Baru saja Emma pergi tiba-tiba ponsel Sky berbunyi dan sebuah pesan masuk.
[Aku hamil Sky, aku hanya ingin memberitahu jika ini anakmu]
Celine mengirim hasil foto dua garis merah yang segera Sky hapus.
*****
Hari masi pagi ketika Sky berjalan malas menghampiri meja pantry di mana Lizie justru sudah terlihat sibuk seperti biasanya. Nampaknya dia memang tidak pernah kehabisan energi untuk memulai hari sedini mungkin.
Sinar matahari jingga menimpa siluet tubuh gadis muda itu dari arah dinding kaca di sepanjang balkon. Cahaya matahari yang melimpah menjadikan tubuh Lizie seolah ikut bersinar sama seperti senyum cemerlangnya tiap kali menyambut Sky.
"Oh, sorry, Em..." kata Sky begitu wanita itu masuk ke dalam ruangannya. Bagaimanapun Sky merasa bersalah karena tidak menjelaskan apapun sampai wanita itu datang sendiri kemari. Emma memang selalau bisa lebih dewasa dari pada dirinya dan selalu menjadi orang yang bisa mengerti. "Aku dan Lizie tidak pernah seperti yang kau lihat." "Sudahlah, Sky, aku sedang tidak ingin membicarakanya." Emma menatapnya dan kemudian duduk. "Aku melihat Celine," kata Emma kemudian. "Dia hamil, anakku." Emma diam sejenak untuk menilai keseriusan Sky. "Celine, hamil!" kutip Emma hampi
Beberapa hari ini Lizie terlihat selalu sibuk dengan ponselnya, kadang Sky juga merasa agak kesal karena merasa selalu diabaikan. Jika kemarin-kemarin gadis itu selalu antusias untuk menunggunya pulang tapi akhir-akhir ini bahkan Lizie belum bergeming dari layar ponselnya jika Sky belum menegurnya, itu pun dia juga hanya mendongak sejenak dan kembali asik dengan obrolan chat-nya. 'Bagaimana pelajaranmu hari ini?" tanya Sky yang kebetulan pulang agak siang. "Mr.Podrik baru saja pulang," jawab Lizie masih sambil mengetik pesan untuk Lukas. "Semua tugas juga sudah kukerjakan." Sky akui jika Lizie sudah semakin rajin dengan progam belajarnya tapi dia juga semakin rajin dengan chat di ponselnya. Tanpa bertanya pun sebenarnya Sky juga sudah selalu memeriksa semua hasil pelajaran Liz
"Jadi saudariku sedang hamil anakmu?" tanya Lizie begitu Sky baru keluar dari kamarnya dan sudah berganti pakaian. "Entahlah aku tidak pernah merasa cukup ceroboh untuk membuat wanita hamil. Tapi bulan lalu dia menemuiku dan mengatakan sedang hamil anakku." Sky berjalan mengambil dua kaleng soda dari lemari pendingin dan melemparnya satu untuk Lizie . "Mungkin sperma pria lain yang membuatnya hamil?" jelas Lizie sedang mengedikkan alis untuk mengejek Sky, karena memang mustahil pria macam Sky sampai ceroboh membuat wanitanya hamil. "Seharusnya Celine yang lebih tahu siapa ayah dari bayinya," acuh Sky tidak terlalu ambil pusing. Sky ikut duduk di samping Lizie dan meminta ponseln
Sky menjentikkan jari dari tempat duduknya memperingatkan Lukas untuk tidak memberi koktail berkadar alkohol tinggi kepada Lizie. Sky yang sudah bosan menunggu karena sendirian dan diabaikan bisa jadi lebih menyeramkan dari penjaga asrama. "Jadi dia akan menunggu sampai kau pulang?" tanya Lukas sambil melirik pada Sky. Lizie cuma mengedikkan bahu karena sepertinya pertanyaan tersebut memang tidak perlu dijawab lagi. "Jadi kau juga tinggal dengannya?" "Sudah kukatakan dia waliku secara hukum, sampai usiaku delapan belas tahun." "Kupikir dia masih terlalu muda untuk mengurusmu." "Sky cukup baik," Jawab Lizie sambil mengeca
[Happy Birthday Lizie] bunyi pesan dari Lukas yang masuk ke dalam kotak pesan Lizie tepat pukul 00:00.Walaupun agak miris Lizie tetap berusaha tersenyum karena masih ada yang mengingat hari ulang tahunnya.Lizie sengaja belum tidur dan memang masih belum bisa tidur karena diam-diam menunggu Sky, berharap dia akan datang untuk memberinya kejutan tapi nyatanya sampai lewat tengah malam Sky belum juga kembali. Lizie tahu jika belakangan ini Sky kembali sering keluar bersama Emma, dan mungkin malam ini Sky menginap di apartemen wanita itu karena Lizie mendengar sekarang Emma juga sudah resmi berpisah dengan suaminya.Sepertinya memang percuma mengharapkan sedikit perhatian dari orang macam Sky, walaupun seminggu ini Lizie sudah mengurusnya tapi nyatanya Sky bahkan tidak ingat hari u
Sebenarnya Sky sudah berencana untuk bisa pulang cepat dan memberikan hadiah untuk Lizie sampai tiba-tiba dia tidak sengaja bertemu Vivian di sebuah toko perhiasan.Sudah sejak dua minggu yang lalu Sky memesan sebuah gantungan kunci bertahta berlian dengan inisial A untuk Lizie. Sky tahu Lizie hanya suka mengoleksi gantungan kunci apa lagi Lizie bercerita jika semua gantungan kunci yang dia pasang di tas punggungnya itu adalah hadiah dari teman-tema spesial. Karena itu Sky juga langsung terpikir untuk memberinya hadiah gantungan kunci agar Lizie juga mau menyimpannya. Jelas gantungan kunci yang Sky berikan pasti akan berlebihan dan terlalu mahal untuk bisa di gantung pada tas punggung."Aku mendapat informasi mengenai pembelian tidak wajar di situs toko ini," kata Vivian ketika mendekati Sky yang masih terlihat bingung dengan info
"Kita akan berlibur!""Oh!" kaget Lizie langsung syok dengan netra kelabunya yang melebar benderang."Ya! "tegas Sky sambil mengangguk dan tersenyum memiringkan salah satu ujung bibirnya.Lizie langsung kembali memeluk Sky dan menciumnya. Mencium bibir Sky yang ternyata juga malah ikut melumatnya."Oh hentikan ini!" Sky langsung melepaskan Lizie.Belum ada lima menit mereka membahasnya dan gadis itu sudah mulai kembali membuat Sky lupa."Sebaiknya kita membuat peraturan!" tegas Sky ketika mundur menjauh dari Lizie dan duduk di ujung sofa."Apa maksudmu!"
Akhirnya Sky membuat beberapa peraturan untuk mereka berdua, karena kenyataannya Lizie masih harus tinggal bersamanya selama dua tahun lagi dan Sky merasa perlu membuat aturan tegas untuk menjaga otaknya tetap waras. Karena tinggal satu rumah dengan seorang gadis muda ternyata bukan sesuatu yang bisa serta-merta dia remehkan. Hari masih sangat pagi ketika Sky terbangun oleh suara televisi yang sudah berisik seolah rumahnya dihuni oleh satu lusin orang. Setelah liburan mereka awal bulan lalu belakangan ini Lizie semakin terlihat rajin untuk membuat makanan Itali. Lizie sedang belajar membuat beberapa jenis masakan tradisional Itali yang di sukai Sky selama mereka berlibur kemarin. "Apa tidak bisa kau kecilkan sedikit suara televisinya?" Sky menghampiri meja pantry dan langsung mengambil potongan daging asap dari mangkuk yang belum sele
"Selamat ulang tahun. " Di musim semi ulang tahun Lizie yang ke sembilan belas. Sky mengangkat Lizie untuk duduk di atas pangkuannya, mereka hanya berdua memandang ke luar dari jendela kaca besar yang menghadap langsung ke sisi pegunungan Alpen. "Aku ingin kita seperti ini dulu," bisik Sky ketika mempererat lengannya di pinggang Lizie dan menghirup puncak kepalanya dengan tarikan napas dalam. "Aku ingin memilikimu untuk diriku sendiri." Sky menyarukkan rahangnya yang terasa kasar dan menggelitik sisi leher gadis mudanya yang hangat dan lembut. "Aku adalah milikmu, kau boleh memilikiku sesuka hatimu." Sentuhan Sky adalah apa yang juga akan selalu Lizie inginkan.
Walaupun tangan kirinya masih di perban tapi Sky bersikeras bisa menyetir sendiri untuk membawa lizie pulang bersamanya. Sky memang keras kepala, padahal Tobias sudah sengaja datang pagi-pagi untuk mengantarkan mereka pulang. Lizie terpaksa masuk ke dalam mobil Sky dan melambai pada Tobias Harlot untuk sekaligus minta maaf. Lizie benar-benar merasa tidak enak karena bagaimanapun selama ini Tobias sudah sangat baik pada mereka. "Tulangku hanya retak bukan cacat!" kata Sky setelah Lizie duduk di sampingnya. "Ya, aku percaya." Lizie pilih setuju saja dibanding harus berdebat karena dia tahu Sky tidak suka diremehkan dan hal itu sudah jadi sifat dasarnya yang sulit dirubah. Sky memang masih bisa mengemudi dengan baik, lengan kirinya j
Tobias Harlot sudah coba menjelaskan dengan tenang tapi nyatanya air mata Lizie tetap merembas hangat dari masing-masing sudut matanya. Lizie meraba kembali perutnya yang sudah kembali rata dengan jemari tangannya yang agak kurus. Rasanya tetap pedih walaupun sudah tidak ada yang terasa perih lagi. "Jadi bayiku tidak selamat? " Tobias hanya berani mengangguk pelan. "Anak-anak akan berada di surga kau tidak perlu cemas." "Aku bahkan tidak sempat melihatnya." "Kau sudah berjuang dengan hebat, Sky pasti juga akan tetap bangga padamu." Lizie mulai menunduk dan terisak pelan.
Sky berjalan kembali ke mobilnya, berusaha mencengkram kemudinya dengan mantap untuk menguatkan langkahnya. Sky tidak boleh menyerah karena Lizie juga sudah berjuang dengan sangat keras. Sky menoleh pada buket bungan matahari di samping tempat duduknya dan kembali menghela napas dalam untuk memenuhi paru-parunya yang sesak. Sky sudah bersumpah pada Gerald untuk menjaga putrinya. Walaupun mungkin sahabatnya itu sudah lebur bersama tanah tapi sumpah Sky akan tetap berlaku untuknya. Sky tidak akan menyerah dia harus tetap hidup demi Lizie dan demi putri mereka yang sudah pergi tanpa sempat menangis. Sky berjalan melalui lorong dingin yang juga sudah dia lalui setiap hari tanpa pernah berubah. Semuanya masih sama, tidak ada perubahan berarti sejak dua bulan berlalu. Sky mengganti bunga matahari di dalam vas kaca dengan yang baru dia bawa,
Sky menoleh kembali tempat tidur di sampingnya yang kosong dan dingin, hampir tiga bulan berlalu tapi rasanya masih sulit dipercaya ia harus menjalani hidup seperti ini. Ini adalah musim dingin paling beku di sepanjang hidupnya . Sky tidak pernah tahan tiap kali mulai memikirkannya, hidup tanpa Lizie dan tanpa bayi mereka. Sky masih tertelungkup di atas tempat tidurnya setelah semalam Tobias menyeretnya pulang dari kekacauan yang dia buat di klub. Tobias sampai harus memukul Sky karena Celine menemukanya mabuk di klub dan berkelahi. Ternyata bukan hanya kesendiriannya yang sulit untuk dijalani, tapi kewarasannya juga semakin sulit untuk dijaga belakangan ini. Sky benar-benar tidak sanggup menjalani hidup seperti ini. Seolah dia hanya berjalan dan bernapas tanpa pernah benar-benar bisa hidup lagi. Sky masih ingat di mana dia menyimpan senjata apinya yang selalu siap sedia untuk mengakhiri segala penderitaan, godaan itu semakin menggoda untuk dituruti dan akan segera menjadikannya pen
Selama Mark bicara dengan Lizie, Sky sudah membuat keributan. Sky mengancam akan menuntut pihak rumah sakit jika mereka tidak segera mengambil tindakan. Tapi pihak rumah sakit juga tidak bisa melakukan pembedahan paksa tanpa persetujuan pasien. Sky tahu Lizie memanggil Mark Walder untuk meminta pertolongannya dan Sky sudah benar-benar kehilangan akal karena sikap keras kepala Lizie. Begitu melihat Mark baru keluar dari kamar Lizie Sky langsung menghampiri pria itu dan memukulnya. Sky memukul cukup keras sampai sudut bibir Mark langsung berdarah. Mark tidak membalas pukulan Sky karena dia tahu pemuda itu sedang sinting. Mungkin dia pun juga akan demikian jika berada di posisi Sky sekarang. "Jangan pernah merasa kau bisa menjadi pahlawan untuk Lizie ku!" ancam Sky sambil menunjuk Mar
Persis seperti yang dikhawatirkan Sky, kondisi Lizie menurun dengan begitu cepat, Lizie tidak akan sanggup menunggu dua minggu lagi. Lizie sudah tidak bisa mengkonsumsi makanan, tidak bisa beristirahat, tenaganya juga habis untuk menahan rasa sakit yang tidak kunjung usai. Nutrisi tubuhnya hanya didapatkan dari selang infus yang tidak akan pernah cukup untuk dirinya sendiri apalagi bayinya. Dua minggu tidak akan membawa perubahan untuk bayi mereka kecuali hanya akan membunuh Lizie pelan-pelan. Sudah tiga hari berlalu dan kondisi Lizie masih juga belum membaik sama sekali, dia masih terus mengalami kontraksi. Lizie tidak akan kuat menanggungnya hingga dua minggu lagi sementara kondisi fisik Lizie juga semakin tidak berdaya. Lizie sudah tidak diijinkan turun dari ranjang, dia harus istirahat total. Sky sudah nyaris gila menghadapi sikap keras kepala Lizie yang tetap bersikukuh untuk
Sky baru kembali dari menemui Tobias Harlot ketika melihat apartemennya yang sunyi. Rasanya agak aneh karena biasanya Lizie akan langsung menyambut di depan pintu tiap kali Sky pulang. "Lizie," panggil Sky masih belum terlalu khawatir karena mengira Lizie hanya sedang tidur lebih awal atau mendengarkan musik dari ponselnya seperti yang sering dia lakukan akhir-akhir ini untuk mengusir rasa mual. "Lizie," Sky kembali memanggil karena tidak melihat Lizie di kamarnya. Sky buru-buru memeriksa di balkon yang ternyata juga tidak ada siapa-siapa. Malam sudah gelap dan mustahil Lizie keluar sendiri tanpa meminta ijin atau memberitahunya. Sky kembali ke kamar dan saat itu dia baru sadar jika lampu kamar mandinya sedang menyala. Sky segera memeriksa dan terkejut melihat Iizie yang sedang bere
Walau masih malas bergerak tapi seperti Lizie mulai terlihat gelisah, tidurnya semakin tidak tenang akhir-akhir ini. "Sky, " gumam Lizie. "Hemm .... " Sky merapatkan lengannya untuk menarik tubuh Lize. "Aku mual." Lizie semakin mendesak dan menenggelamkan wajahnya ke dada Sky. Tubuh Lizie terasa lembut dan hangat, bergelung meringkuk seperti bayi trenggiling kecil yang kedinginan. Rasanya memang sedang tidak nyaman bagi Lizie. "Apa kau mau kubuatkan minuman hangat?" Lizie menggeleng, Lizie juga sudah tidak mau minum susu lagi tiga hari terakhir ini karena susu justru membuatnya semakin mual. Memasuki trimester pertama Lizie mulai mengalami peningkatan hormon yang membuat tubuhnya semakin sensitif dan rewel karena tidak bisa sembarangan menelan makanan. "Kau mau apa akan kubuatkan." "Aku bel