Sky mengesahkan pernikahannya bersama Lizie di depan notaris yang di tunjuk Gerald Dawson. Hanya pengesahan pernikahan tanpa upacara sakral dan tanpa di hadiri siapapun kecuali beberapa saksi yang juga sudah disiapkan oleh Max Marton.
Lize tidak menyangkan jika pernikahannya bakal sehening itu, dia hanya diminta menandatangi beberapa berkas. Tidak ada sumpah pernikahan, tidak ada gaun pengantin, apa lagi sebuah ciuman.
Tiba-tiba Sky sudah menikahi Lizie dan rasanya memang tidak ada yang berbeda. Mereka kembali ke rumah pantai mereka di South Hampton seperti biasa dan baru besok lusa Sky rencananya akan mepersiapkan penerbangannya ke Inggris.
Lizie berjalan masuk ke dalam rumah lebih dulu sampai tiba-tiba Sky melempar kunci mobilnya ke atas meja dan menyergap pinggang Lizie dari bela
YUHU AYO VOTE DULU
Setelah Lizie cukup tenang dan lelah membanting barang, pelan-pelan Sky mendekatinya lagi. "Berendam lah akan kutemani," bujuk Sky. "Ini sakit, Sky, aku tidak mau lagi! " "Percayalah Lizie lama-lama tidak akan sakit." "Tidak aku masih tidak mau lagi! " tegas Lizie dengan begitu keras kepala. "Kau benar-benar seperti monster! Kau merobekku, Sky!" "Kita harus mencobanya lagi dan kau akan terbiasa." "Tidak, tidak dalam waktu dekat ini! Tidak sama sekali! " Lizie bangkit berdiri. "Ingat Sky jangan menyusul masuk ke kamarku!"
Setelah kemarin sudah merasakan seperti apa rasanya ketika hampir kehilangan Lizie saat hak perwaliannya berakhir, kali ini Sky yakin jika dirinya tidak akan melepaskan gadis itu lagi terserah dia suka atau tidak. Lizie memang hanya perlu sedikit dipaksa, dia tidak akan marah cukup lama. Walaupun mereka pasti masih akan ribut tapi Sky mulai terbiasa menikmatinya, gadis muda yang ternyata juga membuatnya ketagihan utuk diajak berdebat dan diatasi. Lizie berbaring malas di sofa mulai bosan karena seharian Sky hanya mengurungnya di apartemen. "Sky, kenapa kita tidak tinggal di Hampton saja sepanjang musim." Sky cuma pura-pura melirik Lizie sebentar sementara ia kembali sibuk membalas pesan untuk Tobias Harlot yang akan ikut pergi bersama mereka.
Sekembalinya dari rumah keluarga Loghan, Sky dan Tobias tidak langsung kembali ke New York, mereka menunda penerbangannya untuk esok hari dan malam ini Tobias mengajak mereka ke sebuah klub malam di Leeds. Lizie agak mengacau dengan naik ke atas meja bar dan berteriak akan mentraktir semua pengunjung bar. "Masukkan semuanya ke tagihanku!" Lizie menjentikkan jari pada kasir yang ikut menganga dari sudut mejanya tapi tetap mengangguk dengan kartu tanpa limit milik Sky yang baru lizie berikan padanya. "Apa-apaan kau ini?" Sky mendekati Lizie, bukan masalah tagihannya tapi Lizie yang mondar-mandir di atas meja bar sementara para laki-laki bersiul di bawahnya dengan mata-mata kotor. Lizie cuma memakai gaun sepangkal paha, tanpa alas ka
Begitu sampai kembali di apartemennya, Sky segera bergegas untuk keluar. "Kau mau kemana?" Heran Lizie melihat tingkah Sky. "Aku mau keluar sebentar." Sky sudah menyambar kunci mobilnya dan serba terburu-buru sampai belum berganti pakaian sejak dari penerbangan. "Kau akan menemui Emma?" todong Lizie yang sudah tidak mau basa-basi karena dia tahu sejak kemarin Sky menelpon Emma. Sky langsung berhenti untuk menoleh pada Lizie yang sudah siap melipat tangan di dada. "Ya, aku harus bertemu dengannya." Lizie masih tidak bergeming atau berkomentar. Sky jadi terlihat bimbang
"Sky apa kau belum juga selesai?" Lizie kembali menoleh ke belakang punggungnya, menoleh pada Sky yang masih terus mendesaknya. "Sebentar lagi." "Kakiku sudah pegal." "Oh ... , Lizie. Diam lah sebentar!" Sky sudah memberinya dua kali klimaks dan kali ini Lizie sedang tidak bisa konsentrasi untuk menikmati percintaan mereka lagi karena perutnya mulai melilit, sementara Sky belum juga usai. "Aku juga lapar, Sky," keluh Lizie. "Kita baru saja makan." "Aku sudah lapar." Sky juga agak heran, Lizie memang jadi sering lapar akhir-akhir ini. "Diamlah sebentar nanti akan kuajak kau makan di manapun yang kau mau." "Aku mau makan di restoran David." Lizie menoleh lagi ke belakang. Sudah hampir dua minggu Lizie selalu ribut mengajak ke Hampton tapi Sky masih selalu berhasil mengarang beribu alasan mengenai kesibukannya untuk terus mengulur-ulur waktu. "Boleh, tapi biarkan aku selesai dulu." S
"Sky, apa aku akan mati?" sambut Lizie begitu melihat Sky masuk ke ruang perawatan. Lizie berbaring lemas dengan selang infus di salah satu lengannya. Sky mendekati Lizie dan memeluknya sebentar. "Kau tidak apa-apa." "Rasanya sangat tidak enak, dan aku masih ingin muntah." Dunia Lizie benar-benar sedang tidak nyaman karena rasa mual dan gadis itu masih menganggap dirinya sedang keracunan makanan. "Aku akan membawamu kembali ke New York." "Tidak Sky aku tidak sanggup, aku bisa mati di jalan dengan perasaan seperti ini." Lizie menggeleng sambil memegangi perutnya yang kembali mual hebat.
"Ini anak Sky," sela Lizie sebelum Celine kembali menuduh kakak laki-lakinya. "Sky!" heran Celine, karena Sky yang dia kenal bukan tipe pria yang menyukai anak-anak. David sengaja tidak ikut bicara dia hanya memperhatikan Lizie yang kemudian melihat putra Celine. "Aku juga tidak mau hamil!" tegas Lizie tapi dalam hati dia mulai membayangkan anak laki-laki bermata biru seperti Sky dan Lizie sendiri tidak menduga jika tiba-tiba ada yang seperti mengembang hangat di dadanya. Netra biru yang indah benderang seperti langit dan saat itu juga Lizie baru paham kenapa kedua orang tua Sky memberi nama putranya seperti langit. Bahkan sejak pertama kali Lizie melihat Sky menjemputnya, sepertinya dia juga tidak bisa berpaling dari netra biruny
Semua tamu sudah pulang dan sekarang tinggal mereka berdua, tanpa ada yang mengganggu jika pun ingin berbuat apapun. Meski biasanya Sky dan Lizie juga hanya tinggal berdua tapi kali ini rasanya sagat berbeda. Hari ini adalah pernikahan mereka dan sudah selayaknya ini menjadi malam spesial untuk pasangan pengantin. "Aku suka pestanya dan aku juga suka gaunnya. " Lizie sengaja berputar untuk menggoda Sky yang sedang mengawasinya. Sky baru menikahinya di hadapan semua orang dan sebenarnya Lizie paling suka dengan cara Sky mengumumkan kehamilannya dibanding, pesta, gaun, atau pun cincinnya. Diam-diam Lizie tadi memperhatikan ekspresi Ema yang langsung seperti tersedak gelas wine ketika mendengar Sky begitu bangga memamerkan kehamilannya. Lizie tahu rahim Ema sudah diangkat dan tidak mungkin bisa hamil meskipun hal itu menjadi impian terbesarnya. Kesannya memang agak jahat, tapi tidak tahu kenapa Lizie tetap menikmati ketika melihat Ema sangat cemburu pada