"Stop, jangan sebut nama Lesley, dia meninggalkanku, dia—"
"Dia pantas meninggalkanmu, meninggalkan seorang pecundang yang terlalu takut menyampaikan apa yang dirasakannya. Seandainya aku seorang perempuan, aku pun akan melakukan hal yang sama, meninggalkan hubungan yang tak memiliki kepastian. Jadi jangan salahkan Lesley yang lebih memilih orang lain dibanding kau, Ed."
"Lalu kau mau apa dengan hubunganku dan Grace?"
"Mungkin aku dan Karen memang belum berakhir, tapi bukan berarti aku tak bisa mendekati siapa pun yang aku inginkan. Aku lebih berani mengatakan apa yang kurasakan, meski hasil akhir terkadang tak sesuai ekspektasi setidaknya aku tidak menyandang predikat pecundang sepertimu, kau paham?"
Tanpa banyak bicara lagi, Edward melayangkan sebuah pukulan ke wajah Ethan sekuat tenaga. Ethan tak melawan, disentuhnya pipi yang menjadi sasaran Edward, terasa nyeri, tapi itu tak seberapa.
"Kalau kau bicara lagi, aku tak akan segan menghabisim
Tak lama kemudian sebuah hidangan tersedia di meja. Edward langsung mengambil sandwich yang dibuat oleh Mrs. Collins, dan memakannya dengan lahap. Kedua mata Grace tak berpaling dari wajah Edward, ditatapnya lekat, ada desiran hangat yang mengalir di dadanya, dan dia masih belum mengerti perasaan apa yang dirasakannya. Dia tahu, ketika dia berada di Northville, meski dia berusaha melupakan Edward, tetap tak bisa, apalagi saat Ethan muncul, membuat sosok Edward semakin lekat di dalam ingatannya. Grace tersenyum ketika melihat Edward yang kini berada di hadapannya. “Kau daritadi tersenyum sendiri, apa kau sedang melamunkan hal-hal berbau mesum?” tanya Edward membuyarkan lamunan Grace. “Heh, kau ini kalau bicara jangan sembarangan, apa salahnya menonton film porno, aku masih normal, tidak seperti kau yang—“ Edward mengangkat satu alisnya, membuat Grace langsung berhenti berbicara. “Apa?” “Eh ... kau itu—“ “Perjelas,” potong Edward sekali
Edward segera memersiapkan diri, dia ingin membawa Grace makan malam bersamanya, tentunya hanya berdua, dia tak mau lagi ada pengganggu. Edward tak kembali ke rumah, dengan cepat dia meluncur ke arah rumah Grace. Bahkan tadi dia menolak ajakan Vanes dan Mark yang mengajaknya ke bar, tentu saja kedua pemuda itu tahu betul Edward akan pergi bersama siapa. Sesampainya di sana, Mrs. Collins yang membukakan pintu, dan tebak .... Grace tak ada di rumah, rupanya Kevin telah membawa Grace pergi lebih dulu dari beberapa jam yang lalu. “Grace tak ada di rumah, Ed,” ujar Mrs. Collins memersilakan Edward untuk masuk ke dalam rumah. “Ma-maksudmu ... dia sudah pergi?” “Iya.” Edward memegang bahu Mrs. Collins dan mengguncangnya, “Katakan padaku, dia pergi dengan siapa?!” “Seorang pemuda, namanya ... Kevin,” jawab Mrs. Collins. Mrs. Collins tak tahu apa yang sebenarnya terjadi, dan tak pernah mengetahui jika putri kesayangannya sekarang menjadi idola
“Kenapa setiap kali kita bertemu, selalu berakhir seperti ini. Waktu terus berjalan, semakin hari semakin berkurang, yang harus kuhadapi bukan hanya Kevin, masih ada satu orang atau mungkin beberapa orang lagi di luar sana, Grace. Entah apa yang membuatmu istimewa sehingga aku tak mengalihkan pandanganku,” ujar Edward tanpa memerlukan tanggapan dari siapa pun. Edward kembali terdiam, terpaku di tempatnya, terkadang kau menyalahkan takdir, di mana kau sebenarnya bisa mengubah takdir itu. Hujan semakin deras, tak dipedulikannya derai hujan yang menghajar tubuhnya, air hujan yang terus menerus membasahi tubuhnya tak sebanding dengan apa yang hatinya rasakan. Sakit. Kecewa! Edward tak tahu jika Grace masih terus mencari dan mengejarnya, begitu pun dengan Kevin yang merasa ada sesuatu, dia keluar dari dalam restoran dan mencari Grace. Ketiganya saling mencari, berusaha menemukan, dan mendapatkan jawabannya. “Edward!!!” teriak Grace ketika melihat Edward yang kini
Edward memutuskan kembali ke rumah, tanpa disangka, kedua sahabatnya sudah menunggu di ruang tamu bersama ... Ethan? Ketiganya bercakap-cakap sambil bermain kartu tanpa menyadari bahwa Edward sedang menatap ketiga pemuda yang dianggapnya menyedihkan itu. “Lihat, pemuda gengsi itu basah kehujanan, apa kencanmu gagal?” tanya Ethan sedikit mengejek. Sebenarnya dia ingin meledek Edward lebih jauh, tapi sekilas dia memerhatikan raut wajah Edward yang tak memiliki gairah menanggapi kalimatnya, wajahnya terlihat acak-acakan. “Hey, Ed. Kenapa dengan pakaianmu?” tanya Mark penasaran. Edward terlihat seperti orang frustasi yang baru saja gagal bunuh diri. Dia tetap tak menjawab, melainkan menghampiri ketiganya di sofa, kemudian mengempaskan tubuhnya dengan kasar, lalu menarik rambutnya. “Kau kenapa?’ tanya Vanes kali ini, dirapikan kartu dalam genggamannya dan diletakkan ke atas meja, dia ingin tahu dari mulut Edward apa yang membuatnya seperti ini. Edward meng
Ethan mengangguk dengan tegas, dia tak pernah main-main dengan ucapan, apa yang ingin dilakukan, akan dijalankannya tanpa keraguan. Ethan adalah Ethan, bukan Edward yang masih saja mementingkan ego, membuatnya terlihat seperti orang dungu yang terus meratapi nasib, tanpa mampu berbuat apa pun. “Aku akan membawa Grace jika sampai batas waktunya kau masih juga tak bisa berterus terang.” “Lalu mau kau apakan Grace?” “Menjadikannya milikku seutuhnya, kau tahu ... aku yakin dia pasti akan menerimaku, jika nanti kau gagal mengatakan perasaanmu. Lagipula kenapa kau begitu suka menahan rasa sakit, kau tak lihat, Kevin sudah mendahuluimu, lalu kalau kau tak berani juga, kau akan kehilangan Grace.” “Menjadi milikmu, dan begitu percaya dirinya, kalau Grace mau menerimamu?” “Tentu saja percaya diri,” Ethan terdiam kemudian tersenyum dan melanjutkan kembali kalimatnya, “ada sesuatu yang mampu mengikat kita, sesuatu dari diri Grace, semakin kau berusaha men
Mrs. Jason menggebrak meja dengan kencang membuat Andrew terdiam, dadanya berdebar sangat kencang, takut-takut kalau permaisuri di hadapannya akan memakinya. “Penari telanjang maksudmu? Atau penari apa? Lalu di klub malam, mau jadi apa masa depan anakku! Segera bereskan gadis itu!” bentak Mrs. Jason setengah berteriak saking kesalnya. Andrew pun mengangguk dan keluar dari ruangan Mrs. Jason. Ya, hal itu baru sampai di telinga ibu dari Edward, bagaimana kalau sudah sampai di telinga ayahnya? Kujamin, perang antara Irak dan Iran tak ada apa-apanya! * Grace mulai memasuki babak baru kehidupannya, dia, adik-adiknya, dan kedua orangtuanya pindah ke rumah baru yang sengaja dbelikan Edward untuknya. Sebetulnya sudah berkali-kali Grace menolak, karena dia tak mau merasa berutang budi, semakin ditolak, Edward justru mengamuk. Di pagi hari dia akan pergi ke kampus hingga pukul tiga sore, lalu malamnya dia akan menjadi seorang pekerja di sebuah klub malam, menar
Grace membetulkan pakaiannya yang sempat diacak-acak kelima pemuda sinting yang kini saling bersitegang dengan Ethan, entah kenapa Ethan terlihat begitu jantan di mata Grace ketika sedang membelanya. “Kau pergi saja duluan,” ujar Ethan bergerak mundur berusaha menghampiri Grace yang berdiri di belakangnya, kemudian menuntun Grace dan membuka pintu dengan satu tangannya. “Aku tak mau, aku mau pergi bersama-sama,” jawab Grace. “Gadis berkepala batu, pergilah, orang-orangku akan menjagamu. Kelima cecunguk ini biar aku yang menjaganya dan memberikan sedikit pelajaran.” Grace berbisik ke telinga Ethan, “Kau yakin? Mereka bertubuh sama sepertimu, apa kau mau mati konyol?” “Sshht, kau tak percaya denganku?” Salah seorang pemuda maju ke depan dan langsung memberikan salam perkenalan di rahang kiri Ethan, membuat Ethan terhuyung dan hampir terjatuh, oke ... baru pemanasan, dan Ethan mulai mempersiapkan diri untuk menerima serangan berikutnya.
Pelipis kiri Ethan berdarah, belum lagi bibirnya, pasti sangat sakit, dan Grace tak bisa membayangkan rasanya. Ethan bergerak pelan, sembari mengerang, seluruh tubuhnya terasa nyeri. Kedua mata Ethan berusaha membuka, dilihatnya Grace sedang menangis sambil memanggil namanya. "Gadis idiot, buat apa menangis?" Grace mengusap airmata yang membasahi kedua pipinya dan memaksakan dirinya untuk tertawa, "Heh, kau membuatku khawatir. Kenapa kau berkorban seperti ini? Kau bisa mati," jawabnya, dan Grace tetap tak bisa menahan tangisannya. Ethan berusaha mengangkat satu tangannya, kemudian perlahan mengusap pipi Grace yang basah dengan airmata, "Se-seandainya, aku mati pun karena berkorban untukmu... aku tak akan pernah menyesal. Grace... ikutlah denganku," kata Ethan terpatah-patah. "I-ikut ke mana?" "Pergi bersama ke Italia, kau pasti paham maksudku, aku--" Belum sempat Ethan melanjutkan kalimatnya, dia pun terdiam. Pi
Lindsay berencana pergi menemui Tuan Besar Dupont, untuk menagih sesuatu yang telah dijanjikannya. Setidaknya, meski Michael Dupont kurang menyukainya, wanita itu mampu mengerjakan pekerjaan yang terkadang tak mungkin dilakukan orang lain. Apa pun demi uang dia akan melakukannya meski melakukan hal terkotor sekalipun.Lindsay merayap naik ke atas tempat tidur, dilihat Travis masih tertidur pulas dan mendengkur. Semalam dia tak bisa melupakan betapa jantan Travis di atas ranjang, membuatnya kewalahan melayani nafsu liar pria itu.Travis dan Lindsay, kedua berencana untuk menikah tak lama lagi. Sayang, tampaknya pernikahan itu harus tertunda atau mungkin tak akan pernah benar-benar terwujud.Lindsay menyentuh wajah Travis yang dipenuhi bulu-bulu halus. Ketampanan serta keperkasaan pria itu benar-benar membuat Lindsay tergila-gila.“Sayang, kenapa kau selalu mampu membuatku memohon kepadamu untuk menikmati setiap cumbuanmu di tubuhk
“Kalau kau tak paham, mungkin senjata ini mampu membuatmu mengingat kembali kejadian di pelabuhan.”Tak perlu berbicara panjang bagi Timothy. Dia menodongkan sebuah pistol ke arah kening Eric dan bersiap untuk menarik pelatuknya.Tubuh Eric seketika menegang dan membeku di tempat, begitu melihat raut wajah Timothy yang benar-benar menyeramkan baginya. Awalnya dia mengira Timothy hanya sekadar mengancamnya, nyatanya ... dia siap menearik pelatuk itu kapan saja, jika Eric berani membantahnya!“Aku ... sungguh tak mengerti dengan apa yang kamu katakan, Tuan. Kejadian di pelabuhan? Mungkin kita bisa membicarakannya dengan kepala dingin?” tanya Eric, berusaha bernegosiasi, agar setidaknya Timothy berbaik hati menurunkan senjata itu dari kepalanya.Beberapa wanita yang sedang bersama Eric di dalam ruangan itu perlahan keluar dari dalam ruang VIP, mereka seketika merasakan seperti dewa kematian berada di dalam ruangan. Tak ada yang berani
Ethan langsung memahami maksud dari perkataan Timothy barusan. Jadi siapa yang akan diburu Timothy saat ini?Sebelumnya Timothy tak mengatakan apa pun pada Ethan, dia mengira-ngira apa yan akan dilakukan Timothy, dan siapa yang menjadi targetnya kali ini. Ethan mengajak Grace ke sebuah restoran mahal, dia mengajak gadis yang dicintainya itu untuk menikmati makan siang di sana.Grace yang biasanya manja pada Ethan, kini terlihat kaku dan canggung, perasaan bersalah itu terus menghantuinya. Dia merasa benar-benar bodoh, kalau saja dia tak mabuk saat itu, tentu tak akan menjadi seperti ini suasananya. Meski Ethan mencoba bersikap biasa saja, tetap perasaan ganjil itu ada di dalam hatinya.“Apa kau ingin memesan sesuatu?” tanya Ethan.“Kau saja yang memesannya untukku,” jawab Grace,Besok dia harus menemui John karena harus menemui seorang klien spesial, seorang produser yang tertarik padanya, dan ingin memakai dir
Kevin merasa pria tua yang menolongnya benar-benar misterius, senyuman yang diberikan padanya seperti memiliki kesan tersendiri yang dia sendiri tak bisa mengerti apa maksudnya.Tetapi dia tak terlalu memikirkannya, karena pria itu setidaknya telah menyelamatkan hidupnya. Jika bukan karena dirinya, bisa dipastikan dia sudah mati jauh sebelumnya. Dia tak tahu bagaimana caranya membalas hutang budi pada Cornelius, hanya saja begitu dia bisa kembali ke kota, dia akan memberikan sesuatu pada pria tua itu.Kevin mencoba mengingat nomor telepon milik Timothy. Hanya nomor milik Timothy yang bisa diingatnya, karena nomor itu memiliki beberapa angka yang sama.Panggilan tersambungkan.Timohty melihat sebuah nomor tak dikenal muncul di layar ponsel meminta jawaban darinya.“Ya, dengan siapa?” tanya Timothy dengan kening berkerut. Biasanya dia malas untuk menjawab panggilan tak dikenal, tapi kali ini dia mengikuti kata hatinya untuk
Baru kali ini dia merasa jatuh cinta itu menyesakkan perasaan dan dia paham apa yang dirasakan Edward dulu kini dirasakan olehnya. Berkali-kali dia menyakiti Edward, mengacuhkan perasaannya, mengabaikan perhatian yang diberikan, dan saat Edward melupakan kenangan bersamanya dia merasa sakit yang didapat berkali lipat dari apa yang dirasakan Edward sebelumnya.Grace pun berjalan meninggalkan Edward, berusaha untuk tak mengabaikan Edward.“Asal kau tahu, sewaktu ingatanmu belum hilang, aku tak pernah mencintaimu!”Begitu mendengar apa yang baru saja dilontarkan dari mulut Grace, Edward terdiam dan mematung di tempat. Dia tak menyangka kalimat yang baru saja didengarnya mampu membuat dadanya terasa ditusuk oleh sebilah pisau tajam, dan membuatnya berdarah-darah.Ethan telah menunggu Grace di luar, begitu dilihatnya Grace telah keluar dengan wajah yang terlihat sedih, dia mengerti sesuatu memang telah terjadi di antara kedua or
“Jason, kumohon jangan gegabah. Michael Dupont sekarang berbeda dengan yang dulu. Aku rasa keluarganya telah mendapatkan dukungan yang cukup kuat di Paris. Lagi pula, tak semudah itu membalasmu.”Jason hampir saja menepis cangkir kopi yang berada di atas meja, karena terbakar oleh amarah pada Keluarga Dupont.“Aku tak pernah semarah ini, Cathy. Kau lihat apa yang telah diperbuatnya? Mereka benar-benar telah membuatku terbakar amarah. Mereka sengaja sepertinya menggunakan Edward untuk memancingku keluar. Cepat atau lambat aku menemuinya jika itu yang mereka inginkan!”Cathy memeluk suaminya, dia tak pernah menyangka, masa lalu yang seharusnya berlalu kembali menghantui kehidupannya yang disangkanya telah benar-benar tenang.Sedangkan di tempat lain, Ethan merasakan sedikit perubahan terjadi pada Grace semenjak dia kembali ke apartemen. Gadis itu terlihat lebih pendiam, bahkan dia tak lagi begitu perhatian pada Ethan. M
Lily tak percaya, Edward bisa sedemikian kasar pada dirinya. Selama ini dia percaya, rahasia yang dipendamnya akan tetap aman, ternyata ... tak semudah yang dipikirkan olehnya.“Kau percaya dengan kebohongan yang mungkin kau dengar dari orang lain?” tanya Lily, masih berusaha menutupi kebenaran yang sudah mulai terbuka dikit demi sedikit.“Bagaimana jika orang lain yang kau katakan berbohong padaku, ternyata telah menunjukkan sebuah kebenaran padaku?”Lily terdiam, wajahnya menjadi pucat, sepucat kapas. Lily menjadi ragu jika Edward benar-benar masih lupa ingatan. Melihat cara Edward memandangnya, dia yakin ada sesuatu yang tak beres saat semalaman Edward tak kembali ke apartemen.Sebetulnya siapa yang ditemui Edward? Pikiran-pikiran seperti itulah yang kini memenuhi kepala Lily.“Ma-maksudmu apa?” tanya Lily terlihat semakin gugup. Edward kian menatap tajam ke arah Lily. Dia yakin, apa yang dikatak
Ethan terkejut melihat Grace yang telah kembali dengan penampilan yang sangat berantakan, dia berdiri di depan pintu dan menatap Ethan. “Kau ke mana, semalaman kau tak kembali membuatku khawatir, Grace,” ucap Ethan. Ethan menghampiri Grace dan langsung memeluknya. Grace sama sekali tak merapikan diri saat akan pulang. Dia tak tahan dengan rengekan Edward yang terus memaksa untuk pergi bersamanya. Sedangkan dia tak bisa meninggalkan Ethan. Meski dia tahu, dia tak mencintai Ethan, tapi perasaan bersalah karena telah tidur dengan Edward terus menghantuinya. Melihat wajah Ethan yang begitu mencemaskan dirinya, semakin memperkuat rasa bersalah yang dirasakan Grace. “Aku pergi ke bar, lalu karena merasa pusing, aku menyewa hotel untuk tidur di sana. Maafkan aku, karena aku tak menghubungimu sama sekali, Ethan.” “Aku senang kau kembali, aku pikir kau akan meninggalkanku,” jawab Ethan. Seandainya saja Ethan tahu, jika Grace telah mengkhianatin
Apakah Grace tak salah mendengar dengan permintaan Edward padanya?Pria itu menginginkannya pergi bersama, dan hanya berdua?Jika saja dia tak bersama Ethan, mungkin dengan senang hati Grace akan menerima tawaran Edward barusan. Perasaan cinta itu masih ada dan masih sama seperti sebelumnya. Tak ada yang bisa mematikan rasa yang tak pernah padam di dalam hati Grace.Grace meraih selimut yang berada di atas ranjang, dengan segera ditutupi tubuhnya. Edward menatap liar ke arah Grace dengan sesungging senyum penuh arti di wajahnya.“Aku ... tak bisa menerima tawaranmu. Biar bagaimanapun, aku telah membuat keputusan untuk meninggalkanmu saat di Detroit dan pergi bersama Ethan. Lagi pula kau tak mengingat siapa diriku, apa yang bisa kuharapkan dari pria yang sama sekali tak mengingat masa lalunya?”Edward terdiam begitu mendengar kalimat Grace yang cukup tajam menusuk perasaannya.Dia memang lupa ingatan.Dia memang tak menging