Romlah memandang heran anaknya yang pulang dengan wajah kusut. Perempuan paruh baya yang baru selesai melipat jemuran kering itu mengerutkan dahi.
“Kenapa loe, Al?” tanyanya sesudah sang anak duduk di depannya.
“Ratih mutusin Ali, Nyak,” sahutnya lirih.
“Hah?!” Mulut Romlah terbuka lebar. “Gimana ceritanya Ratih mutusin loe?” cecar Romlah. “Jangan-jangan loe selingkuh ya?” tudingnya.
‘Engga, Nyak,” sanggah Ali.
“Terus?”
“Ratih mutusin Ali gara-gara ngajakin nikah ke KUA saja. Dia maunya nikah dengan pesta sesuai adatnya.”
“Huh, dasar di mana-mana ternyata cewek itu matre,” dengus Romlah kesal. “Dikate gampang nyari uang sebanyak itu?”
“Udah, lupain Ratih, nanti juga nemu cewek lagi!” nasihatnya.
“Tapi Ali males Nyak pacaran putus mlulu,” keluh cowok pelit itu. &ldqu
Hari bahagia itu datang. Rumah sederhana milik orang tua Sri sesak oleh tetangga. Hiasan janur kuning melengkung, pisang setandan, tempat pelaminan dan tamu-tamu undangan tampak sedap dipandang mata. Para pemuda-pemudi yang tergabung dalam Karang Taruna siap dan semangat melayani sang tamu.Sri tampak cantik dengan balutan pakaian pengantin adat Jawa berwarna hitam. Wajahnya terlihat cantik dan membuat Saka mengulum senyum saat menatapnya.Di hadapan Pak Penghulu berbadan tambun, Saka mengucap ijab qabul untuk menghalalkan Sri menjadi miliknya.“Saya terima nikah dan mas kawinnya Srikandi binti Katimin dengan emas sepuluh gram dan uang sebesar seratus sembilan puluh sembilan ribu rupiah, dibayar tunai,” ucap Saka dengan lancar meski diliputi rasa gugup.“Para saksi sah?” tanya penghulu kepada yang hadir menyaksikan acara sakral itu.“Sah, sah, sah,” sahut para yang hadir bersahutan.&ld
Sepulang kerja Ali memenuhi janjinya untuk kembali ke warung yang tadi malam sudah menolongnya dari kesusahan hidup. Tampak wanita yang semalam ia temui sedang berbincang pada agen minuman.“Assalamualaikum, Mbak,” sapa Ali setelah sang agen pergi.“Waalaikumsalam,” sahut wanita cantik yang terlihat glamour itu.Ali melihat penampilan itu yang dipenuhi dengan perhiasan yang mencolok di leher, kuping, tamgan dan jemarinya. Dandanannya terlihat sederhana namun sedap dipandang dengan gincu warna merah merona.“Mas, yang tadi malam ya?” tunjuk si wanita.“Iya Mbak,” sahut Ali dengan meringis. “Mau bayar utang, bensin seliter dan Aqua botol.”“O iya,” sahutnya. “Empat belas ribu semuanya.”Ali mengelurkan uang pas lalu mengulurkan kepada pemilik warung. Enggak ding, tepatnya pemilik toko grosir. Bangunan itu terlihat tinggi dan lebar. Tumpukan
Sepulang kerja, Ali sering mampir ke toko grosir milik Munaroh. Menemani gebetan yang sedang asyik memunguti tumpukkan rupiah. Lumayan menggiurkan rupiah yang didapat Munaraoh dari hasil grosir itu.“Yang, kita makan bakso depan itu, yuk!” Munaroh menunjuk bakso di seberang jalan. Tampak rame.“Boleh,” sahut Ali mengiyakan.Mereka beriringan bergandeng tangan menyeberang jalan. Tak berapa lama pesanan bakso buntel dan bakso lobster tersaji dengan dua gelas es teh manis.“Enak kan?” taya Munaroh yang senang Ali makan denga lahap.“Iya, enak,” sahut Ali blepotan mie. “Belum pernah aku makan bakso seenak ini.”“Emang belum pernah kemari?”“Belum.” Ali menggeleng.Munaroh mengelap mulutnya dengan tisu setelah bakso dan minumannya tandas.“Bang, bakso sepuluh mangkok ya!” pesannya yang langsung diiyakan oleh aba
Sungguh makin hari Ali makin dibuat jatuh hati dengan Munaroh. Janda muda itu memenuhi semua kriteria menjadi istri. Cantik, pintar dandan dan merawat diri, royal, perhatian dan yang satu bisa memuaskan kebutuhhan biologisnya.Tak bisa dipungkiri, semenjak sekali diberi peluang untuk melakukan hal maksiat itu, Ali selalu ketagihan. Ditambah Munaroh tak pernah menolak permintaannya.“Yang, mandi dulu!” ucap Munaroh selepas isya.Tampak janda muda itu terlihat cantik dengan rambut basahnya. Membuat Ali makin tak bisa berpaling. Ali meringsut, menyambar haduk yang dipakai Munaroh untuk mengeringkan rambutnya.Selepas mandi, sebungkus kwetiaw goreng lengkap dengan kopi panas tersaji di meja.“Ayo makan, Yang!” ajak Munaroh yang sudah terlebih dulu membuka bungkusan. “Kwetiaw ini enak banget lho. Legend, sudah tiga puluh tahun,” rekomendasi Munaroh.“O, punya Haji Dahlan itu?” te
“Kamu ga mau ya kalau nikah sederhana saja?” selidik Ali pada wajah mendung pacarnya.“Bukannya aku tak mau ngeluarin duit sih? Tapi sayang saja kalau duit puluhan juta habis dalam semalam.”“Mending uangnya buat nambahin bikin usaha atau ditabung untuk masa depan anak-anak kita.” Ali memaparkan sebuah alasan genius ala motivator.Munaroh termenung untuk beberapa saat. Sepertinya sedang menimbang-nimbang alasn sang pacar.Sedang Ali gelisah menunggu jawaban Munaroh. Takut kejadian dengan Amoy dan Ratih terulang kembali.“Gimana, Yang?” Ali mengulang pertanyaannya.Munaroh menghela napas panjang. Mengamati wajah kekasihnya lekat-lekat. Wajah yang cukup ganteng dan menawan.“Iya, aku mau,” jawab Munaroh akhirnya.Kelegaan menyelimuti hati Ali. Akhirnya ia mendapat jodoh yang betul-betuk paham dengan kondisinya. Jodoh terbaik dari semua mantan pacarnya yan
Pagi itu keluarga baru Ali sedang asyik menyantap nasi uduk dengan segelas teh manis hangat. Obrolan ringan mengiringi acara sarapan itu.“Rumah Enyak ini kan sempit, terus ga ada pintu-pintunya, sederhana banget, boleh dong Enyak minta Munaroh untuk merenov rumah Enyak.” Romlah mengawali obrolan sehingga membuat mantunya tersedak.“Munaroh kan, mantu kesayangan Enyak,” lanjut Romlah lagi.Munaroh memandang suaminya. Seperti minta penjelasan.“Bener yang dikatakan Enyak, Yang,” sahut Ali. “Kalau sudah direnov kan nanti kita punya kamar privasi sendiri.”“Kalau mau direnov, ga bisa hanya sepetak, Bang, nanggung,” sahut Munaroh akhirnya. “Harus dua petak.”“Lha jatah kontrakan berkurang satu dong?” protes Romlah seperti tak rela.“Ya, iya,” jawab Munaroh santai.“Gapapa kali, Nyak kalau dicomot satu kontrakannya!&rd
Munaroh pulang dari toko. Tampak mertuanya sedang asyik di depan televisi, tak memperdulikan kehadirannya. Ia bergegas masuk lalu membuka nasi dan donat serta minuman enak yang dibelinya tadi.“Nyak, makan!” tawar Munaroh hanya membuat mertuanya melirik tak menyahut.Dengan lahap Munaroh menikmati kwetiauw goreng itu hingga tandas lalu menyruput minumannya. Selesai itu ia mencomot donat dan hanya tersisa satu saat Ali datang lalu menyomotnya juga. Romlah hanya bisa menelan saliva. Sebenarnya pingin sekali mencomot makanan enak itu andai sedang tidak perang dingin dengan mantunya.“Kamu beli apa, Yang?” tanya Ali melirik sterofom bekas makanan.“Kwetiaw goreng.”“Beli satu doang?” Alii memastikan dan dijawab dengan anggukan kepala.“Kok, satu doang?” protes Ali. “Buat aku mana?”“Enyak aja ga dibeliin,” protes Romlah yang masih kesal
Sebulan terlewati sudah. Rumah Ali yang dulu seperti kandang ayam kini megah bak istana dibanding dengan rumah-rumah di sekelilingnya.Rona bahagia tampak di wajah Romlah dan Ali. Belum lagi Munaroh sudah mengisi rumah itu dengan tempat tidur, sofa, meja makan, lemari pakaian yang serba baru.“Wah, rumah Enyak jadi bagus ya!” seru Romlah saat memasuki rumah. “Enyak mau lihat kamar Enyak dululah.” Romlah bergegas ke kamar dan tak keluar lagi.“Asyik, kita punya kamar sendiri ya, Yang?” seloroh Ali. “Udah ada pintunya, jadi kita bisa mesra-mesraan tiap waktu,” godanya membuat wajah Munaroh merona merah.Pasutri itu masuk kamar. Alii langsung nyalain kipas dan rebahan di springbed empuk. Sedang Munaroh, merapikan baju-baju ke dalam lemari.*************Dua hari kemudian tagihan matrial dan tukang dari Imran datang ke toko Munaroh. Paman Munaroh yang juga seorang rentenir itu m