Kasih pun mengekor sang suami yang berjalan lebih dulu. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku dan berjalan menunduk. Kasih diam-diam mencuri-curi pandang, beruntung sekali andai pernikahannya memang untuk selamanya. Evan tak sekaku ketika awal berkenalan, sikapnya lebih cair dan cenderung usil sekarang. Terus terang, hal tersebut menorehkan arti tersendiri dalam kehidupan Kasih yang sebelumnya terbuang. Mereka mengucap salam, tak berapa lama terdengar jawaban dan pintu dibukakan. Kasih mencium punggung tangan Ayah diikuti Evan. Lalu mereka bergabung dan duduk di ruang tengah. Alam pun sudah ada di sana. “Gimana kronologisnya sampai Mbak Vania hilang, Yah? Aku lihat mobilnya masih ada. Apa dia diculik atau memang pergi dari rumah karena ada malasah?” tanya Evan ketika mereka sudah duduk bergabung dengan Ibu yang masih saja menunduk sambil terisak. “Kami memang tadi pagi ada acara, Vania sejak kemarin pulang kerja hanya mengurung diri dalam kamar, lalu memang akhir-akhir ini dia m
Pencarian Vania dilanjutkan esok harinya. Alam sudah mengumpulkan berkas juga untuk bersiap melapor pada polisi. Ayah pun menghubungi semua kenalannya dan juga meminta bantuan para tetangga. Evan sudah menelpon Gasendra dan mengabarkan hari ini mungkin akan masuk kantor agak siang. Kasih sudah menyiapkan sarapan untuk mereka, semua duduk di ruang tengah dan mempersiapkan rencana kedua jika pencarian kali ini tak juga membuahkan hasil. Brug!Pintu depan terbuka membuat semua menoleh, ayah langsung berdiri dan menghampiri sosok dengan rambut kusut dan wajah semrawut itu. “Vania! Dari mana saja kamu!?” Bukannya menyambut dengan lembut, tetapi kekhawatiran yang berlebih itu sudah membuat amarah Ayah meluap. Vania hanya bergumam lirih, hampir tak terdengar. Dia melepas sepatunya sembarang lalu merapikan hoodienya dan menutup rambutnya yang berantakan. “Ayah gak perlu tahu! Urus saja Kasih---anak kebangaan Ayah!” tukasnya. Plak!“Ayah!” Ibu memburu lelaki yang terlampau khawatir pada
[Mas, pulang ke rumah mama sama papa saja, jangan ke rumah aku. Aku dah jalan pulang sekarang!] Kasih mengirim pesan pada Evan. [Ok!] Tak ada kalimat tanya. Evan hanya mengiyakan kalimat berita yang dia sampaikan. Kasih duduk di teras sambil menunggu mobil online datang. Kadang dirinya bernostalgia jika mengingat bagaimana pertemuan pertamanya dulu dengan Evan. Ayah datang dari dalam dengan wajah ditekuknya. Dia menatap Kasih yang tengah duduk memainkan gawai.“Mau ayah anter?” tanyanya seraya duduk pada kursi rotan yang ada di sana. “Gak usah, Yah!” Kasih menggeleng. Ada rasa menghangat di hatinya karena merasa diperhatikan. “Ya sudah hati-hati kalau gitu … Mbak mu masih belum mau keluar kamar. Hari ini gak kerja, tolong bilang sama Evan … jangan pecat Vania …,” lirih Ayah. Kasih bergeming. Rupanya dia diperhatikan pun karena Ayah memiliki tujuan lain untuk Vania---anak emas kesayangan keluarga. Namun tak urung juga Kasih mengangguk, meskipun dia belum mengerti prosedur perusah
Setelah mendengar telepon dari mantan adik iparnya itu, Gasendra segera meluncur. Dia pun meminta Syahnaz dan Evelyn ikut juga. Alamat yang diberikan Niki yaitu rumah kediamannya. Rumah minimalis yang diberikan Gasendra untuk mereka tinggal. Lagi-lagi karena rasa tanggungjawab yang Hermawan titipkan padanya. Lampu rumah tampak sudah menyala ketika mobil yang ditumpangi Gasendra tiba. Syahnaz dan Evelyn tak ikut keluar. Menunggu waktu yang mereka anggap tepat untuk memberikan kejutan pada perempuan bermuka dua itu. Gasendra mengetuk daun pintu yang tertutup, tak berapa lama muncul sosok perempuan dengan pakaian tidur tipis, wajahnya tampak sembab terisak. Gasendra sengaja membuka daun pintu dengan lebar, agar Syahnaz dan Evelyn yang masih berada di dalam mobil bisa melihat mereka. Dia menahan tangan Niki yang hendak menutupnya. “Maaf, Mas. Aku sudah pakai gaun tidur! Sebentar ganti baju dulu, ya!” tukasnya berpura-pura seraya memegang area yang terlarang dilihat, padahal hanya berha
“Siapa, Bi?!” Suara bariton yang berasal dari arah pintu membuat perhatian Niki dan Bibi beralih. Tampak Hangga tengah berdiri di sana seraya menggandeng seorang gadis muda. Namun wajah Niki seketika terasa merah padam, begitupun perempuan muda itu tampak terkejut melihat siapa perempuan yang tengah berdiri di balik gerbang. “V--Vania?” Niki mengucap kata itu terbata. Apakah dia tak salah lihat jika perempuan yang tengah bersama lelaki yang selama ini diharapkan menjadikannya istri itu Vania. Vania---perempuan yang pernah Reyvan kenalkan untuk jadi calon menantunya. Perempuan itu pun tak kalah kagetnya. Dia pun melakukan hal yang sama dengan mengucap nama perempuan itu meski tanpa suara. “T--tante, Niki?” Kedua sorot matanya bersitatap dengan perempuan berpakaian seksi yang berdiri tak jauh dari dirinya. Hangga yang sedikit terkejut melihat perempuan muda yang ada di sampingnya mengenal mantan kekasihnya itu menoleh padanya dan bertanya. “Kamu kenal dia?” Hangga menatap gadis mud
“Mah, kenapa mama upload video-video Kasih waktu dia nyanyi, sih?” Evan menatap perempuan yang tengah duduk seraya memainkan gawai. Syahnaz menoleh pada putra kesayangannya.“Memangnya kenapa, Van?” Syahnaz menoleh pada putranya. “Aku gak suka saja, Mah!” Evan duduk sambil menyilang kaki. “Bukannya kamu mau dukung kalau istri kamu mau sukses pada bidang yang ditekuninya, Van? Ini salah satu usaha Mama buat bantu kalian! Ini saja, beberapa PH sudah ada yang menawarkan untuk rekaman loh Van. Malah ada yang nawarin buat bikin sponsor konser mini.” Syahnaz menunjukkan beberapa akun yang berkomentar pada postingannya yang sengaja mengupload video-video Kasih waktu latihan vokal dengan instruktur musiknya. “Tapi sekarang aku gak setuju!” tukas Evan dengan wajah yang tak enak dipandang.“Gak setuju apa, sih, Mas? Pagi-pagi kok mukanya sudah jelek kayak gitu?!” cebik Kasih seraya mendekat. Kasih yang baru saja menyelesaikan pesanan Evan datang dengan membawa kotak bekal. Roti bakar selai
Mobil yang mengantar Vania sudah tiba di depan kediamannya. Dia menoleh pada lelaki yang baru beberapa waktu lalu dikenalnya itu. “Bang, mampir dulu!” tukas Vania pada Diandra. Lelaki itu hanya menggeleng pelan. Lalu menatap pada Vania dan mengangguk sopan. “Lain kali, ada urusan!” tukas Diandra. “Oh ya sudah, makasih sudah anterin aku!” tukas Vania dengan senyum yang mengembang. “Sama-sama,” jawabnya datar. Vania pun turun, dia menatap mobil SUV mewah yang perlahan menjauh. Senyuman kemenangan tampak pada raut wajahnya. Kali ini kepercayaan dirinya mulai bangkit kembali dan perasaan kalah oleh Kasih yang menikahi pewaris Gasendra Grup. Kali ini dia bisa kembali mengangkat kepala karena sudah memiliki pendamping yang sepadan. Vania berjalan tenang memasuki rumah. Lalu seperti biasa mencium punggung tangan Ayah yang baru saja pulang dari toko. “Ceria banget anak Ayah?” Ayah mengusap pucuk kepala Vania. Kondisinya yang sudah mulai stabil membuat lelaki itu merasa bahagia. “Iya d
Kasih sudah duduk di sebuah meja yang sudah dibooking oleh Irwan. Kasih hanya ditemani Evelyn. Akhirnya Evan menyetujui untuk pertemuan itu dengan syarat, mereka akan pindah ke rumah yang sudah Evan beli ketika akan menikahi Kasih. Meskipun berat, akhirnya Kasih pun setuju. Lagipula jarak dengan kediaman Gasendra juga tak terlalu jauh. Hanya saja, Kasih merasa berat karena harus berpisah dari sahabat barunya yaitu Ibu mertuanya sendiri. “Salam kenal, saya Diandra … dengan Mbak Permata, ya?” Diandra menyambut kedatangan Kasih dan Evelyn.“Salam kenal, Mas. Panggil saja Kasih. Lebih nyaman dipanggil dengan nama itu.” Kasih menangkup tangan di depan dada. Diandra hanya mengangguk pada akhirnya. Dia tak menyangka rupanya perempuan yang dikaguminya ternyata tak mudah disentuh. “Ini Mbak Evelyn?” Diandra menunjuk ke arah Evelyn. “Iya, Pak! Saya Evelyn!” Evelyn mengulurkan tangan, Diandra pun menyambutnya dan tersenyum. “Panggil saja, Mas. Saya belum tua,” kekeh Diandra. “Baik, Mas! Ya
Sepulang dari Bali, butuh waktu untuk Kasih berdamai dengan trauma yang menggelayuti. Berulang kali dia berusaha mengalihkan pikirannya tetapi rentetan kejadian itu selalu terbayang. Hingga pada akhirnya, Kasih meminta izin pada Evan untuk menyibukkan diri sendiri dengan beragam kegiatan. Evan pun paham, Kasih butuh pengalihan pikiran. Bulan madu yang rencananya akan memberikan kesan indah, rupanya hanya menjadi mimpi buruk yang harus dilupakan. “Aku sudah menelpon Mama, dia akan minta Evelyn untuk mengatur job kamu lagi, Dek.” Evan meneguk cappuccino panas yang Kasih sajikan. “Semoga segera ya, Mas. Aku ingin lupa. Aku ingin melupakan semuanya.” Kasih menghela napas kasar. “Iya, Sayang! Hmmm … sementara aku sudah sibuk ngantor dan jadwal kamu belum padat, boleh ke rumah Mama atau Ibu saja biar ada teman.” Evan memberikan solusi. “Sepertinya aku akan ke rumah Ibu saja, Mas. Kasihan juga dia pasti merasakan kesepian sepeninggalnya Mbak Vania.” Kasih tersenyum hambar. “Ok, nanti se
Pencarian sudah menginjak hari ketiga ketika mereka menemukan jejak-jejak. Rupanya Diandra sengaja mempersiapkan kehidupan di tengah hutan tersebut. Para polisi yang bergerak dalam penyamaran mengikuti Diandra yang tengah mengambil barang-barang kebutuhan harian dari pinggiran hutan. Sepertinya dia memang sengaja membawa Kasih hidup berdua di pedalaman hutan, berharap polisi terkecoh dan tak akan mencarinya. Evan mengeratkan kepal ketika mendengar kabar yang disampaikan para polisi itu, dia tak sabar untuk menunggu rencana penangkapan esok hari. Malam itu sekelompok pasukan penyergapan merapat ke tepian hutan dengan pakaian biasa. Lalu bermalam seperti para pecinta alam menggunakan tenda-tenda. Mereka sengaja melakukannya agar jika ada mata-mata dari Diandra tak curiga. Evan tak turut serta, dia akan ikut dengan rombongan susulan esok hari. Hal ini demi menyamarkan rencana. Sementara itu di dalam hutan, Diandra baru saja selesai mengupas buah-buahan. Barang-barang tersebut, Diandra b
Gps yang terpasang pada mobil rental yang dibawa kabur tim penculik sudah terlacak. Mereka bergerak cepat. Evan di jemput di TKP untuk ikut terlibat dalam pencarian langsung. Sementara itu, dia pun mengirimkan kabar pada orang tuanya terkait insiden yang terjadi di sana. Mobil yang mereka tumpangi melaju cepat, mencari titik di mana gps itu berhenti. Evan tak berhenti mengucap doa, berharap istrinya baik-baik saja. Rasanya di Bali ini, dia tak membuat masalah dengan siapapun, tetapi kenapa justru malah mendapatkan serangan mendadak seperti ini. Jika di Jakarta mungkin, banyak pesaing bisnis yang mungkin terlibat dendam. Evan dan beberapa orang polisi bergerak cepat melihat mobil yang teronggok di tepi jalan. Hati Evan berdebar hebat, takut-takut mereka meninggalkan istrinya dalam keadaan tak selamat. Ditengah rasa carut marut, Evan gegas menarik pintu mobil bagian belakang, sedangkan para polisi memeriksa bagian depan. Namun tak ada siapapun di sana selain ponsel Kasih yang tergele
Kasih merasakan kepalanya yang terasa cukup berat. Matanya mengerjap melihat sekitar. Dia berada di sebuah ruangan, sementara itu kaki dan tangannya terikat. Bibirnya pun ditutupi lakban. Sekilas terlintas detik-detik dirinya harus kehilangan kesadaran. Tadi itu, dia hendak melompat dari mobil yang melaju cepat, tetapi sayang salah satu dari komplotan penjahat itu malah membekuknya lalu membekapnya dengan sapu tangan yang berbau menyengat. Helaan napas kasar Kasih hembuskan, tetapi dirinya benar-benar merasa takut sekarang. Ini Bali, tempat yang baru beberapa hari mereka kenal. Pastinya suaminya tak memiliki banyak kenalan di sini. Suara derit pintu ruangan terbuka bersama cahaya yang masuk, Kasih yang benar-benar merasa takut, berpura-pura masih tak sadarkan diri. Dia memejamkan mata dan, tetapi sesekali membuka sedikit untuk mengintip para lelaki berpakaian serba hitam itu. Tampak dua orang itu membawa orang lain ke ruangan, tangannya terikat dan mulutnya sama-sama dibekap. Bebe
Diandra baru saja menapakkan kakinya di bandara I Ngurah Rai Bali ketika dering telepon dari anak buahnya terdengar. “Hallo, Bos. Rencananya berubah?” tanyanya memastikan. “Lo ikutin saja apa yang gue titahkan. Gak usah banyak bac*t!” hardiknya. Kantuk dan lelah membuat emosinya kembali meluap.“Oke, Bos.” Diandra pun akhirnya memesan taxi Bandara setelah mendapatkan lokasi yang dikirimkan oleh rekanannya. Rencana yang sudah dia pikirkan matang-matang sudah siap dia eksekusi. Diandra akan mendapatkan Kasih dengan caranya sendiri. Diandra gegas turun dari taxi yang mengantarnya ke sebuah resort di mana tempat terdekat dengan pantai seminyak. Berdasarkan informasi dari orang suruhannya, Kasih dan Evan pun menginap di hotel yang sama. Dia gegas check in, tubuhnya sudah lelah akibat perjalanan yang mendadak. Lagi pula malam kian beranjak membuat ingin segera dia beristirahat. Selama dalam pesawat yang ditempuhnya dalam waktu kurang dari dua jam, pemikirannya sedikit tenang hingga akh
Senja menggeliat, menampakkan wajah manisnya pada sepasang pengantin baru yang tengah saling menggenggam jemari. Sudah setengah jam mereka di sini, menyaksikan semburat jingga dari ufuk barat menyapu mayapada. Ya, Evan dan Kasih tengah berada di tepian pantai, menunaikan bulan madu yang dulu sempat terbengkalai.Kasih dan Evan berselonjor pada hamparan pasir putih yang lembut di pantai seminyak Bali. Menunggu momen matahari terbenam, membiarkan riak-riak kecil gelombang menyentuh kaki mereka yang telanjang.Hembusan angin menyapu pipi Evan, menerbangkan ujung kerudung Kasih yang menjuntai. Jemari mereka saling menumpuk di atas pasir, sedangkan mata mereka searah memandang ke depan.“Ay ….” Evan memanggil Kasih dengan panggilan barunya.“Hmmm.” Kasih hanya menggumam.“Kamu gak ada gitu panggilan sayang buat aku?” Evan menoleh.“Gak ada.”Kasih menjawab singkat.“Kok?”Evan melepas tautan jemari mereka lalu membaringkan tubuhnya yang hanya terbungkus kaos oblong dengan celana pantai. Kep
Kasih dan Bianca berjabat tangan, sudut mata Bianca seolah tengah menilai. Beradu dengan tatapan mata Kasih yang mengandung seribu pertanyaan. Sedang apa perempuan itu di kantor suaminya sekarang?Evan mengerti arti tatapan sang istri. Usai Kasih melepaskan jabat tangannya dengan Bianca. Evan menarik lengan Kasih untuk mendekat. Lalu merangkul pinggangnya di depan Bianca. Seolah hendak mempertontonkan jika Kasih adalah miliknya, begitupun dengan dia.“Sayang, Bianca ini baru saja selesai interview dengan bagian HRD dan business development tadi. Kebetulan Reyvan mereferensikannya untuk menjadi pengganti Vania. Dan mereka akan segera meresmikan hubungannya.”Bianca tersenyum dan mengangguk.“Oh, semoga betah ya, Mbak Bianca dan semoga segera naik pelaminan.” Kasih tersenyum dan menatap Bianca.“Bi, gimana mau pulang sekarang? Eh ada Mbak Kasih!” Suara Reyvan membuat perhatian Kasih beralih. Lelaki yang pernah menjadi atasan kakaknya itu muncul dan mendekat dari arah samping.“Iya lah, M
Azzam yang baru saja memarkirkan sepeda motornya di halaman gedung perusahaan Gasendra Grup, gegas memutar arah sepeda motornya. Ayah menelpon jika Vania mengurung diri di kamar setelah pagi-pagi dia mengamuk dan melempar-lempar barang.Lelaki yang sengaja izin tidak masuk kerja itu, mau tak mau harus gegas pulang. Meskipun hubungannya dengan Vania tak seperti kebanyakan suami istri lainnya, tetapi saat ini, Vania masih tanggung jawabnya.Usai berpamitan pada security, Azzam gegas mengemudikan sepeda motornya. Melaju dengan kecepatan sedang menuju kediaman mertuanya.Setibanya di depan rumah milik keluarga Vania, Azzam memarkirkan sepeda motor jadul miliknya. Kebetulan ada tukang sayur yang tengah mangkal di depan rumah. Jarak yang tak terlalu jauh akhirnya mampu membuat kuping Azzam menangkap desas-desus dari para Ibu yang tengah berbelanja.“Tuh, itu, tuh … itu mantunya Bi Asih. Lihat tampangnya saja kumal kayak gitu. Asal kalian tahu, ya … dia itu cuma kuli bangunan.”“Oalaaah … sua
“Semua perjanjian kita sudah berakhir dan aku tak ingin melihatmu menjadi orang lain. Aku ingin, mulai saat ini kamu harus belajar untuk mencintaiku dan menjadi istriku yang sesungguhnya! Mengakhiri perjanjian bodoh yang kita sepakati! Pernikahan ini suci dan betulan, Sayang! Aku ingin memulai semuanya dari awal lagi bersamamu! Apakah kamu mau?”Kalimat yang terlontar dengan begitu tegas dan jelas membuat tenggorokan Kasih tercekat. Berulang dia mencoba menelan saliva. Bahkan Kasih menarik tangan yang digenggam Evan dan berulang mencubit pipinya.“Cewek aneh!” Evan mengedik lalu ikut mencubit pipi Kasih. Suasana yang sekejap romantis tadi seketika berubah.“Ih kamu kok nyubit aku, sih?”Kasih melempar protes. Debuman dalam dada masih bergemuruh hebat bak ombak tsunami yang menyapu daratan. Meluluh lantakkan semua kecemasan. Namun entah kenapa, dia masih ingin menyembunyikan riak bahagia yang sebetulnya sudah berlompatan.“Aku cuma bantuin kamu.”“Bantuin apa?”“Bantuin kalau buktiin sem