Suasana di basement perusahaan Fly semakin ramai. Semua Karyawan sudah mulai berdatangan. Termasuk juga Mona dan Hani. Mereka juga bergegas untuk datang.
Mona terpaku melihat para karyawan kemudian menyingkir ketika melihat Mona. Mereka memberikan jalan untuk Mona agar maju ke depan. Mona melihat Ibunya Ardhi sedang memegang tangan Dania.
“ Kelak seringlah bermain ke rumah keluarga Wisnu. Jika ada masalah di perusahaan, beritahukanlah kepadaku. Jangan dipendam sendiri. “
Dania mengangguk, “ Baiklah bibi. “
“ Jika ibumu tidak mengatakannya, aku tidak tahu kalau kau mendapatkan hinaan di perusahaan “ Nyonya Wisnu kemudian membelai rambut Dania.
“ Aku akan berkunjung ke keluarga Wisnu, kuharap bibi tidak merasa terganggu. “
Nyonya Wisnu kemudian tersenyum, “ Tentu saja tidak, aku justru sangat senang jika kau mau menemaniku. “
Nyonya Wisnu kemudian menatap tajam ke arah Mona berada. Kemudian dia berbicara tegas, “ Jika ada karyawan yang berani
Dania terkekeh. Dia berencana untuk mengambil keuntungan dengan menjebak Mona. “ Kakak, malam ini ada makan malam. Kau harus datang, dengan begitu aku anggap itu adalah tugasmu yang terakhir di perusahaan Fly. ““ Apakah dengan hadirnya aku di makan malam itu kau akan melepaskan aku? Termasuk juga Hani? “ Jawab Mona ketus.“ Yaa, lagipula dari awal aku juga sudah tidak suka dengan anak itu “ Dania tampak malas menanggapi.Mona mengangguk “ Baiklah, aku akan pergi. “Mona lalu berbalik meninggalkan ruangan Dania. Dania berteriak “ Kakak, nanti malam di Restourant Goodfood. Jangan terlambat. “ Tetapi Mona mengabaikannya.***Malam harinya,Di Restaurant Goodfood yang sangat mewah. Tampak dua gadis sedang merayu genit seorang pria paruh baya. Umurnya pria itu terlahat sudah menginjak kepala empat. Dia mengenakan kemeja putih mewah berdasi dan celana hitam. Dilihat dari penampilannya dia adalah seorang pengusaha kaya yang sukses. Tampak kedua ga
Sementara di dalam kamar mandi Mona sedang memandang kedua matanya yang merah melalui kaca. Firasat buruk ada dalam pikirannya. "Aku harus segera keluar dari sini. Kalau tidak aku tidak tahu nasibku akan seperti apa."Mona lalu berjalan ke pintu keluar dengan terhuyung-huyung karena efek obat perangsang. Sampai-sampai dia berjalan tidak melihat ke depan."Bruk" Mona menabrak sesuatu di depannya. "Sepertinya aku menabrak sesuatu. Tapi aneh, kenapa dinding ini terasa hangat?" batin Mona. Mona lalu mendongak untuk melihat.Tampak seorang pria berdiri di depan Mona membuat Mona terkejut. Tetapi pandangannya buyar dan tidak melihat dengan jelas. Mona berusaha meyakinkan dirinya meraba-raba apa yang ada di depannya. "Ini apa ya? Dinding kok hangat."Roni terkekeh di belakang Raka yang baru saja ditabrak Mona. Dia menggelengkan kepalanya. "Lagi-lagi bertemu seseorang secara tidak terduga. Tetapi sayang, gadis itu bertemu dengan seseorang yang sama sekali tidak mengenal cinta."Sedangkan Mona
Setelah malam yang penuh ketegangan itu, kehidupan Mona perlahan kembali normal, meski ada bayangan gelap yang selalu mengikutinya. Meski begitu, dia mencoba melupakan insiden dengan Raka dan Roni, serta fokus pada rutinitas harian. Namun, Mona tidak pernah menyangka bahwa Raka diam-diam memperhatikannya sejak malam itu. Baginya, ada sesuatu tentang Mona yang menarik perhatiannya, meski dia sendiri tak bisa menjelaskan apa. Beberapa bulan setelah kejadian di pesta itu, Mona mulai sering menerima pesan misterius. Pesan-pesan itu singkat, namun terasa pribadi. Awalnya, Mona mengabaikannya, menganggap itu hanya lelucon dari orang tak dikenal. Tetapi lama-kelamaan, pesannya semakin sering muncul, bahkan pada waktu-waktu yang tak terduga. "Jangan terlalu percaya pada semua orang di sekitarmu," begitu bunyi salah satu pesan itu. Rasa takut yang pernah dia rasakan muncul kembali. Mona merasa dia sedang diawasi, seolah setiap gerak-geriknya terekam oleh mata-mata yang tak tampak. Dia sempat
Mona menginjakkan kakinya kembali di rumah keluarganya, kediaman keluarga Sanjaya. Sudah berbulan-bulan sejak terakhir kali dia berada di sini. Rumah besar dengan arsitektur megah itu tampak sama seperti sebelumnya, namun entah kenapa, terasa lebih dingin dan sepi. Meski perasaan tak nyaman itu menyergapnya, dia melangkah masuk, menyusuri lorong menuju ruang tamu dengan hati-hati. Tidak lama setelah Mona tiba, ibunya, Helen, muncul di ruang tamu dengan ekspresi yang tampak tegang namun juga penuh harapan. Di sampingnya, Dania—adik tirinya yang selama ini diam-diam selalu memusuhinya—tampak berdiri dengan senyum sinis di wajahnya. Mona tahu betul bahwa senyum itu tidak berarti baik. “Mona, akhirnya kau pulang juga. Sudah terlalu lama kau menghilang,” kata Helen, mendekati Mona dengan langkah cepat. Mona menghela napas, mencoba untuk tetap tenang meskipun hatinya berdebar tak karuan. “Ibu, aku tidak datang untuk tinggal. Aku hanya ke sini untuk mengambil liontin peninggalan nenek.” N
Mona kembali ke rumah megah Raka dengan perasaan campur aduk. Rumah besar yang biasanya terasa sunyi itu menyambutnya dengan keheningan yang berbeda kali ini. Setelah percakapannya yang penuh emosi dengan keluarganya, Mona merasa sedikit kelelahan. Namun, dia juga merasakan kelegaan, seperti sebuah beban yang terangkat dari pundaknya. Meninggalkan tuntutan keluarga Sanjaya membuatnya merasa lebih bebas, namun ada bagian kecil dalam dirinya yang masih ragu tentang langkah besar yang baru saja ia ambil. Saat ia melangkah masuk, Mona menyadari bahwa rumah besar itu benar-benar sunyi. Tidak ada suara langkah kaki para pelayan atau gema percakapan yang biasa ia dengar. Bahkan, biasanya Raka selalu ada di ruang kerja atau di ruang tengah saat ia pulang, namun kali ini tidak ada tanda-tanda kehadiran Raka. Perasaan sepi itu membuatnya sedikit gelisah. Meskipun rumah tersebut sangat megah dan lengkap, kadang Mona merasa terkurung di dalamnya, terutama karena Raka sering mengontrol semua aktiv
Raka mengangkat Mona dengan lembut, menggendongnya dengan kedua tangannya sambil berjalan menuju kamar tidur. Mona memandangnya dengan tatapan bingung namun juga berdebar. Hatinya bertanya-tanya tentang apa yang direncanakan Raka. Setiap langkah yang diambil Raka, mengarahkannya ke tempat yang semakin pribadi, membuat jantung Mona berdegup lebih kencang. "Apa yang sedang kau lakukan, Raka?" tanya Mona dengan nada cemas bercampur rasa penasaran. Raka hanya tersenyum lembut, matanya memandang Mona dengan hangat, sesuatu yang jarang terlihat dari pria yang biasanya penuh dengan kontrol dan ketegasan ini. “Bukankah kita sudah menjadi keluarga, Mona?” ucapnya, suaranya rendah namun jelas, seakan meyakinkannya tentang ikatan yang mereka miliki. Kata-kata itu menggema dalam hati Mona, menghangatkan dirinya dengan perasaan baru yang tak ia duga sebelumnya. Baginya, gagasan tentang “keluarga” adalah hal yang selalu rumit. Tuntutan dari keluarga Sanjaya selalu membuatnya merasa tertekan, hing
Hari itu, Mona sedang sibuk mengurus dokumen di kantor perusahaan Raka. Dia telah menghabiskan beberapa minggu terakhir untuk belajar tentang bisnis yang dikelola suaminya, berusaha memahami segala hal agar bisa memberikan kontribusi nyata. Raka memberi Mona kepercayaan penuh untuk membantu beberapa proyek, membuat Mona semakin termotivasi untuk bekerja keras. Namun, saat Mona sedang berjalan melewati lobi perusahaan, ia terkejut melihat dua sosok yang sangat dikenalnya: Dania dan Ardhi, mantan pacar Mona yang kini menjadi tunangan Dania. Keduanya tampak elegan dengan pakaian formal, menunjukkan kesan profesional, namun ekspresi wajah Dania langsung berubah sinis ketika pandangannya bertemu dengan Mona. Dania berjalan mendekat, senyum mengejek menghiasi wajahnya. “Mona? Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Dania dengan nada meremehkan. Dia melirik ke arah pakaian Mona yang sederhana dan berujar tajam, “Kau tahu, ini perusahaan besar, salah satu dari empat keluarga besar di negara ini
Ardhi duduk di dalam mobil bersama Dania, memandang dengan gusar ke arah gedung perusahaan yang baru saja mereka tinggalkan. Wajahnya penuh kekecewaan dan kekesalan. "Sial, kenapa CEO perusahaan Hartono tidak mau menemuiku?" keluhnya sambil mengepalkan tangan. Dania, yang duduk di sebelahnya, masih mengusap-usap wajahnya yang terluka akibat perkelahiannya dengan Mona tadi. Rasa sakit di wajahnya belum seberapa dibandingkan dengan rasa sakit di hatinya setelah dipermalukan oleh Mona di depan para karyawan. Suasana mobil itu menjadi tegang, dipenuhi kekesalan yang tak tersalurkan. "Aku tidak mengerti," ujar Ardhi dengan nada marah, "Proposal ini sudah kami persiapkan dengan matang. Harusnya mereka mau mempertimbangkan. Apalagi, perusahaan kita adalah mitra yang cukup besar bagi mereka." Dania mendesah panjang. Dia sendiri masih merasa terhina karena Mona berada di perusahaan itu—terlebih lagi, Mona tampak sangat percaya diri dan tak tergoyahkan di depan mereka. "Sepertinya ada alasan
Dania, yang masih dipenuhi rasa iri dan dendam terhadap Mona, memutuskan untuk mengambil langkah yang lebih besar dan lebih berbahaya. Di tengah rencana jahatnya, dia teringat pada seorang sekutu potensial, Ayana, seorang putri keluarga kaya yang terkenal, cerdas, namun juga ambisius. Ayana sudah lama menaruh hati pada Raka dan merasa tersingkir sejak Mona menjadi istri Raka. Keduanya segera bertemu di sebuah kafe eksklusif, di mana Dania mengajukan ide gila untuk merusak kehidupan Mona.“Ayana, kamu tahu Mona bukan? Istri Raka itu…” ujar Dania dengan tatapan sinis, memancing respons Ayana.“Siapa yang tidak tahu?” jawab Ayana dengan suara dingin sambil menyeruput kopinya. “Dia menikahi Raka, dan tiba-tiba semua orang menghormatinya, seolah-olah dia layak mendapat semua itu.”Dania tersenyum, melihat kesamaan ambisi mereka. “Bagaimana kalau kita bekerja sama untuk membuat hidup Mona lebih sulit? Kita berdua tahu dia bukan siapa-siapa tanpa Raka.”Ayana terdiam sejenak, mempertimbangka
Setelah beberapa minggu bekerja sama dalam suasana yang baik, hubungan Mona dan Liana kembali diuji ketika mereka berhadapan dengan masalah besar di perusahaan. Liana telah menyusun sebuah proyek yang cukup ambisius, yang menurutnya bisa mengangkat nama perusahaan ke degree berikutnya. Namun, saat Mona meninjau concept Liana, dia merasa proyek tersebut terlalu berisiko dan berpotensi mengganggu stabilitas perusahaan jika gagal.Mona menyampaikan pendapatnya dengan serius kepada Liana, berharap bisa berdiskusi untuk mencari solusi yang lebih aman. Namun, tanggapan Liana justru membuat suasana tegang. Alih-alih mendengarkan, Liana merasa bahwa Mona sekali lagi meremehkan kemampuannya.“Kamu selalu berpikir kamu yang paling tahu segalanya, Mona,” kata Liana dengan nada sinis. “Padahal, ide ini adalah kesempatan besar bagi kita. Tapi kamu terlalu takut untuk mengambil risiko!”Mona menggelengkan kepala, berusaha menahan emosinya. “Liana, ini bukan soal siapa yang lebih tahu. Aku hanya mem
Setelah acara double date yang seru itu, Mona dan Liana kembali menjalani aktivitas mereka masing-masing. Namun, di balik kedekatan mereka yang perlahan terjalin, masih ada sisa-sisa ketegangan yang belum sepenuhnya terselesaikan. Ketegangan itu muncul lagi ketika Mona dan Liana sedang berdiskusi tentang beberapa keputusan penting terkait perusahaan keluarga. Diskusi yang awalnya berjalan biasa mulai memanas ketika pandangan mereka mengenai proyek yang sedang digarap ternyata sangat berbeda. Mona, yang sudah lama terlibat dalam perusahaan keluarga Hartono bersama Raka, merasa bahwa keputusan Liana terlalu berisiko. Sementara Liana, dengan keyakinannya sendiri, menganggap Mona terlalu berhati-hati dan tidak berani mengambil langkah berani yang dibutuhkan untuk memajukan perusahaan. “Aku cuma ingin memastikan bahwa kita mengambil langkah yang aman, Liana. Semua ini menyangkut banyak orang, bukan cuma kita berdua!” tegas Mona, mencoba menjelaskan alasan kehati-hatiannya. Liana mendengu
Fauzi dan Lisa, yang baru saja resmi menjadi pasangan, memutuskan untuk merayakan kebahagiaan mereka dengan mengajak Ubay dan Dina untuk double date. Bagi Ubay, ini adalah pengalaman yang cukup baru, karena biasanya ia menjalani kencan hanya berdua dan sering kali hanya dalam suasana santai. Tapi kali ini, bersama Dina dan sahabat-sahabatnya, kencan ini memiliki kesan yang berbeda—lebih hangat dan penuh canda tawa.Mereka berempat memutuskan untuk menghabiskan hari dengan piknik di taman, tempat yang sejuk dan dikelilingi oleh bunga-bunga yang sedang bermekaran. Fauzi dan Lisa tiba terlebih dahulu, memilih lokasi yang strategis dengan pemandangan danau kecil. Tak lama kemudian, Ubay dan Dina datang membawa keranjang piknik berisi camilan dan minuman yang telah disiapkan oleh Dina."Wow, kalian benar-benar siap!" seru Fauzi sambil terkekeh saat melihat keranjang yang dibawa oleh Ubay.Lisa mengangguk setuju, “Ubay dan Dina sepertinya sudah ahli dalam hal piknik, nih. Terlihat seperti pa
Fauzi merasa gugup ketika duduk di sebuah kafe yang nyaman, menunggu Lisa tiba. Selama beberapa waktu terakhir, hatinya terasa tak menentu setiap kali mereka bertemu. Dia tak lagi sekadar merasa nyaman; kini ada perasaan hangat yang mengalir ketika bersama Lisa, sahabat Mona yang telah berhasil mencuri perhatiannya. Saat Lisa akhirnya datang dan menyapanya, Fauzi tersenyum hangat. "Hei, sudah lama nunggu?" tanya Lisa, sambil menarik kursi di depannya. "Enggak kok, baru saja," jawab Fauzi sambil berusaha menjaga ketenangan, meskipun jantungnya berdetak cepat. Mereka mengobrol ringan seperti biasanya, tapi kali ini ada sedikit perbedaan. Fauzi sesekali mencuri pandang ke arah Lisa, memperhatikan senyumnya yang tulus dan cara dia tertawa. Lisa juga merasakan kehangatan dari Fauzi yang membuatnya merasa nyaman dan damai. Mereka berdua menikmati obrolan tanpa sadar waktu yang berjalan. Akhirnya, setelah mengumpulkan keberanian, Fauzi memutuskan untuk berbicara tentang perasaannya. "Lisa
Di sebuah kafe dengan suasana santai dan nyaman, Ubay duduk sambil menyeruput kopinya, sesekali melirik seorang gadis yang duduk di meja sebelah. Gadis itu terlihat asyik membaca buku, tenggelam dalam dunianya sendiri. Dengan rambut panjang berombak, wajahnya yang manis, dan senyumnya yang samar, Ubay merasa ini adalah kesempatan yang tidak boleh dilewatkan. "Baiklah, Ubay. Ini saatnya beraksi," gumamnya pada diri sendiri, mencoba memberi semangat. Dengan percaya diri, ia pun melangkah mendekati meja gadis itu dan memberi salam dengan senyuman lebar. "Permisi, boleh aku gabung? Atau kamu lebih suka menikmati kopi dan bacaanmu sendirian?" tanyanya dengan nada lembut dan sopan. Gadis itu terkejut sesaat, lalu menatap Ubay. Ia tampak ragu sejenak, tetapi akhirnya tersenyum kecil dan berkata, "Oh, tentu, silakan." Ubay duduk di depan gadis itu, berusaha mencari pembicaraan yang pas untuk memulai. "Kamu suka baca, ya? Aku nggak terlalu sering lihat ada orang yang bisa menikmati buku di
Di sebuah restoran mewah yang menghadap pemandangan kota yang indah, Fauzi duduk bersama Lisa dalam suasana romantis. Malam itu, Fauzi mengenakan setelan rapi, sementara Lisa tampil anggun dengan gaun merah muda sederhana namun elegan. Ini adalah kencan mereka yang keempat, dan keduanya sudah mulai saling merasa nyaman. Mereka berbicara dengan penuh canda, tertawa, dan menikmati hidangan. Namun, di kejauhan, Ubay memandang mereka dengan senyum licik. Ubay, sahabat sekaligus saudara angkat Fauzi, telah lama ingin menjahili Fauzi. Mengetahui Fauzi sedang asyik berkencan, Ubay merasa ini adalah kesempatan emas untuk sedikit mengganggunya. Ia merencanakan beberapa kejutan kecil agar malam Fauzi tak terlupakan… dengan cara yang lucu dan kocak. Ubay berbisik kepada seorang pelayan di restoran itu, menyampaikan beberapa rencana isengnya. Pelayan itu tersenyum sambil mengangguk, siap melaksanakan permintaan Ubay. Sementara itu, di meja Fauzi dan Lisa, pembicaraan mereka semakin hangat. Fauz
Dania selalu merasa bahwa ada sesuatu yang belum terselesaikan antara dirinya dan Mona. Meski mereka telah berusaha untuk berbaikan, selalu ada ketegangan yang tak pernah benar-benar hilang. Dania merasa bahwa Mona selalu menjadi penghalang dalam hidupnya—sebagai rival dalam segala hal, baik dalam hal perhatian orang tua, perhatian pria, dan bahkan dalam hal kebahagiaan. Ia tidak bisa menerima bahwa Mona hidup bahagia dengan Raka, sedangkan dirinya masih mencari cara untuk memanipulasi orang di sekitarnya. Mona memang telah berusaha untuk menahan diri, namun setiap kali menghadapi Dania, hatinya masih terbakar dengan amarah dan rasa sakit. Dia merasa bahwa ada terlalu banyak kenangan buruk yang harus mereka hadapi bersama. Jadi, ketika Dania mengirim pesan kepadanya, mengundangnya untuk bertemu di sebuah lahan kosong di pinggiran kota, Mona tahu bahwa ini bukan ajakan biasa. Ini adalah tantangan, dan dia tidak bisa menghindarinya. Mona tidak memberi banyak perhatian pada pesan itu, t
Fauzi merasa sedikit cemas, meskipun dia telah mendapat dorongan dari Mona untuk lebih mendekati Lisa. Hari itu, dia memutuskan untuk mengambil langkah pertama. Sejak pertemuannya di kafe, perasaan terhadap Lisa semakin kuat dan ia merasa tidak ingin hanya diam dan menyaksikan kesempatan berlalu begitu saja. Sudah saatnya dia melakukan sesuatu untuk mengetahui apakah perasaan yang tumbuh itu bisa berkembang menjadi sesuatu yang lebih. Dia memutuskan untuk mengajak Lisa berkencan. Fauzi menyadari bahwa ini bukanlah hal yang mudah. Lisa adalah seseorang yang sangat dihargai oleh Mona dan Liana, jadi dia merasa harus berhati-hati dalam mendekatinya. Tetapi di sisi lain, dia merasa cukup yakin bahwa Lisa adalah wanita yang spesial, yang mampu membuat hatinya bergetar dengan cara yang berbeda. Fauzi menyusun rencana. Dia memutuskan untuk mengundang Lisa ke sebuah restoran yang tenang dan nyaman, tempat di mana mereka bisa saling mengenal lebih dekat tanpa gangguan. Dia ingin menciptakan s