“Bukan begitu!” sergah Violet tak nyaman. “Aku tidak memandangmu jelek karena hal itu. Menurutku itu sangat wajar, kok! Aku pun pasti akan melakukan hal yang sama jika itu memang mungkin. Sayang, kakekku tidak menjadi pemilik hotel manapun.” Telinga Violet sendiri bisa mendengar nada pahit pada suaranya.
Senyum Quinn yang hendak merekah karena geli melihat upaya Violet membuatnya tidak tersinggung, mendadak patah. Lelaki itu bergumam. “Kamu sepertinya jadi ... sedih.”
Violet mengangkat wajahnya dan tak bisa menyembunyikan matanya yang mendadak berkaca-kaca. Quinn tampak terkejut melihatnya, tapi lelaki itu tak bicara apa pun.
“Aku jadi merindukan kakekku,” aku Violet.
Quinn tampak sangat hati-hati saat berkata, “Apa kamu ingin pulang ke Medan?”
Violet merasakan hatinya tersengat. Lelaki ini bahkan masih mengingat obrolan basa-basi mereka di Marquiss tempo hari. Sementara dirinya sudah lupa
Violet benar-benar merasakan sulitnya bekerja saat konsentrasi dan ketenangan hidupnya dirampas begitu saja. Oleh kata-kata Quinn yang tak masuk akal tapi –entah kenapa- mampu membuatnya diliputi gairah aneh yang serupa candu. Makin dipikirkan, justru kian terlihat menantang. Berbanding lurus dengan keinginan untuk melupakan ide liar itu.“Kamu kenapa? Sejak pagi gelisah terus,” tegur Nindy penuh perhatian. Untuk hari ini, Violet merasakan ironi yang membungkus mereka. Biasanya, dialah yang selalu memperhatikan Nindy. Namun hari ini yang terjadi malah sebaliknya. Nindy justru bisa menangkap kegelisahan yang membuat Violet tak bisa duduk dengan tenang.Violet selalu merasa bahwa dirinya adalah orang yang tergolong mudah menyembunyikan perasaan. Emosinya tak mudah mencuat begitu saja, –kecuali untuk masalah Jeffry- tersimpan rapi. Namun hari ini adalah pengecualian. Dan hal itu cukup mengganggunya.Entah berapa kali dia melakukan kesalahan
Violet menghabiskan sisa sore itu dengan berusaha keras berkonsentrasi pada pekerjaannya. Sebenarnya, dia tak perlu secemas ini, kan? Dia juga tak harus sampai kehilangan konsentrasi dan menyusahkan diri sendiri berkali-kali. Jika memang tak tertarik, mestinya Violet langsung menolak usul dari Quinn tadi malam. Namun, nyatanya dia malah setuju. Jadi, Violet harusnya menghadapi konsekuensi dari keputusannya dengan tenang.Ketika jam pulang akhirnya tiba, Violet mengemasi barang-barangnya dengan cekatan. Dia langsung mencegat angkutan yang lewat di depan kantornya. Perjalanan yang memakan waktu sekitar dua puluh menit itu membuat jantung Violet berdebar-debar.Langkah kaki Violet agak gemetar saat gadis itu turun dari angkot. Tungkainya terasa lemas. Violet bertanya-tanya sendiri, apakah ini keputusan yang tepat? Dia sempat berdiri termangu sebelum melewati pintu gerbang restoran bernama Bukit Pangrango. Gadis itu harus berjalan di area ber-paving block dengan kondisi ya
Suara obrolan mereka begitu riuh dan hanya berjarak dua meja dari tempat duduk Violet. Secara fisik, semuanya menarik dengan dandanan yang mencerminkan kesukaan mereka mengikuti mode. Namun bukan itu yang membuat Violet mendadak merasa haus. Aneka gelas berisi minuman warna-warni yang ada di meja mereka sungguh menggoda mata.Violet melambai dan segera memesan satu porsi mango smoothies untuk dirinya tanpa membatalkan satu porsi air mineral tadi. Tadinya dia ingin memesankan minuman untuk Quinn juga, tapi Violet khawatir pilihannya tidak cocok. Saat kedua minuman yang dipesannya datang beberapa menit kemudian, Violet menyesapnya dengan mata setengah terpejam. Rasa mango smoothies ini sangat lezat.“Apakah minumanmu memang seenak itu?” tanya seseorang, mengagetkan.Refleks Violet membuka mata dan melepaskan sedotan yang berada di antara giginya saat mendengar suara Quinn. Seperti biasa, pria itu terlihat menawan sekaligus menju
Pria itu tersenyum sabar. “Baiklah, aku akan menjelaskan sekali lagi.” Mereka saling bertatapan dalam satu garis pandangan. Meski suasana di sekitar kian ramai karena bertambahnya pengunjung yang ingin menikmati keindahan senja berlatar Gunung Salak, Violet merasakan sebaliknya. Keheningan menaungi mereka berdua begitu intens. Hingga dia merasa khawatir jika Quinn bisa mendengar suara denyut nadinya dengan jelas.“Seperti katamu, Jeffry dan Eirene adalah manusia merdeka. Kita tidak mungkin melarang mereka untuk saling berkomunikasi. Sementara di lain sisi, kita berdua –terutama aku- mencemaskan mereka. Artinya, kita khawatir kalau akhirnya mereka benar-benar melampaui garis. Karena ... hmm ... semua bisa melihat kalau mereka saling tertarik.” Quinn berdeham lagi. “Sampai di sini, apakah kamu dan aku sepakat?” tanyanya.Violet tak punya pilihan selain mengangguk. “Ya,” jawabnya pendek.“Kita berdua
“Apa suasananya selalu seperti ini?” Violet akhirnya bersuara juga.Quinn balik bertanya, “Suasana apa?”Violet mengangkat wajahnya. “Kamu selalu diperhatikan para gadis. Mustahil kamu tidak menyadari kalau para cewek di meja itu berbisik-bisik dan cekikikan sejak tadi.”Bibir Quinn merekah dalam senyum tipis yang –astaga- menawan. Suaranya yang berat dan serak itu terdengar lembut saat mengurai satu demi satu kata sebagai respons.“Aku tahu, tapi aku tidak peduli. Untuk apa? Aku sebenarnya tidak nyaman dan terganggu. Tapi aku kan tidak bisa melarang mereka untuk tidak melihatku dan bertingkah seperti itu. Jadi, tindakan yang paling aman dan masuk akal adalah mengabaikannya.”Violet terkesima. Entah kenapa, hal itu malah mendorongnya untuk kembali menunduk dan melanjutkan makan. Kebisuan kembali bertahan hingga beberapa menit ke depan. Violet menghabiskan makanannya.“Jadi, apa kepu
Hari Jumat itu, Vivian melangkah dengan santai sembari membenahi posisi tas di bahu kanannya. Dia sedang bersiap untuk pulang. Benaknya sudah menyusun apa saja rencana yang akan dilakukannya malam ini. Karena tak ada aktivitas apa pun, Vivian akan menghabiskan waktu di tempat indekosnya. Mungkin dia akan mengajak teman-temannya memesan makanan yang banyak.Saat itulah resepsionis memanggil namanya. “Vi, ada tamu,” ucap perempuan bernama May itu. Telunjuk kanan May terarah ke satu tempat, ruang tunggu yang berada tak jauh dari meja resepsionis.Violet terpana saat menyaksikan Quinn berdiri dari tempat duduknya. “Quinn?”“Iya, ini aku, Quinn,” balas pria itu sembari berjalan mendekat.Quinn ternyata sangat serius dengan “latihan” yang disebut-sebutnya kemarin. Padahal, Violet cuma menanggapinya dengan santai dan cenderung sambil lalu. Quinn benar-benar sengaja datang ke kantor Violet untuk menjemput gadis itu.
Senyum pria itu menulari Violet. Hingga gadis itu menjadi lebih rileks. Kemarin, Quinn sudah bercerita lumayan banyak tentang latar belakangnya. Demikian juga Violet. Tujuannya, supaya mereka lebih saling mengenal. “Yuk, kita rebut apa yang memang seharusnya jadi milik kita,” gurau Violet. “Kita ini sudah mirip dua pejuang kemerdekaan,” imbuh gadis itu.Violet mengira Quinn cuma akan mengantarnya pulang. Atau mengajaknya mampir ke suatu tempat untuk makan malam barangkali? Kenyataannya, Quinn malah membawa Violet ke hotel tempat lelaki itu bekerja. Setelah sebelumnya meminta maaf berkali-kali karena harus menyelesaikan pekerjaan penting.“Inilah aku dan mulut besarku. Pada kenyataannya, aku harus bekerja lebih keras dibanding yang lain. Kadang setelah makan malam pun aku harus kembali ke sini. Kamu tahu kenapa aku melakukan itu?”Violet mengangguk. Mereka sedang memasuki lobi hotel yang megah itu. Para petugas berseragam menya
“Kakekmu bule ya, Quinn? Pantas saja kamu pun nggak mirip orang Indonesia asli,” gumam Vivian.“Kakekku blasteran, Vi. Campuran Belanda dan Jawa,” beri tahu Quinn. "Asal jangan aku dianggap lebih mirip orangutan saja," candanya."Tentu saja bukan!" bantah Violet sambil terkekeh geli.“Duduklah dulu, Vi!” Quinn menunjuk ke arah sofa yang berhadapan dengan meja kerjanya. Sofa itu terlihat empuk dan menjanjikan kenyamanan. “Aku harus bekerja menyelesaikan beberapa laporan penting. Kamu tidak ke....”“Aku kan sudah bilang, berhenti meminta maaf.” Violet sudah membaca ke mana arah ucapan Quinn.Lelaki itu tergelak sambil meremas rambutnya sekilas. “Iya, aku tahu. Aku tidak akan minta maaf. Oh ya, kamu mau minum apa? Atau ingin makan sesuatu?” Quinn menatapnya.“Tidak usah, terima kasih. Untuk sementara, aku masih kenyang,” balas Violet seraya menghenyakkan tubuhny
Wynona memasuki masa berkabung karena patah hati tanpa air mata atau kesedihan yang berlarut-larut. Kendati berpisah dari David setelah hubungan selama sembilan tahun, tetap saja bukan hal yang mudah untuk dihadapi. Akhir hubungan mereka begitu tak menyenangkan karena sikap David dan keluarganya. Namun Wynona makin yakin dia sudah mengambil keputusan yang tepat.Ada beberapa sebab, tak cuma melulu “dosa” David saja, melainkan juga kesalahan Wynona. Sejak malam itu, David bahkan tak berusaha menghubungi Wynona lagi. Lelaki itu seolah menghilang begitu saja. Sembilan tahun yang mereka miliki bersama-sama, tak penting. Wynona pun tampaknya dianggap bukan lagi perempuan yang pantas untuk diperjuangkan.Sementara dari sisinya, Wynona kian yakin bahwa perasaannya pada David sudah benar-benar tawar. Hatinya sudah berubah. Gadis itu tak keberatan disalahkan karena seolah memberi peluang pada Leon untuk masuk dalam hidupnya.Dia tak akan menampik hal itu. Nam
Kata-kata yang dilontarkan orangtua Leon itu membuat Wynona benar-benar merasa dihargai. Dia tak bisa mencegah rasa haru menusuk-nusuk dadanya. Namun. Tentu saja dia tak boleh menangis lagi di sini. Sudah cukup air mata yang ditumpahkannya hari ini.“Wyn, mau main ludo atau halma?” Suara erangan terdengar dari berbagai arah sebagai respon untuk kata-kata Anton. Lelaki itu menunjukkan ekspresi tak berdosa saat membela diri. “Papa kan belum pernah main ular tangga dengan Wynona.”“Tolong Pa, kreatiflah sedikit. Setiap tamu selalu diajak main halma atau ludo. Apa tidak ada yang lain?” gerutu Trisa. Lalu, perempuan itu bicara pada tamunya. “Wyn, kapan kamu bisa mengirim daftar belanjaan untuk minggu depan? Lebih cepat lebih baik, kan?”“Iya Kak, aku akan menyiapkan daftarnya secepatnya. Besok atau paling telat lusa,” janji Wynona.Trisa mengangguk senang. “Mungkin sehari sebelum acara, akan leb
“Tidak apa-apa. Walau sebenarnya aku ke sini cuma ingin bertemu Om, Tante, dan Kakak,” sahut Wynona. “Agak pesimis juga awalnya, karena menurut Leon, Kakak nggak tinggal di sini.”Trisa tersenyum lebar. “Begitulah kalau menjadi anak perempuan satu-satunya. Kalau aku nggak datang selama beberapa hari, pasti ada yang menelepon. Kalau tidak Mama, Papa, kadang asisten rumah tangga. Ada saja alasan yang diajukan. Yang terbanyak sih, Nadya. Padahal, mereka itu merindukanku,” kelakarnya.“Hahah, aku jadi sangat iri. Aku juga anak perempuan satu-satunya tapi tak ada yang merindukanku seperti itu.”Trisa menatap Wynona sungguh-sungguh. “Aku justru yang iri dengan kemampuan memasakmu, Wyn! Aku semur hidup cuma bisa memasak nasi goreng. Itu pun menggunakan bumbu instan. Kemampuan memasakku nol besar. Padahal Mama jago di dapur. Dan kami terbiasa dimanjakan dengan masakannya.”Setelah kembali ke ruang tamu,
Wynona hampir menabrak dada seseorang saat membalikkan tubuh. Sendok kayu yang dipegangnya, jatuh ke lantai. Tangan kanannya memegang dadaku, seakan dengan begitu rasa kaget gadis itu akan berkurang jauh.“Syukurlah kamu baik-baik saja,” gumamnya dengan ekspresi lega tergambar jelas. Leon pasti tidak pernah tahu kalau Wynona pun tak kalah lega melihatnya.“Kamu mengagetkanku,” bibir Wynona cemberut. Dia hendak berjongkok memungut sendok kayu, tapi Leon bergerak lebih cepat dan menaruh benda itu di wastafel.“Dapurnya indah. Aku suka,” puji Wynona. “Sebentar, aku harus memindahkan mi-nya dulu.”“Butuh mangkuk besar?” Leon membuka sebuah pintu kabinet di bagian atas dan mengeluarkan sebuah mangkuk kaca transparan. “Apakah ini cukup?”Wynona mengangguk. Dengan gerakan hati-hati, dia menyusun mi, kol, dan telur rebus yang sudah dipotong-potong. Saat hendak menua
David menatap Wynona tak percaya. Kemarahan tergambar di setiap gerak tubuhnya. “Putus? Kenapa kamu terlalu cepat mengambil keputusan?”Gadis itu menggeleng. “Ini bukan keputusan yang terburu-buru. Selama ini, aku hanya tidak berani mengakui kenyataan.”“Wynona!”Gadis itu menatap wajah David dengan perasaan campur aduk. Betapa lelaki ini pernah membuat hati Wynona berpesta karena cintanya. Betapa David pernah menjadi orang terpenting dalam hidup gadis itu. Betapa Wynona pernah sangat ingin mengubah dirinya agar menjadi sosok paling diinginkan dalam hidup lelaki ini. Itulah kuncinya, pernah. Artinya, itu sudah berlalu lama, sebelum gadis itu akhirnya diterpa kesadaran. Terlambat, tapi Wynona tidak menilainya sebagai sebuah kefatalan. Dia tidak menyesali semuanya. Gadis itu hanya menganggap semua ini sebagai proses panjang yang mendewasakan.“Wyn, jangan cuma karena masalah ini, hubungan kita m
“Wyn,” David menjajari langkah kekasihnya. Sementara Wynona berusaha berjalan lebih cepat. Dia hampir mencapai pintu gerbang ketika David berhasil meraih lenganku.“Apa kamu tidak mendengarku?” tanyanya marah. Ekspresinya berubah keras.“Aku cuma ingin pulang. Aku tidak mau dihina lagi.”David menggelengkan kepalanya. “Mama hanya ingin tahu tentang kamu.”Wynona menatap David dengan tajam. Andai bisa, dia ingin mengguncang tubuhnya David dan meniupkan kesadaran di benaknya agar lelaki ini melihat fakta yang sebenarnya.“Vid, mamamu tidak menyukaiku. Sampai kapan pun akan tetap seperti itu. Percayalah, tidak akan ada yang berubah. Dan aku tidak nyaman diperlakukan seperti tadi.”David masih memegang lengan Wynona. “Aku tidak mengizinkanmu pulang. Nanti aku akan mengantarmu, Wyn! Sekarang, ayo kita masuk ke dalam lagi,” ajaknya.Wynona menggeleng tegas seraya melepa
Wynona tersenyum kecil menanggapi gurauannya. David nyaris tidak pernah antusias menikmati masakanku. Gadis itu mengitari ruang tamu yang luas itu dengan tatapannya. Ada belasan perempuan paruh baya yang bergaya trendi. Juga ada beberapa gadis muda yang usianya tak jauh beda dengan Wynona. Aneka aroma parfum mahal menyengat hidung. Membuat campuran aneh yang memusingkan kepala Wynona. Semua orang sibuk berbincang seraya menikmati aneka makanan yang tampak lezat. Gadis itu tidak melihat kehadiran ayah dan saudara David lainnya.Irene mendekat ke arah Wynona, Sofia, dan David yang duduk di sebuah sofa panjang. Perempuan itu memilih sofa tunggal di depan mereka. Wynona baru ingat, dia sama sekali tidak diperkenalkan dengan tamu yang ada.“Ma, coba cicipi ini.” Sofia menyodorkan sepotong kecil pie yang dibawa Wynona. Irene menggigit ujungnya sedikit. Entah mengapa, Wynona menjadi tegang karenanya.“Enak,” ujarnya. Namun dia menolak m
Wynona mendesah. “Kukira kamu akan memberiku usul yang masuk akal. Kamu kan tahu apa yang terjadi padaku saat resepsi? Kenapa kamu masih bisa mengusulkan ini?”“Wyn, aku tidak ingin melihatmu sedih atau terluka. Akan tetapi, ada kalanya kita harus berhadapan dengan kepahitan untuk mengetahui apa sebenarnya kebenaran di baliknya. Kalau kamu tidak mau bertemu mamanya David, apa masalah kalian akan selesai? Bukannya malah membuat semuanya menjadi makin rumit?”Wynona mengerutkan alis. “Aku tidak mengerti maksudmu.”Gadis itu mendengar suara tawa ringan di seberang.“Menghindar pasti lebih mudah. Tapi, apa kamu tidak penasaran ingin tahu bagaimana sebenarnya sikap keluarga David? Maksudku, mamanya. Kamu butuh kesempatan untuk bisa menilai dengan objektif. Dan menurutku, ini saat yang tepat.”Wynona tercenung mendengarnya. Keheningan menyergap selama sesaat.Leon bicara lagi. “Sebenarnya
Wynona masih berada di dalam kepungan kabut membingungkan sebagai efek dari kata dan tindakan Leon. Dia masih belum bisa berpikir dengan jernih untuk tahu apa yang sebenarnya diinginkan. Semuanya serba membingungkan. Seakan Wynona berada di sebuah labirin paling rumit di dunia.Lalu, David menghubunginya setelah berhari-hari menghilang tanpa kabar. “Wyn, apa kamu baik-baik saja?” tanyanya penuh perhatian.“Ya,” dusta Wynona sembari menggigit bibir.“Aku minta maaf untuk berbagai masalah di antara kita. Tapi aku ingin menyelesaikannya satu per satu.” Jeda beberapa detik. “Mama ingin bertemu denganmu. Nanti malam bisa?”Wynona benar-benar tak siap dengan permintaan itu. “Nanti malam?”“Iya. Apa kamu tidak bisa? Ada pekerjaan?”“Aku....”Jawaban Wynona belum tuntas tapi sudah menukas dan mendesak. “Tolong luangkan waktu, ya? Aku tidak enak kalau har