"Hanya hadiah kecil. Tandatangan saja, nanti juga kamu akan tahu sendiri.""Aku baca dulu, ya, Mas." Yulia ingin meraih berkas di tangan Raffa, namun segera Raffa merebutnya."Kamu tidak percaya padaku? Baiklah. Tidak usah!" Raffa menarik dan memeluk berkas itu."Mas ... sini, biar aku tandatangai," bujuk Yulia, lagi-lagi ia tidak ingin membuat Raffa kecewa.Yulia juga ingat pada permintaannya beberapa tahun lalu."Mas, kita belum punya rumah, lho.""Ini rumah kita, Sayang.""Beda, Mas. Rumah ini hadiah dari Ibumu.""Sama saja.""Tapi aku ingin punya rumah lagi, dari hasil keringatmu. Setidaknya, kalau kita sedang ada masalah, bisa kabur ke rumah itu. He he he ... tidak perlu kabur ke rumah orang tua masing-masing.""Tidak akan, jika tujuannya itu. Cukup satu rumah, agar tidak ada di antara kita yang lari dari masalah. Gak usah kabur-kabur."'Mungkin saja Mas Raffa ingin membelikan rumah untuk kami. Bisa saja, 'kan rumah itunia hadiahkan untukku atas kehamilanku. Tapi, aku takut ia ak
"Hai, Yulia!"Yulia terperanjat melihat motor yang amat ia kenali, lantas mematikan keran air dan berjalan mendekat ke arah pagar rumahnya."Mau apa kamu ke sini?" tanyanya panik. Ia sampai beberapa kali menoleh ke sekitar, khawatir ada yang melihat."Mau memastikan, apakah dirimu masih aman di sini?""Tentu saja aman. Kehadiranmu yang membuatku tidak aman!" tegasnya, penuh penekanan di akhir kalimat."Oh, ya? Bukankah aku ini bagaikan dewa yang hadir mengusir kesepianmu?" sindir pria yang masih duduk di atas jok motornya."Cih!" Yulia berdecih. "Pergilah, sebelum ada yang melihat. Jangan buat posisiku semakin sulit," pintanya."Aku akan pergi, setelah kamu menyepakati sebuah perjanjian," pungkas pria berhelm fullface warna hitam itu."Gak akan. Sedikitpun, aku tidak akan lagi percaya padamu. Aku akan berbakti pada suamiku.""Ha ha ha ...! Yakin?" tanya pria yang tak lain adalah Evano. Ia menyalakan layar ponselnya, lalu menekan tombol segitiga, memutar sebuah rekaman video panas anta
Ayah Yulia datang bersama kedua adiknya. Besok adalah acara pengajian empat bulanan kehamilan Yulia. Sementara ibunya Raffa akan datang besok pagi."Nurul ...!" Yulia memekik gembira, menyambut adik bungsunya yang baru saja turun dari taksi online."Mbak!" Gadis berusia tujuh belas tahun itu pun membalas pelukan sang kakak dengan erat."Ayo, Pak, Dek." Yulia pun menyambut adik pertama dan ayahnya, mengajak serta untuk masuk ke dalam rumah."Sehat, Nak?" tanya Pak Sujita--ayah Yulia, saat sang anak sulung menyalaminya."Alhamdulillah sehat, Pak. Bapak dan adik-adik juga sehat, 'kan? Maaf, ya, Yulia merepotkan." Tangannya terus menggenggam tangan keriput laki-laki yang merupakan cinta pertamanya, hingga ke depan pintu."Nurul seneng, deh, kalo nginap di sini. Rumahnya luas, adem, kasurnya juga nyamaaan ... gak kayak di rumah kita," ungkap Nurul, ketika menginjakkan kaki di rumah kakaknya."Harus disyukuri, Rul. Sudah bagus Mas Raffa yang bantu kita buat biaya sekolah dan makan sehari-ha
"Iya, kayaknya. Mbak lupa naruh kuncinya," tutur Yulia semakin berdebar kuat. Ia takut keluarganya mencium keretakan dalam rumah tangganya."Yah! Aneh, nih Mbak Yulia. Masa, di rumah sendiri gak ingat naruh kunci. Harusnya, biarkan tetap menempel di sana." Nurul mencebik."Kita ke atas aja, ya." Yulia menarik tangan adik bungsunya, sebelum sang ayah mempertanyakan hal itu."Nanti sudah sampai atas, jangan-jangan dikunci juga dan Mbak gak tau kuncinya di mana," tukas Nurul."Enggak. Udah, ayo!"**Tanpa Yulia undang, beberapa orang berseragam putih khas juru masak datang membawa makanan yang sudah siap dihidangkan. Juga ada beberapa orang lainnya yang akan memasang hiasan minimalis untuk menyambut tamu."Ini, sih, bukan kecil-kecilan, Mbak."Yulia tersenyum, hatinya dipenuhi bunga-bunga. Ia merasa suaminya benar-benar perhatian meski sikapnya tengah membeku.Selesai mendekor, mereka pun pulang."Permisi, Mbak," ucap dua orang di depan pagarnya. Satu wanita dan satu laki-laki."Iya. Ada
"Kenapa, Nak?" Ayahnya tampak panik, menggeser anak lelakinya dan duduk di samping Yulia."Pak, perut Yulia sakit. Sepertinya harus istirahat," keluh Yulia, memanfaatkan momen keram perutnya."Iya, iya. Kamu sabar, ya. Sudah, bersandar di sini saja." Pak Sujita yang sudah terlanjur penasaran dengan isi video tersebut, seolah tak mengijinkan Yulia pergi."Yulia ke kamar saja, Pak. Tolong suruh mereka pulang," mohonnya dengan wajah memelas.Pak Sujita mulai dilema, antara tetap menyaksikan pertunjukkan yang entah isinya apa, atau mengantar sang anak ke kamarnya. Ia menoleh lagi pada televisi yang kembali menyala.Yulia kian menegang. Ia tak tahu harus berbuat apa lagi. Bu Ajeng tiba-tiba saja berucap, "Keram perut ketika hamil sudah biasa terjadi, apalagi ketika ibu hamil sedang dalam kepanikan. Duduklah, biar kamu gak panik."Video pun kembali berputar dan kali ini mempertontonkan percakapan Raffa dengan dokter kandungan Yulia yang dengan jelas mengatakan tentang kedatangan Yulia dan E
PoV RaffaHari ini aku berencana memberikan kejutan kecil untuk Yulia, istriku yang paling kusayangi setelah ibu. Sebetulnya aku merasa bimbang. Karena jujur saja, hati ini masih merasa tak sanggup melihat lelehan air mata di wajah Yulia.Tapi demi memberikan efek jera, aku rasa tak masalah melakukannya.Semua foto dan video yang bersangkutan dengan perbuatan Yulia dibelakangku, sudah kusatukan dalam satu file. Kutugaskan dua orang anak buah untuk mengaturnya.Dua hari tinggal terpisah dengan Yulia, tak sekalipun kuhubungi dirinya. Biarkan saja ia berpikir sendiri tentang kesalahan dan nasibnya. Tapi tak kusangka, baru saja aku pergi, dia sudah didatangi oleh kambing jantannya.Tentu saja hal itu menjadi kesempatan yang baik bagiku. Benar-benar menguntungkanku yang selama ini memang belum cukup bukti jika wanita di dalam foto dan video itu adalah Yulia. Berkat instingku yang ingin memasang CCTV di sana, semua pekerjaan menjadi lebih mudah.Diriku memang lemah. Entah karena cinta yang
"Ibu percaya, anak ibu bisa bersikap bijak." Senyuman itu bagaikan penyejuk dalam teriknya mentari."Inshaa Allah, Bu." Kubalas senyuman teduh ibuku.Kulihat dari ekor mataku, Pak Sujita sudah mampu duduk di sofa yang tengah kuhadapi. Tapi, napasnya terlihat sangat sesak hingga terdengar suara napas berat itu."Raffa, duduklah, Nak." Pria yang usianya tak jauh dengan almarhum ayahku itu, menepuk sofa di sampingnya.Kuanggukkan kepala, tersenyum tipis dan mendudukkan diri di sisinya. Kulihat Satya pun menghampiri kami, begitu pun Yulia yang baru datang dari dapur membawa bejana dan handuk kecil."Mas, kuobati dulu, ya." Yulia mencelupkan handuk itu ke dalam air, memerahnya dan siap menempelkan handuk itu ke hidungku. Namun pikiranku mendorongku untuk menolaknya. Kutepis dengan halus tangannya."Raffa, apa benar semua yang baru saja Bapak lihat? Apa artinya, Yulia telah selingkuh darimu?" tanya Bapak mertuaku.Aku tak bisa menjawab. Aku menoleh pada wanita yang telah sembilan tahun ini
"Aku pun minta maaf, karena sudah mempermalukanmu. Dan maafkan juga karena ternyata aku didiagnosa infertil. Kesuburanku terganggu karena suatu penyakit." Yulia mendongak dengan mulut ternganga. Ia membuka matanya lebar-lebar, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja kukatakan."Benarkah?" tanya Yulia bersamaan dengan Ibuku.Aku memang belum mengatakan ini pada ibu, karena takut beliau semakin khawatir. Sementara masalah pengkhianatan Yulia, sudah kujelaskan sejak kemarin."Iya, Bu. Hasil pemeriksaannya baru keluar kemarin pagi," jawabku ramah."Ya Allah, anak Ibu." Wanita cantik yang telah melahirkanku itu mendekat, lantas meminta Yulia untuk bergeser. Ibu memelukku, membagi kekuatan padaku."Ibu tenang, ya. Aku baik-baik saja," ucapku, mengusap lelehan air mata di pipinya."Baik-baik saja, bagaimana? Pasti saat ini hatimu sangat hancur, Nak." Ibu menangis di balik bahuku. Bisa kurasakan debaran keras di dadanya. Ya Allah, jangan biarkan wanita tercintaku menangisi deritaku."Pe
PoV AuthorDengan gagah Raffa keluar dari ruang persidangan. Senyum kepuasan tersirat di wajahnya yang kali ini mengenakan kacamata hitam. Setelan jas warna hitam dengan celana senada, membuatnya terlihat sangat elegan dan misterius.Hasil putusan sidang benar-benar telah memberinya kepuasan. Jeremy mendapatkan hukuman lebih dari delapan belas tahun, karena terjerat pasal berlapis. Kekerasan hingga percobaan pem_bu_nuhan, penggunakan obat-obatan keras dan telah membuka tempat haram berkedok gym."Terima kasih banyak, Pak Endri. Sudah ke sekian kalinya Bapak membantu saya dalam proses hukum yang terpaksa saya ambil. Kalau bukan Bapak yang menjadi pengacara saya, entahlah.""Kembali kasih, Pak. Tapi saya yakin, siapa pun itu, jika Pak Raffa kliennya sudah pasti menang. Bapak tidak bersalah dan terbilang cerdik dalam mengumpulkan bukti. Juga tidak mudah terperangkap oleh lawan," puji Pak Endri pada pria di hadapannya."Ya, berdasarkan pengalaman mungkin ya, Pak." Raffa terkekeh di akhir
PoV RaffaMalam ini, di rumah sakit kembali kami berada. Sore tadi, saat tengah menemani Embun memilih tas, sambil menunggu jam tayang film yang kami tonton, tiba-tiba saja ponselku berdering."Pak, maaf, ini Cyra badannya panas banget." Suara Bi Murni di ujung telepon, sontak saja membuyarkan konsentrasiku. Kutatap Embun yang tengah memandangku penuh khawatir."Ya Allah ... oke, Bi, saya segera pulang." Tanpa memberitahu Embun lebih dulu, kuputuskan untuk membatalkan acara nonton film."Ada apa, Yah?" tanya Embun tak sabar, ketika kumatikan panggilan."Cyra sakit, Sayang. Badannya panas," jelasku."Ya Allah! Ayo, Mas, kita pulang sekarang." Embun menarik jemariku, melupakan hasratnya untuk membeli tas.Kami berjalan cepat keluar dari mal, sore tadi. Melupakan tiket menonton yang sudah terlanjur dibeli, serta meninggalkan mobil yang belum selesai dipoles di bengkel.Sepanjang perjalanan, Embun sangat gelisah. Sesekali ia mengusap ujung netranya dengan tisyu, seperti tengah merasakan p
PoV Author"Saya minta maaf, Pak atas kejadian ini. Anak saya baru belajar nyetir," ucap seorang wanita berusia kisaran 60 tahun. Sementara anaknya yang menabrak adalah seorang gadis muda berpakaian seksi."Ndin, minta maaf!" suruh sang Ibu yang dandanannya tak kalah mentereng.Embun dan Raffa yang sejak tadi diam di depan mobil mereka, tampak risih melihat kedua wanita beda usia yang terlihat kurang senonoh."Ma-maaf, Mas, aku gak sengaja," ucap gadis bertubuh tinggi itu, sedikit terbata-bata."Ya, sudah, gak pa-pa. Lain kali hati-hati," pesan Raffa, sambil berjalan ke arah belakang mobilnya untuk mengecek kerusakan yang terjadi."Nanti kami ganti rugi atas kerusakannya, Pak." Ibu dari wanita itu menyusul dan menawarkan ganti rugi.Ada yang terasa tak enak didengar oleh Embun. Ibu dari gadis itu sudah berumur, tetapi memanggil Bapak pada suaminya. Sementara gadis itu, justeru memanggil suaminya dengan sebutan Mas."Ya ... sepertinya memang harus begitu. Tergores cukup dalam bamper mo
"Bunda gak sakit, Yah." Bibir manis istriku justeru melengkungkan senyuman."Mak-maksudnya?" Aku sedikit heran. Jelas-jelas ia sakit sejak tiga hari lalu, bahkan kini sampai tak sadarkan diri dan terpaksa dilarikan ke rumah sakit. Mengapa raut wajahnya justeru menampakkan kebahagiaan?"Dareen mau punya adik. Seperti yang Ayah mau, tambah anak biar tambah ramai dan tambah rezeki. Baju-baju hamil aku juga akan terpakai lagi," kekeh Embun, sedikit menggodaku.Allah ... benarkah apa yang barusan kudengar? Embun, istriku tengah mengandung untuk yang ke tiga kalinya, di usianya yang sudah tak muda lagi. Aku sangat bahagia, akan tetapi, ada rasa takut yang menggelayut perlahan. Usianya sudah bukan usia yang pantas untuk melahirkan. Apakah Embun-ku masih mampu melahirkan anak kami? Buah cinta kami yang ke sekian."Bunda serius?" tanyaku, untuk memastikan.Embun-ku mengangguk dengan wajah teduh nun manisnya. Layaknya tetesan embun pagi yang senantiasa memberikan kesejukan, senyumannya terus te
Aku terkejut bukan main. Dalam persidangan, Jeremy mengaku telah mengenal Yulia sejak lama. Ia juga mengaku sudah mengenal Evano. Kedua pasangan selingkuh yang kini telah sama-sama meninggal itu, rupanya sudah menyisakan luka di hati Jeremy."Jika saja saat itu kamu hanya melepaskan Yulia tanpa membu_nuhnya, aku tidak akan segi_la ini ingin menghabisimu!""Apa? Yulia? Membu_nuh? Aku tidak membu_nuh siapa pun. Baik Yulia maupun Evano, sama meninggal karena ulah mereka sendiri.""Ya! Yulia ma_ti karena tergi_la ingin bertahan denganmu!""Dia kecelakaan, karena berusaha mengambil alih kendaraan dalam kondisi yang lemah, Jeremy. Kamu tahu apa soal Yulia?" selidikku saat persidangan itu."Aku tau semua tentang dia. Aku tau betapa besar lukanya karena mencintaimu. Aku tau seberapa hancur Yulia saat kau tinggalkan! Kamu terlalu naif, Baji_ngan!""Mengapa aku yang disalahkan? Mereka telah selingkuh sampai Yulia yang kala itu masih sah menjadi istriku hamil oleh selingkuhannya."Kemarin, amara
Pagi yang begitu cerah, menampakkan semburat jingganya di sela jendela kamar kami. Kubuka selimut berwarna ungu, yang mana sudah tak menampakkan keberadaan wanita tercantik yang selalu tidur di sisiku.Pastilah wanita cantik berwajah teduh itu sudah sibuk mengurus rumah, sebelum anak-anak kami terbangun. Padahal, adzan subuh saja belum berkumandang.Hari ini adalah minggu, yang artinya aku tidak pergi ke kantor. Akan kumanfaatkan hari libur ini untuk membantu meringankan tugas istriku. Salah. Semua tugas rumah adalah tugasku, namun Embun memilih berbakti padaku dan mengurusnya sebagai sebuah ungkapan kasihnya."Sayang ..." Kupanggil wanita berambut hitam sepunggung itu, di balik dinding sekat ruang makan dan dapur."Eh, Yah. Sudah bangun?" tanyanya dengan lembut. Tentu saja wanitaku tak ingin suara kami mengganggu tidur yang lainnya."Udah, dong!" Kulingkarkan tangan di perutnya, menyandarkan dagu di bahunya yang sudah menguarkan wangi sabun dan shampo."Bunda sudah mandi?" selidikku
Di kantor polisi, Raffa menyerahkan dua orang pelaku pemu_kulan terhadap dirinya. Keduanya tak menggunakan penutup wajah, sehingga dengan jelas Raffa dan pihak berwajib mengenali pelaku itu.Saat di jalan tadi, beruntung ada petugas keamanan komplek yang sedang berkeliling. Mereka melihat Raffa tengah diserang oleh dua orang pria muda yang membawa sen_jata ta_jam.Raffa dibantu oleh tiga orang petugas keamanan komplek untuk meringkus dua pemuda itu dan membawanya ke kantor polisi."Siapa nama kalian?" tanya Pak Polisi yang menginterograsi pelaku itu."Dindin, Pak," jawab salah satunya, memang tak menyebutkan nama aslinya."Saya Bimo, Pak," kata pemuda lainnya, pun sengaja menyebutkan nama yang digunakan dalam gengnya."Kalian mau mengambil apa dari Bapak Raffa ini?""U--uang, Pak. Apa saja yang bisa diuangkan," kata Dindin setengah terbata."Bohong! Saya yakin, ada orang lain yang mengendalikan kalian. Cepat, katakan!" sentak Raffa tak sabar.Bimo dan Dindin menggeleng dengan cepat. K
PoV Author"Ya Allah, Yah, ini kenapa?" tanya Embun dengan mata berkaca."Gak pa-pa, Sayang. Luka kecil," balas Raffa, menoleh pada sumber suara di mana sang istri sudah berdiri di belakangnya."Sini aku bantu," pinta Embun, merebut plester untuk merekatkan perban."Ayah bisa, kok, Bun. Kamu sudah makan?" tanya Raffa, mendongak ke wajah sang istri yang hanya berjarak beberapa senti saja dari dahinya.Embun menggeleng. Jangankan ingat makan, hati dan perasaannya sudah tak tenang sejak siang."Habis ini kita makan sama-sama. Anak-anak sudah tidur?""Sudah." Embun yang masih dipenuhi akan tanya, masih malas untuk berkata banyak. Namun ia tak dapat menutupi rasa khawatirnya setelah melihat suaminya terluka."Maaf, ya, Ayah pulang telat." Tangan Raffa beralih ke puncak kepala sang istri yang tak tertutup hijab, kemudian mendekat hendak menciumnya.Embun menjauh, tanpa melepaskan tangannya dari dada sang suami. "Jelaskan, ada apa?" pintanya dengan tatapan tak mengenakan bagi Raffa."Oke. Ta
PoV Embun"Siapa Diana, Yah?" tanyaku, segera mengurai pelukan dan menatap sepasang bola matanya dalam. Dada ini terasa bergetar, takut sekali menjadi Mas Raffa di beberapa tahun lalu.Lelakiku meraih ponselnya, lalu membuka chat yang masuk dari kontak bernama Diana itu. Ia tak segera menjawab ucapanku, malah buru-buru membalas chat itu."Siapa?" ulangku, merampas ponsel di tangannya dan menjauhkan dari jangkauannya."Ya ampun, Bunda. Bukan siapa-siapa. Coba dibaca isi chatnya," suruh Mas Raffa, seperti tidak terjadi apa-apa. Ah, ya, mungkin memang hanya ketakutanku saja yang berlebihan.[Bos, besok si Jeje minta diramein lagi gymnya. Sehari lagi saja, buat mancing pengunjung.] Aku membacanya dengan sangat hati-hati. Sekilas memang tidak ada yang aneh. Hanya saja, mengapa nama pengirimnya nama perempuan?"Diana ini teman kamu? Ikut nge-gym juga?" cecarku."Lihat saja profil kontak itu." Mas Raffa bukannya menjawab, malah memintaku memeriksa detail profil kontak bernama Diana ini."Nam