Berhubung persiapan hanya dalam waktu dua minggu saja, salah satu hotel di daerah Lembang, Bandung disarankan oleh Aime, walaupun tadinya Danish menginginkan pesta di Bali. Namun, sepertinya kondisi tubuh Danish yang baru sembuh tidak memungkinkan untuk perjalanan jauh.Beruntung pada pada tanggal yang diinginkan, hotel yang memiliki area out door yang cukup luas itu, kosong tidak ada yang booking.Saat melihat tawaran dari Aime, Danish langsung mengangguk setuju. Tamu undangan hanya berjumlah sekitar dua ratus orang saja, begitu kata lelaki bertinggi 185 sentimeter itu.Sebuah gaun pengantin sudah Bian dapatkan dari seorang perancang busana terkenal. Beruntung juga tubuh Bian yang mungil bisa dengan mudah mendapatkan ukuran yang pas.Sepulang kerja Danish langsung mencari sang calon istri. Bian yang sedang belajar membuat kue, dikagetkan dengan sebuah pelukan dari belakang. Kecupan mesra mendarat di puncak kepalanya."Sedang apa calon istriku?" Gadis itu mendongak. Saat melihat Pak A
"Sayang, sekarang aku akan membawamu ke mana pun aku pergi," bisik Danish."Ayo kita tinggalkan tempat ini, aku akan mengajakmu berkeliling dulu, dan setelah itu ...."Danish mengelus rambut Bian yang sudah ditata sedemikian rupa. Wajah wanita itu merona. Malu-malu dia menunduk."Ayo!"Danish menarik Bian menuju mobil pengantin yang sudah disiapkan pihak WO.Setelah Bian naik, Danish juga segera naik ke mobil itu."Aku akan membawa pengantinku menjauh dari keramaian," ujar Danish yang segera menyalakan mobil dan menancap gas. Bian yang kaget memukul pelan lengan suaminya. Danish tertawa jahil."Kita pakai gaun seperti ini? Aku rasanya repot sekali, Tuan. Bajunya terlalu panjang," ungkap Bian."Nanti di sana kita tidak perlu memakai baju, Bian." Danish terkekeh dan mengerling nakal pada sang istri. Bian mendelik malu-malu."Di belakang ada baju dan beberapa kemejaku. Tadi aku memang sudah berencana menculikmu." Danish kembali terkekeh dan menunjuk ke bagian jok belakang. Bian menoleh
Danish meraih leher Bian dan menarik wajahnya semakin mendekat. Ciuman panas tanpa ampun bertubi-tubi lelaki itu daratkan. Diiringi deru napas yang memburu mereka larut dalam irama cinta yang indah.Bian tersentak kaget saat sang suami membuka resleting di punggungnya."Kenapa? Kita sudah sah sekarang, Bian" bisik Danish dengan suara yang serak dan napas tersengal."Ini masih siang, Tuan." Bian mencoba beralasan."Kenapa harus malam, kalau siang pun bisa?" ujar Danish menaikan sebelah alisnya."Emh ... itu ... itu ....""Apalagi, Sayang?" Danish membelai bibir Bian perlahan dan menatapnya dengan hasrat menggebu."Aku ... aku takut, Tuan," ujar Bian polos."Hmm?" Danish menautkan kedua alisnya tidak mengerti dengan ucapan Bian."Ini yang pertama bagiku, Tuan. Aku takut sekali," ucap Bian menatap sang suami. Danish paham dengan yang dirasakan oleh istrinya. Dia membelai lembut kepala wanitanya."Aku akan melakukannya perlahan. Aku tidak akan melakukannya hingga kau benar-benar siap."De
Hari sudah pagi, saat Bian membuka matanya. Manik bulat itu mengerjap kala sinar matahari menembus gorden yang sedikit tersibak. Bian menoleh ke samping tubuhnya. Danish terlihat masih terlelap. Dadanya yang naik turun dan suara dengkuran halusnya masih terdengar.Bian menatap lelaki yang baru sehari menjadi suaminya. Tidak sedikitpun pernah terlintas di benaknya jika dia akan menikahi seseorang seperti Danish. Seorang lelaki kaya, tetapi suka berpetualang.Bulu matanya yang lentik, makin terlihat saat terpejam. Bian mengelus pipi yang berwarna putih kemerahan itu perlahan."Kamu, tampan sekali, Tuan," gumam Bian sambil tersenyum jahil. Dia terus memainkan bulu mata lentik itu. Bian pun menatap hidung bangir itu dan menyentuhnya dengan telunjuk, lalu turun ke bibir tipis kemerahan. Bian hendak menciumnya, tatkala tak disangka mata itu terbuka. Bian menjerit kaget."Aku memang tampan, Bian. Kenapa kamu baru menyadarinya? Hmm?" Alis Danish naik sebelah."Tuan, kau mengagetkanku saja!" p
Danish dan Bian pulang saat sore menjelang Magrib. Rasa haus mendera, karena cuaca memang panas. Turun dari mobil Bian langsung berlari menuju dapur. Danish hanya menggeleng pelan melihat istrinya itu."Hai Bian, kamu sudah pulang. Kok terlihat pucat?" tanya Erna saat Bian sampai di dapur dan mengambil air mineral dari dispenser. Tanpa menjawab pertanyaan Erna, Bian duduk dan langsung meneguk air itu hingga tandas. Erna tersenyum melihat gadis yang kini telah jadi majikannya itu.Segelas air telah membasahi tenggorokannya. Bian menghela napas dan menyimpan gelas itu di atas meja."Aku cape banget, Kak. Tuan Danish benar-benar membuatku kewalahan," ujar Bian."Ampun, aku sampai lupa. Nanti lagi ya, Kak. Tuan Danish pasti haus juga." Bian bangkit lalu mengambil gelas dan mengisinya dengan air putih dingin. Setelah itu dia segera mencari suaminya yang ternyata tengah duduk saling diam dengan Rey di ruang tengah."Hai, Rey. Apa kabar?" tanya Bian berbasa-basi seraya menyerahkan gelas pada
"Kita bulan madu di sana, mau? Kita ke Cappadocia, naik balon udara. Atau lihat bebatuan putih di Pamukkale? Terserah kau mau ke mana. Tapi sebelum itu, kita berbulan madu dulu di sini," bisik Danish dan mendaratkan ciuman di bibir sang istri."Ingat, Tuan ... di bawah, orang tuamu sedang menunggu kita untuk makan malam. Jangan sampai mereka terlalu lama menunggu." Bian mencoba mengalihkan perhatian Danish yang telah mengungkungnya."Biarkan saja. Mereka pasti mengerti. Mereka juga pernah muda, 'kan?" ucap Danish sambil melanjutkan ciumannya ke leher sang istri."Tuuaan ... aku merasa gak enak sama mereka," desah Bian. Danish menghentikan aksinya dan menatap sang istri."Kenapa harus merasa gak enak segala? Biarkan saja, toh kita tidak mengundang mereka," ujar Danish menahan kecewa."Tuan, mereka itu orang tuamu, bagaimana jika suatu saat kau berkunjung ke rumah anakmu dan mereka tidak menyambutmu sama sekali? Kau pasti akan merasa sakit hati."Mendengar perkataan istrinya, Danish mak
"Hei, apa yang kamu lakukan? Untuk apa koper ini? Kau benar-benar akan tinggal di sini?" tanya Danish pada Irene yang tengah memberi komando pada Erna untuk menyeret kopernya ke dalam."Betul sekali, Sayang. Aku sudah siapkan semua perlengkapan. Jadi aku tidur di mana?" tanya Irene tanpa malu. Danish terlihat kesal, namun Bian mengelus lengannya perlahan."Kamu bisa tidur di kamar pembantu! Masih ada kamar yang kosong di sana," ujar Danish ketus."Oh, no, no, no. Kamu anggap aku pembantu? Aku ini wanita hamil, Sayang. Harus diperlakukan dengan sebaik-baiknya," ucap Irene sambil mendekat pada Danish dan membelai pipi lelaki itu. Danish melengos tak suka. Bian pun sama. Dia berusaha menahan rasa tak nyamannya saat berhadapan dengan wanita ini."Bian, apa kamu tidak keberatan kalau aku tidur di kamar Danish?" tanya Irene tanpa tendeng aling-aling. Mata Danish terbelalak. Pun, Bian tersentak kaget."Lho ... lho, kalian kok kayak melihat hantu saja? Wajar dong kalau aku minta sekamar dwnga
“Aku sudah mengambil alih kamar Danish. Sebentar lagi aku akan mengambil alih orangnya, Tante.”Bian yang hendak turun saat mendengar ucapan itu dari kamar sang suami di mana Irene berada. Langkahnya terhenti untuk mendengar kelanjutannya.“Aku harus bergerak cepat menyingkirkan perempuan kampung itu sebelum Danish mengetahui kehamilan palsuku, Tante.”Bian mengernyit. Menduga-duga siapa orang yang disebut tante oleh Irene saat ini.“Aah … Tante Monic. Jangan takut. Aku pasti bisa segera mengatasinya.”Tak ingin mendengar lagi percakapan itu, Bian segera pergi. Ternyata sang suami hanya dijebak oleh dua orang licik itu. Beruntung akhirnya mereka bisa bersama. Kecelakaan yang membuat Danish koma dan membuat Bian takut kehilangan.“Apa aku harus bilang sama Tuan Danish?” Bian bergumam pada dirinya sendiri.**“Biaan!!” terdengar teriakan dari ruang TV. Bian yang sudah mengetahui kebusukan Irene, berniat untuk mengerjai wanita itu. Bergegas dia datang.“Iya, Nona Irene?” ucap Bian lemah
Danish duduk termenung di pinggir ranjang. Tatapannya kosong. Bian mengelus punggungnya perlahan.Lelaki itu perlahan menoleh. “Apa kamu memang merencanakan ini semua sebelum berangkat ke sini?” tanya Danish. Bian mengangguk.“Jadi kamu sudah tahu kebobrokan mereka?”Bian kembali mengangguk.Danish memejamkan matanya dan melengos.“Dia lelaki yang paling aku benci. Tidak pernah berubah walaupun sudah tua. Dia tidak pernah puas dengan satu wanita,” ucapnya menyesalkan.“Apakah itu yang menjadi alasanmu berganti-ganti wanita?” tanya Bian polos.Danish menoleh dan menatap wanitanya lekat. “Aku jadikan itu sebagai pelampiasan. Selain ibuku, aku menganggap semua wanita adalah sama. Makhluk murah dan menjijikan. Mereka hanya bisa menjadi pemuas nafsu sesaat. Sebelum akhirnya aku bertemu kamu dan menyadari semuanya. Kau berbeda, Bian,” ungkap Danish.“Setiap wanita yang kutemui, mereka dengan mudah menyerahkan kehormatannya demi sejumlah uang. Ada juga yang tergila-gila padaku dan mau melaya
“Apa-apaan ini?” Irene berusaha mempertahankan selimut yang menutupi tubuh polosnya. Namun, Monic pun tak mau kalah. Dia menarik tangan Irene yang tengah duduk dan menyilangkan tangan di dadanya.Monic tahu, semua itu demi menutupi tubuhnya yang tak memakai apapun.“Berengsek, ya, kalian! Nggak punya otak! Nggak punya hati!” teriak Monic.“Kau perempuan ular, Irene! Kau tega menikamku dari belakang. Akan aku bongkar semua kebobrokanmu sekarang juga.” Monic berteriak dengan napas yang naik turun. Matanya merah menahan sedih dan amarah.“Perlu kau tau, Danish. Kalau sebetulnya sekarang ini dia tidak hamil. Dia berpura-pura hamil supaya bisa menjebakmu dan memperoleh semua kekayaanmu.” Monic terengah.Danish terperangah. Namun, tidak dengan Bian. Dia sudah bisa menduganya.“Diam kau sialan!” Irene kini yang bangkit walaupun dengan gerakan tak bebas karena berusaha menutupi tubuhnya yang polos.“Aku tidak akan tinggal diam, Irene! Kau tega menggoda Demian di belakangku!” balas Monic.Bian
Bian masih menyembunyikan masalah itu dari Danish. Dia tidak ingin menambah beban suaminya yang tengah sibuk dengan pekerjaan dan bisnisnya. Bian berencana akan menangkap basah keduanya dengan disaksikan oleh Danish juga Monic.Dia yakin jika tak lama lagi Irene akan meminta izin pada Danish untuk pergi ke luar kota, entah dengan memberikan alasan apa.Benar saja, hanya berselang beberapa hari, Irene meminta izin pada Dnish jika dia akan ada acara reuni dengan teman-temannya di Bali. Tepat seperti yang pernah Bian dengar saat di kafe jika kedua pasangan selingkuh itu akan pergi ke Bali.“Boleh, kan, Danish?” pinta Irene dengan rengekan manjanya. Danish tak menanggapi. Dia malah asik melanjutkan makan malamnya.“Tuan, Mbak Irene lagi bertanya.” Bian berbisik. Namun, Danish tak menggubrisnya.“Aku nggak peduli. Mau dia pergi ke neraka sekalipun, aku nggak peduli,” jawab Danish. Bian tersenyum malas. Sedangkan Irene tampak biasa saja dengan sikap Danish yang tak peduli.“Jadi kamu kasih
“Hei, Bian.” Sebuah suara menyapa Bian yang sedang memilih pakaian di sebuah pusat perbelanjaan. Sekarang dia sudah berani ke mana-mana sendiri tanpa diantar oleh Danish yang super sibuk.“Hei, Lena!” Bian ikut terperangah saat melihat siapa yang menyapanya. Seorang teman lama semasa SMA.“Kamu keren, ya, sekarang. Makin cantik dan modis aja,” ujarnya sambil menilik Bian dari atas sampai bawah.Bian tertawa kecil.“Kamu lagi beli baju?” tanyanya dan Bian mengangguk.“Katanya, sekarang kamu punya suami yang kaya raya, ya? keren, deh, Bian.”Karena merasa tak enak diperhatikan oleh orang-orang, Bian mengajak Lena untuk mengobrol di kafe.“Kamu yang traktir, ya?” goda Lena mengedipkan mata. Bian tersenyum sambil mengacungkan jempolnya.Mereka kembali mengobrol setelah memesan makanan dan minuman. Lena menanyakan kehidupan Bian yang konon bersuamikan seorang bule kaya. Bian hanya tertawa tanpa banyak mengungkapkan bagaimana Danish sebenarnya.“Sama ajalah sama yang lain. Bedanya suamiku e
Mata biru itu membelalak saat melihat siapa yang sedang duduk di ruang TV. Dengan santainya Rey memindahkan saluran sambil bersilang kaki.“Berani juga kau ke sini,” sindir Danish yang baru turun dari kamarnya. Rey tersenyum malas.“Aku ingin tahu keadaan Bian,” jawab Rey dengan entengnya.Danish terbahak.“Apa kau terlalu santai hingga mengurusi istri orang, hah? Dia itu tanggungjawabku, kau tidak perlu repot-repot memikirkannya. Hidupnya sudah sempurna dengan berada di sisiku.”Rey bangkit dan tersenyum kecut. “Oh, ya? Bagaimana dengan ini?” ucapnya menunjukan surat panggilan dari Pengadilan Agama.Danish membelalak. Dia tak menyangka jika Bian benar-benar mengajukan gugatan cerai.Dengan penuh amarah Danish menyambar surat itu dan menyobeknya hingga berkeping-keping.“Ini hanya lelucon. Bian akan segera mencabutnya,” ucap Danish jumawa.“Oh ya? Apa kau sudah yakin?” tanya Rey mengejek.Danish kembali terbahak. Dia kemudian meneriakan nama sang istri dengan lantang. Memangginya agar
Danish menatap secarik kertas berwarna hitam putih dengan gambar siluet bayi tak begitu jelas. Dahinya mengernyit. Dia tidak meyakini kebenaran tentang gambar hasil USG itu.Tanpa mengatakan apapun, Danish pergi dan melempar begitu saja hasil USG itu ke atas meja.“Gambar seperti ini bisa punya siapa saja. Aku tidak akan percaya sampai lihat hasil tes DNA,” ujarnya santai.Irene terlihat kesal dan meremas kertas hitam putih itu hingga tak berbentuk.“Dasar laki-laki nggak bertanggungjawab!” teriak Irene geram.Danish yang hampir menginjakan kakinya di undakan tangga terhenti seketika dan perlahan berbalik. Tersungging senyum sinis di wajahnya.“Kau bilang aku tidak bertanggungjawab?” Danish tersenyum kecut. “Lalu bagaimana kau bisa tinggal di sini dengan uang yang aku berikan padamu setiap kau minta?”Irene melengos.“Kau tidak pernah memperlakukan aku seperti kau perlakukan Bian. Kau tidak adil!” Irene kemudian berani berteriak.Danish melangkahkan kakinya mendekati wanita itu.“Apa
Bian yang sedang membereskan barang-barangnya merasa tak enak dengan sikap Danish di tempat kerjanya. Dia lalu menghentikan kegiatannya dan menghampiri Danish yang masih menatap nyalang pada maya.“Tuan, tolong tenanglah. Dia tidak tahu kalau kau ini sangat berkuasa. Ayo kita pergi saja.” Bian merengek, menghalangi tubuh jangkung yang tegap menantang. Bian memegangi kedua tangan Danish, menggoyangkannya sambil memelas.“Dengar! Ayo kita kembali ke hotel dan mengulang yang tadi. Lupakan saja keributan ini, ” bisiknya sambil berjinjit, menempelkan bibir ke telinga Danish. Tidak ada cara lain untuk menurunkan emosi lelakinya selain dengan merayu seperti itu.Danish yang sedari tadi menatap nyalang pada Maya, lalu mengalihkan tatapannya pada Bian dan tersenyum. Namun, sedetik kemudian Danish kembali menatap marah pada Maya.“Dengar! Kalau bukan karena istriku yang minta, sudah kutendang kau ke jalanan!” bentak Danish. “Minta maaf dan berterima kasihlah pada istriku sekarang juga!” titahny
Bian menggeliat. Tubuhnya benar-benar lelah jika sudah menghabiskan waktu dengan Danish. Perutnya keroncongan. Jam sudah menunjukan pukul 3 sore. Bian melirik ke sebelah kirinya, Danish terlelap lengkap dengan dengkuran halusnya. Dia pasti kecapean setelah pergumulan panjang.Bian merasa tak enak hati dengan staff yang lain, di saat jam kerja dia malah pergi meninggalkan tugasnya. Sudah pasti staff yang lain yang mengerjakan tugasnya.Beringsut turun dari tempat tidur dengan menutupi tubuhnya dengan selimut tipis berwarna putih, Bian memunguti pakaiannya yang terserak, lalu pergi ke kamar mandi. Dalam waktu 10 menit dia sudah beres mandi dan mengendap pergi.Beruntung di seberang hotel ada beberapa taksi yang mangkal, sehingga Bian tidak perlu repot-repot memesan taksi online. Pertemuan singkatnya dengan Danish, tidak menghasilkan sesuatu yang pasti. Apakah dia percaya dengan penjelasannya, atau hanya sekedar memanfaatkan pertemuan mereka demi untuk memuaskan hasrat.Langkahnya diperc
“Aime, tolong siapkan penerbanganku ke Surabaya sekarang juga!” ucapnya tegas. Dia tak meminta hal itu saat di ruang meeting tadi, karena masih menghargai para staff-nya.“Dengan pesawatmu?” tanya Aime meyakinkan.“Tentu saja. Aku tidak ingin membuang waktu,” jawab Danish berapi-api.Perjalanan Jakarta-Surabaya yang memakan waktu satu jam terasa begitu lama. Danish sudah tidak sabar ingin bertemu dengan Bian.Danish pun merasa aneh, bagaimana Bian bisa sampai tinggal di Surabaya dan langsung bekerja dengan mudah.Tiba di Bandara Juanda, Danish sudah ditunggu oleh seseorang dan mereka bergegas menuju tempat Bian bekerja.Jarinya mengetuk-ngetuk punggung tangan tanda tak sabar. Sebuah gedung perkantoran berlantai empat sudah tak lagi jauh darinya. Dia meminta turun saat mobil di depan lobby.“Kau parkir saja. Aku telepon kalau semua sudah selesai,” ujar Danish. Sang sopir hanya mengangguk dari balik kemudi.“Aku mau bertemu dengan Bian,” ucap Danish tegas tanpa basa-basi di depan meja r