Pukul sembilan pagi aku sibuk di dapur. Yah, kalau saja Mas Dika melihat, pasti mengejek dengan mengataiku kerasukan jin. Saudara memang begitu, susah akur sepenuhnya.
Saat tengah memotong wortel, ibu bertanya, "siapa orang yang kamu cintai?"
"Entahlah, Bu. Aku sendiri ndak tahu. Kevin hanya membuat nyaman, tetapi sejak dulu ...." Aku menggantung kalimat tidak berani jujur pada ibu tentang hati yang pernah dihuni Gus Qabil.
Ibu memintaku berhenti memotong wortel. Beliau menatap serius, meski begitu aku tetap bisa bersikap tenang. Ada kemungkinan diintrogasi hari ini.
"Kamu masuk kamar ibu, buka lemari dan ambil sesuatu yang ibu simpan di bawah lipatan baju. Baca!"
"Baca apa, Bu?"
"Udah sana!"
Kaki mengayun cepat menuju kamar ibu dan membuka lemari yang dimaksud. Di bawah lipatan baju ternyata ada buku yang Gus Hanan beri tempo hari.
Dengan cepat aku duduk di lantai bersandar pada lemari, lalu membuka lembarannya. Halaman pertam
Besok Kevin sudah akan menikah. Ternyata kalimat 'will you marry me' bulan April kemarin tidak bisa ditepati. Bukan karena kesalahan Kevin, melainkan garis takdir yang menentukan. Sejumput nyeri merebak, aku sedikit kesulitan mengambil napas. Sulit dipercaya, seseorang yang bahkan ikut berbuka puasa dengan kami malah akan bersanding dengan sahabatku sendiri. "Maksudmu mengaku jatuh cinta pada Kevin?" Aku memberi gelengan sebagai jawaban pertanyaan Mas Dika. Bukan. Jatuh cinta bukan yang aku pikirkan sekarang karena sudah pasti hati ini bertuan pada Gus Qabil. Namun, entah mengapa aku sedikit sedih seperti kehilangan semangat. Sekelebat bayangan masa lalu menghantui. Tiba-tiba aku teringat pada masa Mas Ilham melamar, lalu kembali memutus sepihak dengan pesan aksara saja. "Aku tidak peduli kamu bilang apa, Dik. Satu hal yang pasti adalah aku bukan lagi calon suami adikmu, tetapi Nurul. Ya, ini perempuan yang berhasil memikat hatiku seha
"Mas tidak bercanda?" tanyaku setelah kami duduk di pelataran rumah. Semoga masku sungguh-sungguh ingin melupakan Amel.Mas Dika menggeleng dengan wajah tersenyum ramah. Awan gelap yang sejak tadi menutupi cerahnya wajah perlahan beranjak. Tanpa sengaja aku melipat bibir, resah.Walau perasaan mereka seakan selesai baik-baik, tetap saja menoreh muram di paras tampannya. Lelaki berwajah teduh di sampingku berdehem beberapa kali."Kok, bengong, Mas?""Mas sedang berusaha mengusir bayangan Amel yang semakin cantik dengan gaun pengantinnya. Biar bagaimana pun dia sudah menjadi istri orang."Aku mengangguk lemah karena bisa merasakan sekuat rasa Mas Dika menjaga ekspresi agar tidak lepas dari senyuman. Namun, bagiku usahanya semakin menyayat hati. Senyum yang terasa hampa diam-diam menyimpan perih."Apa mas baiknya kerja sampai lembur untuk mengalihkan fokus?"Untuk sesaat aku bergeming, kemudian menyahut. "Tidak harus lembur, Mas. Jangan
Aku : Mel, kapan ke Bali? Hari ini sibuk ya?Pesan What$app itu aku kirim sejak ba'da subuh tadi dan baru mendapat balasan dua jam kemudian.Amel : Pekan depan. Sedikit sibuk, sih. Kenapa memangnya?Aku : Oh. Anu, kamu gak ke aqiqah-an anak Gus Qabil?"Astagfirullah, hari ini ya? Aku sampai lupa. Insya Allah, aku pergi. Kita ketemu di mana?" Kali ini Amel membalas dengan pesan suara. Aku melakukan hal yang sama dengan memintanya datang ke rumah saja.Aku duduk bertopang dagu di meja belajar. Jantung berdegup cepat karena harus ke pesantren Gus Qabil. Sebenarnya aku tidak ingin ke sana, tetapi Mas Dika memaksa. Katanya, "menghindar sama saja menerima tuduhan itu!"Entahlah, terlalu malu rasanya jika harus hadir. Tidak bisa aku bayangkan bagaimana tatapan orang-orang pesantren kalau ternyata rumor sudah sampai di telinga mereka apalagi Kyai Sholeh, sosok yang sangat kami segani."Yumna, ditunggu Amel tuh di depan!" panggil ibu membuatku
Di dalam rumah aku bertemu ibu. Perihal Gus Qabil kuceritakan semuanya. Beliau tampak terkejut dengan air muka menandakan kekhawatiran. Aku hanya bisa mendesah berat sebelum akhirnya memberitahu sesuatu.Tepatnya tentang Mas Ilham yang datang membawa Romi mengaku sebagai dalang dari masalah ini. Apalagi Bu Wenda juga sudah tahu dan besar kemungkinan aku sudah jadi buah bibir orang-orang yang datang ke acara tasyakuran itu."Lalu, Ilham ke mana sekarang?""Dia bilang mau ke pesantren menjelaskan langsung pada Gus Qabil. Dia membawa Romi sekalian, Bu. Namun, entah kenapa hatiku gundah." Aku berucap panik."Gundah gimana maksud kamu, Nduk? Jangan buat ibu ikutan panik nanti jantungan lagi."Aku menggigit bibir, napas mulai tidak beraturan. "Jangan sampai Mas Ilham malah bicara yang tidak-tidak pada Gus Qabil. Tadi aja rumor itu didengar oleh Gus Hanan, Bu. Dia ada di situ waktu Bu Wenda ngegosipin aku!""Tenang!" pinta ibu memegang kedua pundak
Gus Qabil : Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh, Ukhty Yumna. Ada yang hendak aku sampaikan padamu, ini berkaitan dengan rumor yang beredar. Di pesantren masih belum tahu karena ibu-ibu yang sempat menggosipmu di depan adikku tadi pagi sudah kucegah. Tiba-tiba beberapa jam setelahnya, Ilham datang membawa seorang lelaki bernama Romi. Dia mengaku sebagai penyebar rumor itu dengan menggunakan akun palsu atas nama Ilham Thalib. Aku sempat merasa lega karena bukan kamu pelakunya, tetapi Romi melanjutkan bahwa dia melakukan itu karena dihadang seorang perempuan di jalan, lalu memberinya uang dengan syarat menyebar hoax. Nama perempuan yang menghadang adalah Yumna. Sekarang aku mengerti, kamu meminta Ilham ke pesantren untuk menjelaskan padaku dengan membawa Romi agar tuduhan untukmu lepas. Padahal kebenaran telah terungkap. Aku tahu, kamu yang melakukan ini!Setelah pesan aksara yang lumayan panjang itu, Gus Qabil mengirim stiker tangan mengatup. Hati begitu perih membaca de
"M-mas Ilham?"Lelaki itu sekali lagi tersenyum. "Boleh aku masuk?"Andin tiba-tiba menyikut lenganku. Ah, dia memang selalu muncul tak terduga. Mas Ilham diminta duduk di kursi yang katanya kinclong gara-gara aku yang semangat membersihkan.Aku melotot padanya, tetapi Andin menjelaskan lagi pada Mas Ilham kalau aku memang seaneh itu jika sedang berbunga-bunga. Perempuan itu baru akan diam ketika aku mendaratkan telapak tangan di dahinya yang sedikit lebar.Ibu ikut duduk di kursi tamu tepat di sampingku, di sebelahnya lagi ada Andin yang terus tersenyum semringah. Ibu memang tidak pendendam, makanya setelah luka itu diberi Mas Ilham, beliau mengaku sudah memaafkan."Ada apa, Nak Ilham?"Mas Ilham tersenyum malu-malu, dia terlihat kesulitan menyampaikan maksud. Aku ikut deg-dengan, tetapi jauh di lubuk hati sama sekali tidak berharap di lamar untuk kedua kalinya. Cukuplah kemarin menjadi pelajaran untuk tidak menikah dengan lelaki seperti Ma
"Serupa guyonan dalam Cinta 2 Kodi; kami tidak akan bersatu karena beda keyakinan."–Yumna Alishba Nazafarin. *** "Jadi, Mas Ilham itu murtad?" tanya Andin terkejut ketika aku mengutip jawaban dari novel Cinta 2 Kodi. Aku menggeleng sebegai jawaban. "Dia muslim. Hanya saja Mas Ilham yakin alamarannya akan aku terima, makanya kembali untuk kali kedua walau pernah membuat masalah sebelumnya. Sementara aku, merasa yakin tidak akan menerima lamaran itu." Andin melongo, mata indahnya mengerjap berulang kali. Dia mungkin tidak percaya dengan jawabanku karena sejak tadi perempuan berwajah oriental itu terus memaparkan sisi baik Mas Ilham. "Kalau kamu mau menikah dengan Mas Ilham, maka silakan saja, Ndin. Orang tua dan Mas Dika ndak setuju. Lagi pula aku sedang dalam kebimbangan," jawabku jujur. Aku bimbang memikirkan perasaan Gus Hanan. Ah, terlalu banyak nama lelaki yang singgah dalam pikiran sampai aku kesulitan untuk memilih. Sebenarnya tadi malam salat istikharah, tetapi aku merasa b
Setelah kepergian Mas Ilham, aku kembali masuk kamar dan bersandar di kepala ranjang beralaskan bantal sebagai penyangga. Sedikit lega, tetapi kepala nyut-nyut juga.Andin sejak tadi diam mendengar jawaban penolakanku, begitu juga dengan ibu. Aku tahu bagaimana terlukanya hati Mas Ilham. Sebenarnya tidak tega dan ada sedikit rasa untuk menerima, tetapi aku lebih memilih mengejar cinta penuh rida Ilahi dan kedua orangtua."Kira-kira Mas Ilham sedang apa, ya?""Aku tidak tahu itu. Lagian kenala akhir-akhir ini kamu sangat membelanya? Jangan-jangan ....""Jangan-jangan apa?"Aku tertawa kecil tidak meneruskan kalimat tadi. Ya, ada prasangka bahwa Andin bekerjasama dengan Mas Ilham. Namun, aku tidak ingin mengutarakan, bisa menjadi masalah besar.Mata kembali terpejam. Hanya terpejam karena ketika ada masalah, aku selalu kesulitan untuk terlelap bahkan hingga hari ini. Dulu, aku selalu meraih buku atau berinteraksi dengan al-qur'an untuk membunu
"Ibu, apa lamaran Gus Hanan ditolak saja?" tanyaku ragu-ragu.Selama ini sibuk menimbang hingga sekarang masih belum menemukan jawaban padahal ba'da dzuhur mereka akan datang sesuai janji Gus Qabil malam tadi. Jejak kenangan terus tereja dalam memori sejak waktu terasa tak berdetak begitu Mas Dika menyampaikan unek-uneknya."Apa alasanmu menolak lamaran Gus Hanan? Dia baik agama dan akhlaknya. Lantas tidak takut jika kelak musibah menimpa kamu? Beliau akan datang bersama Kyai Sholeh, apa berani menolak?"Aku diam, semua yang dikatakan ibu ada benarnya. Namun, bagaimana dengan Mas Dika yang kehilangan cahayanya? Apakah ditakdirkan hidup sebagai mentari redup?"Bu, aku belum mencintai Gus Hanan dan malu pada keluarganya yang semua orang berilmu. Coba Ibu bayangkan dilamar putra kyai yang sangat disegani. Semua orang akan mengira aku bodoh, tetapi memang sulit menjalaninya," lirihku."Apa maksudmu menolak lamaran Gus Hanan?" Pertanyaan Mas Dika berhasil meluruhkan air mata yang sejak tadi
"Maaf, Mas. Haram melamar pinangan orang lain," gumamku berhasil membuat Mas Ilham membisu.Selama ini aku tidak pernah menduga akan dilamar untuk kali ketiga. Padahal sudah banyak waktu terlewat menuai luka yang begitu dalam.Aku menunduk, tidak sanggup menatap wajah yang penuh kedukaan apalagi jika melihat mata Mas Ilham. Pasti ada perih yang seketika membelenggunya. Aku memejamkan mata berusaha menenangkan diri."Carilah perempuan lain, Ham. Yumna sudah dilamar Gus Hanan. Jawabannya sudah ada hanya belum menyampaikan.""Tapi aku cinta ....""Cinta saja tidak cukup. Takdir yang menentukan sementara kita menjalani. Tiada cinta tanpa pengorbanan. Mungkin memang ini yang sudah menjadi takdirmu. Terima saja walau perih merajai hati." Penjelasan Mas Dika cukup bisa membungkam lelaki itu.Masalah kesungguhan hati, aku bjsa merasakannya. Dia memeriksakan diri, kemudian kembali dengan sejuta harapan berujung nestapa. Kejujuran memang a
"Diamlah! Cinta adalah sebutir permata yang tak bisa kaulemparkan sembarangan umpama sebutir batu." –Jalaluddin Rumi.***"Mas, janji loh ya temani ke toko jilbab. Aku tuh mau pakai jilbab baru saat menerima lamaran!" teriakku sambil mengetuk pintu kamar Mas Dika.Tidak ada sahutan padahal sudah puku sepuluh siang. Kalau terus-terusan begini lebih baik pergi sendiri. Aku meminai sekliling rumah mencoba menemukan kunci motor. Nihil."Mas, kunci motor ada di kamu?" teriakku kesal.Bukannya menjawab, Mas Dika malah tertawa jahat. Aku semakin kesal sampai menendang daun pintu tersebut. Rengekanku tidak berarti lagi, Mas Dika kekeuh menutup pintu.Sialnya karena ayah ibu tidak ada di sini, jadi dia bebas berulah. Berulang kali aku memutar otak agar bisa menemukan cara, tetap gagal. Memang ada satu lagi, tetapi tidak meyakinkan.'Coba saja! Kalau gagal, gak apa!', bisik hati nuraniku.Pintu kamar kembali kuketuk. "Ya udah, engg
Ada pesan What$app dari Nurul yang izin bertamu jam dua siang. Sebenarnya it's okay, hanya saja nanti Mas Dika marah. Permintaannya ditolak, tetapi tetap juga datang.Sekarang dia ada di depanku. Mas Dika yang mendengar kabar kedatangan Nurul buru-buru masuk kamar dengan membanting pintu kasar. Aku sampai terperanjat dan mengelus dada."Aku mau ke Amerika minggu depan, Yum. Sebelum ke sana, tolong maafkan aku. Sampaikan pada Mas Dika juga ibu dan ayahmu." Nurul memulai percakapan dengan mimik datar."Serius?" tanyaku kaget.Dia mengangguk. "Sebelum ke Amerika, aku sudah harus selesai mengunjungi semua orang yang pernah kubuat sakit hati. Aku ingin memulai lembaran baru, maka harus meninggalkan Indonesia.""Mas Ilham sudah tahu?" Walau mereka sudah cerai, aku tidak tahu kenapa menanyakan itu. Nurul menggeleng lemah."Di sana nanti sama siapa?""Saudaranya mendiang ibu." Setelah itu Nurul menyodorkan sebuah surat. Katanya buat Mas Dika.
Sepulang dari belanja, aku kaget melihat banyak ibu-ibu kumpul di depan rumah seperti acara bagi sembako. Kali ini masih dipimpin Bu Wenda dan Bu Arin. Mereka selalu berulah seperti akan sekarat jika sehari belum menggibah atau fitnah orang lain. Andin ikut singgah dengan beberapa belanjaan dan itu mengundang perhatian mereka sambil berbisik-bisik. Aku hanya bisa diam karena belum tahu duduk masalahnya. "Mas Dika mana, Bu?" tanyaku setelah menyadari ibu menghadapi mereka semua sendirian. "Masmu lagi ke luar beli ... ibu lupa." "Jawab dong, Bu kenapa sampai cerai sama ayah Dika?" Mataku membulat sempurna mendengar mereka. Pantas saja kumpul seperti orang unjuk rasa, ternyata kepo tingkat dewa. "Wah, Yumna langsung belanja banyak setelah menerima uang dari ayah Dika. Baru pertama seumur hidup ya?" Aku tidak tahu siapa yang melempar pertanyaan itu. Hati mendadak panas, aku meremas gamis sendiri agar bisa menguasai diri. Mereka semua sudah kelewat batas. Semua belanjaan kuserahkan
"Mas, kamu mau ngerebut ayah, kan?" tuduh Nurul yang sengaja bertamu ke rumah kami"Apa katamu? Aku ngerebut ayah?" Mas Dika terkekeh pelan dengan tatapan nyalang. "Ayahku cuma satu dan sedang bekerja. Mentang Pak Fajar itu orang kaya lantas aku akan merebutnya? Sorry, aku gak matre kayak kamu!"Tetangga ada yang melihat kami dari kejauhan, mungkin penasaran apa yang sedang terjadi. Ya, kabar Nurul sebagai adik Mas Dika belum menyebar, aku suka itu.Katanya Mas Dika ingin merebut ayahnya? Ambil saja Pak Fajar-mu itu! batinku kesal."Lalu, kenapa kamu menerima uang sepuluh juta dan ATM itu. Aku saja gak dikasih!" protes Nurul. Aku pikir dia benar berubah kemarin atau karena uang, makanya marah?Mas Dika hendak masuk rumah, mungkin mau mengembalikan apa yang diterimanya kemarin, tetapi aku mencekal sekuat tenaga. Setelah itu, melirik pada Nurul. "Mas Dika punya hak, bahkan lebih daripada kamu!" tegasku."Ibumu dicerai hidup, tetapi ibuku dicer
Tiga puluh lima menit berlalu, sebuah alphard hitam terparkir di halaman depan. Untuk rumah sesederhana ini, aku merasa tidak cocok jika ada mobil mewah di depan. Terlalu mencolok. Seorang lelaki paruh baya dengan perut sedikit besar ke luar dari mobil. Dia memakai kacamata minus. Jas warna abu muda dengan sepatu hitam. Penampilannya jauh berbeda waktu datang sama Nurul. Dia mengetuk pintu, mengucap salam tanpa tahu kami mengintip di balik jendela. Mas Dika membuka, aku bisa melihat tangannya yang gemetaran. Ketika daun pintu terbuka lebar, Pak Fajar terpaku sesaat memindai Mas Dika dari bawah ke atas. Detik selanjutnya, hanya tangisan yang sedikit menggema di rumah sederhana ini. Dia memeluk penuh kerinduan. Aku tidak tahu kenapa dulu beliau mengaku bujang padahal ibu penyayang. "Silakan duduk!" Mas Dika menyilakan Pak Fajar. Beliau duduk di depan kami. Bisa kulihat binar kebahagiaan di matanya, senyum pun merekah menciptakan keriput kecil di
22 08 22Aku suka tanggal itu karena angka di depan dan belakangnya sama persis, kemudian di antarai angka nol dan delapan yang tidak berujung. Jika diumpamakan ; 22 adalah sepasang kekasih, cinta pun sayangnya tiada ujung.Di tanggal itu pula Pak Fajar ditemani Nurul datang bertamu ke rumah mencari Mas Dika, sementara hanya ada aku dan ibu yang bibirnya terkatup rapat. Lelaki paruh baya ini sangat mirip dengan masku, Nurul mungkin tidak memikirkan itu sebelumnya."Sekali saja, Dahlia. Sekali saja aku ingin melihat Dika!" mohonnya."Maaf, Pak Fajar. Namun, Dika selama ini mengira ayahnya telah meninggal." Ibu menyahut setelah lima menit diam. Itu pun karena aku memegang tangannya.Pak Fajar mendesah berat, aku bisa melihat bagaimana dia tidak mudah putus asa atau menyerah jika butuh sesuatu. Nurul sejak tadi tidak pernah membuka suara, aku tidak tahu bagaimana caranya menyampaikan tentang Mas Dika pada ayah mereka.'Ayah mereka', aku tidak s
Mas Dika pulang ke rumah pukul tiga sore, sementara ayah katanya menyusul karena singgah dulu di rumah teman lama yang sefrekuensi. "Mas, tadi Nurul ada di sini loh nungguin kamu!" aduku ragu-ragu. "Ngapain nunggu mas? Gak ada urusan!" ketusnya. "Mas, dia kan adik kamu juga. Apa nanti Mas Dika berubah dan melupakanku apalagi kalau sudah menikah dengan Gus Hanan?" "Yumna, kamu itu ngomong apa sih?! Cuma kamu adik mas gak ada yang lain!" Suara Mas Dika meninggi, aku sedikit takut mendengarnya. Ibu memanggil Mas Dika, sementara aku melangkah cepat masuk kamar. Mungkin sekarang lebih baik mengabari Amel tentang fakta mengejutkan ini. Ketika sibuk dengan ponsel, aku teringat pada Mas Ilham. Sejak lamaran aku tolak, nomornya tidak pernah aktif lagi. Apalagi sekadar lewat atau menyapaku. Tidak ada kabar, Nurul pun seperti enggan memberitahu. "Halo, Amel. Apa aku mengganggu?" sapaku ketika panggilan tersambung. "Tidak, lagi san