Part 95"Aku tidak tahu," ucapku pelan. Seluruh saraf serasa tidak berfungsi dengan kenyataan di depan mata."Aku yakin ini alasannya mereka membunuh Roby, mereka tidak mau hubungan Marsya dan Satria kamu ketahui. Mereka merasa Roby adalah ancaman nyata bagi mereka," ungkap Revan kepadaku. Hal tersebut masih berupa spekulasi yang mencuat dalam kepala lelaki tampan di sampingku. "Roby juga mengkhianatiku, dia juga terlibat dalam perbuatan menjijikkan itu. Dimana iman mereka melakukan perbuatan dikutuk oleh Allah?" ucapku dengan bibir bergetar.Revan diam tanpa menjawab, tangannya membuka video demi video yang menampilkan adegan yang membuatku geram dan marah kepada mereka. Ketiganya manusia yang tidak memiliki iman. Berpose layaknya binatang, bibir bergerak-gerak untuk mengumpat. Namun, tidak ada kata yang berhasil keluar."Jangan-jangan Roby melakukannya di bawah ancaman Satria atau pun Marsya," ucap Revan. Pandangan matanya masih tertuju pada laptop di depannya."Mereka benar-benar
Part 96Aku memeluknya semakin erat. Pikiranku mendadak bingung dengan kalimat demi kalimat yang dia lontarkan. Kubingkai wajahnya dengan kedua tanganku. Senyum hangat kusunggingkan untuknya."Ma, lupakan saja semua yang telah berlalu, kita lihat ke depan, Tania sudah memaafkan semua yang terjadi," ujarku.Mama Rina semakin terisak, tubuhnya berguncang dalam pelukanku. Dadanya naik turun, karena, dia terus saja menangis. Revan berdiri di sudut ruangan tanpa suara.Aku membujuk Mama Rina untuk bersikap tenang. Semua sudah kehendak dari Allah SWT. Tidak ada yang terjadi di dunia ini, tanpa persetujuan dari Allah."Tania, maafkan mama," lirihnya pelan."Sudah Tania maafkan, Ma," sahutku seraya membelai pucuk kepalanya."Mama tidak menyangka Marsya dan Satria masih melakukan perbuatan terkutuk itu, maafkan, mama," ujarnya dengan mata yang memerah."Maksud, Mama?" Aku belum memahami kalimat yang Mama Rina ucapkan."Apakah Tante tahu tentang hubungan Marsya dan Satria?" tanya Revan seraya me
Part 97Revan mengikutiku dari belakang. Dia meminta izin mengantarkanku pada Ayah dan Ibu. Terakhir kali, sebelum aku menjalani mada iddahku. Aku tidak bicara, diam seribu bahasa. Larut dalam pikiran dan hayalan yang mematikan asa dan mimpiku.Bayangan adegan menjijikkan itu terus terngiang dalam ingatanku. Marsya, Satria dan Roby memadu kasih dalam satu ranjang. Kelakuan layaknya disebut binatang. Ratusan foto bugil mereka tersimpan apik di dalam laptop Marsya.Bukan sehari ataupun dua hari, tapi puluhan tahun mereka melakukan perbuatan bejat itu. Logikaku tidak mampu mencerna perbuatan mereka. Mama Rina lengah dalam mendidik dan menjaga mereka.Dengan kejamnya, Mama Rina menyeretku ke pusara nista yang di benci oleh Allah. Aku yang halal untuknya. Namun, dia masih saja mencari yang bukan haknya.Satria, lelaki homuris, penyayang keluarga, memberikan cinta dan kasih sayang yang tiada tara. Pada akhirnya, semua terungkap seiiring dengan kematiannya yang mengenaskan. Penyamaran yang s
Part 98"Anda mengerti tugas kami, seharusnya anda tidak menghambat pekerjaan kami," ujarnya dengan emosi yang mulai menguasai. Namun, tetap berusaha berespresi sopan."Saya tidak menghambat tugas kalian. Saya minta pengertian kalian untuk tidak membawa Tania. Saya yang akan menjadi jaminannya," ujar Revan berusaha tenang."Tidak bisa, itu sudah melawan perintah atasan kami. Kami bekerja atas perintah," ucapnya tegas. Tawaran Revan sama sekali tidak berguna. Revan mengusap kasar wajah tampannya. Emosi mulai menguasai, terlihat jelas dari wajahnya yang mulai memerah. Dahinya berkerut seperti memikirkan sesuatu. "Kalian tunggu di sini!" Perintah Revan seraya berlari menaiki tangga.Aku menyingkir bersembunyi di balik tubuh ayah. Masalah yang tiada akhir membuatku merasa malu dengan orang tuaku. Harusnya bahagia, rasa nyaman dan aman yang harus aku berikan untuk mereka.Kejadian yang terjadi dalam bulan ini, menghancurkan segala mimpi dan impianku. Fitnah yang pernah mengantarkanku men
Part 99 Tidak ada gunanya menaruh dendam dan benci. Kesal, marah, kecewa, sakit dan terluka pasti ada, karena, hatiku bukan lah batu. Lelah jiwaku, setiap hari harus menangisi sesuatu yang telah pergi. Mencoba berdamai dengan hati dan jiwa. Mencoba ikhlas atas segala yang terjadi, meski, luka hati masih menganga lebar. Aku wanita lemah yang berusaha tegar demi orang tua dan anak-anakku. Ibu membawa Arisya ke kamarnya. Aku mulai membuka map demi map surat berharga yang telah aku pindah namakan atas namaku dan anak-anak. Menimbang dengan matang, aset berharga yang akan aku berikan pada Karmila. [Datang ke rumahku, aku akan menunaikan janjiku.] Pesan whatsaap yang aku kirimkan padanya. [Kita jumpa di tempat lain saja, tidak enak di rumahmu,] balasnya cepat. [Aku tidak bisa keluar, suamiku baru saja meninggal,] balasku lagi. [Suamiku dan suamimu sama. Aku juga tidak bisa keluar.] [kalau begitu, masalah harta ini, kita selesaikan setelah masa iddah,] balasku kesal. [Jangan, aku aka
Part 100Aku memegang pipi, Karmila melayangkan tamparan keras pada pipi kananku. Tatapan marah kuarahkan kepadanya."Wanita g*la! Aku berbaik hati untuk memberikan sebagian hartaku untukmu, ini balasamu untukku!" bentakku emosi."Kau mempermainkanku. Bertanya ini dan itu kepadaku," ujarnya tanpa rasa bersalah."Aku semakin yakin, kamu terlibat di dalamnya. Kenapa kamu membawa-bawa namaku, Karmila?" tanyaku dengan tatapan sinis."Iya, aku yang merencanakan pembunuhan atas Satria dan Marsya. Aku Tania!" teriaknya sanggar."Cepat berikan map itu untukku!" bentak Karmila seraya menyerangku."Minggir!" Aku mendorong tubuhnya hingga terjatuh.Mulutnya bergerak-gerak cepat. Namun, tidak ada kata yang terlontar darinya untukku. Sisi kebaikanku seakan menghilang, seiring pengakuannya padaku."Salahku padamu apa, hah? Salah aku apa, Karmila?" tanyaku dengan nada emosi."Salahmu, kamu mau tahu apa salahmu, Satria lebih mencintaimu daripada aku. Dia hanya menjadikan aku budak seksnya." Dia mende
Part 101"Bu, bagaimana ini?" tanyaku khawatir, tanganku membolak-balikkan ponsel Ibu."Nggak mungkin kamu sendirian kesana, ini sudah sore, Nak," ujar Ibu seraya menenangkan Arisya."Ayah .. Ayah mana, Bu?" tanyaku pada Ibu. Ekspresi wajahku sangat tegang. "Ayah ada pekerjaan mendadak tadi siang, Nak," jawab Ibu cepat."Hmmmm!" gumamku seraya mondar-mandir mencari ide."Gimana, Nak? Lagian mertua kamu bisa nekat seperti itu, bikin kita susah saja," ujar Ibu kesal."Kita pergi berdua, gimana, Bu?" tanyaku pada Ibu."Ibu takut, Nak. Kamu nyetir dalam keadaan panik begini," pungkas Ibu polos.Tidak ada cara lain. Aku harus menghubungi Revan. Beranjak masuk ke dalam kamar, meraih ponselku dan menekan kontak Revan. Sekali dua kali dia tidak mengangkat teleponku.Ibu tetap tidak ingin pergi berdua denganku. Tidak mungkin aku berangkat seorang diri. Pikiran semakin kalut, Ayah juga tidak bisa menemani, karena, sedang membahas pekerjaan dengan investor luar.Bibi beberapa kali menghubungiku
Part 102Tubuhku terasa melayang di udara, rasa takut membelenggu jiwa, terpaan angin melepaskan hijab dari kepalaku. Hujan deras menyentuh wajah dan tubuhku. Berteriak sekuat tenaga, hatiku terus menyebut asma Allah SWT. Meminta kemurahan hati-Nya untuk menyelamatkanku.Tidak lama kemudian tubuhku menghantam sesuatu yang empuk. Begitu mata terbuka puluhan orang terlihat berdiri di sampingku. Sebagian mereka basah kuyup dalam hujan. Mereka menatapku dengan berbagai pandangan yang membuatku malu.Kuedarkan pandangan untuk mencari Mama Rina. Dia terlentang tidak bergerak jauh dari tempatku terjatuh. Ibu dan Revan berlari mendekatiku. Ibu langsung memelukku histeris.Revan refleks menyentuh kedua pipiku dengan tanganya. Dia menanyakan keadaanku, rasa khawatir terlihat dari wajah tampannya yang memerah. Netraku dan netranya saling bertemu. Degupan jantung tidak beraturan. Tubuhku mendadak merasakan kehangatan di bawah rinai hujan yang menguyur bumi."Van, Mama Rina," ucapku pelan dengan b