Getar gawai membuyarkan kembali pikiran Evan. Sebuah pesanan masuk. Evan segera meluncur menuju tempat yang ditunjukkan oleh applikasi pada gawainya.
Dia tiba di sebuah rumah mewah. Seorang perempuan paruh baya menunggunya di tepi jalan. Evan mengangguk dan menyapanya. Dia pun menyipitkan mata melihat sepasang lelaki dan perempuan yang tampak baru keluar dari teras dan saling bergandengan.“Kenapa lelaki itu mirip sekali dengan lelaki yang berfoto dengan Mami? Lalu bukankah perempuan itu Tante Niki?” Evan menyipitkan mata. Namun dia tak bisa berlama-lama perempuan paruh baya itu sudah naik ke sepeda motornya. Evan melajukan sepeda motornya menuju sebuah supermarket sesuai yang tertera dalam applikasi.“Ibu mau belanja?” Evan menatap perempuan paruh baya itu ketika baru saja turun di depan supermarket.“Iya biasa, belanja mingguan, Mas. Maklum majikannya royal jadi tiap minggu belanjanya. makasih ya, Mas.” Perempuan itu berjalan menjauh. Antara ragu dan ingin tahu, akhirnya Evan memberanikan diri mengejar dan bertanya di luar batasnya sebagai seorang tukang ojol.“Bu, maaf … mau tanya. Apa majikan ibu itu mantan model, ya? Soalnya Mama saya dulu ngefans banget sama dia. Tadi saya lihat dia keluar rumah yang Ibu tempati."Perempuan itu mengernyit lalu tertawa.“Oh bukan, Mas. Yang Bu Niki itu, dia itu mungkin pacarnya Tuan Hangga Mas, atau mungkin sudah nikah, entahlah. Gak paham juga. Tuan saya itu pebisnis, Mas. Dia punya perusahaan.” Perempuan itu menjelaskan tanpa curiga jika ada hal yang ingin Evan ketahui.“Oh, kirain dia majikan, Ibu. Tadinya mau titip minta tanda tangan buat Mama saya, Bu. Buat hadiah ulang tahun dia.” Evan beralibi agar perempuan yang tadi diboncengnya tak curiga.“Oalah, kalau gitu nanti saya mintakan, Mas. Dia memang tinggal di rumah Tuan saya, Mas. Namun sesekali suka pulang ke rumahnya.” Perempuan itu tampak tulus ingin membantu Evan.“Makasih banyak ya, Bu. Lain kali kalau mau order ojol bisa chat dulu ke nomor saya kalau Ibu sudah dapetin tanda tangan sama fotonya. Pasti Ibu saya seneng banget.” Evan tersenyum, tetapi wajahnya yang tertutup masker hanya mampu menunjukkan kedua netra indahnya yang menyipit."Oke, Mas. Ibu belanja dulu, ya, Mas.""Iya, silakan, Bu. Makasih atas waktunya.""Sama-sama, Mas."Evan pun meninggalkan perempuan paruh baya yang sudah bergegas masuk ke dalam super market. Benar rupanya kecurigaan yang dia simpan selama ini. Perempuan yang sudah menyebabkan ibunya pergi dari rumah ada hubungannya dengan foto-foto yang sampai pada Tuan Gasendra---ayahnya. Foto pesaing bisnisnya yang tampak begitu mesra dan intim berdua dengan ibunya.“Jangan panggil namaku Evander Gasendra kalau tak bisa membuat kamu membuka mata, Pah. Jangan panggil aku Evander Gasendra kalau tak bisa kembali menemukan Mama dan membawanya kembali ke rumah kita. Jangan panggil aku Evander Gasendra kalau aku hanya seperti kerbau yang dicucuk hidung dan mengiyakan semua yang ada di depan mata.” Evan bergumam dalam dada seraya melajukan sepeda motornya. Satu titik sepertinya akan segera terbuka. Meskipun dia belum bisa menebak sekusut apa benang yang saling terhubung di antaranya.***Menjelang sore, sepeda motornya sudah terparkir kembali di depan perusahaan Gasendra Grup. Dia sengaja bersembunyi di belakang bus jemputan yang memang beberapa sudah terparkir di sepanjang jalan. Evan menunggu orderan dari Kasih masuk. Tak berapa lama, notifikasi masuk. Evan langsung melajukan sepeda motornya dan parkir di depan gerbang.Kasih tampak berlari tergesa. Evan hanya menggeleng kepala. Kenapa juga perempuan itu harus berlari-lari hanya karena melihatnya sudah berada di sana.Evan menyodorkan helmnya, Kasih mengambil tanpa berbicara apa-apa. Lalu keduanya melaju meninggalkan gerbang.“Pak Reyvan, aku tunggu di café biasa, ya! Aku duluan.” Vania melambaikan tangan pada Reyvan yang dipanggil ke ruangan Tuan Gasendra. Ada beberapa hal yang ingin dibicarakan katanya.“Oke, pesankan saja dulu, ya! Aku pasti datang!” Reyvan tersenyum pada gadis cantik, pintar dan memang selalu menarik perhatian itu.“Oke, siip!” tukas Vania.Dia berjalan meninggalkan kubikelanya dan melangkah santai menuju mobilnya. Dia menelpon Ayah dan meminta izin pulang telat dengan alasan ada meeting di kantor. Ayah pun pastinya akan percaya begitu saja. Vania adalah anak kebanggaan dan anak kesayangannya.Mobil yang dikendarainya melaju cepat meninggalkan gerbang, beberapa menit setelah sepeda motor yang membawa Kasih berbelok di tikungan.Kasih masih duduk dengan gelisah. Dia ingat sore ini Evan akan mengajaknya untuk mengobrol terkait tawaran yang sebetulnya tak masuk akal.“Mas, ngobrolnya di motor saja, ya? Kalau mampir-mampir nanti aku pulang telat.” Kasih yang memang sebetulnya penasaran pada rencana Evan memberikan penawaran.“Apa?! Lo ngomong apa?” Tiupan angin membuat suara Kasih tak terdengar samar.“Apa, Mas?” Kasih pun sama-sama tak mendengar dengan jelas.“Gak denger, tar aja ngobrolnya.” Evan menarik gas dan melajukan dengan kecepatan maksimal.Sebuah café langganannya, tempat nongkrong bersama dua kawannya menjadi pilihan. Enggan pusing dan mencari tempat lain. Evan meminta Kasih untuk turun.“Lo ngomong apa, tadi?” Evan menatap Kasih yang baru saja membuka helm.“Hmmm … enggak apa-apa.” Kasih menggeleng kepala.Evan menyimpan helmnya dan bergegas masuk ke dalam café. Kasih mengikutinya dengan perasaan asing. Tak pernah dia masuk ke tempat dengan kesan ekslusif seperti ini. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah enam ketika keduanya duduk dan memilih menu.Namun belum sempat mereka memilih, terdengar suara seseorang yang dikenalnya dari arah pintu masuk.“Ck, Ck, Ck! Memang pantes sih kalau OB sama tukang ojek,” kekeh Vania yang rupanya menuju café yang sama.Wajah Kasih memucat. Dia menatap Vania yang sudah berdiri di dekat mejanya dan memandang mereka dengan tatapan remeh.“Mas, kita pergi saja, ya!” Kasih berdiri, lalu segera hendak melangkah meninggalkan tempat itu. Namun Vania menahannya lalu mengambil fotonya yang berdiri di saming Evan yang masih mengenakan pakaian ojol.“Mbak, kamu mau ngapain, sih? Aku juga gak ganggu kamu!” Kasih berusaha merebut gawai Vania.“Aku Cuma ingin lihat ekspresi ayah kalau tahu anak yang tak punya bakat ini, rupanya memang benar-benar tak bisa dibanggakan. Kerja kelas rendahan, eh cari cowok seleranya rendahan juga,” kekeh Vania seraya melirik Evan yang masih mengenakan masker dan belum sempat membukanya.“Mas, ayo pergi!” Kasih bergegas meninggalkan kafe tersebut. Percuma beradu debat dengan Vania. Apapun pastinya dia yang akan dibela ayah nantinya.“Iyalah, café ini terlalu mewah buat kalian! Nanti kasihan kalau gak kuat bayar!” kekeh Vania seraya duduk pada tempat bekas Kasih duduk tadi.Evan memandang remeh pada Vania. Dia tersenyum miring dari balik maskernya.“Silakan nikmati kemenangan sementaramu, Mbak. Saya pastikan kamu menyesal telah melakukan ini pada kami.” Evan berbicara tenang tetapi penuh penekanan.Evan memandang remeh pada Vania. Dia tersenyum miring dari balik maskernya. “Silakan nikmati kemenangan sementaramu, Mbak. Saya pastikan kamu menyesal telah melakukan ini pada kami.” Evan berbicara tenang tetapi penuh penekanan. Vania belum sempat menjawab lagi ketika Evan membalikkan badan dan langsung melangkah keluar. Dia langsung menuju ke tempat di mana sepeda motornya terparkir tadi. Mungkin saja Kasih ada di sana. Namun rupanya gadis yang dicarinya tak ada. Evan memutar pandang ke sekitar. Menelisik kemungkinan keberadaan gadis yang tengah terluka itu. “Dasar cewek!” gerutu Evan seraya mengambil gawai. Dia langsung menelpon nomor Kasih yang memang pernah menghubunginya. Agak sedikit lama mencarinya karena Evan memang belum menyimpan nomor Kasih. Hanya ada empat nomor pada gawai barunya, nomor dua sahabatnya, dirinya dan Mama. Entah kenapa ada gerak dari hati yang mengatakan jika dirinya perlu peduli. Dia mendekatkan gawai itu ke telinganya, ada bunyi tersambung. Evan menun
“Kalau lo udah kayak gini, berarti lo udah siap jadian sama gue! Kita patahkan keangkuhan kakak lo yang sombong itu!” tukas Evan tenang dan datar. Sontak membuat Kasih menelan saliva karena merasa gugup luar biasa. “J--jadian?”Kasih menatap wajah tampan yang membuatnya penuh debar itu. “Ya, gue butuh seorang perempuan tangguh dan yang penting gak matre kayak lo untuk berada di sisi gue. Kalau lo keberatan untuk selamanya, gue juga gak maksa, kok. Kita bisa nikah dengan perjanjian. Yang penting gue bisa bawa lo ke depan bokap dan ngakuin lo jadi calon istri. Lo mau kan nikah sama gue?” Evan berucap dengan tenang. Seolah tak ada getar apapun dari dalam dadanya. “N--nikah?”Kasih menatap Evan tak percaya. “Kita bisa kerja sama. Walaupun gue tahu lo gak cinta sama gue, Kasih. Namun kesombongan kakak lo juga bikin gue gemes. Seolah hidup dia paling mulia dan paling beruntung. Baru jadi staff saja sudah belagu kayak gitu.”Evan berucap datar. “Kerja sama gimana?” Kasih menatap Evan. Bing
Tuan Gasendra masih menempelkan gawai pada daun telinganya. Terdengar suara seseorang yang begitu dia rindukan dari seberang sana. Ketiadaan Evan di rumah itu semenjak kepergian istrinya, membuat hari-harinya terasa kosong. Rasa rindu seorang ayah pada anaknya tak bisa dielakkan. Ya, Tuan Gasendra begitu merindukan kehadiran Evan di rumah itu. “Pah ini Evan!” “Evan! Akhirnya kamu menghubungi Papa juga! Di mana kamu tinggal sekarang, Nak? Papa jemput pulang, ya!” Suara Tuan Gasendra bergetar.Akhir-akhir ini jangankan bisa mengobrol seperti sekarang. Setiap kali dirinya menelpon, Evan selalu menolak panggilannya. Bahkan karena sudah tak tahan merindukan putranya itu, Tuan Gasendra pada akhirnya meminta Kasih untuk berlangganan ojol yang dia kenal betul sosoknya. Setidaknya dia bisa memandang putranya setiap pagi dari balik tirai lobi. “Aku mau ketemu, Pah! Aku mau Papa batalkan rencana perjodohan aku dengan keponakan Tante Niki. Seperti yang aku bilang sama Papa. Aku akan mencari se
“Yah, Kasih berangkat dulu!” Kasih mencium punggung tangan Ayah. “Sama si tukang ojol itu?” Vania yang baru saja keluar turun dari tangga tersenyum miring. “Dia itu punya nama, Mbak.” Kasih mendelik. Hatinya merasa tergores tatkala kakak perempuannya selalu memandang rendah siapapun dari kaca mata dia. Vania tertawa lalu berjalan mendekat ke arah Kasih dan Ayah.“Ciee marah … lagian gak penting juga buat aku tahu nama si tukang ojol itu. Gak level,” kekeh Vania seraya duduk pada sofa dan mengambil pisang goreng yang tersedia di atas meja. “Iya mending Mbak gak usah tahu namanya, dari pada nanti shock lebih cepat karena sudah menghinanya.” Kasih tersenyum miring. Rasanya ingin segera melihat wajah Vania yang pucat pasi ketika dirinya hadir sebagai istri dari seorang Evander Gasendra---putra satu-satunya dari pemilik perusahaan tempat Vania bekerja. “Eh, Yah! Dia udah berani sombong coba. Jangan-jangan dia lagi berkhayal kalau si tukang ojol itu anak konglomerat yang lagi nyamar ka
Tak banyak yang mereka obrolkan. Suasana pertemuan mereka pun tak berlangsung lama. Bahkan awalnya Evan menolak untuk makan dulu di sana, tetapi melihat sorot mata penuh harap dan seorang ayah yang tampak begitu kehilangan. Akhirnya membuat Kasih tak tega. “Mas, aku laper! Di rumah jarang ada makanan enak kayak gini,” bisik Kasih ketika Tuan Gasendra baru saja mendengar penolakan Evan. “Kita pulang, nanti makan di luar!” bisik Evan dengan mata memandang ke sembarang. “Makanlah dulu, Van! Papa minta maaf atas semua yang sudah papa lakukan! Papa ‘kan sudah merestui kamu untuk menikahi perempuan pilihan kamu! Jadi Papa mohon kembalilah! Tinggalah lagi di rumah ini!” tukasnya seraya menatap penuh harap. Hati kecil Kasih tak tega. Gelayut rasa sedih dan rasa sesal tampak begitu nyata di mata lelaki paruh baya yang rupanya tak mengenalinya itu. “Ck! Bukankah biasanya Papa lebih senang makan semeja dengan Tante Niki yang katanya selalu kesepian? Bukankah Papa lebih sayang Reyvan yang ta
Evan baru saja selesai mengutarakan niat baiknya untuk melamar Kasih pada Ayah dan Ibu. Lelaki paruh baya itu menatap Evan.“Apa yang kamu bisa berikan untuk membahagiakan Kasih? Hmmm apa sudah punya rumah?” Ayah menatap Evan dengan tatapan menimbang. “Saya ada rumah, tapi rumah orang tua, Yah. Kebetulan masih ada kamar kosong untuk kami tinggal,” jelas Evan. Ayah terdiam sejenak, Ibu hanya duduk diam mendengarkan. Kasih menunduk di samping Evan. Dia merasa tak enak ketika pertanyaan ayah seolah begitu meremehkan. Sudut mata Kasih melirik ke arah gorden yang bergerak-gerak di dalam, tampak Vania tengah bersandar di samping jendela kaca rupanya dan menguping pembicaraan. “Apa ada rencana punya rumah sendiri?” Ayah kembali memastikan. “Ada, tapi baru rencana sih, Yah.” Evan menjawab santai. “Hmmm … kalau boleh saya tahu, penghasilan dari hasil narik ojol ini berapa rupiah per bulan?” tanya Ayah lagi seolah tengah mengintrogasi tahanan.“Ayah!” Kasih melayangkan protes. Namun lelaki
#Gadis Bodoh Jadi Primadona (14)(ADIK YANG KAU SEPELEKAN, MENJADI MENANTU BOS BESAR)Selamat membaca! Ayah dan Ibu saling bertukar pandang. Ayah meminta sertifikat rumah pada Kasih untuk dia periksa. Sontak kedua netranya membelalak. Berulang kali Ayah menelan saliva melihat harga rumah yang tertera dan disebutkan dibeli dengan tunai atas nama Evander Gasendra. Kedua alis ayah saling bertaut. Dia menatap Evan, lalu menautkan kedua alisnya dan menatap tajam pada lelaki itu. Sayangnya memang tak curiga, jika nama belakang yang dipakai oleh Evan adalah nama belakang keluarga konglomerat yang kaya raya. “Apa benar ini rumah kamu? Bagaimana seorang tukang ojol bisa membeli tunai rumah semewah ini? Kamu gak melakukan tindak kejahatan kan? Nama kamu juga sok keren, ya? Pakai embel-embel Gasendra? Sayang beda nasib, mereka jadi konglomerat kamu cuma narik ojol!” Ayah tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya. “Ayah jangan khawatir. Rumah itu dibeli cash dari uang halal. Kakek dan Nenek y
"Hallo, Vania! Aku jemput sekarang, ya! Kita ke gedung resepsi berangkat awal saja!” Suara Reyvan terdengar dari seberang gawai yang baru saja diangkatnya. “Hmmm … tapi Pak, adikku juga belum mulai akadnya! Masih di make up sama MUA.” Vania yang tengah duduk bareng Ayah dan beberapa keluarga yang tak henti memujinya sedikit gamang.Awalnya dia akan menghadiri dulu akad Kasih lalu ikut ke gedung resepsi yang katanya gratisan itu. Sebentar saja di sana, setelahnya barulah ke tempat resepsi putra pemilik perusahaan yang mana undangannya sudah tersebar secara digital ke seluruh staff perusahaan. Namun ajakan Reyvan membuat Vania akhirnya bimbang. “Aku sudah di depan, ya! Mau masuk, kok banyak orang! Lagi ada acara apa?" tanya Reyvan yang tak tahu jika Kasih menikah. "Acara kumpul keluarga aja, hmmm bentar ya, Pak. Aku siap-siap dulu!" Vania berbohong. Vania menoleh pada Ayah yang tengah berbincang. “Yah, kalau aku gak saksiin akad Kasih apa boleh?” tanya Vania ragu. Bagaimanapun dia
Sepulang dari Bali, butuh waktu untuk Kasih berdamai dengan trauma yang menggelayuti. Berulang kali dia berusaha mengalihkan pikirannya tetapi rentetan kejadian itu selalu terbayang. Hingga pada akhirnya, Kasih meminta izin pada Evan untuk menyibukkan diri sendiri dengan beragam kegiatan. Evan pun paham, Kasih butuh pengalihan pikiran. Bulan madu yang rencananya akan memberikan kesan indah, rupanya hanya menjadi mimpi buruk yang harus dilupakan. “Aku sudah menelpon Mama, dia akan minta Evelyn untuk mengatur job kamu lagi, Dek.” Evan meneguk cappuccino panas yang Kasih sajikan. “Semoga segera ya, Mas. Aku ingin lupa. Aku ingin melupakan semuanya.” Kasih menghela napas kasar. “Iya, Sayang! Hmmm … sementara aku sudah sibuk ngantor dan jadwal kamu belum padat, boleh ke rumah Mama atau Ibu saja biar ada teman.” Evan memberikan solusi. “Sepertinya aku akan ke rumah Ibu saja, Mas. Kasihan juga dia pasti merasakan kesepian sepeninggalnya Mbak Vania.” Kasih tersenyum hambar. “Ok, nanti se
Pencarian sudah menginjak hari ketiga ketika mereka menemukan jejak-jejak. Rupanya Diandra sengaja mempersiapkan kehidupan di tengah hutan tersebut. Para polisi yang bergerak dalam penyamaran mengikuti Diandra yang tengah mengambil barang-barang kebutuhan harian dari pinggiran hutan. Sepertinya dia memang sengaja membawa Kasih hidup berdua di pedalaman hutan, berharap polisi terkecoh dan tak akan mencarinya. Evan mengeratkan kepal ketika mendengar kabar yang disampaikan para polisi itu, dia tak sabar untuk menunggu rencana penangkapan esok hari. Malam itu sekelompok pasukan penyergapan merapat ke tepian hutan dengan pakaian biasa. Lalu bermalam seperti para pecinta alam menggunakan tenda-tenda. Mereka sengaja melakukannya agar jika ada mata-mata dari Diandra tak curiga. Evan tak turut serta, dia akan ikut dengan rombongan susulan esok hari. Hal ini demi menyamarkan rencana. Sementara itu di dalam hutan, Diandra baru saja selesai mengupas buah-buahan. Barang-barang tersebut, Diandra b
Gps yang terpasang pada mobil rental yang dibawa kabur tim penculik sudah terlacak. Mereka bergerak cepat. Evan di jemput di TKP untuk ikut terlibat dalam pencarian langsung. Sementara itu, dia pun mengirimkan kabar pada orang tuanya terkait insiden yang terjadi di sana. Mobil yang mereka tumpangi melaju cepat, mencari titik di mana gps itu berhenti. Evan tak berhenti mengucap doa, berharap istrinya baik-baik saja. Rasanya di Bali ini, dia tak membuat masalah dengan siapapun, tetapi kenapa justru malah mendapatkan serangan mendadak seperti ini. Jika di Jakarta mungkin, banyak pesaing bisnis yang mungkin terlibat dendam. Evan dan beberapa orang polisi bergerak cepat melihat mobil yang teronggok di tepi jalan. Hati Evan berdebar hebat, takut-takut mereka meninggalkan istrinya dalam keadaan tak selamat. Ditengah rasa carut marut, Evan gegas menarik pintu mobil bagian belakang, sedangkan para polisi memeriksa bagian depan. Namun tak ada siapapun di sana selain ponsel Kasih yang tergele
Kasih merasakan kepalanya yang terasa cukup berat. Matanya mengerjap melihat sekitar. Dia berada di sebuah ruangan, sementara itu kaki dan tangannya terikat. Bibirnya pun ditutupi lakban. Sekilas terlintas detik-detik dirinya harus kehilangan kesadaran. Tadi itu, dia hendak melompat dari mobil yang melaju cepat, tetapi sayang salah satu dari komplotan penjahat itu malah membekuknya lalu membekapnya dengan sapu tangan yang berbau menyengat. Helaan napas kasar Kasih hembuskan, tetapi dirinya benar-benar merasa takut sekarang. Ini Bali, tempat yang baru beberapa hari mereka kenal. Pastinya suaminya tak memiliki banyak kenalan di sini. Suara derit pintu ruangan terbuka bersama cahaya yang masuk, Kasih yang benar-benar merasa takut, berpura-pura masih tak sadarkan diri. Dia memejamkan mata dan, tetapi sesekali membuka sedikit untuk mengintip para lelaki berpakaian serba hitam itu. Tampak dua orang itu membawa orang lain ke ruangan, tangannya terikat dan mulutnya sama-sama dibekap. Bebe
Diandra baru saja menapakkan kakinya di bandara I Ngurah Rai Bali ketika dering telepon dari anak buahnya terdengar. “Hallo, Bos. Rencananya berubah?” tanyanya memastikan. “Lo ikutin saja apa yang gue titahkan. Gak usah banyak bac*t!” hardiknya. Kantuk dan lelah membuat emosinya kembali meluap.“Oke, Bos.” Diandra pun akhirnya memesan taxi Bandara setelah mendapatkan lokasi yang dikirimkan oleh rekanannya. Rencana yang sudah dia pikirkan matang-matang sudah siap dia eksekusi. Diandra akan mendapatkan Kasih dengan caranya sendiri. Diandra gegas turun dari taxi yang mengantarnya ke sebuah resort di mana tempat terdekat dengan pantai seminyak. Berdasarkan informasi dari orang suruhannya, Kasih dan Evan pun menginap di hotel yang sama. Dia gegas check in, tubuhnya sudah lelah akibat perjalanan yang mendadak. Lagi pula malam kian beranjak membuat ingin segera dia beristirahat. Selama dalam pesawat yang ditempuhnya dalam waktu kurang dari dua jam, pemikirannya sedikit tenang hingga akh
Senja menggeliat, menampakkan wajah manisnya pada sepasang pengantin baru yang tengah saling menggenggam jemari. Sudah setengah jam mereka di sini, menyaksikan semburat jingga dari ufuk barat menyapu mayapada. Ya, Evan dan Kasih tengah berada di tepian pantai, menunaikan bulan madu yang dulu sempat terbengkalai.Kasih dan Evan berselonjor pada hamparan pasir putih yang lembut di pantai seminyak Bali. Menunggu momen matahari terbenam, membiarkan riak-riak kecil gelombang menyentuh kaki mereka yang telanjang.Hembusan angin menyapu pipi Evan, menerbangkan ujung kerudung Kasih yang menjuntai. Jemari mereka saling menumpuk di atas pasir, sedangkan mata mereka searah memandang ke depan.“Ay ….” Evan memanggil Kasih dengan panggilan barunya.“Hmmm.” Kasih hanya menggumam.“Kamu gak ada gitu panggilan sayang buat aku?” Evan menoleh.“Gak ada.”Kasih menjawab singkat.“Kok?”Evan melepas tautan jemari mereka lalu membaringkan tubuhnya yang hanya terbungkus kaos oblong dengan celana pantai. Kep
Kasih dan Bianca berjabat tangan, sudut mata Bianca seolah tengah menilai. Beradu dengan tatapan mata Kasih yang mengandung seribu pertanyaan. Sedang apa perempuan itu di kantor suaminya sekarang?Evan mengerti arti tatapan sang istri. Usai Kasih melepaskan jabat tangannya dengan Bianca. Evan menarik lengan Kasih untuk mendekat. Lalu merangkul pinggangnya di depan Bianca. Seolah hendak mempertontonkan jika Kasih adalah miliknya, begitupun dengan dia.“Sayang, Bianca ini baru saja selesai interview dengan bagian HRD dan business development tadi. Kebetulan Reyvan mereferensikannya untuk menjadi pengganti Vania. Dan mereka akan segera meresmikan hubungannya.”Bianca tersenyum dan mengangguk.“Oh, semoga betah ya, Mbak Bianca dan semoga segera naik pelaminan.” Kasih tersenyum dan menatap Bianca.“Bi, gimana mau pulang sekarang? Eh ada Mbak Kasih!” Suara Reyvan membuat perhatian Kasih beralih. Lelaki yang pernah menjadi atasan kakaknya itu muncul dan mendekat dari arah samping.“Iya lah, M
Azzam yang baru saja memarkirkan sepeda motornya di halaman gedung perusahaan Gasendra Grup, gegas memutar arah sepeda motornya. Ayah menelpon jika Vania mengurung diri di kamar setelah pagi-pagi dia mengamuk dan melempar-lempar barang.Lelaki yang sengaja izin tidak masuk kerja itu, mau tak mau harus gegas pulang. Meskipun hubungannya dengan Vania tak seperti kebanyakan suami istri lainnya, tetapi saat ini, Vania masih tanggung jawabnya.Usai berpamitan pada security, Azzam gegas mengemudikan sepeda motornya. Melaju dengan kecepatan sedang menuju kediaman mertuanya.Setibanya di depan rumah milik keluarga Vania, Azzam memarkirkan sepeda motor jadul miliknya. Kebetulan ada tukang sayur yang tengah mangkal di depan rumah. Jarak yang tak terlalu jauh akhirnya mampu membuat kuping Azzam menangkap desas-desus dari para Ibu yang tengah berbelanja.“Tuh, itu, tuh … itu mantunya Bi Asih. Lihat tampangnya saja kumal kayak gitu. Asal kalian tahu, ya … dia itu cuma kuli bangunan.”“Oalaaah … sua
“Semua perjanjian kita sudah berakhir dan aku tak ingin melihatmu menjadi orang lain. Aku ingin, mulai saat ini kamu harus belajar untuk mencintaiku dan menjadi istriku yang sesungguhnya! Mengakhiri perjanjian bodoh yang kita sepakati! Pernikahan ini suci dan betulan, Sayang! Aku ingin memulai semuanya dari awal lagi bersamamu! Apakah kamu mau?”Kalimat yang terlontar dengan begitu tegas dan jelas membuat tenggorokan Kasih tercekat. Berulang dia mencoba menelan saliva. Bahkan Kasih menarik tangan yang digenggam Evan dan berulang mencubit pipinya.“Cewek aneh!” Evan mengedik lalu ikut mencubit pipi Kasih. Suasana yang sekejap romantis tadi seketika berubah.“Ih kamu kok nyubit aku, sih?”Kasih melempar protes. Debuman dalam dada masih bergemuruh hebat bak ombak tsunami yang menyapu daratan. Meluluh lantakkan semua kecemasan. Namun entah kenapa, dia masih ingin menyembunyikan riak bahagia yang sebetulnya sudah berlompatan.“Aku cuma bantuin kamu.”“Bantuin apa?”“Bantuin kalau buktiin sem