“Kepala Enyak, sakit banget, Al,” rintih Romlah yang segera digiring untuk duduk.
“Pasti darah tinggi Enyak kambuh ini,” sahut Ali langsung memberikan segelas air putih.
“Bawa Enyak ke dokter, Al!” titahnya yang segera dilaksanakan. Munaroh membawa mertuanya berobat ke rumah sakit.
******************
Dokter memeriksa dengan seksama tubuh Romlah. Setelah beberapa saat ia menulis resep yang harus ditebus.
“Darah tinggi ibu tinggi sekali,” jelas Dokter. “Ibu harus banyak istirahat, pikiran dan emosinya harus dijaga. Terus jangan makan yang asin-asin dulu ya, Bu!” pesan Dokter.
“Banyak konsumsi buah dan sayur serta banyakin minum air putih.”
“Gimana aye ga darah tinggi, Dok. Tiap hari diajakin berantem mlulu sama mantu saya!” curhat Romlah tanpa malu.
Munaroh menunduk ketika merasa dipersalahkan karena kasus ini. Sang Dokter hanya ters
Akhirnya Munaroh mengalah. Dengan uangnya ia membiayai kebutuhan sehari-hari keluarga kecilnya. Membelikan sarapan sesuai permintaan suami dan mertuanya.“Yang, aku mau sarapan ketoprak dong!” suruh Ali.“Masaknya jangan cuma tahu tempe doang! Sering-seringlah masak ikan , daging atau ayam!” suruh Romlah.“Bosen nih, Yang, masakan rumah kalau sore! Beli kwetiaw atau nasi padang gih!” request Ali.“Kayaknya hujan-hujan gini enaknya ngopi sambil makan martabak Bangka!” usul Romlah.Semua permintaan mertua dan suaminya, Munaroh turutin. Dengan harapan bulan depan mertuanya mengembalikan jatah bulanannya lagi. Atau setidaknya sang suami membagi uang bensin gopek, gopek.Tapi nyatanya dua bulan ditunggu, mertua dan suaminya anteng saja. Setiap gajian, uangnya diambil semua oleh sang mertua setelah dipotong uang bensin Ali satu juta dan cicilan matrial dua juta.***********
Munaroh mampir ke warung Siti setelah membeli sarapan. Tampak ada beberapa ibu-ibu yang sudah berkerumun padahal hari masih pagi.“Mpok, Energen satu!” pesannya.“Kopinya ga sekalian, Roh?” tanya Siti.“Enggak, Mpok. Energen saja,” tolak Munaroh.“Jadi bener ya, yang dikatakan sama mertua loe kalau loe itu pelit,” ucap Siti membuat mata Munaroh membulat. “Beli sarapan satu doang.” Siti melirik kantong kresek yang ditenteng Munaroh.“Udah gaji suami diminta semua. Mertua dan suami ga dikasih makan,” imbuh Siti. “Ga takut kualat kamu, Roh?” ceramah Siti.“Berapa Mpok Energennya?” tanya Munaroh tak memperdulikan perkataan pemilik warung. Biarlah ia difitnah. Tak perlu mencari pembenaran.“Seribu maratus,” sahut Siti jutek merasa dicuekin.Munaroh membayar dengan uang pas lalu beranjak. Dia tak memperdulikan &nb
“Enak saja loe minta uang kontrakan!” bentak Romlah yang sudah di depan mata menantunya sambil berkacak pinggang.“Kontrakan ini dibangun di tanah gue ya, kenapa loe yang mau duitnya?” tunjuknya ke muka sang menantu. “Matre banget sih jadi bini.”“Kalau gaji Bang Ali semua Enyak minta, uang kontrakan Enyak minta, lalu Bang Ali nafkahin Munaroh pakai apa?” jawab Munaroh nambah bikin kesel mertuanya.“Kan loe banyak duit, pakai aja duit loe sendiri!” sanggah Romlah. “Kalau sudah rumah tangga itu, uang istri ya uang suami.” Romlah mencari pembenaran atas ucapanya.“Ga kebalik, uang suami itu uang istri,” tukas Munaroh ketus.“Uang anak laki ya uang emaknya karena surge ada di telapak kaki ibu,” sahut Romlah masih tak mau kalah.“Denger tuh Bang, kata Enyak.” Munaroh menatap suaminya sebagai pelampiasan kesal. &ld
Uang makin menipis, sedang hubungannya dengan Munaroh makin memanas membuat kepala Romlah cenat cenut tak karuan. Belum lagi dirasa badan sedang tak bersahabat.“Urut enak kali ya?” ucapnya sambil memijit-mijit kakinya yang kesemutan. “Duh, mules lagi.”Panggilan alam membuat Romlah bangkit ke kamar mandi. Dengan santai ia masuk ke dalam yang tak ia sadari jika lantai kamar mandi licin. Tak ayal ia langsung terpelet.“Auww!” pekiknya keras membuat Ali dan Munaroh tergopoh-gopoh menghampirinya.“Enyak!” teriak histeris Ali yang langsung membantu Romlah bangkit.“Sakit Al!” teriak Romlah saat kakinya tak bisa digerakkan.“Bang, langsung bawa ke rumah sakit saja!” titah Munaroh yang diiyakan suaminya.Romlah tampak kesakitan sepanjang jalan ke rumah sakit. Di tengah perjalanan Ali menghubungi kedua saudaranya jika Romlah jatuh di kamar mandi dan dilarik
“Bang, besok kan Enyak kontrol dan terapi,” ucap Munaroh di depan meja hias.“Iya,” sahut Ali datar. “Aku besok juga ambil off kok biar bisa ngantein Enyak.”“Besok, biaya rumah sakitnya pakai uang Enyak sendiri ya!” ucapan Munaroh membuat mata suaminya terbeliak.“Kok githu?”“Ya kan setahun ini semua pakai uang Munaroh dari makan, listrik, terapi Enyak dan biaya operasi,” beber Munaroh. “Dan semua itu banyak keluar uang.”“Tapi kalau nanti Enyak suruh bayar sendiri takutnya Enyak marah dan tekanan darahnya tinggi, masuk ke rumah sakit, bagaimana?” Ali mengurai ketakutannya.“Ya, kalau gini terus ya berat di aku dong, Bang!” keluh Munaroh. Palagi semua gaji dan uang kontrakan diminta Enyak.”“Kok kamu itung-itungan sih sama, Enyak!” hardik Ali kesal. “Durhaka tahu.”“Ada
Menjelang sore toko tampak rame. Banyak pemilik warung yang berbelanja di toko grosir milik Munaroh. Selain harganya miring, Munaroh termasuk ramah kepada pelanggannya. Tak ada satupun langganan yang ia sepelekan meski cuma belanja dalam porsi kecil.Namun di tengah kesibukannya di belakang meja kasir, mendadak perut Munaroh terasa mual-mual. Ali, yang kebetulan baru datang segera menghampiri istrinya dengan wajah cemas.“Kamu sakit, Yang?” tanyanya yang memapah tubuh Munaroh yang hampir saja jatuh karena hilang keseimbangan.“Ga tahu ini, Bang, perutnya mual-mual, pingin muntah,” sahut Munaroh dengan keringat dingin.“Kamu sakit, Yang, wajahmu pucat.” Ali makin khawatir. “Kita periksa, yuk!”“Iya, Bang.” Munaroh menurut. Ia memang tipikal wanita yang ga mau sakit berlama-lama.Beberapa menit setelah diperiksa, pasutri itu duduk di depan dokter.“Sakit apa,
Rencana perceraiannya dengan Munaroh membuat beban pikiran Ali. Ga tahu harus berbuat apa karena Munaroh sudah menutup pintu damainya dengan Romlah.“Kenapa loe, Al?" tanya Dadang saat sahabatnya itu mampir ke warungnya.“Gue lagi pusing nih, Dang?” keluh Ali. “Gue disuruh cerai sama Enyak.”“Apa?” pekik Dadang. “Enyak loe suruh loe cerai?”“Iya.” Ali mengangguk lemah. “Padahal Munaroh lagi hamil.”“Emang apa masalahnya?” Dadang mencoba tenang.“Enyak marah gara-gara Munarih gam au pinjemin uang buat modal usaha Mpok Rohaye.” Zuki membuka cerita.“Emang berapa?” Dadang penasaran.“Lima puluh juta.”“Jelaslah ga mau,” sahut Dadang santai. “Uang segithu banyak, belum tentu usaha kakak loe berhasil.”“Iya juga sih.” Ali setuju. “Munaroh j
Karena lelah hati dengan ucapan Romlah yang setiap hari menyindirnya, Ali malah kepikiran ucapan Dadang. Dia ingat kembali kata-kata sahabatnya itu.‘Apa iya ya, aku sudah dzolim sama Munaroh selama ini?’‘Apa Munaroh marah karena aku tak pernah memberi nafkah meski dia punya uang banyak?’‘Apa aku pertahanin Munaroh demi kebahagiaan anakku kelak?’‘Tapi kalau aku milih Munaroh, Enyak pasti marah dan aku jadi anak durhaka?’Perang batin Ali dimulai. Ingin rasanya kembali memperbaiki hubungan dengan sang istri. Namun ia takut jika sang ibu marah. Tapi jika terus hidup seperti ini, diapun tak mau. Dia laki-laki normal, ingin dicinta dan diperhatikan oleh seorang wanita.“Udah gajian belum, Al?” Tiba-tiba suara Romlah membangunan anaknya dari lamunan.“Udah, Nyak,” sahut Ali yang langsung mengeluarkan uang dari dompetnya.“Kok cuma segini?&