Violet merasa air mata mulai berdesakan dan siap tumpah. Dia berusaha keras untuk menahannya. Gadis itu agak mendongak untuk mengerjap hingga beberapa kali.
“Sebenarnya, aku ingin bicara tentang ini di malam kamu datang ke hotel. Itulah kenapa aku putus dari Eirene. Aku menyadari bahwa aku tak bisa lagi mencintainya seperti dulu. Hatiku bukan lagi miliknya karena perasaanku sudah berubah drastis. Hatiku sudah direbut olehmu. Dengan telak. Tapi kemudian kamu mengatakan hal-hal menyakitkan itu. Kamu ... ah sudahlah!” Tangan Quinn bergerak di udara.
Rasa bersalah menghunjam dada Violet tanpa bisa dihadang. Dirinya memang punya andil besar untuk semua kepahitan yang mereka rasakan berdua. Saat itu, Violet sudah punya jawaban. Dia sebenarnya tak membutuhkan waktu untuk berpikir. Namun dia tak mampu melisankan apa pun. Violet tak berdaya mengambil keputusan drastis yang bisa membuat dirinya dan Quinn bahagia. Karena itu artinya dia hanya menjadi pengkhianat yang
Namun, apakah berarti dia harus memilih Quinn? Setelah melihat kesungguhan Jeffry beberapa bulan terakhir, mau tak mau Violet kian menghargai kekasihnya. Mungkin memang hal itu sedikit terlambat karena Tuhan sudah mempertemukannya dengan Quinn yang menawan. Di sisi lain, bukankah Jeffry juga pantas diberi kesempatan?“Kenapa aku menjadi gadis labil seperti ini? Sejak kapan aku mudah terombang-ambing begini?” tanya Violet pada diri sendiri. “Kenapa aku harus berada dalam situasi ini?”Violet bagai terperangkap badai. Berjam-jam dia mencoba menenangkan diri, tapi nihil. Hanya menghasilkan kekosongan yang menyiksa dan rasanya tak tertahankan.Violet membenci sisi dirinya yang terlalu banyak mempertimbangkan sesuatu. Sisi dirinya yang tak bisa mengabaikan begitu saja janji Jeffry. Padahal, andai dia memilih Quinn, siapa yang bisa menyalahkannya? Namun Violet tak pernah bisa menjadi seegois itu.Pertanyaannya, apakah dia harus terus men
Jeffry berusaha menyusul Violet ke tempat kos, tapi ternyata gadis itu tidak ada di sana. Teman-teman Violet tak bersedia membuka mulut tentang keberadaan kekasih Jeffry itu. Ponsel Violet tidak aktif sehingga mereka tak bisa bicara. Lelaki itu terpaksa menunggu berjam-jam tanpa hasil. Esoknya, Jeffry masih terus mencoba bicara dengan kekasihnya.Violet benar-benar tak tertarik untuk bertukar kata dengan pria yang masih menjadi kekasihnya itu. Gadis itu sudah berada di titik tertinggi kesabaran yang bisa dimilikinya jika terkait dengan Jeffry. Violet sudah mengalah selama ini, menerima pembelaan diri dari Jeffry bahwa lelaki itu selalu setia. Dia memang suka memandangi perempuan cantik tapi hanya sebatas itu. Meski tak sepenuhnya suka, Violet pada akhirnya berusaha menerima “cacat” itu.Akan tetapi, situasinya berbeda sekarang. Violet menyaksikan sendiri Jeffry merayu seorang pegawai magang yang cantik dan baru saja mulai bekerja selama beberapa hari. Viole
“Vi, jangan begitu! Aku betul-betul minta maaf. Tolong beri aku kesempatan sekali lagi, ya? Aku janji, ini terakhir kalinya aku membuat ulah.” Jeffry meremas rambutnya dengan tangan kanan. “Ini cuma kesalahpahaman, Vi. Tolong maafkan aku. Jangan terlalu mudah meminta untuk berpisah. Karena aku takkan melepaskanmu dengan mudah. Aku cinta padamu, Vi. Kamu adalah perempuan terpenting dalam hidupku.”“Aku sudah cukup lama bertahan, Jeff. Ini bukan keputusan impulsif. Tidak ada jalan kembali untuk kita. Yang terbaik, kamu dan aku berpisah.”Bagaimanapun Jeffry merayu, hati Violet tak lagi bergetar. Hanya rasa iba yang menggedor-gedor dadanya di saat tertentu. Miris melihat bagaimana Jeffry tak bisa menerima keputusannya dengan lapang hati. Geli menyaksikan bagaimana Jeffry berusaha keras meraih hatinya. Lagi.Jeffry lupa, bahwa dia sudah diberi kesempatan yang lebih dari cukup. Jeffry alpa mengingat entah sudah berapa banyak janji
Jeffry juga tampaknya cukup optimis bahwa mereka bisa kembali bersama. Mungkin lelaki itu mengira bahwa Violet hanya sedang marah dan akan segera luluh. Sia-sia semua upaya Violet untuk membuka mata Jeffry bahwa kali ini dia takkan berubah pikiran. Alhasil, Violet terpaksa mengambil langkah drastis yang dirasanya tepat.“Untuk apa kamu pindah kos dan mengganti nomor ponselmu hanya karena Jeffry? Gila!” Kelly shock mendengar keputusannya. “Abaikan saja dia. Bukan kamu yang harus pergi dari sini. Jeffry yang seharusnya tak lagi datang ke sini untuk mengganggumu.”“Aku benar-benar merasa tidak nyaman lagi. Aku tidak mau semua orang di sini malah makin kesal karena aku tak bisa meminta Jeffry menjauh,” Violet beralasan.“Kenapa harus kamu yang mengalah? Ini kehidupanmu, Vi! Tidak ada orang yang boleh mengacaukannya.” Kelly geleng-geleng kepala.Violet ingin bisa mempercayai sekaligus melakukan itu. Namu
Pria itu sudah mengganti pakaian resminya dan memilih mengenakan celana jins dan kaus berwarna hitam. Dari kejauhan Violet tak bisa menangkap dengan jelas apa gambar yang tercetak di bagian depan kaus lelaki pujaannya. Yang Violet tahu, rasa bahagia terserap oleh setiap pori-pori di kulitnya.Violet membulatkan tekad, sudah saatnya dia mengikuti hatinya. Keinginannya yang paling sejati. Keraguan sudah pergi saat Violet melangkah sambil mendorong troli miliknya. Namun, langkahnya terpaksa terhenti saat seorang perempuan dengan wajah familier memanggil Quinn dan membuat lelaki itu berhenti. Perempuan itu mendekat dan berbincang akrab dengan Quinn. Mereka bahkan berbagi tawa. Bisa menebak orangnya? Eirene!Violet mengerjap untuk memastikan bahwa dia tak salah lihat. Setelah itu, dia buru-buru berbalik meninggalkan trolinya begitu saja. Hasrat untuk berbelanja dan bicara dengan Quinn, sudah menguap. Dengan langkah terburu-buru, Violet meninggalkan Marquiss.When
Sheila dan Ezra bukan berasal dari keluarga sembarangan. Itulah yang jelas tergambar saat melihat jumlah dan siapa saja tamunya. Violet bahkan berpapasan dengan seorang vokalis band flamboyan, beberapa model, hingga wajah-wajah familiar yang sering berlakon di sinetron. Jeffry pernah mengungkapkan bahwa ibunda Sheila adalah pengusaha sementara ayahnya seorang produser. Jadi, sangat wajar jika tamu resepsinya bukan orang sembarangan.Namun Violet tetap tidak menduga saat melihat Quinn datang bersama ... Eirene! Seketika Violet merasa berada di lautan kekonyolan yang menggelikan. Penyesalan segera menghantamnya. Seharusnya dia tak pernah menyanggupi ini. Jeffry saja sudah menjadi alasan yang cukup kuat untuk mundur. Nah, kini malah diperparah dengan kehadiran Quinn.Semestinya, Violet mempertimbangkan kemungkinan ini. Sheila dan Ezra mengenal Quinn. Semua yang hadir saat di Puncak, diundang untuk datang. Hanya Rifka yang tidak hadir karena sedang dirawat inap seusai oper
“Begini. Saat di Marquiss, aku berusaha mengejarmu, tapi kamu sudah naik angkutan. Aku pun menyusul ke tempat indekos, tapi ternyata kamu sudah pindah. Ponselmu tidak bisa dihubungi. Aku sempat dua kali ke kantormu, tapi kamu sudah pulang. Tidak ada yang mau memberi tahu apa yang terjadi. Sampai kamu harus mengganti nomor ponsel dan pindah tempat tinggal. Kamu kira aku tidak merasa cemas? Di sisi lain, aku juga teradang masalah pekerjaan, karena sudah hampir mau pindah. Makanya, aku tidak bisa....”“Aku tidak butuh penjelasanmu!” Violet membuang muka. Saat itulah dia menyadari bahwa ada berpasang-pasang mata memperhatikan mereka berdua. Rasa jengah dan malu menerjangnya. Karena itu, dia berusaha menarik kaki kirinya.“Quinn, lepaskan kakiku! Lihat, kita sudah menjadi tontonan orang,” desah Violet gugup.Quinn tak peduli. “Biarkan saja! Kenapa harus meributkan pendapat orang, sih? Violet Sayang, kita punya banyak masalah
Quinn mendekap Violet dengan penuh perasaan. Mata lelaki itu terpejam, meresapi perasaan bahagia yang sedang berkecamuk di dadanya. Dia tak peduli kendati saat ini mereka sedang berada di sebuah acara resepsi. Quinn juga tak ambil pusing jika Jeffry mendadak kembali dan meninjunya tanpa permisi. Pria itu hanya ingin menikmati momen luar biasa yang sama sekali tak terduga ini.“Quinn, orang-orang menjadikan kita tontonan,” bisik Violet dengan suara lirih. Namun gadis itu tak merenggangkan pelukannya. Jari-jari Violet bertaut di pinggang belakang Quinn.“Biarkan saja. Tolong jangan buru-buru menyuruhku melepaskanmu, Vi. Aku sedang luar biasa bahagia dan tak mau ada yang mengganggu. Aku benar-benar ingin menikmati saat-saat ini.”Violet tertawa kecil. “Kenapa?”“Karena ini adalah akhir dari penantianku selama ini. Menderita berbulan-bulan, aku lega karena seperti inilah akhirnya. Semuanya tidak ada yang sia-sia, sepa
Wynona memasuki masa berkabung karena patah hati tanpa air mata atau kesedihan yang berlarut-larut. Kendati berpisah dari David setelah hubungan selama sembilan tahun, tetap saja bukan hal yang mudah untuk dihadapi. Akhir hubungan mereka begitu tak menyenangkan karena sikap David dan keluarganya. Namun Wynona makin yakin dia sudah mengambil keputusan yang tepat.Ada beberapa sebab, tak cuma melulu “dosa” David saja, melainkan juga kesalahan Wynona. Sejak malam itu, David bahkan tak berusaha menghubungi Wynona lagi. Lelaki itu seolah menghilang begitu saja. Sembilan tahun yang mereka miliki bersama-sama, tak penting. Wynona pun tampaknya dianggap bukan lagi perempuan yang pantas untuk diperjuangkan.Sementara dari sisinya, Wynona kian yakin bahwa perasaannya pada David sudah benar-benar tawar. Hatinya sudah berubah. Gadis itu tak keberatan disalahkan karena seolah memberi peluang pada Leon untuk masuk dalam hidupnya.Dia tak akan menampik hal itu. Nam
Kata-kata yang dilontarkan orangtua Leon itu membuat Wynona benar-benar merasa dihargai. Dia tak bisa mencegah rasa haru menusuk-nusuk dadanya. Namun. Tentu saja dia tak boleh menangis lagi di sini. Sudah cukup air mata yang ditumpahkannya hari ini.“Wyn, mau main ludo atau halma?” Suara erangan terdengar dari berbagai arah sebagai respon untuk kata-kata Anton. Lelaki itu menunjukkan ekspresi tak berdosa saat membela diri. “Papa kan belum pernah main ular tangga dengan Wynona.”“Tolong Pa, kreatiflah sedikit. Setiap tamu selalu diajak main halma atau ludo. Apa tidak ada yang lain?” gerutu Trisa. Lalu, perempuan itu bicara pada tamunya. “Wyn, kapan kamu bisa mengirim daftar belanjaan untuk minggu depan? Lebih cepat lebih baik, kan?”“Iya Kak, aku akan menyiapkan daftarnya secepatnya. Besok atau paling telat lusa,” janji Wynona.Trisa mengangguk senang. “Mungkin sehari sebelum acara, akan leb
“Tidak apa-apa. Walau sebenarnya aku ke sini cuma ingin bertemu Om, Tante, dan Kakak,” sahut Wynona. “Agak pesimis juga awalnya, karena menurut Leon, Kakak nggak tinggal di sini.”Trisa tersenyum lebar. “Begitulah kalau menjadi anak perempuan satu-satunya. Kalau aku nggak datang selama beberapa hari, pasti ada yang menelepon. Kalau tidak Mama, Papa, kadang asisten rumah tangga. Ada saja alasan yang diajukan. Yang terbanyak sih, Nadya. Padahal, mereka itu merindukanku,” kelakarnya.“Hahah, aku jadi sangat iri. Aku juga anak perempuan satu-satunya tapi tak ada yang merindukanku seperti itu.”Trisa menatap Wynona sungguh-sungguh. “Aku justru yang iri dengan kemampuan memasakmu, Wyn! Aku semur hidup cuma bisa memasak nasi goreng. Itu pun menggunakan bumbu instan. Kemampuan memasakku nol besar. Padahal Mama jago di dapur. Dan kami terbiasa dimanjakan dengan masakannya.”Setelah kembali ke ruang tamu,
Wynona hampir menabrak dada seseorang saat membalikkan tubuh. Sendok kayu yang dipegangnya, jatuh ke lantai. Tangan kanannya memegang dadaku, seakan dengan begitu rasa kaget gadis itu akan berkurang jauh.“Syukurlah kamu baik-baik saja,” gumamnya dengan ekspresi lega tergambar jelas. Leon pasti tidak pernah tahu kalau Wynona pun tak kalah lega melihatnya.“Kamu mengagetkanku,” bibir Wynona cemberut. Dia hendak berjongkok memungut sendok kayu, tapi Leon bergerak lebih cepat dan menaruh benda itu di wastafel.“Dapurnya indah. Aku suka,” puji Wynona. “Sebentar, aku harus memindahkan mi-nya dulu.”“Butuh mangkuk besar?” Leon membuka sebuah pintu kabinet di bagian atas dan mengeluarkan sebuah mangkuk kaca transparan. “Apakah ini cukup?”Wynona mengangguk. Dengan gerakan hati-hati, dia menyusun mi, kol, dan telur rebus yang sudah dipotong-potong. Saat hendak menua
David menatap Wynona tak percaya. Kemarahan tergambar di setiap gerak tubuhnya. “Putus? Kenapa kamu terlalu cepat mengambil keputusan?”Gadis itu menggeleng. “Ini bukan keputusan yang terburu-buru. Selama ini, aku hanya tidak berani mengakui kenyataan.”“Wynona!”Gadis itu menatap wajah David dengan perasaan campur aduk. Betapa lelaki ini pernah membuat hati Wynona berpesta karena cintanya. Betapa David pernah menjadi orang terpenting dalam hidup gadis itu. Betapa Wynona pernah sangat ingin mengubah dirinya agar menjadi sosok paling diinginkan dalam hidup lelaki ini. Itulah kuncinya, pernah. Artinya, itu sudah berlalu lama, sebelum gadis itu akhirnya diterpa kesadaran. Terlambat, tapi Wynona tidak menilainya sebagai sebuah kefatalan. Dia tidak menyesali semuanya. Gadis itu hanya menganggap semua ini sebagai proses panjang yang mendewasakan.“Wyn, jangan cuma karena masalah ini, hubungan kita m
“Wyn,” David menjajari langkah kekasihnya. Sementara Wynona berusaha berjalan lebih cepat. Dia hampir mencapai pintu gerbang ketika David berhasil meraih lenganku.“Apa kamu tidak mendengarku?” tanyanya marah. Ekspresinya berubah keras.“Aku cuma ingin pulang. Aku tidak mau dihina lagi.”David menggelengkan kepalanya. “Mama hanya ingin tahu tentang kamu.”Wynona menatap David dengan tajam. Andai bisa, dia ingin mengguncang tubuhnya David dan meniupkan kesadaran di benaknya agar lelaki ini melihat fakta yang sebenarnya.“Vid, mamamu tidak menyukaiku. Sampai kapan pun akan tetap seperti itu. Percayalah, tidak akan ada yang berubah. Dan aku tidak nyaman diperlakukan seperti tadi.”David masih memegang lengan Wynona. “Aku tidak mengizinkanmu pulang. Nanti aku akan mengantarmu, Wyn! Sekarang, ayo kita masuk ke dalam lagi,” ajaknya.Wynona menggeleng tegas seraya melepa
Wynona tersenyum kecil menanggapi gurauannya. David nyaris tidak pernah antusias menikmati masakanku. Gadis itu mengitari ruang tamu yang luas itu dengan tatapannya. Ada belasan perempuan paruh baya yang bergaya trendi. Juga ada beberapa gadis muda yang usianya tak jauh beda dengan Wynona. Aneka aroma parfum mahal menyengat hidung. Membuat campuran aneh yang memusingkan kepala Wynona. Semua orang sibuk berbincang seraya menikmati aneka makanan yang tampak lezat. Gadis itu tidak melihat kehadiran ayah dan saudara David lainnya.Irene mendekat ke arah Wynona, Sofia, dan David yang duduk di sebuah sofa panjang. Perempuan itu memilih sofa tunggal di depan mereka. Wynona baru ingat, dia sama sekali tidak diperkenalkan dengan tamu yang ada.“Ma, coba cicipi ini.” Sofia menyodorkan sepotong kecil pie yang dibawa Wynona. Irene menggigit ujungnya sedikit. Entah mengapa, Wynona menjadi tegang karenanya.“Enak,” ujarnya. Namun dia menolak m
Wynona mendesah. “Kukira kamu akan memberiku usul yang masuk akal. Kamu kan tahu apa yang terjadi padaku saat resepsi? Kenapa kamu masih bisa mengusulkan ini?”“Wyn, aku tidak ingin melihatmu sedih atau terluka. Akan tetapi, ada kalanya kita harus berhadapan dengan kepahitan untuk mengetahui apa sebenarnya kebenaran di baliknya. Kalau kamu tidak mau bertemu mamanya David, apa masalah kalian akan selesai? Bukannya malah membuat semuanya menjadi makin rumit?”Wynona mengerutkan alis. “Aku tidak mengerti maksudmu.”Gadis itu mendengar suara tawa ringan di seberang.“Menghindar pasti lebih mudah. Tapi, apa kamu tidak penasaran ingin tahu bagaimana sebenarnya sikap keluarga David? Maksudku, mamanya. Kamu butuh kesempatan untuk bisa menilai dengan objektif. Dan menurutku, ini saat yang tepat.”Wynona tercenung mendengarnya. Keheningan menyergap selama sesaat.Leon bicara lagi. “Sebenarnya
Wynona masih berada di dalam kepungan kabut membingungkan sebagai efek dari kata dan tindakan Leon. Dia masih belum bisa berpikir dengan jernih untuk tahu apa yang sebenarnya diinginkan. Semuanya serba membingungkan. Seakan Wynona berada di sebuah labirin paling rumit di dunia.Lalu, David menghubunginya setelah berhari-hari menghilang tanpa kabar. “Wyn, apa kamu baik-baik saja?” tanyanya penuh perhatian.“Ya,” dusta Wynona sembari menggigit bibir.“Aku minta maaf untuk berbagai masalah di antara kita. Tapi aku ingin menyelesaikannya satu per satu.” Jeda beberapa detik. “Mama ingin bertemu denganmu. Nanti malam bisa?”Wynona benar-benar tak siap dengan permintaan itu. “Nanti malam?”“Iya. Apa kamu tidak bisa? Ada pekerjaan?”“Aku....”Jawaban Wynona belum tuntas tapi sudah menukas dan mendesak. “Tolong luangkan waktu, ya? Aku tidak enak kalau har