Cerita ini hanya fiktif belaka. jika ada kesamaan latar, karakter, maupun nama kami mohon maaf dan itu tidak ada kesengajaan. Terima Kasih selamat membaca.
Setelah malam yang panjang dan penuh refleksi, Mona bangun dengan perasaan yang lebih kuat dari sebelumnya. Raka masih tertidur di sampingnya, tampak damai dan tenang. Melihat wajah suaminya yang penuh kasih membuat Mona kembali merasa bahwa ia telah menemukan tempat yang tepat, sebuah keluarga yang benar-benar menerima dan mencintainya apa adanya. Pagi itu, saat Mona berjalan menuju ruang makan, ia mendapati Roni sudah menunggu dengan setumpuk dokumen. "Nona Mona," sapa Roni sambil tersenyum, "ini adalah laporan-laporan terbaru dari proyek yang Anda tangani. Tuan Raka ingin memastikan Anda memeriksanya sebelum pertemuan besar minggu depan." Mona mengangguk dan tersenyum kembali. "Terima kasih, Roni. Aku akan segera memeriksanya. Tolong sampaikan pada Raka bahwa aku akan siap untuk pertemuan itu." Setelah mengambil beberapa dokumen, Mona kembali fokus pada tanggung jawabnya. Meski tantangan selalu ada, ia merasa setiap hari adalah kesempatan baru untuk belajar dan memperkuat posisin
Di suatu pagi yang tenang, suasana kediaman keluarga Rahman mendadak berubah tegang. Igo, tuan muda dari keluarga Rahman yang terpandang, menatap kakaknya, Andra, dengan penuh emosi. Andra baru saja memberi tahu kabar yang membuat hatinya bergolak—Mona, wanita yang sejak lama ia kagumi, ternyata telah menikah. Dan lebih mengejutkan lagi, Mona menikah dengan Raka, salah satu teman dekatnya. “Kenapa kau baru memberitahuku sekarang, Kak?” tanya Igo, matanya menatap tajam, penuh dengan rasa kecewa dan kemarahan yang terpendam. Selama ini, ia diam-diam menyimpan perasaan mendalam terhadap Mona, berharap suatu hari bisa mendekatinya. Namun kini semua harapan itu seakan hancur berkeping-keping. Andra menghela napas panjang. “Aku tahu ini berat, Igo. Tapi aku pikir kau harus tahu. Aku tahu kau menyimpan perasaan untuk Mona, tapi dia sudah menjadi istri Raka sekarang. Tidak ada yang bisa kau lakukan selain menghormati keputusan mereka.” Namun, kata-kata Andra tidak cukup untuk menenangkan Ig
Dalam sunyi malam yang sepi, Igo duduk sendirian di tepi jendela kamarnya, memandangi kota yang gemerlap di bawah sana. Meski sudah berminggu-minggu berlalu sejak pernikahan Mona dengan Raka, rasa sedih di hatinya masih tetap membekas. Pikirannya terus berputar pada kenangan masa lalu yang baginya begitu berarti, namun tampaknya sudah lama dilupakan oleh Mona. Ia ingat dengan jelas bagaimana mereka pertama kali bertemu di panti asuhan ketika mereka masih kanak-kanak. Saat itu, Igo masih remaja dan sedang dalam kunjungan amal bersama keluarganya ke panti asuhan tempat Mona tinggal. Di tengah-tengah anak-anak lain yang juga berada di sana, Igo merasa ada yang berbeda dari gadis kecil yang ia lihat di sudut ruangan. Mona yang pendiam, dengan tatapan lembut dan senyum malu-malu, menarik perhatiannya. Igo teringat saat ia dan Mona, meski masih kecil, berbicara panjang lebar tentang mimpi-mimpi mereka. Mona yang lugu saat itu bercerita bahwa ia ingin punya keluarga yang menyayanginya, dan
Dengan langkah gontai, Igo meninggalkan perusahaan Raka. Setelah percakapannya dengan Mona, hatinya dipenuhi rasa kecewa yang sulit diungkapkan. Janji masa kecil yang ia jaga selama bertahun-tahun ternyata hanya kenangan sepihak. Igo merasa hampa, seakan bagian dari dirinya telah hilang. Di tengah-tengah perjalanan, Igo memutuskan untuk menenangkan pikirannya dengan berjalan-jalan di taman kota yang tak jauh dari sana. Taman itu dipenuhi pepohonan rindang dan bangku-bangku kayu tempat orang-orang duduk menikmati sore yang tenang. Langit berwarna jingga ketika matahari perlahan tenggelam, dan burung-burung terbang kembali ke sarangnya. Igo berjalan perlahan, menikmati semilir angin yang sejenak membawa ketenangan. Namun, langkahnya terhenti tiba-tiba ketika ia melihat sosok seorang gadis yang berjalan dari arah berlawanan. Sekilas, gadis itu tampak seperti Mona. Wajahnya serupa, memiliki kelembutan yang sama, dan mata yang mengingatkannya pada gadis yang selama ini ia kagumi. Namun, a
Igo dan Liana duduk berdua di bangku taman yang biasa mereka kunjungi setiap kali bertemu. Senja mulai meredup, dan angin sore yang sejuk mengelus lembut rambut Liana yang tergerai sebahu. Igo memandangi wajah Liana dengan tatapan yang dalam, merasakan bahwa ada sesuatu yang semakin mengikat mereka. Setelah beberapa saat hening, Igo mengumpulkan keberaniannya untuk menanyakan sesuatu yang selama ini memenuhi pikirannya. “Liana, bolehkah aku bertanya sesuatu?” Igo mengucapkan kalimatnya dengan hati-hati. Liana menoleh dan tersenyum tipis. “Tentu, tanyakan saja, Igo.” Igo menarik napas panjang. “Saat kecil, kamu tinggal di mana?” Liana terdiam sejenak, seolah pertanyaan itu membawanya kembali ke masa lalunya yang kelam dan sunyi. Matanya menerawang, dan perlahan ia menjawab, “Aku… aku tumbuh di panti asuhan. Di Panti Asuhan Kasih Harapan, di Jalan Asih No. 12.” Mendengar jawaban itu, Igo merasakan dadanya bergetar hebat. Panti Asuhan Kasih Harapan… jalan itu, nomor itu—semua sesuai
Igo duduk di ruang kerjanya, memandangi foto masa kecil yang penuh kenangan. Di sana, seorang anak laki-laki kecil terlihat memegang tangan seorang gadis kecil yang tersenyum manis, mirip sekali dengan Mona. Ia menarik napas panjang, mengenang betapa ia sangat menyayangi gadis kecil itu, yang ternyata bukan Mona, tetapi Liana. Perlahan-lahan, bayangan ingatan masa kecilnya semakin jelas, membantunya memahami bahwa cinta pertamanya bukanlah Mona, melainkan Liana. Igo membelai lembut foto itu, seolah-olah sedang berbicara dengan gadis kecil dalam gambar tersebut. "Liana... Kamu memang yang pertama," gumamnya dengan suara rendah. Bayangan tentang Liana kembali memenuhi pikirannya. Dia mengingat janji masa kecilnya yang pernah ia berikan pada gadis kecil itu. Janji untuk membawanya keluar dari panti asuhan, janji untuk selalu ada di sisinya. Saat itu, Igo kecil hanya tahu bahwa ia ingin membahagiakan Liana. Tapi kehidupan dan waktu yang berjalan memisahkan mereka, membuatnya kehilangan k
Saat Igo mengundang Liana untuk datang ke rumah Raka, ia berharap bahwa pertemuan ini akan menjadi kesempatan bagi Liana dan Mona untuk saling mengenal dan memahami. Dengan niat baik dan penuh harapan, Igo berencana memperkenalkan Liana kepada Mona sebagai teman masa kecil yang lama terpisah. Namun, saat Mona dan Liana berhadapan untuk pertama kalinya, suasana menjadi tegang. Mona terkejut, tatapannya langsung berubah saat melihat wajah Liana yang tampak mirip dengannya. “Mona?” tanya Liana pelan, seolah tak percaya pada pandangannya. Mona membalas dengan nada yang dingin. "Liana? Kau benar-benar di sini?" Wajah Mona yang semula penuh keingintahuan berubah menjadi kemarahan yang tak tertahan. Tanpa berpikir panjang, Mona bergerak maju dan langsung menyerang Liana. “Kali ini kau tidak akan bisa membully aku lagi, Liana!” seru Mona dengan penuh emosi. Suaranya mengandung kemarahan yang tertahan selama bertahun-tahun. Liana mundur selangkah, mencoba menghentikan Mona yang semakin men
Pertemuan di hari itu rupanya tak cukup menenangkan hati yang penuh luka lama. Ketika Mona dan Liana bertemu lagi di perusahaan Raka beberapa hari kemudian, emosi keduanya kembali memuncak. Awalnya, suasana tampak tenang. Mona tengah berbicara dengan Raka di ruangan kerjanya, ketika Liana datang bersama Igo. Mereka datang untuk mengurus beberapa hal bisnis, dan kebetulan saja harus bertemu dengan Mona. Ketika Liana masuk, Mona langsung melempar pandangan tajam ke arahnya. Ada api di matanya yang tak bisa ia sembunyikan. “Apa yang kau lakukan di sini, Liana? Masih ingin membuat hidupku kacau seperti dulu?” seru Mona dengan nada sinis. Liana yang awalnya berusaha menahan diri akhirnya terpancing. "Aku hanya di sini untuk urusan penting. Jangan terlalu merasa penting, Mona!" Raka dan Igo mulai merasa bahwa situasi ini akan memburuk. Raka mencoba menenangkan Mona, sementara Igo berusaha menarik Liana agar tidak terpancing lebih jauh. Namun, sudah terlambat. Kata-kata tajam telah terlan
Dania, yang masih dipenuhi rasa iri dan dendam terhadap Mona, memutuskan untuk mengambil langkah yang lebih besar dan lebih berbahaya. Di tengah rencana jahatnya, dia teringat pada seorang sekutu potensial, Ayana, seorang putri keluarga kaya yang terkenal, cerdas, namun juga ambisius. Ayana sudah lama menaruh hati pada Raka dan merasa tersingkir sejak Mona menjadi istri Raka. Keduanya segera bertemu di sebuah kafe eksklusif, di mana Dania mengajukan ide gila untuk merusak kehidupan Mona.“Ayana, kamu tahu Mona bukan? Istri Raka itu…” ujar Dania dengan tatapan sinis, memancing respons Ayana.“Siapa yang tidak tahu?” jawab Ayana dengan suara dingin sambil menyeruput kopinya. “Dia menikahi Raka, dan tiba-tiba semua orang menghormatinya, seolah-olah dia layak mendapat semua itu.”Dania tersenyum, melihat kesamaan ambisi mereka. “Bagaimana kalau kita bekerja sama untuk membuat hidup Mona lebih sulit? Kita berdua tahu dia bukan siapa-siapa tanpa Raka.”Ayana terdiam sejenak, mempertimbangka
Setelah beberapa minggu bekerja sama dalam suasana yang baik, hubungan Mona dan Liana kembali diuji ketika mereka berhadapan dengan masalah besar di perusahaan. Liana telah menyusun sebuah proyek yang cukup ambisius, yang menurutnya bisa mengangkat nama perusahaan ke degree berikutnya. Namun, saat Mona meninjau concept Liana, dia merasa proyek tersebut terlalu berisiko dan berpotensi mengganggu stabilitas perusahaan jika gagal.Mona menyampaikan pendapatnya dengan serius kepada Liana, berharap bisa berdiskusi untuk mencari solusi yang lebih aman. Namun, tanggapan Liana justru membuat suasana tegang. Alih-alih mendengarkan, Liana merasa bahwa Mona sekali lagi meremehkan kemampuannya.“Kamu selalu berpikir kamu yang paling tahu segalanya, Mona,” kata Liana dengan nada sinis. “Padahal, ide ini adalah kesempatan besar bagi kita. Tapi kamu terlalu takut untuk mengambil risiko!”Mona menggelengkan kepala, berusaha menahan emosinya. “Liana, ini bukan soal siapa yang lebih tahu. Aku hanya mem
Setelah acara double date yang seru itu, Mona dan Liana kembali menjalani aktivitas mereka masing-masing. Namun, di balik kedekatan mereka yang perlahan terjalin, masih ada sisa-sisa ketegangan yang belum sepenuhnya terselesaikan. Ketegangan itu muncul lagi ketika Mona dan Liana sedang berdiskusi tentang beberapa keputusan penting terkait perusahaan keluarga. Diskusi yang awalnya berjalan biasa mulai memanas ketika pandangan mereka mengenai proyek yang sedang digarap ternyata sangat berbeda. Mona, yang sudah lama terlibat dalam perusahaan keluarga Hartono bersama Raka, merasa bahwa keputusan Liana terlalu berisiko. Sementara Liana, dengan keyakinannya sendiri, menganggap Mona terlalu berhati-hati dan tidak berani mengambil langkah berani yang dibutuhkan untuk memajukan perusahaan. “Aku cuma ingin memastikan bahwa kita mengambil langkah yang aman, Liana. Semua ini menyangkut banyak orang, bukan cuma kita berdua!” tegas Mona, mencoba menjelaskan alasan kehati-hatiannya. Liana mendengu
Fauzi dan Lisa, yang baru saja resmi menjadi pasangan, memutuskan untuk merayakan kebahagiaan mereka dengan mengajak Ubay dan Dina untuk double date. Bagi Ubay, ini adalah pengalaman yang cukup baru, karena biasanya ia menjalani kencan hanya berdua dan sering kali hanya dalam suasana santai. Tapi kali ini, bersama Dina dan sahabat-sahabatnya, kencan ini memiliki kesan yang berbeda—lebih hangat dan penuh canda tawa.Mereka berempat memutuskan untuk menghabiskan hari dengan piknik di taman, tempat yang sejuk dan dikelilingi oleh bunga-bunga yang sedang bermekaran. Fauzi dan Lisa tiba terlebih dahulu, memilih lokasi yang strategis dengan pemandangan danau kecil. Tak lama kemudian, Ubay dan Dina datang membawa keranjang piknik berisi camilan dan minuman yang telah disiapkan oleh Dina."Wow, kalian benar-benar siap!" seru Fauzi sambil terkekeh saat melihat keranjang yang dibawa oleh Ubay.Lisa mengangguk setuju, “Ubay dan Dina sepertinya sudah ahli dalam hal piknik, nih. Terlihat seperti pa
Fauzi merasa gugup ketika duduk di sebuah kafe yang nyaman, menunggu Lisa tiba. Selama beberapa waktu terakhir, hatinya terasa tak menentu setiap kali mereka bertemu. Dia tak lagi sekadar merasa nyaman; kini ada perasaan hangat yang mengalir ketika bersama Lisa, sahabat Mona yang telah berhasil mencuri perhatiannya. Saat Lisa akhirnya datang dan menyapanya, Fauzi tersenyum hangat. "Hei, sudah lama nunggu?" tanya Lisa, sambil menarik kursi di depannya. "Enggak kok, baru saja," jawab Fauzi sambil berusaha menjaga ketenangan, meskipun jantungnya berdetak cepat. Mereka mengobrol ringan seperti biasanya, tapi kali ini ada sedikit perbedaan. Fauzi sesekali mencuri pandang ke arah Lisa, memperhatikan senyumnya yang tulus dan cara dia tertawa. Lisa juga merasakan kehangatan dari Fauzi yang membuatnya merasa nyaman dan damai. Mereka berdua menikmati obrolan tanpa sadar waktu yang berjalan. Akhirnya, setelah mengumpulkan keberanian, Fauzi memutuskan untuk berbicara tentang perasaannya. "Lisa
Di sebuah kafe dengan suasana santai dan nyaman, Ubay duduk sambil menyeruput kopinya, sesekali melirik seorang gadis yang duduk di meja sebelah. Gadis itu terlihat asyik membaca buku, tenggelam dalam dunianya sendiri. Dengan rambut panjang berombak, wajahnya yang manis, dan senyumnya yang samar, Ubay merasa ini adalah kesempatan yang tidak boleh dilewatkan. "Baiklah, Ubay. Ini saatnya beraksi," gumamnya pada diri sendiri, mencoba memberi semangat. Dengan percaya diri, ia pun melangkah mendekati meja gadis itu dan memberi salam dengan senyuman lebar. "Permisi, boleh aku gabung? Atau kamu lebih suka menikmati kopi dan bacaanmu sendirian?" tanyanya dengan nada lembut dan sopan. Gadis itu terkejut sesaat, lalu menatap Ubay. Ia tampak ragu sejenak, tetapi akhirnya tersenyum kecil dan berkata, "Oh, tentu, silakan." Ubay duduk di depan gadis itu, berusaha mencari pembicaraan yang pas untuk memulai. "Kamu suka baca, ya? Aku nggak terlalu sering lihat ada orang yang bisa menikmati buku di
Di sebuah restoran mewah yang menghadap pemandangan kota yang indah, Fauzi duduk bersama Lisa dalam suasana romantis. Malam itu, Fauzi mengenakan setelan rapi, sementara Lisa tampil anggun dengan gaun merah muda sederhana namun elegan. Ini adalah kencan mereka yang keempat, dan keduanya sudah mulai saling merasa nyaman. Mereka berbicara dengan penuh canda, tertawa, dan menikmati hidangan. Namun, di kejauhan, Ubay memandang mereka dengan senyum licik. Ubay, sahabat sekaligus saudara angkat Fauzi, telah lama ingin menjahili Fauzi. Mengetahui Fauzi sedang asyik berkencan, Ubay merasa ini adalah kesempatan emas untuk sedikit mengganggunya. Ia merencanakan beberapa kejutan kecil agar malam Fauzi tak terlupakan… dengan cara yang lucu dan kocak. Ubay berbisik kepada seorang pelayan di restoran itu, menyampaikan beberapa rencana isengnya. Pelayan itu tersenyum sambil mengangguk, siap melaksanakan permintaan Ubay. Sementara itu, di meja Fauzi dan Lisa, pembicaraan mereka semakin hangat. Fauz
Dania selalu merasa bahwa ada sesuatu yang belum terselesaikan antara dirinya dan Mona. Meski mereka telah berusaha untuk berbaikan, selalu ada ketegangan yang tak pernah benar-benar hilang. Dania merasa bahwa Mona selalu menjadi penghalang dalam hidupnya—sebagai rival dalam segala hal, baik dalam hal perhatian orang tua, perhatian pria, dan bahkan dalam hal kebahagiaan. Ia tidak bisa menerima bahwa Mona hidup bahagia dengan Raka, sedangkan dirinya masih mencari cara untuk memanipulasi orang di sekitarnya. Mona memang telah berusaha untuk menahan diri, namun setiap kali menghadapi Dania, hatinya masih terbakar dengan amarah dan rasa sakit. Dia merasa bahwa ada terlalu banyak kenangan buruk yang harus mereka hadapi bersama. Jadi, ketika Dania mengirim pesan kepadanya, mengundangnya untuk bertemu di sebuah lahan kosong di pinggiran kota, Mona tahu bahwa ini bukan ajakan biasa. Ini adalah tantangan, dan dia tidak bisa menghindarinya. Mona tidak memberi banyak perhatian pada pesan itu, t
Fauzi merasa sedikit cemas, meskipun dia telah mendapat dorongan dari Mona untuk lebih mendekati Lisa. Hari itu, dia memutuskan untuk mengambil langkah pertama. Sejak pertemuannya di kafe, perasaan terhadap Lisa semakin kuat dan ia merasa tidak ingin hanya diam dan menyaksikan kesempatan berlalu begitu saja. Sudah saatnya dia melakukan sesuatu untuk mengetahui apakah perasaan yang tumbuh itu bisa berkembang menjadi sesuatu yang lebih. Dia memutuskan untuk mengajak Lisa berkencan. Fauzi menyadari bahwa ini bukanlah hal yang mudah. Lisa adalah seseorang yang sangat dihargai oleh Mona dan Liana, jadi dia merasa harus berhati-hati dalam mendekatinya. Tetapi di sisi lain, dia merasa cukup yakin bahwa Lisa adalah wanita yang spesial, yang mampu membuat hatinya bergetar dengan cara yang berbeda. Fauzi menyusun rencana. Dia memutuskan untuk mengundang Lisa ke sebuah restoran yang tenang dan nyaman, tempat di mana mereka bisa saling mengenal lebih dekat tanpa gangguan. Dia ingin menciptakan s