Merasa boros saat mengajak kencan Ratih ke luar, Ali memutuskan untuk pacaran di rumah kekasihnya saja. Pasti akan ngirit uang dan bebas melakukan apa yang ia suka.
“Aku main ke rumahmu ya!” pinta Ali saat menjemput dan diiyakan oleh sang pacar.
“Aku saja yang bawa motor!” Dengan cepat Ratih menyambar kunci yang dipegang Ali.
Bak Valentino Rossi, Ratih melajukan motor matic sang pacar. Sedikit membuat Ali ketakutan.“Yang, pelan-pelan!” titahnya.
“Biar cepat sampai,” sahut Ratih santai.
Benar saja, tak butuh waktu setengah jam, mereka sudah sampai di daerah Senin. Ratih memarkir motor di halaman rumahnya yang asri.
“Assalamualaikum.” Ali dan Ratih memberi salam pada Umar, ayahnya Ratih.
“Yang, aku tinggal mandi dulu ya! Kamu ngobrol dulu sama Bapak,” ucap Ratih hanya diiyakan oleh Ali.
Sedikit gugup Ali berhadapan dengan Umar
Minggu yang indah. Sri dijemput oleh Saka dan kakak serta iparnya untuk jalan-jalan ke Monas. Tak butuh lama Innova milik ipar Saka sudah masuk parkiran tempat wisata murah meriah di ibu kota itu.“Akhirnya, aku bisa tahu Monas!” teriak Tara bahagia.“Seneng ga?” tanya Saka lembut kepada ponakannya yang baru berusia enam tahun.“Seneng, Om,” sahutnya girang.Sri menyewa tikar untuk duduk di taman Monas. Obrolan hangat mengalir dari empat orang itu. Sedang Tara, asyik bermain sendiri dengan menyewa ottoped.“Sri, dari mana kalian ketemu?” tanya Surya, sang ipar Saka.“Waktu itu pernah ketemu di Dufan pas pabrik Saka Family Day,” sahut Sri.“Tapi, setelah itu loss contac, ga pernah teleponan. Padahal saling tukeran nomor hape” lanjut Saka.“Terus, bagaimana ceritanya bisa ketemu lagi?” tanya Imaz, kakak kedua Saka.&ldqu
Ali masih kepikiran dengan obrolan di rumah Ratih tentang banyaknya modal untuk menikahi cewek Sunda. Sudah dua kali ia gagal nikah karena terlalu besarnya modal nikah. Sri yang meminta tiga puluh juta. Amoy yang meminta seratus juta. Lalu kini, Ratih meminta lima puluh juta.“Yang, jadi ke rumah kamu, ga?” Ratih yang baru ke luar dari bank membuyarkan lamunan Ali.“Jadi dong,” sahut Ali tersenyum menyambut sang kekasih.“Ya sudah, kita mampir beli oleh-oleh dulu ya!”Ratih membeli donat J-Co. brownies Amanda dan parcel buah sebagai buah tangan untuk calon mertua. Tak perlu heran jika ekspetasi Ratih juga tinggi mengenai ibu, rumah dan kontrakan Ali. Pasalnya dari Ali cerita yang menggembar-gemborkan kontrakan sepuluh pintu kepada keluarga Ratih.“Assalamualaikum.” Ali mengucap salam saat tiba di rumah.Ratih menelan saliva. Pandangannya mengedar ke sekelil
Romlah memandang heran anaknya yang pulang dengan wajah kusut. Perempuan paruh baya yang baru selesai melipat jemuran kering itu mengerutkan dahi.“Kenapa loe, Al?” tanyanya sesudah sang anak duduk di depannya.“Ratih mutusin Ali, Nyak,” sahutnya lirih.“Hah?!” Mulut Romlah terbuka lebar. “Gimana ceritanya Ratih mutusin loe?” cecar Romlah. “Jangan-jangan loe selingkuh ya?” tudingnya.‘Engga, Nyak,” sanggah Ali.“Terus?”“Ratih mutusin Ali gara-gara ngajakin nikah ke KUA saja. Dia maunya nikah dengan pesta sesuai adatnya.”“Huh, dasar di mana-mana ternyata cewek itu matre,” dengus Romlah kesal. “Dikate gampang nyari uang sebanyak itu?”“Udah, lupain Ratih, nanti juga nemu cewek lagi!” nasihatnya.“Tapi Ali males Nyak pacaran putus mlulu,” keluh cowok pelit itu. &ldqu
Hari bahagia itu datang. Rumah sederhana milik orang tua Sri sesak oleh tetangga. Hiasan janur kuning melengkung, pisang setandan, tempat pelaminan dan tamu-tamu undangan tampak sedap dipandang mata. Para pemuda-pemudi yang tergabung dalam Karang Taruna siap dan semangat melayani sang tamu.Sri tampak cantik dengan balutan pakaian pengantin adat Jawa berwarna hitam. Wajahnya terlihat cantik dan membuat Saka mengulum senyum saat menatapnya.Di hadapan Pak Penghulu berbadan tambun, Saka mengucap ijab qabul untuk menghalalkan Sri menjadi miliknya.“Saya terima nikah dan mas kawinnya Srikandi binti Katimin dengan emas sepuluh gram dan uang sebesar seratus sembilan puluh sembilan ribu rupiah, dibayar tunai,” ucap Saka dengan lancar meski diliputi rasa gugup.“Para saksi sah?” tanya penghulu kepada yang hadir menyaksikan acara sakral itu.“Sah, sah, sah,” sahut para yang hadir bersahutan.&ld
Sepulang kerja Ali memenuhi janjinya untuk kembali ke warung yang tadi malam sudah menolongnya dari kesusahan hidup. Tampak wanita yang semalam ia temui sedang berbincang pada agen minuman.“Assalamualaikum, Mbak,” sapa Ali setelah sang agen pergi.“Waalaikumsalam,” sahut wanita cantik yang terlihat glamour itu.Ali melihat penampilan itu yang dipenuhi dengan perhiasan yang mencolok di leher, kuping, tamgan dan jemarinya. Dandanannya terlihat sederhana namun sedap dipandang dengan gincu warna merah merona.“Mas, yang tadi malam ya?” tunjuk si wanita.“Iya Mbak,” sahut Ali dengan meringis. “Mau bayar utang, bensin seliter dan Aqua botol.”“O iya,” sahutnya. “Empat belas ribu semuanya.”Ali mengelurkan uang pas lalu mengulurkan kepada pemilik warung. Enggak ding, tepatnya pemilik toko grosir. Bangunan itu terlihat tinggi dan lebar. Tumpukan
Sepulang kerja, Ali sering mampir ke toko grosir milik Munaroh. Menemani gebetan yang sedang asyik memunguti tumpukkan rupiah. Lumayan menggiurkan rupiah yang didapat Munaraoh dari hasil grosir itu.“Yang, kita makan bakso depan itu, yuk!” Munaroh menunjuk bakso di seberang jalan. Tampak rame.“Boleh,” sahut Ali mengiyakan.Mereka beriringan bergandeng tangan menyeberang jalan. Tak berapa lama pesanan bakso buntel dan bakso lobster tersaji dengan dua gelas es teh manis.“Enak kan?” taya Munaroh yang senang Ali makan denga lahap.“Iya, enak,” sahut Ali blepotan mie. “Belum pernah aku makan bakso seenak ini.”“Emang belum pernah kemari?”“Belum.” Ali menggeleng.Munaroh mengelap mulutnya dengan tisu setelah bakso dan minumannya tandas.“Bang, bakso sepuluh mangkok ya!” pesannya yang langsung diiyakan oleh aba
Sungguh makin hari Ali makin dibuat jatuh hati dengan Munaroh. Janda muda itu memenuhi semua kriteria menjadi istri. Cantik, pintar dandan dan merawat diri, royal, perhatian dan yang satu bisa memuaskan kebutuhhan biologisnya.Tak bisa dipungkiri, semenjak sekali diberi peluang untuk melakukan hal maksiat itu, Ali selalu ketagihan. Ditambah Munaroh tak pernah menolak permintaannya.“Yang, mandi dulu!” ucap Munaroh selepas isya.Tampak janda muda itu terlihat cantik dengan rambut basahnya. Membuat Ali makin tak bisa berpaling. Ali meringsut, menyambar haduk yang dipakai Munaroh untuk mengeringkan rambutnya.Selepas mandi, sebungkus kwetiaw goreng lengkap dengan kopi panas tersaji di meja.“Ayo makan, Yang!” ajak Munaroh yang sudah terlebih dulu membuka bungkusan. “Kwetiaw ini enak banget lho. Legend, sudah tiga puluh tahun,” rekomendasi Munaroh.“O, punya Haji Dahlan itu?” te
“Kamu ga mau ya kalau nikah sederhana saja?” selidik Ali pada wajah mendung pacarnya.“Bukannya aku tak mau ngeluarin duit sih? Tapi sayang saja kalau duit puluhan juta habis dalam semalam.”“Mending uangnya buat nambahin bikin usaha atau ditabung untuk masa depan anak-anak kita.” Ali memaparkan sebuah alasan genius ala motivator.Munaroh termenung untuk beberapa saat. Sepertinya sedang menimbang-nimbang alasn sang pacar.Sedang Ali gelisah menunggu jawaban Munaroh. Takut kejadian dengan Amoy dan Ratih terulang kembali.“Gimana, Yang?” Ali mengulang pertanyaannya.Munaroh menghela napas panjang. Mengamati wajah kekasihnya lekat-lekat. Wajah yang cukup ganteng dan menawan.“Iya, aku mau,” jawab Munaroh akhirnya.Kelegaan menyelimuti hati Ali. Akhirnya ia mendapat jodoh yang betul-betuk paham dengan kondisinya. Jodoh terbaik dari semua mantan pacarnya yan
Munaroh memakai jasa pembantu untuk pekerjaan rumah tangga. Ia hanya ingin fokus merawat Billar saja. Hal itu justru memicu kemarahan Romlah. Ia menganggap mantunya itu males dan buang-buang duit saja. Ia mulai cari celah untuk menjatuhkan Munaroh. Sebelum magrib sang pembantu pulang.“Enak banget ya, kerjaannya cuma tiduran dan mainan handpone,” usik Romlah saat mantunya sedang tiduran dengan sang cucu.“Kan semua sudah dikerjain sama Bibi, Nyak,” jawab Munaroh yang kemudian meletakkan hapenya di bantal.“Loe itu malas banget jadi orang!” Romlah mulai meninggi karena ucapannya berani dijawab. “Jadi bnii tuh jangan Cuma tiduran, main hape tapi harus masak, beres-beres rumah.”“Aku kan punya bayi, Nyak,” sanggah Munaroh lagi membuat mata mertuanya melotot.“Bayi jangan dijadikan alasan buat malas-malasan!” sentak Romlah. “Dulu Enyak kalau punya bayi, juga mas
“Ali, Ali!” teriak Romlah di sela isak tangisnya menggegerkan rumah Munaroh yang mulai sepi. Hanya ada Rojali dan beberapa kerabat yang masih membereskan sisa aqiqah.“Ali, Ali!” Romlah terus berteriak saat anaknya belum jua menampakkan batang hidungnya. Suaranya mulai parau karena habis menangis meraung-raung.“Ada apa, Nyak?” Tanya Ali yang tergopoh-gopoh menghampirinya yang disusul oleh Rojali dan Munaroh.“Rumah Enyak, Al,” sahut Romlah dengan isak tangis.“Kenapa dengan rumah Enyak?” Ali mulai panik yang kemudian menatap Atun dan Karyo bergantian.“Rumah Enyak, Al,” kalimat Romlah tertahan. Kalah dengan tangisannya yang kencang.Tiba-tiba Romlah merasakan tubuhnya terasa lemas. Berita duka ini membuat kakinya tak mampu menopang tubuhnya yang mulai kurus semenjak ditinggal Ali. Ali menuntun tubuh ibunya duduk di kursi. Seorang kerabat Munaroh memb
Sepeninggalan Rohaye dan Malih, Romlah memanggil Atun dan Karyo. Setali dua uang dengan mantunya yang pertama, mantu kedua inipun tak bisa diandalkan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Karyo bukan tak mau menyenangkan mertuanya, tapi hasil jualan cilok hanya cukup untuk makan dan sekolah anak-anaknya saja.“Tempe lagi, tempe lagi,” gerutu Romlah saat Atun hanya menyajikan tumis kangkung dengan tempe goreng di atas meja makan.“Ikan kek, daging kek,” imbuh Romlah melirik menantunya yang taku-takut menatapnya.“Rezekinya ini, Nyak,” sahut Atun bijak.“Masa tiap hari ini doang makannya!” umpat Romlah. “Bisa-bisa stroke lagi gue makan makanan tak bergizi seperti ini.” Tunjuknya pada menu yang dimasak Atun.“Ya, udah, Enyak mau makan apa?” tanya Karyo akhirnya.“Nasi padang,” sahut Romlah.“Aku ayam goreng, Pak!” pinta kedua anakn
Karena lelah hati dengan ucapan Romlah yang setiap hari menyindirnya, Ali malah kepikiran ucapan Dadang. Dia ingat kembali kata-kata sahabatnya itu.‘Apa iya ya, aku sudah dzolim sama Munaroh selama ini?’‘Apa Munaroh marah karena aku tak pernah memberi nafkah meski dia punya uang banyak?’‘Apa aku pertahanin Munaroh demi kebahagiaan anakku kelak?’‘Tapi kalau aku milih Munaroh, Enyak pasti marah dan aku jadi anak durhaka?’Perang batin Ali dimulai. Ingin rasanya kembali memperbaiki hubungan dengan sang istri. Namun ia takut jika sang ibu marah. Tapi jika terus hidup seperti ini, diapun tak mau. Dia laki-laki normal, ingin dicinta dan diperhatikan oleh seorang wanita.“Udah gajian belum, Al?” Tiba-tiba suara Romlah membangunan anaknya dari lamunan.“Udah, Nyak,” sahut Ali yang langsung mengeluarkan uang dari dompetnya.“Kok cuma segini?&
Rencana perceraiannya dengan Munaroh membuat beban pikiran Ali. Ga tahu harus berbuat apa karena Munaroh sudah menutup pintu damainya dengan Romlah.“Kenapa loe, Al?" tanya Dadang saat sahabatnya itu mampir ke warungnya.“Gue lagi pusing nih, Dang?” keluh Ali. “Gue disuruh cerai sama Enyak.”“Apa?” pekik Dadang. “Enyak loe suruh loe cerai?”“Iya.” Ali mengangguk lemah. “Padahal Munaroh lagi hamil.”“Emang apa masalahnya?” Dadang mencoba tenang.“Enyak marah gara-gara Munarih gam au pinjemin uang buat modal usaha Mpok Rohaye.” Zuki membuka cerita.“Emang berapa?” Dadang penasaran.“Lima puluh juta.”“Jelaslah ga mau,” sahut Dadang santai. “Uang segithu banyak, belum tentu usaha kakak loe berhasil.”“Iya juga sih.” Ali setuju. “Munaroh j
Menjelang sore toko tampak rame. Banyak pemilik warung yang berbelanja di toko grosir milik Munaroh. Selain harganya miring, Munaroh termasuk ramah kepada pelanggannya. Tak ada satupun langganan yang ia sepelekan meski cuma belanja dalam porsi kecil.Namun di tengah kesibukannya di belakang meja kasir, mendadak perut Munaroh terasa mual-mual. Ali, yang kebetulan baru datang segera menghampiri istrinya dengan wajah cemas.“Kamu sakit, Yang?” tanyanya yang memapah tubuh Munaroh yang hampir saja jatuh karena hilang keseimbangan.“Ga tahu ini, Bang, perutnya mual-mual, pingin muntah,” sahut Munaroh dengan keringat dingin.“Kamu sakit, Yang, wajahmu pucat.” Ali makin khawatir. “Kita periksa, yuk!”“Iya, Bang.” Munaroh menurut. Ia memang tipikal wanita yang ga mau sakit berlama-lama.Beberapa menit setelah diperiksa, pasutri itu duduk di depan dokter.“Sakit apa,
“Bang, besok kan Enyak kontrol dan terapi,” ucap Munaroh di depan meja hias.“Iya,” sahut Ali datar. “Aku besok juga ambil off kok biar bisa ngantein Enyak.”“Besok, biaya rumah sakitnya pakai uang Enyak sendiri ya!” ucapan Munaroh membuat mata suaminya terbeliak.“Kok githu?”“Ya kan setahun ini semua pakai uang Munaroh dari makan, listrik, terapi Enyak dan biaya operasi,” beber Munaroh. “Dan semua itu banyak keluar uang.”“Tapi kalau nanti Enyak suruh bayar sendiri takutnya Enyak marah dan tekanan darahnya tinggi, masuk ke rumah sakit, bagaimana?” Ali mengurai ketakutannya.“Ya, kalau gini terus ya berat di aku dong, Bang!” keluh Munaroh. Palagi semua gaji dan uang kontrakan diminta Enyak.”“Kok kamu itung-itungan sih sama, Enyak!” hardik Ali kesal. “Durhaka tahu.”“Ada
Uang makin menipis, sedang hubungannya dengan Munaroh makin memanas membuat kepala Romlah cenat cenut tak karuan. Belum lagi dirasa badan sedang tak bersahabat.“Urut enak kali ya?” ucapnya sambil memijit-mijit kakinya yang kesemutan. “Duh, mules lagi.”Panggilan alam membuat Romlah bangkit ke kamar mandi. Dengan santai ia masuk ke dalam yang tak ia sadari jika lantai kamar mandi licin. Tak ayal ia langsung terpelet.“Auww!” pekiknya keras membuat Ali dan Munaroh tergopoh-gopoh menghampirinya.“Enyak!” teriak histeris Ali yang langsung membantu Romlah bangkit.“Sakit Al!” teriak Romlah saat kakinya tak bisa digerakkan.“Bang, langsung bawa ke rumah sakit saja!” titah Munaroh yang diiyakan suaminya.Romlah tampak kesakitan sepanjang jalan ke rumah sakit. Di tengah perjalanan Ali menghubungi kedua saudaranya jika Romlah jatuh di kamar mandi dan dilarik
“Enak saja loe minta uang kontrakan!” bentak Romlah yang sudah di depan mata menantunya sambil berkacak pinggang.“Kontrakan ini dibangun di tanah gue ya, kenapa loe yang mau duitnya?” tunjuknya ke muka sang menantu. “Matre banget sih jadi bini.”“Kalau gaji Bang Ali semua Enyak minta, uang kontrakan Enyak minta, lalu Bang Ali nafkahin Munaroh pakai apa?” jawab Munaroh nambah bikin kesel mertuanya.“Kan loe banyak duit, pakai aja duit loe sendiri!” sanggah Romlah. “Kalau sudah rumah tangga itu, uang istri ya uang suami.” Romlah mencari pembenaran atas ucapanya.“Ga kebalik, uang suami itu uang istri,” tukas Munaroh ketus.“Uang anak laki ya uang emaknya karena surge ada di telapak kaki ibu,” sahut Romlah masih tak mau kalah.“Denger tuh Bang, kata Enyak.” Munaroh menatap suaminya sebagai pelampiasan kesal. &ld