Usai menyantap makan siang, Elang dan Reynan kembali ke ruangan Adeera.Anggun sendiri masih terlelap dan Elang menitipkannya pada perawat.“Om ...“Anjas yang tertunduk mendongak seketika mendengar suara Elang.“Lang ... Gimana? Sudah makannya?“ tanyanya. Elang mengangguk.“Tante Vina mana, Om?““Tante lagi ke kantin.““Kalau Om mau nyusul, nyusul aja. Biar Elang sama Reynan yang jagain Deera,“ kata Elang. Anjas terdiam sejenak, matanya melirik pada Adeera yang masih betah di dunia mimpi. Ada perasaan khawatir jika harus meninggalkan putrinya meski untuk sekadar mengisi perut.“Om percaya kan sama Elang?“Pertanyaan Elang membuat Anjas mendengkus pelan, lalu beranjak. Ia tentu percaya pada pemuda itu. Tak ada sedikit pun keraguan di hatinya, hanya saja khawatir Adeera histeris dan ia tak mau merepotkan pemuda itu.“Om tenang saja, nanti kalau Deera kenapa-kenapa, Elang bakal langsung nelepon Om,“ cetus Elang. Anjas mengangguk lalu menepuk punggung pemuda itu.“Titip Deera ya, Lang. O
“Gue bersyukur lihat Adeera baik-baik saja walau keadaannya cukup buruk. Dia kuat,“ ucap Reynan pada Elang. Saat mereka berjalan di koridor rumah sakit. Elang bertujuan ke ruangan Anggun, sementara Reynan akan pulang.Elang tersenyum miring.“Lu salah menilai dia,“ ujarnya seraya memandang luruh ke koridor yang tampak sepi.“Salah menilai?“ ulang Reynan. Elang mengangguk.“Deera kuat menghadapi bullian dari Dewi CS karena dia sudah pernah mengalami hal yang lebih berat dari itu,“ sahut Elang dengan rahang mengeras dan sorot mata tajam.“Kalau boleh gue mau tau—“Elang menggeleng, “gue nggak punya wewenang ngasih tahu Lu. Mungkin suatu saat nanti Deera bakalan ngasih tau, walau entah kapan pastinya. Saat ini gue cuma mau cari cara bikin perhitungan sama si Mahadewi dan CS-nya.“Reynan mengangguk.“Ya. Tapi kita harus bikin rencana yang matang dan tentunya bukti yang memadai. Dia nggak bisa ditumbangkan dengan mudah,“ ujarnya.“Sebenernya gue punya bukti yang bisa bikin mereka mingkem s
Satu minggu berlalu dengan cepat dan untuk pertama kalinya setelah dirundung, Adeera menginjakkan kakinya di sekolah. Kali ini setelah diantar sang ayah, ia juga dikawal Elang dan Reynan. Dengan langkah tegap, ia melangkah, mengacuhkan berbagai tatapan para murid.Mereka bertiga melangkah terus melangkah mengabaikan para murid di sekitar yang berbisik-bisik karena dua siswa tampan telah mengawal gadis seratus kilogram. Beberapa mencibir, tapi ada juga yang semakin kagum pada kedua pemuda itu.“Lu harus pede, anggap kagak ada masalah. Biar yang lain makin cengo,“ bisik Elang. Adeera mengangguk pelan, sebisa mungkin menetralkan dada yang berdebar-debar.Sementara Reynan hanya balas tersenyum saat beberapa siswi melempar senyum sambil melambaikan tangan padanya.“Tebar pesona Lu mah!“ cibir Elang dan Reynan hanya cengengesan.“Ya orang senyum masa gue cuek-cuek aja,“ sahutnya.“Eh beneran Lu kagak takut kalau pamor Lu tiba-tiba meredup terus ngelelep?“ tanya Elang.“Kagaklah. Lagian gue
Dewi CS kembali melancarkan aksinya. Kali ini mereka melakukannya di luar lingkungan sekolah. Mengendap-endap mereka mengikuti Adeera yang melangkah tanpa didamping Elang ataupun Reynan.“Hei, Kuda Nil!“ seru Dewi saat Adeera sedang di halte, menunggu Elang dan Reynan yang masih di sekolah. Para guru memang tengah menghadiri agenda rapat sebelum ujian akhir semester, jadi para murid dipulangkan lebih awal. Mendengar suara itu, Adeera langsung membalikkan badan. Menatap Dewi CS dengan alis terangkat sebelah.“Kalian? Ada apa?“ tanyanya datar, sedatar mimik wajahnya. Dewi CS saling melempar, merasa heran karena tak melihat ketakutan di wajah Adeera.“Lo masih inget kan sama kejadian seminggu lalu?“ tanya Dewi.“Ya jelaslah, mana mungkin gue lupa sama kezaliman kalian semua,“ jawab Adeera sambil bersidekap.“Apa jangan-jangan kalian yang lupa sudah menzalimi gue?“ lanjutnya dengan mata memicing.“Menzalimi, menzalimi! Bahasa Lo udah kek ustadzah aja. Sok alim, Lo!“ umpat Dewi.“Terserah
Hari berganti. Semalaman Adeera dibuat tak bisa tidur membayangkan hidupnya setelah Elang pergi nanti. Berat sekali memang tapi ia sadar, keluarga lebih utama dari seorang sahabat.[Gue sama Elang udah di depan.]Adeera menghela napas berat saat membaca pesan yang dikirim Reynan. Lalu gegas menyeret langkah ke luar kamar.“Loh, nggak sarapan dulu?“ tanya Anjas yang sudah siap di meja makan. Adeera menggeleng.“Rey sama Elang sudah jemput,“ jawabnya.“Ya suruh mereka masuk dong. Kita sarapan bareng,“ sela Vina yang sedang menata sarapan.“Bawa bekal aja deh,“ jawab Adeera. Vina mengangguk.“Dah siap?“ tanya Reynan sambil melirik ke arah Adeera.“Sudah. Jalan, Mang! Tuan sama nyonya ada meeting dadakan,“ jawab Elang sambil tersenyum jahil.“Dih, Lu kira gua supir Lu ngapa,“ balas Reynan, nyo
Waktu bergulir begitu cepat tapi tidak bagi Adeera. Dua bulan rasanya berjalan sangat lamban. Kepergiaan Elang nyatanya membuat hidupnya berubah. Bukan hanya merenggut keceriaan tapi juga bobot tubuhnya.Reynan sendiri bingung harus berbuat apa. Sebisa mungkin ia melakukan apapun supaya gadis pujaannya ceria tapi belum kunjung membuahkan hasil. Adeera masih setia menatap kosong bangku yang dulu dihuni Elang.“Deer, beneran Lu nggak mau ke kantin?“ tanyanya pada Adeera yang kini tengah memandangi layar ponsel. Dua bulan berlalu setelah kepergiaan Elang, tapi hanya beberapa kali saja pemuda itu menghubunginya. Pesan dan panggilan Adeera pun jarang tersentuh.“Nggak deh. Lu aja, gue masih mau di kelas,“ tolak Adeera. Reynan hanya mendengkus kasar. Ingin memprotes tapi tak berani, jadilah ia mengayun langkah ke keluar kelas sambil sibuk mencari cara supaya Adeera tak murung lagi..
“Gimana ujiannya, Lang? Lancar?“ tanya Anggun saat Elang baru merebahkan tubuhnya di karpet.“Alhamdulillah lancar, Mbak. Angga sama Ibu kemana, Mbak?“ Elang balik bertanya. Matanya celingukan mencari sosok Angga. Anak Anggun yang biasanya menyambut dirinya dengan riang.“Lagi ke acara ulangtahunnya anak pak RW.“ Anggun menjawab dengan mata terus menatap pada layar laptop yang menyala.“Gimana orderannya, Mbak? Lancar?“ “Alhamdulillah, Lang. Lancar banget, oh iya bentar lagi kurir pick up, nanti tolong kamu keluarin ya,“ ujar Anggun.“Siap, Mbak.“ Elang menjawab. Matanya tertuju pada tumpukan kerajinan yang sudah dikemas.Waktu begitu cepat berlalu. Tak terasa, satu tahun sudah Elang berdomisili di Yogyakarta, lebih tepatnya Bantul. Selama itu, pahit manis ketirnya kehidupan sudah ia selami.Selang tiga bulan pindah, sang ayah
“Kenapa kamu cengar cengir gitu?“ tanya Anjas sambil melirik anaknya yang tersenyum malu-malu.“Enggak, Yah. Nggak kenapa-kenapa,“ jawab Adeera. Anjas tersenyum miring lalu merendahkan kecepatan.“Kamu lagi kasmaran ya?“ tanyanya. Mata Adeera membulat sempurna, pipinya pun sontak menghangat.“En-enggak. Ayah apaan sih,“ gerutunya sambil memalingkan wajah.“Ayah pernah muda, Nak. Sudah khatam sama tingkah orang kasmaran,“ kata Anjas dan Adeera bergeming.“Ayah nggak akan larang kamu pacaran tapi ayah jangan sampai salah pilih, Nak. Jadikan dia masa depanmu bukan hanya persinggahan atau kenangan,“ tutur Anjas sambil mengusap puncak kepala sang anak.Adeera terdiam. Dalam hatinya bertanya-tanya, apakah benar yang dikatakan sang ayah? Ia sedang jatuh cinta. Ia memang tak bisa memungkiri perasaan yang selalu hadir di saat ia bersama Reynan. Tatapan, perlakuan dan perhati
”Maafkan aku, Ay ...” ucap Reynan tertunduk.”Aku nggak butuh maafmu. Aku butuh kejujuranmu. Katakan semuanya padaku, Reynan!” seru Adeera dengan suara tertahan karena emosi yang meluap.”Akan kuceritakan semuanya, Ay.” Reynan menatap Adeera lekat-lekat.”Dari awal kamu kesulitan berkomunikasi dengannya, aku dan Elang masih bertukar kabar. Kami masih sering berbagi cerita. Termasuk aku yang menceritakan perasaanku padamu, Ay. Termasuk program diet kamu.Dia juga sengaja nggak menghubungimu karena dia sudah menitipkanmu padaku. Dan terakhir ...”Reynan menarik napas sejenak. Menatap Adeera yang tampak tak sabar menunggu ucapannya.”Dan yang terakhir, aku menelponnya saat kita jadian. Aku memberitahunya kalau kamu menerimaku,” lanjut Reynan seraya menelan salivanya kasar.”Lalu?” tanya Adeera tak sabar.”Elang kecelakaan.” Reynan menjawab dengan kepala tertunduk.”Apa?!” Adeera memekik tertahan sambil memegang dadanya yang berdegup kencang.”Dia kecelakaan tunggal, Ay. Dan setelah itu k
”Ma-maksudnya gimana, Ay?” tanya Reynan, dengan mata membulat sempurna.”Kita seperti dulu, Rey. Sebelum jadi sepasang kekasih,” jawab Adeera. Membuat Reynan susah payah menelan salivanya.”Jangan bercanda, Ay!” serunya frustasi.”Aku nggak bercanda, Rey. Aku serius,” ujar Adeera. Membuat hati Reynan luluh-lantak. Kepalanya menggeleng pelan, sementara bibirnya perlahan melengkung walau tipis.”Enggak, Ay. Aku enggak mau. Jangan minta putus, aku mohon,” ucapnya dengan suara bergetar.”Minta yang lain saja, Ayy. Tapi jangan minta putus,” lanjutnya. Adeera menatapnya lekat-lekat. Ada sedikit rasa iba melihat siluet kecewa yang membentang di bibir lelaki itu. Namun ia juga sudah tak kuat jika terus bertahan di sisi lelaki itu.”Please, Ay ... Minta saja yang lain. Tapi jangan minta putus.”Adeera menghela napas dalam-dalam. Menatap sang kekasih dengan tangan bersedekap di meja.”Kalau begitu, aku minta kamu terima kehadiran Airlangga di kehidupanku. Aku rasa, aku butuh dia,” paparnya. Me
Adeera menatap jam digital di atas nakas. Sudah jam satu siang, dan selama itu Adeera tak melakukan aktifitas apapun selain rebahan dan drakoran. Ia mulai bosan dan ingin menghubungi Elang. Tapi ponselnya mati. Lucunya lagi, di rumah sebesar itu, Adeera tak menemukan satu pun charger. Tadi, Adeera sudah meminta pada Narsih. Tapi ponsel mereka ternyata beda. Narsih masih menggunakan ponsel keypad, yang hanya bisa digunakan untuk menelepon dan SMS saja.Adeera merasa heran pada wanita itu. Kenapa tak terbawa arus kecanggihan teknologi? Kenapa tak menggunakan ponsel pintar? Tapi jawaban wanita itu langsung membuat bibirnya mengatup.“Hape itu hanya melenakan, Neng. Sementara saya sudah tua. Daripada waktu luang kita digunakan haha hihi nonton tiktok, mending banyakin ibadah saja.“Adeera mendengkus kasar. Lalu memilih keluar kamar. Mengitari ruang tamu, berpindah ke ruang tengah dan berakhir di dapur saat perutnya melilit minta diisi. Ia pun membuka lemari pendingin dan tudung saji, tapi
Elang bergidik ngeri mendengar penuturan Vino tentang Herlan. Lelaki yang dulu pernah jadi gurunya itu ternyata punya gurita bisnis di bidang prostitusi dan narkoba. Selain punya rumah prostitusi bertopeng tempat karoke, Herlan ternyata memiliki banyak anak buah. Termasuk di institusi kepolisian.Untuk memperkuat bukti, Vino akan mengali lagi lebih dalam supaya nantinya Herlan tak mampu beralibi. Bahkan tak mampu tuk sekadar mengangkat kepala.“Atur saja sesukamu, Vin. Pokoknya kamu harus kuliti habis kasus Herlan. Pastikan juga kasus ini di up di media sosial dan berita nasional. Batasi juga pergerakan anak buahnya. Kalau kamu berhasil, saya akan kasih kamu bonus,“ ujar Elang menggebu-gebu.“Siap, Bos.“Elang menghela napas. Lalu berjalan ke balkon kamarnya sambil menyesap segarnya angin malam.“Kamu pantas dihukum, Herlan. Aku yakin, kamu sudah banyak merugikan orang terutama hawa. Kamu juga menyelewengkan hukum. Sekarang, nikmati hidupmu, Herlan. Sebelum aku menjebloskanmu ke jeruj
“Mixue?“Adeera yang tengah fokus pada layar komputer, terbelalak seketika saat sebuah cup dingin tiba-tiba menyentuh pipinya. Dengan cepat, ia mendongak dan memutar bola mata melihat Elang tersenyum cengengesan.“Dasar Jahil!“ umpatnya dengan bibir mengerucut.“Cepat ambil, mumpung masih dingin,“ kata Elang.Adeera terdiam sesaat. Memandangi eksrim itu dengan sudut bibir yang berkedut.“Ini buat aku?“ tanyanya. “Bukan, tapi buat kelinci!“ Elang menjawab ketus dan asal.Adeera sontak melotot dan merebutnya dengan segera.“Sayang banget kalo buat kelinci,“ katanya sambil mencicipi eskrim asal negeri Thailand itu.“Enak banget, dingin seger,“ katanya sambil memejamkan mata dan tiba-tiba saja bayangan Elang melintas di pikirannya.Ia ingat betul lelaki itu sering membawakan minuman serupa untuknya. Sejurus kemudian, air matanya menetes. Rindu itu semakin tumbuh subur di dalam hatinya. Walau ada Airlangga sang bos, tapi tetap saja tak mengurangi kerinduannya pada Elang.“Hei, kok malah na
“Sudah siap?“ tanya Adeera saat masuk ke ruangan Elang.“Sudah,“ jawab Elang sambil tersenyum tipis.“Hanya saja moodku lagi nggak baik,“ lanjutnya dalam hati.Hari ini mereka berdua ada agenda bertemu dengan klien baru yang bersinggungan dengan divisi Adeera.“Kamu kok kayak nggak semangat gitu?“ ujar Adeera sambil menatap wajah Elang yang tampak kuyu.“Emang nggak semangat. Klien yang ini sangat merepotkan dan manja. Modal sedikit aja banyak gaya. Pake pengen meeting di restoran mahal segala,“ jawab Elang sambil bangkit berdiri dan merapikan penampilan.“Harus semangat dong. Mereka punya banyak koneksi termasuk di bea cukai. Sayang banget kalau kita melewatkannya,“ sahut Adeera sambil tersenyum.“Iya, Ibu Adeera. Yaudah ayo!“Mereka pun langsung bertolak ke restoran di sebuah hotel bintang lima. Sepanjang perjalanan, mereka membahas rancangan pr
“Bagaimana kalau kita main-main dulu, Deer?“ gumamnya pelan.Elang mengulas senyum menyeringai. Lalu dengan suara lembut ia membangunkan Adeera. Membuat gadis itu membuka mata dengan bibir mengerucut.“Suaramu mirip demit, Lang!“ celetuknya. Di saat itu juga ia baru menyadari sesuatu. Ia sudah sangat lancang memanggil sang bos dengan panggilan Elang. “Lancang Lu, Deer,“ gumamnya lirih. Matanya membeliak seketika melihat Elang yang menatapnya dengan mata memicing.“Kamu bilang apa barusan?“ tanya Elang.“Yang mana?“ Adeera tersenyum kaku.“Yang tadi. Apa kamu bilang? Suaraku mirip demit?“ Elang memastikan.Adeera mengangkat jari telunjuk dan jari tengah. Ia berusaha santai, walau sebenarnya gugup juga karena kini wajah mereka hanya berjarak beberapa senti saja.“Kita di mana?“ Adeera mencoba memecah kegugupan yang menyelimuti diri. E
Elang mengajak Adeera menghampiri pengurus panti. Walau canggung, Adeera menurut. Lalu senyumnya merekah saat pengurus panti menyambut dengan ramah.Bahkan pipinya terasa menghangat mendengar pertanyaan salah seorang dari mereka.“Ini calon istrinya, Nak?“Elang tak langsung menjawab. Malah melirik pada Adeera yang menahan grogi.“Bukan, Bu,“ jawabnya.Senyuman Adeera langsung sirna. Hatinya terasa seperti diremas. Entah kenapa, ia merasa kecewa dengan jawaban lelaki itu.“Belum jodoh, tapi insya Allah jodohnya Nak Elang.“Suara Ibu ketua panti membuat keduanya saling bersitatap untuk sesaat. Kemudian tertawa canggung.“Yaudah ayo masuk ke ruang tengah. Anak-anak sudah nunggu,“ lanjutnya.Mereka pun mengangguk, lalu mengikuti para pengurus panti yang sudah berjalan lebih dulu. Adeera mematung sejenak, melihat ruangan luas itu sud
“Serius kita temenan?“ tanya Elang, tak percaya.“Iya. Tapi kamu sendiri udah tau kan, aku udah ada pacar. Jadi kamu jangan macem-macem,“ kata Deera sambil menatap Elang sungguh-sungguh.“Em ... Macem-macem gimana maksudnya?“ Elang pura-pura tak paham.“Maksudmu, takutnya aku ganggu hubungan kalian? Begitu?“ sambungnya dengan perasaan tak karuan, karena jelas itu tujuannya. Ia mau merebut Adeera dengan cara elegan.“Heem ...“ Adeera tersenyum kaku, “ta-kutnya gitu.““Oh ... Kamu tenang aja, Deer. Kamu bukan tipeku. Tipeku cewek yang bohay tapi pake baju tertutup. Lagian aku sudah punya gebetan. Walau enggak pacaran, aku yakin kami berjodoh,“ sahut Elang dengan tatapan dalam. Mendengar hal itu, Adeera merasa pasokan oksigen di dadanya berkurang. Kriteria yang disebutkan Elang, jelas tak ada di dirinya. Ia yang sekarang bertubuh langsing cenderung kurus dan belum mengenakan pakaian tertutup.Adeera menghela napas kasar, balas menatap Elang dengan jantung yang berdebar kencang.“Kamu ng