Setelah menutup telepon dari Max Marton, Sky segera berdiri untuk menghampiri Lizie yang sedang duduk bersama David. Mereka sedang bercanda dengan beberapa anak buah David yang sedang membuat lelucon mengenai pengunjung bar yang sedang mabuk.
"Sky, berapa botol whisky yang kau habiskan?" heran Lizie ketika melihat cara berjalan Sky yang agak sempoyongan.
"Kita harus pulang." Sky terlihat memijit-mijit pangkal hidungnya.
"Kau mabuk!" tuduh Lizie yang segera berdiri menghampirinya.
"Aku masih bisa menyetir."
Lizie melirik pada David yang kemudian ikut berdiri.
"Biar aku yang menyetir."
YUK JANGAN LUPA VOTE ,YA
Tidak seperti ketika Max Marton membacakan surat wasiat Gerald Dawson dua tahun yang lalu. Kali ini Mr. Marton akan membacakan semua surat wasiat Gerald Dawson di hadapan mereka semua secara terbuka. Jadi bukan hanya Lizie dan Sky, Vivian Dawson serta putrinya Celine juga ikut hadir untuk mendengarkan pembacaan surat wasiat tersebut bersama-sama. Mereka berkumpul di kantor notaris yang telah di tunjuk Gerald utuk mengurus semua wasiat dan harta peninggalannya. Kantor Max Marton ada di kawasan North Hampton tidak terlalu jauh dari tempat tinggal keluarga Dawson. Pertama-tama Mr. Marton menjelaskan mana-mana saja yang termasuk aset Gerald dan keseluruhan jumlah kekayaannya, merincinya satu-persatu. Notarisnya itu benar-benar menjabarkan semuanya, termasuk jumlah tabungan serta investasi yang selama ini tidak di ketahui oleh mereka
Sudah dua hari Lizie tinggal di tempat David, sementara Sky entah pergi ke mana karena dia juga sama sekali tidak ribut seperti biasanya untuk menelepon berulang-ulang. Sebenarnya Lizie juga merasa agak aneh dan diam-diam memikirkannya walaupun tidak berani bercerita kepada David jika dirinya dan Sky sedang memiliki masalah. Pagi sudah cukup terik, Lizie duduk di beranda belakang bar milik David yang langsung menghadap ke pantai. Suara camar yang beterbangan adalah satu-satunya polusi suara di awal musim semi. Angin berhembus agak kencang membuat terik matahari belakangan ini tidak begitu terasa menyengat tapi tiba-tiba sudah membakar kulit. Lizie memperhatikan David yang sedang berlari di pinggir pantai bersama anjing kelabunya yang terus mengekor. Beberapa kali anjing kecil itu terdengar menyalak agar David melempar lagi tongkat kay
Sky mengesahkan pernikahannya bersama Lizie di depan notaris yang di tunjuk Gerald Dawson. Hanya pengesahan pernikahan tanpa upacara sakral dan tanpa di hadiri siapapun kecuali beberapa saksi yang juga sudah disiapkan oleh Max Marton. Lize tidak menyangkan jika pernikahannya bakal sehening itu, dia hanya diminta menandatangi beberapa berkas. Tidak ada sumpah pernikahan, tidak ada gaun pengantin, apa lagi sebuah ciuman. Tiba-tiba Sky sudah menikahi Lizie dan rasanya memang tidak ada yang berbeda. Mereka kembali ke rumah pantai mereka di South Hampton seperti biasa dan baru besok lusa Sky rencananya akan mepersiapkan penerbangannya ke Inggris. Lizie berjalan masuk ke dalam rumah lebih dulu sampai tiba-tiba Sky melempar kunci mobilnya ke atas meja dan menyergap pinggang Lizie dari bela
Setelah Lizie cukup tenang dan lelah membanting barang, pelan-pelan Sky mendekatinya lagi. "Berendam lah akan kutemani," bujuk Sky. "Ini sakit, Sky, aku tidak mau lagi! " "Percayalah Lizie lama-lama tidak akan sakit." "Tidak aku masih tidak mau lagi! " tegas Lizie dengan begitu keras kepala. "Kau benar-benar seperti monster! Kau merobekku, Sky!" "Kita harus mencobanya lagi dan kau akan terbiasa." "Tidak, tidak dalam waktu dekat ini! Tidak sama sekali! " Lizie bangkit berdiri. "Ingat Sky jangan menyusul masuk ke kamarku!"
Setelah kemarin sudah merasakan seperti apa rasanya ketika hampir kehilangan Lizie saat hak perwaliannya berakhir, kali ini Sky yakin jika dirinya tidak akan melepaskan gadis itu lagi terserah dia suka atau tidak. Lizie memang hanya perlu sedikit dipaksa, dia tidak akan marah cukup lama. Walaupun mereka pasti masih akan ribut tapi Sky mulai terbiasa menikmatinya, gadis muda yang ternyata juga membuatnya ketagihan utuk diajak berdebat dan diatasi. Lizie berbaring malas di sofa mulai bosan karena seharian Sky hanya mengurungnya di apartemen. "Sky, kenapa kita tidak tinggal di Hampton saja sepanjang musim." Sky cuma pura-pura melirik Lizie sebentar sementara ia kembali sibuk membalas pesan untuk Tobias Harlot yang akan ikut pergi bersama mereka.
Sekembalinya dari rumah keluarga Loghan, Sky dan Tobias tidak langsung kembali ke New York, mereka menunda penerbangannya untuk esok hari dan malam ini Tobias mengajak mereka ke sebuah klub malam di Leeds. Lizie agak mengacau dengan naik ke atas meja bar dan berteriak akan mentraktir semua pengunjung bar. "Masukkan semuanya ke tagihanku!" Lizie menjentikkan jari pada kasir yang ikut menganga dari sudut mejanya tapi tetap mengangguk dengan kartu tanpa limit milik Sky yang baru lizie berikan padanya. "Apa-apaan kau ini?" Sky mendekati Lizie, bukan masalah tagihannya tapi Lizie yang mondar-mandir di atas meja bar sementara para laki-laki bersiul di bawahnya dengan mata-mata kotor. Lizie cuma memakai gaun sepangkal paha, tanpa alas ka
Begitu sampai kembali di apartemennya, Sky segera bergegas untuk keluar. "Kau mau kemana?" Heran Lizie melihat tingkah Sky. "Aku mau keluar sebentar." Sky sudah menyambar kunci mobilnya dan serba terburu-buru sampai belum berganti pakaian sejak dari penerbangan. "Kau akan menemui Emma?" todong Lizie yang sudah tidak mau basa-basi karena dia tahu sejak kemarin Sky menelpon Emma. Sky langsung berhenti untuk menoleh pada Lizie yang sudah siap melipat tangan di dada. "Ya, aku harus bertemu dengannya." Lizie masih tidak bergeming atau berkomentar. Sky jadi terlihat bimbang
"Sky apa kau belum juga selesai?" Lizie kembali menoleh ke belakang punggungnya, menoleh pada Sky yang masih terus mendesaknya. "Sebentar lagi." "Kakiku sudah pegal." "Oh ... , Lizie. Diam lah sebentar!" Sky sudah memberinya dua kali klimaks dan kali ini Lizie sedang tidak bisa konsentrasi untuk menikmati percintaan mereka lagi karena perutnya mulai melilit, sementara Sky belum juga usai. "Aku juga lapar, Sky," keluh Lizie. "Kita baru saja makan." "Aku sudah lapar." Sky juga agak heran, Lizie memang jadi sering lapar akhir-akhir ini. "Diamlah sebentar nanti akan kuajak kau makan di manapun yang kau mau." "Aku mau makan di restoran David." Lizie menoleh lagi ke belakang. Sudah hampir dua minggu Lizie selalu ribut mengajak ke Hampton tapi Sky masih selalu berhasil mengarang beribu alasan mengenai kesibukannya untuk terus mengulur-ulur waktu. "Boleh, tapi biarkan aku selesai dulu." S
"Selamat ulang tahun. " Di musim semi ulang tahun Lizie yang ke sembilan belas. Sky mengangkat Lizie untuk duduk di atas pangkuannya, mereka hanya berdua memandang ke luar dari jendela kaca besar yang menghadap langsung ke sisi pegunungan Alpen. "Aku ingin kita seperti ini dulu," bisik Sky ketika mempererat lengannya di pinggang Lizie dan menghirup puncak kepalanya dengan tarikan napas dalam. "Aku ingin memilikimu untuk diriku sendiri." Sky menyarukkan rahangnya yang terasa kasar dan menggelitik sisi leher gadis mudanya yang hangat dan lembut. "Aku adalah milikmu, kau boleh memilikiku sesuka hatimu." Sentuhan Sky adalah apa yang juga akan selalu Lizie inginkan.
Walaupun tangan kirinya masih di perban tapi Sky bersikeras bisa menyetir sendiri untuk membawa lizie pulang bersamanya. Sky memang keras kepala, padahal Tobias sudah sengaja datang pagi-pagi untuk mengantarkan mereka pulang. Lizie terpaksa masuk ke dalam mobil Sky dan melambai pada Tobias Harlot untuk sekaligus minta maaf. Lizie benar-benar merasa tidak enak karena bagaimanapun selama ini Tobias sudah sangat baik pada mereka. "Tulangku hanya retak bukan cacat!" kata Sky setelah Lizie duduk di sampingnya. "Ya, aku percaya." Lizie pilih setuju saja dibanding harus berdebat karena dia tahu Sky tidak suka diremehkan dan hal itu sudah jadi sifat dasarnya yang sulit dirubah. Sky memang masih bisa mengemudi dengan baik, lengan kirinya j
Tobias Harlot sudah coba menjelaskan dengan tenang tapi nyatanya air mata Lizie tetap merembas hangat dari masing-masing sudut matanya. Lizie meraba kembali perutnya yang sudah kembali rata dengan jemari tangannya yang agak kurus. Rasanya tetap pedih walaupun sudah tidak ada yang terasa perih lagi. "Jadi bayiku tidak selamat? " Tobias hanya berani mengangguk pelan. "Anak-anak akan berada di surga kau tidak perlu cemas." "Aku bahkan tidak sempat melihatnya." "Kau sudah berjuang dengan hebat, Sky pasti juga akan tetap bangga padamu." Lizie mulai menunduk dan terisak pelan.
Sky berjalan kembali ke mobilnya, berusaha mencengkram kemudinya dengan mantap untuk menguatkan langkahnya. Sky tidak boleh menyerah karena Lizie juga sudah berjuang dengan sangat keras. Sky menoleh pada buket bungan matahari di samping tempat duduknya dan kembali menghela napas dalam untuk memenuhi paru-parunya yang sesak. Sky sudah bersumpah pada Gerald untuk menjaga putrinya. Walaupun mungkin sahabatnya itu sudah lebur bersama tanah tapi sumpah Sky akan tetap berlaku untuknya. Sky tidak akan menyerah dia harus tetap hidup demi Lizie dan demi putri mereka yang sudah pergi tanpa sempat menangis. Sky berjalan melalui lorong dingin yang juga sudah dia lalui setiap hari tanpa pernah berubah. Semuanya masih sama, tidak ada perubahan berarti sejak dua bulan berlalu. Sky mengganti bunga matahari di dalam vas kaca dengan yang baru dia bawa,
Sky menoleh kembali tempat tidur di sampingnya yang kosong dan dingin, hampir tiga bulan berlalu tapi rasanya masih sulit dipercaya ia harus menjalani hidup seperti ini. Ini adalah musim dingin paling beku di sepanjang hidupnya . Sky tidak pernah tahan tiap kali mulai memikirkannya, hidup tanpa Lizie dan tanpa bayi mereka. Sky masih tertelungkup di atas tempat tidurnya setelah semalam Tobias menyeretnya pulang dari kekacauan yang dia buat di klub. Tobias sampai harus memukul Sky karena Celine menemukanya mabuk di klub dan berkelahi. Ternyata bukan hanya kesendiriannya yang sulit untuk dijalani, tapi kewarasannya juga semakin sulit untuk dijaga belakangan ini. Sky benar-benar tidak sanggup menjalani hidup seperti ini. Seolah dia hanya berjalan dan bernapas tanpa pernah benar-benar bisa hidup lagi. Sky masih ingat di mana dia menyimpan senjata apinya yang selalu siap sedia untuk mengakhiri segala penderitaan, godaan itu semakin menggoda untuk dituruti dan akan segera menjadikannya pen
Selama Mark bicara dengan Lizie, Sky sudah membuat keributan. Sky mengancam akan menuntut pihak rumah sakit jika mereka tidak segera mengambil tindakan. Tapi pihak rumah sakit juga tidak bisa melakukan pembedahan paksa tanpa persetujuan pasien. Sky tahu Lizie memanggil Mark Walder untuk meminta pertolongannya dan Sky sudah benar-benar kehilangan akal karena sikap keras kepala Lizie. Begitu melihat Mark baru keluar dari kamar Lizie Sky langsung menghampiri pria itu dan memukulnya. Sky memukul cukup keras sampai sudut bibir Mark langsung berdarah. Mark tidak membalas pukulan Sky karena dia tahu pemuda itu sedang sinting. Mungkin dia pun juga akan demikian jika berada di posisi Sky sekarang. "Jangan pernah merasa kau bisa menjadi pahlawan untuk Lizie ku!" ancam Sky sambil menunjuk Mar
Persis seperti yang dikhawatirkan Sky, kondisi Lizie menurun dengan begitu cepat, Lizie tidak akan sanggup menunggu dua minggu lagi. Lizie sudah tidak bisa mengkonsumsi makanan, tidak bisa beristirahat, tenaganya juga habis untuk menahan rasa sakit yang tidak kunjung usai. Nutrisi tubuhnya hanya didapatkan dari selang infus yang tidak akan pernah cukup untuk dirinya sendiri apalagi bayinya. Dua minggu tidak akan membawa perubahan untuk bayi mereka kecuali hanya akan membunuh Lizie pelan-pelan. Sudah tiga hari berlalu dan kondisi Lizie masih juga belum membaik sama sekali, dia masih terus mengalami kontraksi. Lizie tidak akan kuat menanggungnya hingga dua minggu lagi sementara kondisi fisik Lizie juga semakin tidak berdaya. Lizie sudah tidak diijinkan turun dari ranjang, dia harus istirahat total. Sky sudah nyaris gila menghadapi sikap keras kepala Lizie yang tetap bersikukuh untuk
Sky baru kembali dari menemui Tobias Harlot ketika melihat apartemennya yang sunyi. Rasanya agak aneh karena biasanya Lizie akan langsung menyambut di depan pintu tiap kali Sky pulang. "Lizie," panggil Sky masih belum terlalu khawatir karena mengira Lizie hanya sedang tidur lebih awal atau mendengarkan musik dari ponselnya seperti yang sering dia lakukan akhir-akhir ini untuk mengusir rasa mual. "Lizie," Sky kembali memanggil karena tidak melihat Lizie di kamarnya. Sky buru-buru memeriksa di balkon yang ternyata juga tidak ada siapa-siapa. Malam sudah gelap dan mustahil Lizie keluar sendiri tanpa meminta ijin atau memberitahunya. Sky kembali ke kamar dan saat itu dia baru sadar jika lampu kamar mandinya sedang menyala. Sky segera memeriksa dan terkejut melihat Iizie yang sedang bere
Walau masih malas bergerak tapi seperti Lizie mulai terlihat gelisah, tidurnya semakin tidak tenang akhir-akhir ini. "Sky, " gumam Lizie. "Hemm .... " Sky merapatkan lengannya untuk menarik tubuh Lize. "Aku mual." Lizie semakin mendesak dan menenggelamkan wajahnya ke dada Sky. Tubuh Lizie terasa lembut dan hangat, bergelung meringkuk seperti bayi trenggiling kecil yang kedinginan. Rasanya memang sedang tidak nyaman bagi Lizie. "Apa kau mau kubuatkan minuman hangat?" Lizie menggeleng, Lizie juga sudah tidak mau minum susu lagi tiga hari terakhir ini karena susu justru membuatnya semakin mual. Memasuki trimester pertama Lizie mulai mengalami peningkatan hormon yang membuat tubuhnya semakin sensitif dan rewel karena tidak bisa sembarangan menelan makanan. "Kau mau apa akan kubuatkan." "Aku bel