?" tanyanya dengan lembut. Tentu saja wanitaku tak ingin suara kami mengganggu tidur yang lainnya."Udah, dong!" Kulingkarkan tangan di perutnya, menyandarkan dagu di bahunya yang sudah menguarkan wangi sabun dan shampo."Bunda sudah mandi?" selidikku
Di kantor polisi, Raffa menyerahkan dua orang pelaku pemu_kulan terhadap dirinya. Keduanya tak menggunakan penutup wajah, sehingga dengan jelas Raffa dan pihak berwajib mengenali pelaku itu.Saat di jalan tadi, beruntung ada petugas keamanan komplek yang sedang berkeliling. Mereka melihat Raffa tengah diserang oleh dua orang pria muda yang membawa sen_jata ta_jam.Raffa dibantu oleh tiga orang petugas keamanan komplek untuk meringkus dua pemuda itu dan membawanya ke kantor polisi."Siapa nama kalian?" tanya Pak Polisi yang menginterograsi pelaku itu."Dindin, Pak," jawab salah satunya, memang tak menyebutkan nama aslinya."Saya Bimo, Pak," kata pemuda lainnya, pun sengaja menyebutkan nama yang digunakan dalam gengnya."Kalian mau mengambil apa dari Bapak Raffa ini?""U--uang, Pak. Apa saja yang bisa diuangkan," kata Dindin setengah terbata."Bohong! Saya yakin, ada orang lain yang mengendalikan kalian. Cepat, katakan!" sentak Raffa tak sabar.Bimo dan Dindin menggeleng dengan cepat. K
PoV Author"Ya Allah, Yah, ini kenapa?" tanya Embun dengan mata berkaca."Gak pa-pa, Sayang. Luka kecil," balas Raffa, menoleh pada sumber suara di mana sang istri sudah berdiri di belakangnya."Sini aku bantu," pinta Embun, merebut plester untuk merekatkan perban."Ayah bisa, kok, Bun. Kamu sudah makan?" tanya Raffa, mendongak ke wajah sang istri yang hanya berjarak beberapa senti saja dari dahinya.Embun menggeleng. Jangankan ingat makan, hati dan perasaannya sudah tak tenang sejak siang."Habis ini kita makan sama-sama. Anak-anak sudah tidur?""Sudah." Embun yang masih dipenuhi akan tanya, masih malas untuk berkata banyak. Namun ia tak dapat menutupi rasa khawatirnya setelah melihat suaminya terluka."Maaf, ya, Ayah pulang telat." Tangan Raffa beralih ke puncak kepala sang istri yang tak tertutup hijab, kemudian mendekat hendak menciumnya.Embun menjauh, tanpa melepaskan tangannya dari dada sang suami. "Jelaskan, ada apa?" pintanya dengan tatapan tak mengenakan bagi Raffa."Oke. Ta
PoV Embun"Siapa Diana, Yah?" tanyaku, segera mengurai pelukan dan menatap sepasang bola matanya dalam. Dada ini terasa bergetar, takut sekali menjadi Mas Raffa di beberapa tahun lalu.Lelakiku meraih ponselnya, lalu membuka chat yang masuk dari kontak bernama Diana itu. Ia tak segera menjawab ucapanku, malah buru-buru membalas chat itu."Siapa?" ulangku, merampas ponsel di tangannya dan menjauhkan dari jangkauannya."Ya ampun, Bunda. Bukan siapa-siapa. Coba dibaca isi chatnya," suruh Mas Raffa, seperti tidak terjadi apa-apa. Ah, ya, mungkin memang hanya ketakutanku saja yang berlebihan.[Bos, besok si Jeje minta diramein lagi gymnya. Sehari lagi saja, buat mancing pengunjung.] Aku membacanya dengan sangat hati-hati. Sekilas memang tidak ada yang aneh. Hanya saja, mengapa nama pengirimnya nama perempuan?"Diana ini teman kamu? Ikut nge-gym juga?" cecarku."Lihat saja profil kontak itu." Mas Raffa bukannya menjawab, malah memintaku memeriksa detail profil kontak bernama Diana ini."Nam