Bianca11"Bianca, ditunggu Tuan Danish di ruang kerjanya." Erna, salah satu pelayan di sana memberitahu Bianca yang tengah membereskan kamar tidurnya. Bianca melirik pada jam dinding yang tergantung. Pukul 06.10."Jam, segini? Beneran Kak Erna? Memangnya dia sudah bangun?" tanya Bianca menghentikan sejenak pekerjaannya."Iya, tadi aku habis beres-beres di perpustakaan, Tuan Danish lewat. Dia bilang suruh kamu menemuinya di ruang kerja," ucap Erna yakin."Ada apa lagi jam segini?" gumam Bianca pada dirinya sendiri."Ya sudah, Kak, nanti aku ke sana habis beresin kamar," lanjut Bianca.Penampilan gadis itu teramat sederhana. Namun, begitu cantik. Hanya sebuah dress coklat susu selutut dan rambut yang digerai begitu saja, tetapi tidak menyurutkan kecantikannya.Paras cantik yang diturunkan dari sang ayah yang berdarah Cina dan juga sang ibu yang berasal dari padang. Perpaduan yang membuatnya cantik yang unik.Tak ingin membuat sang tuan menunggu lama, Bianca segera beranjak dari kamarny
Bian 12Bian merapikan rambutnya sekali lagi. Entah perasaan apa yang tumbuh. Yang jelas saat ini hatinya berdebar kencang. Menatap bayangan diri di kaca. Walau tanpa make up wajahnya yang putih mulus dengan pipi kemerahan dan warna bibir merah muda, tetap saja menawan.Gadis itu mengembuskan napas panjang. Mengatur debaran di dada yang semakin tak keruan.
Malam itu saat Danish baru kembali dari kantor, Monic datang ke rumah itu.Bian terperanjat kaget saat mendapati wajah Monic di depan pintu."Selamat malam, Bian," sapanya ramah. Gadis itu terpaku tak percaya melihat sikap Monic. Namun, Bian akhirnya sedikit membungkukkan badannya dan tersenyum ke arah wanita yang akan menjadi ibu mertuanya itu."Selamat Malam, silakan masuk, Nyonya."Bian segera menyingkir dari pintu dan mempersilakan wanita paruh baya itu masuk.Monic kemudian duduk di sofa. Tak berselang lama Rey muncul dan menyambut kedatangan sang mama."Tumben Mama ke sini sendirian? Tidak takut dimakan sama Kak Danish?" tanya Rey sambil terkekeh. Monic mendelik kemudian tertawa."Jangan begitu, Rey. Dia itu kakakmu."Bian, tolong panggilkan dia ke sini, ya," ujarnya dengan senyum manis.Masih dengan rasa tak percaya, Bian mengangguk dan beranjak dari ruangan itu menuju kamar Danish.Bian mengetuk pintu jati itu beberapa kali. Hingga sebuah suara terdengar bersamaan dengan terbu
"Kau tau, Bian? Kini aku tau artinya cemburu. Sekarang aku berjanji akan setia padamu," desahnya semakin mengeratkan pelukannya."Benarkah?" tanya gadis itu. Danish menjawab dengan anggukan."Bagaimana jika kau melanggar janjimu?""Kau boleh meninggalkanku jika aku melakukannya," jawab Danish lalu mencium kening Bian sekali lagi."Tuan ....""Hmm?""Bolehkah aku mengundang ibuku ke acara kita nanti?" tanya Bian. Danish sontak mengendurkan pelukannya dan menatap dalam pada gadis itu."Tentu saja. Kau boleh mengundang seluruh keluargamu," jawab Danish. Tangannya terulur membetulkan rambut Bian yang sebagian menutupi wajahnya."Kau mau menelponnya atau datang ke rumahmu? Biar nanti asistenku menyiapkan juga pakaian untuk ibumu. Mereka hanya perlu menyiapkan diri. Nanti sopir akan menjemput mereka." Bian tersenyum dalam rengkuhan lelaki itu.***Hari yang dinanti pun tiba. Bian tampil cantik dalam balutan gaun putih d
Di salah satu sudut taman, Danish melihat gadis itu dengan tubuh yang bergetar. Sepertinya sedang menahan tangis. Rey terlihat menghampiri dan mengelus pelan pundak Bian."Kau kenapa menangis, Bian?" tanya Rey pelan. Gadis itu menggeleng. Rey memutar tubuh Bian agar menghadapnya. Terlihat wajah cantiknya penuh air mata. Rey mengusap perlahan dengan ibu jarinya."Katakan, siapa yang membuatmu mennagis?" selidik Rey. Bian kembali menggeleng."Singkirkan tanganmu dari dia, berengsek!" teriak Danish. Bian dan Rey menoleh pada sumber suara.Danish mendekat dan menatap penuh harap pada Bian. Gadis itu membuang muka."Bian, dengarkan aku!" pinta Danish memohon. Bian melengos. Danish menyentuh lengan gadis bergaun putih itu. Namun, Bian menepisnya kasar. Mata Danish terbelalak."Bian, ini salah paham. Aku tidak melakukan apa-apa," ujar Danish."Oh, jadi kau yang telah membuatnya menangis?" tuding Rey dengan tatapan nyalang. Danish tidak menggubris adiknya. Dia tetap kukuh memohon pada gadis y
Bian begitu telaten memperhatikan kebutuhan Danish selama di rumah sakit. Banyak perawat yang merasa iri juga kagum padanya. Mereka bisa melihat, seorang gadis sederhana begitu dicintai tuannya."Saatnya makan, Tuan. Setelah itu kau harus minum obat." Bian mengambil kursi dan duduk di sebelah tempat tidur yang sudah disetting seperti orang duduk tanpa mengganjalnya dengan bantal."Haa ... Tuan, kau harus banyak makan biar cepet pulang." Bian menyendok bubur dan menyodorkannya pada Danish. Lelaki itu dengan semangat melahapnya.Danish menatap kagum pada gadis di hadapan. Tanpa terucap dia begitu memujanya."Kenapa kau melihatku seperti itu?" Bian tampak kikuk. Danish mengulurkan tangannya membelai pipi sang gadis."Saat koma, aku selalu memimpikanmu, Bian. Aku rindu melihat wajahmu. Aku pikir tidak akan melihatmu lagi. Aku bersyukur dengan kecelakaan ini."Bian mendongak dan menatap kesal pada Danish."Kau itu aneh sekali, Tuan. Aku berhari-hari menangis melihatmu tak sadarkan diri, ta
"Ayo ikut aku, Kak Danish kecelakaan." Rey menarik tangan Bian. Gadis itu terbelalak kaget."Kecelakaan? Di mana dia sekarang?" tanya Bian."Di rumah sakit. Ayo kita ke sana sekarang," ajak Rey. Tanpa menghiraukan penampilannya Bian mengangguk cepat dan menurut saat Rey menarik tangannya.***Bian menatap sayu ke dalam ruangan ICU lewat jendela kaca. Lelaki yang baru saja singgah di hatinya kini terbaring lemah.Cinta yang baru saja hadir harus hancur hanya karena sebuah nafsu.'Kenapa kau tidak bisa berubah, Tuan?' Bian menjerit dalam hati.'Kenapa nafsu selalu membutakan matamu? Kenapa cinta yang tulus kau balas pengkhianatan?'Air matanya luruh. Kedua tangannya menyentuh kaca jendela. Pandangannya tak pernah lepas dari sang tuan."Bian, ayo kita ke kantin. Kamu belum makan dari tadi 'kan. Menangis juga butuh energi," bujuk Rey. Bian menoleh."Aku takut terjadi sesuatu pada Tuan Danish. Aku takut dia ...."
Setelah kembali sehat, Danish diizinkan pulang oleh pihak rumah sakit. Hampir dua minggu dia dirawat dan Bian dengan sabar menjaganya.Pagi itu, Danish sudah terlihat fit dan segar. Saat melihat Bian yang tengah membereskan buku-buku di ruang baca, lelaki itu memeluknya dari belakang. Bian sontak menoleh."Eh, Tuan? Mau kerja ya, sudah keren sekali?""Emh, ya ... aku mau ngajak kamu. Setelah beres pekerjaan, aku akan mengajak kamu mencari baju. Jadi bersiaplah." Danish membalikkan tubuh dalam pelukannya. Bian tersenyum dan mengangguk."Aku pakai baju yang mana, Tuan?""Yang mana saja, kamu pasti cantik.""Ish, aku beneran bertanya padamu, Tuan. Agar aku tidak membuatmu malu," ujar Bian sambil mengerucutkan bibirnya."Kapan kamu membuatku malu? Sudahlah pakai baju yang mana saja yang kamu suka, hmm.""Bian!""Ya, Tuan?""Kenapa kamu masih mengerjakan semua pekerjaan ini? Sebentar lagi kan kamu jadi nyonya di sini."Bian terlihat bingung mau menjawab apa."Emh, itu ... karena aku kan ma
Danish duduk termenung di pinggir ranjang. Tatapannya kosong. Bian mengelus punggungnya perlahan.Lelaki itu perlahan menoleh. “Apa kamu memang merencanakan ini semua sebelum berangkat ke sini?” tanya Danish. Bian mengangguk.“Jadi kamu sudah tahu kebobrokan mereka?”Bian kembali mengangguk.Danish memejamkan matanya dan melengos.“Dia lelaki yang paling aku benci. Tidak pernah berubah walaupun sudah tua. Dia tidak pernah puas dengan satu wanita,” ucapnya menyesalkan.“Apakah itu yang menjadi alasanmu berganti-ganti wanita?” tanya Bian polos.Danish menoleh dan menatap wanitanya lekat. “Aku jadikan itu sebagai pelampiasan. Selain ibuku, aku menganggap semua wanita adalah sama. Makhluk murah dan menjijikan. Mereka hanya bisa menjadi pemuas nafsu sesaat. Sebelum akhirnya aku bertemu kamu dan menyadari semuanya. Kau berbeda, Bian,” ungkap Danish.“Setiap wanita yang kutemui, mereka dengan mudah menyerahkan kehormatannya demi sejumlah uang. Ada juga yang tergila-gila padaku dan mau melaya
“Apa-apaan ini?” Irene berusaha mempertahankan selimut yang menutupi tubuh polosnya. Namun, Monic pun tak mau kalah. Dia menarik tangan Irene yang tengah duduk dan menyilangkan tangan di dadanya.Monic tahu, semua itu demi menutupi tubuhnya yang tak memakai apapun.“Berengsek, ya, kalian! Nggak punya otak! Nggak punya hati!” teriak Monic.“Kau perempuan ular, Irene! Kau tega menikamku dari belakang. Akan aku bongkar semua kebobrokanmu sekarang juga.” Monic berteriak dengan napas yang naik turun. Matanya merah menahan sedih dan amarah.“Perlu kau tau, Danish. Kalau sebetulnya sekarang ini dia tidak hamil. Dia berpura-pura hamil supaya bisa menjebakmu dan memperoleh semua kekayaanmu.” Monic terengah.Danish terperangah. Namun, tidak dengan Bian. Dia sudah bisa menduganya.“Diam kau sialan!” Irene kini yang bangkit walaupun dengan gerakan tak bebas karena berusaha menutupi tubuhnya yang polos.“Aku tidak akan tinggal diam, Irene! Kau tega menggoda Demian di belakangku!” balas Monic.Bian
Bian masih menyembunyikan masalah itu dari Danish. Dia tidak ingin menambah beban suaminya yang tengah sibuk dengan pekerjaan dan bisnisnya. Bian berencana akan menangkap basah keduanya dengan disaksikan oleh Danish juga Monic.Dia yakin jika tak lama lagi Irene akan meminta izin pada Danish untuk pergi ke luar kota, entah dengan memberikan alasan apa.Benar saja, hanya berselang beberapa hari, Irene meminta izin pada Dnish jika dia akan ada acara reuni dengan teman-temannya di Bali. Tepat seperti yang pernah Bian dengar saat di kafe jika kedua pasangan selingkuh itu akan pergi ke Bali.“Boleh, kan, Danish?” pinta Irene dengan rengekan manjanya. Danish tak menanggapi. Dia malah asik melanjutkan makan malamnya.“Tuan, Mbak Irene lagi bertanya.” Bian berbisik. Namun, Danish tak menggubrisnya.“Aku nggak peduli. Mau dia pergi ke neraka sekalipun, aku nggak peduli,” jawab Danish. Bian tersenyum malas. Sedangkan Irene tampak biasa saja dengan sikap Danish yang tak peduli.“Jadi kamu kasih
“Hei, Bian.” Sebuah suara menyapa Bian yang sedang memilih pakaian di sebuah pusat perbelanjaan. Sekarang dia sudah berani ke mana-mana sendiri tanpa diantar oleh Danish yang super sibuk.“Hei, Lena!” Bian ikut terperangah saat melihat siapa yang menyapanya. Seorang teman lama semasa SMA.“Kamu keren, ya, sekarang. Makin cantik dan modis aja,” ujarnya sambil menilik Bian dari atas sampai bawah.Bian tertawa kecil.“Kamu lagi beli baju?” tanyanya dan Bian mengangguk.“Katanya, sekarang kamu punya suami yang kaya raya, ya? keren, deh, Bian.”Karena merasa tak enak diperhatikan oleh orang-orang, Bian mengajak Lena untuk mengobrol di kafe.“Kamu yang traktir, ya?” goda Lena mengedipkan mata. Bian tersenyum sambil mengacungkan jempolnya.Mereka kembali mengobrol setelah memesan makanan dan minuman. Lena menanyakan kehidupan Bian yang konon bersuamikan seorang bule kaya. Bian hanya tertawa tanpa banyak mengungkapkan bagaimana Danish sebenarnya.“Sama ajalah sama yang lain. Bedanya suamiku e
Mata biru itu membelalak saat melihat siapa yang sedang duduk di ruang TV. Dengan santainya Rey memindahkan saluran sambil bersilang kaki.“Berani juga kau ke sini,” sindir Danish yang baru turun dari kamarnya. Rey tersenyum malas.“Aku ingin tahu keadaan Bian,” jawab Rey dengan entengnya.Danish terbahak.“Apa kau terlalu santai hingga mengurusi istri orang, hah? Dia itu tanggungjawabku, kau tidak perlu repot-repot memikirkannya. Hidupnya sudah sempurna dengan berada di sisiku.”Rey bangkit dan tersenyum kecut. “Oh, ya? Bagaimana dengan ini?” ucapnya menunjukan surat panggilan dari Pengadilan Agama.Danish membelalak. Dia tak menyangka jika Bian benar-benar mengajukan gugatan cerai.Dengan penuh amarah Danish menyambar surat itu dan menyobeknya hingga berkeping-keping.“Ini hanya lelucon. Bian akan segera mencabutnya,” ucap Danish jumawa.“Oh ya? Apa kau sudah yakin?” tanya Rey mengejek.Danish kembali terbahak. Dia kemudian meneriakan nama sang istri dengan lantang. Memangginya agar
Danish menatap secarik kertas berwarna hitam putih dengan gambar siluet bayi tak begitu jelas. Dahinya mengernyit. Dia tidak meyakini kebenaran tentang gambar hasil USG itu.Tanpa mengatakan apapun, Danish pergi dan melempar begitu saja hasil USG itu ke atas meja.“Gambar seperti ini bisa punya siapa saja. Aku tidak akan percaya sampai lihat hasil tes DNA,” ujarnya santai.Irene terlihat kesal dan meremas kertas hitam putih itu hingga tak berbentuk.“Dasar laki-laki nggak bertanggungjawab!” teriak Irene geram.Danish yang hampir menginjakan kakinya di undakan tangga terhenti seketika dan perlahan berbalik. Tersungging senyum sinis di wajahnya.“Kau bilang aku tidak bertanggungjawab?” Danish tersenyum kecut. “Lalu bagaimana kau bisa tinggal di sini dengan uang yang aku berikan padamu setiap kau minta?”Irene melengos.“Kau tidak pernah memperlakukan aku seperti kau perlakukan Bian. Kau tidak adil!” Irene kemudian berani berteriak.Danish melangkahkan kakinya mendekati wanita itu.“Apa
Bian yang sedang membereskan barang-barangnya merasa tak enak dengan sikap Danish di tempat kerjanya. Dia lalu menghentikan kegiatannya dan menghampiri Danish yang masih menatap nyalang pada maya.“Tuan, tolong tenanglah. Dia tidak tahu kalau kau ini sangat berkuasa. Ayo kita pergi saja.” Bian merengek, menghalangi tubuh jangkung yang tegap menantang. Bian memegangi kedua tangan Danish, menggoyangkannya sambil memelas.“Dengar! Ayo kita kembali ke hotel dan mengulang yang tadi. Lupakan saja keributan ini, ” bisiknya sambil berjinjit, menempelkan bibir ke telinga Danish. Tidak ada cara lain untuk menurunkan emosi lelakinya selain dengan merayu seperti itu.Danish yang sedari tadi menatap nyalang pada Maya, lalu mengalihkan tatapannya pada Bian dan tersenyum. Namun, sedetik kemudian Danish kembali menatap marah pada Maya.“Dengar! Kalau bukan karena istriku yang minta, sudah kutendang kau ke jalanan!” bentak Danish. “Minta maaf dan berterima kasihlah pada istriku sekarang juga!” titahny
Bian menggeliat. Tubuhnya benar-benar lelah jika sudah menghabiskan waktu dengan Danish. Perutnya keroncongan. Jam sudah menunjukan pukul 3 sore. Bian melirik ke sebelah kirinya, Danish terlelap lengkap dengan dengkuran halusnya. Dia pasti kecapean setelah pergumulan panjang.Bian merasa tak enak hati dengan staff yang lain, di saat jam kerja dia malah pergi meninggalkan tugasnya. Sudah pasti staff yang lain yang mengerjakan tugasnya.Beringsut turun dari tempat tidur dengan menutupi tubuhnya dengan selimut tipis berwarna putih, Bian memunguti pakaiannya yang terserak, lalu pergi ke kamar mandi. Dalam waktu 10 menit dia sudah beres mandi dan mengendap pergi.Beruntung di seberang hotel ada beberapa taksi yang mangkal, sehingga Bian tidak perlu repot-repot memesan taksi online. Pertemuan singkatnya dengan Danish, tidak menghasilkan sesuatu yang pasti. Apakah dia percaya dengan penjelasannya, atau hanya sekedar memanfaatkan pertemuan mereka demi untuk memuaskan hasrat.Langkahnya diperc
“Aime, tolong siapkan penerbanganku ke Surabaya sekarang juga!” ucapnya tegas. Dia tak meminta hal itu saat di ruang meeting tadi, karena masih menghargai para staff-nya.“Dengan pesawatmu?” tanya Aime meyakinkan.“Tentu saja. Aku tidak ingin membuang waktu,” jawab Danish berapi-api.Perjalanan Jakarta-Surabaya yang memakan waktu satu jam terasa begitu lama. Danish sudah tidak sabar ingin bertemu dengan Bian.Danish pun merasa aneh, bagaimana Bian bisa sampai tinggal di Surabaya dan langsung bekerja dengan mudah.Tiba di Bandara Juanda, Danish sudah ditunggu oleh seseorang dan mereka bergegas menuju tempat Bian bekerja.Jarinya mengetuk-ngetuk punggung tangan tanda tak sabar. Sebuah gedung perkantoran berlantai empat sudah tak lagi jauh darinya. Dia meminta turun saat mobil di depan lobby.“Kau parkir saja. Aku telepon kalau semua sudah selesai,” ujar Danish. Sang sopir hanya mengangguk dari balik kemudi.“Aku mau bertemu dengan Bian,” ucap Danish tegas tanpa basa-basi di depan meja r