Berhari-hari kemudian, masalah Nindy masih menghantui pikiran Violet. Diam-diam perempuan itu mengutuki kebiasaannya menonton serial kriminal yang banyak mengangkat masalah seperti ini. Hal itu membuatnya tahu kalau pelaku kekerasan akan sangat sulit disembuhkan. Tidak ada namanya “hidayah” tiba-tiba yang mengubah perilakunya. Harus ada pertolongan dari sang ahli, psikolog atau psikiater. Tidak ada jalan instan.
Namun akhirnya kesibukan pekerjaan mengambil banyak fokus. Saat ini, perusahaan tempatnya bekerja sedang membuka banyak lowongan kerja. Dan Nindy menjadi salah satu orang yang harus memeriksa dengan detail setumpuk lamaran pekerjaan di atas meja kerjanya. Amplop besar dan map yang kian meninggi saja setiap harinya.
Saat pulang kantor di hari Jumat itu, Violet menghitung sudah berapa lama dia tidak bertemu Jeffry. Ternyata sudah berlalu nyaris seminggu. Jeffry akhirnya berhenti menelepon dan mengiriminya pesam via WhatsApp. Hal itu membuat Violet ten
Violet mendorong troli berukuran sedang. Hari ini dia harus membeli perlengkapan mandi, teh, gula, dan camilan. Sejenak, gadis mampir di rak majalah dan melihat-lihat beberapa tabloid dan majalah wanita yang makin sedikit saja jumlahnya. Belakangan ini, banyak majalah dan tabloid terkenal yang terpaksa menghentikan produksinya dan beralih menjadi media online. Di antara beberapa pilihan yang tersisa, tidak ada yang mampu menarik minatnya.“Violet?” sapa seseorang. Violet mengernyitkan dahi sebelum membalikkan tubuhnya. Suara yang diyakininya milik seorang lelaki itu terdengar berat dan agak serak.“Quinn?”Lelaki yang berdiri di depan Violet itu tersenyum lembut. Seingat Violet, Quinn tidak setinggi ini. Namun saat mereka berdiri berhadapan begini, dirinya mendadak menjelma menjadi liliput. Mata Violet hanya sejajar dengan dada bidang kekasih Eirene ini.“Kamu suka belanja di sini?” Violet menatap keranjang jin
Sabtu paginya Violet dikejutkan dengan kedatangan Jeffry ke tempat indekosnya. Lelaki itu tiba dengan dua porsi ketupat sayur padang yang cukup disukai Violet dan menunggunya di gazebo.Violet sebenarnya belum siap melihat Jeffry lagi. Namun dia tidak tega membiarkan pria itu sendirian. Bagaimanapun, hingga detik ini mereka masih sepasang kekasih. Karena itu, dia tak membiarkan Jeffry menunggu terlalu lama. Apalagi lelaki itu cuma duduk sendirian karena tak ada yang menemani. Kelly atau Wynona yang biasanya paling rajin mengobrol dengan Jeffry, sedang memiliki agenda masing-masing. Kelly dijemput Sherwin sejak pukul setengah tujuh. Sementara Wynona sepertinya malah masih tidur.Entah kenapa, ketupat sayur yang biasanya sangat enak itu justru terasa hambar di lidah Violet. Apakah perasaan kesalnya turut mempengaruhi indera perasanya? Entahlah. Dia dan Jeffry menyantap menu sarapan itu dalam keheningan.Diam yang canggung sempat menyebar di udara, membuat Violet m
Violet menelan ludah dengan susah payah. Jeffry benar, tidak mudah mendengar keterusterangannya meski pria itu sudah minta maaf. Seakan ada yang menggumpal dan menyumbat tenggorokanmu begitu saja. Itulah yang dirasakan Violet saat ini. Kepalanya bahkan terasa berputar, tubuhnya seakan terangkat dari tempat duduknya begitu saja.“Vi, bicaralah! Jangan diam saja! Aku benar-benar tersiksa karena tidak bertemu kamu. Aku tidak mau seperti ini lagi. Aduh, tidak enak sekali pokoknya! Sudah cukup ya?” bujuk Jeffry. “Pokoknya, aku betuk-betul minta maaf karena sudah membuatmu merasa nggak dihargai. Padahal, aku sama sekali tak pernah bermaksud begitu.”Ekspresi Violet masih datar. Wajahnya tidak berubah sama sekali meski mendengar kata-kata dan suara penuh pemohonan dari Jeffry. Dia hanya diam sambil terus menatap kekasihnya.“Violet, kamu mau menyiksaku sampai kapan? Pokoknya, aku tidak mau lagi seperti ini. Aku akan berusaha berubah. Asal
Jeffry hanya bertahan tidak jelalatan selama dua minggu. Selanjutnya, kembali mulai melirik tiap kali ada makhluk cantik atau seksi di sekitarnya. Tentu saja semua itu dilakukan dengan diam-diam agar tidak tertangkap basah oleh sang kekasih. Namun, Violet akhirnya menyadari hal tersebut dan merasa tak bisa berbuat banyak. Ya, dia tak mungkin mengubah Jeffry dalam waktu singkat. Kini, perempuan itu memilih pendekatan yang berbeda. Dia tak langsung memarahi kekasihnya dengan frontal. Violet mencoba bersabar.Bagaimanapun, Jeffry sudah mencoba dan itu layak mendapat apresiasi. Pelan-pelan Violet akan bicara dengan kekasihnya. Bukankah Jeffry memintanya untuk mengingatkan lelaki itu? Maka, Violet tak keberatan untuk melakukan hal tersebut.Namun, tampaknya ada perkembangan baru yang membuat Violet kian gemas. Belakangan, terjadi sesuatu yang tak bisa dikontrol gadis itu. Masuknya nama Eirene dalam hubungan mereka.Awalnya, Violet tidak terlalu memperhatikan bahwa be
Entah karena menganggap sikap Violet telah melunak atau yakin kekasihnya tak lagi keberatan, nama Eirene mulai muncul dalam perbincangan. Di banyak kesempatan, Jeffry tak lagi canggung menyebut nama gadis cantik yang sudah memiliki kekasih itu.“Eirene itu sangat suka naik gunung. Dulu, dia selalu mengikuti kami saat mendaki.”“Oh ya?” Violet berpura-pura tertarik. Dia tak pernah menyukai aktivitas seperti itu.“Belakangan aku baru tahu kalau setelah kuliah, Eirene cukup sering ditawari jadi model, Vi! Tapi sepertinya dia tidak tertarik. Eireen memang sangat berubah. Maksudku, penampilannya. Kalau dulu kamu lihat bagaimana Eirene saat SMU, pasti sangat kaget melihatnya sekarang. Dulu dia gendut dan berjerawat.”Dalam banyak kesempatan, nama Eirene seakan mantra wajib yang harus dilantunkan Jeffry. Perempuan mana yang suka saat pacarnya malah membahas dan memuji-muji gadis lain?“Jeff, kenapa sih dalam setia
“Setuju,” kata Marco. “Aku sempat ragu-ragu, Nef. Pengin ngomong sama kamu tapi takutnya nggak dapat respons seperti keinginan. Tapi kalau diam aja, rasanya kok terlalu menderita. Kadang, ternyata kita butuh dorongan dari orang-orang sekitar supaya lebih optimis dan berani ambil risiko. Paling nggak, itu yang kurasain.”Aku mengulum senyum sambil memandang berkeliling. “Kita ini pasangan yang mengenaskan. Ngomongin soal perasaan di warung tenda yang lumayan rame.”“Ya nggak apa-apa, Nef. Memang kita kayak begini, mau diapain?” sahut Marco.Mi rebus pesanan kami baru saja diletakkan di atas meja. Mi dengan tauge, tahu goreng, dan telur rebus itu disiram dengan kaldu udang yang harum bukan main. Mi rebus itu juga dilengkapi dengan bakwan udang yang sangat enak.Di luar, suara guntur kembali terdengar. Namun, hujan belum turun sama sekali. “Kayaknya kita nggak bisa lama-lama di sini, takut hujan,” u
“Siapa, Vi? Jeffry lagi? Bukannya dia baru pulang?” Kelly keluar dari kamarnya, mendekat ke arah gazebo. Sedetik kemudian, pintu kamar yang dihuni Theta juga terbuka. Gadis itu mengekori Kelly. “Kamu kenapa duduk sendirian di situ? Tumben nggak merusuh di kamarku,” tanya Kelly dengan nada gurau.“Itu Jeffry?” Tetha mengulangi pertanyaan Kelly tadi.“Bukan Jeffry,” balas Violet. Tatapannya terarah ke SUV itu. Pintu mobil terbuka dan Quinn melangkah keluar. Lelaki itu mengenakan jins berwarna abu-abu dan kaus vintage dengan gambar mobil kuno di bagian depan.“Vi, itu bukan dewa yunani yang sedang iseng turun ke bumi, kan?” Tetha berdiri di dekat kursi yang diduduki Violet. Gadis itu hanya mengenakan tanktop dan celana pendek. Melihat itu, Violet segera tersadar dengan penampilannya. Dia hanya memakai celana longgar yang panjangnya sedikit di atas lutut dan kaus tanpa lengan yang biasa di
“Jadi, kita bisa makan sekarang? Terus terang saja, aku lapar sekali,” Quinn menunjuk perutnya sendiri.“Baiklah. Aku mengizinkanmu makan,” gurau Violet.Untuk sementara, Violet menekan rasa ingin tahunya sekuat tenaga. Begitu isi sendok pertama berpindah ke rongga mulutnya, rasa lezat segera berpesta di sana. Gadis itu mengunyah dengan gerakan perlahan, seakan ingin menikmati tiap cita rasa yang dikecap oleh lidahnya. Nasi goreng dengan suwiran ayam berbumbu itu memang nikmat.“Enak?” tanya Quinn.Violet mengangguk. “Sangat enak. Kamu beli di mana, sih? Aku belum pernah makan nasi goreng ini.”“Di dekat tempat indekos lamaku. Di daerah Jalan Baru.”Violet terbelalak. “Lumayan jauh. Kamu masih kos di sekitar sana?”Quinn menggeleng. Pria itu mengunyah sisa makanan di mulutnya sebelum menjawab. “Sekarang aku tinggal di mes yang disediakan kantor. Nggak jauh d
Wynona memasuki masa berkabung karena patah hati tanpa air mata atau kesedihan yang berlarut-larut. Kendati berpisah dari David setelah hubungan selama sembilan tahun, tetap saja bukan hal yang mudah untuk dihadapi. Akhir hubungan mereka begitu tak menyenangkan karena sikap David dan keluarganya. Namun Wynona makin yakin dia sudah mengambil keputusan yang tepat.Ada beberapa sebab, tak cuma melulu “dosa” David saja, melainkan juga kesalahan Wynona. Sejak malam itu, David bahkan tak berusaha menghubungi Wynona lagi. Lelaki itu seolah menghilang begitu saja. Sembilan tahun yang mereka miliki bersama-sama, tak penting. Wynona pun tampaknya dianggap bukan lagi perempuan yang pantas untuk diperjuangkan.Sementara dari sisinya, Wynona kian yakin bahwa perasaannya pada David sudah benar-benar tawar. Hatinya sudah berubah. Gadis itu tak keberatan disalahkan karena seolah memberi peluang pada Leon untuk masuk dalam hidupnya.Dia tak akan menampik hal itu. Nam
Kata-kata yang dilontarkan orangtua Leon itu membuat Wynona benar-benar merasa dihargai. Dia tak bisa mencegah rasa haru menusuk-nusuk dadanya. Namun. Tentu saja dia tak boleh menangis lagi di sini. Sudah cukup air mata yang ditumpahkannya hari ini.“Wyn, mau main ludo atau halma?” Suara erangan terdengar dari berbagai arah sebagai respon untuk kata-kata Anton. Lelaki itu menunjukkan ekspresi tak berdosa saat membela diri. “Papa kan belum pernah main ular tangga dengan Wynona.”“Tolong Pa, kreatiflah sedikit. Setiap tamu selalu diajak main halma atau ludo. Apa tidak ada yang lain?” gerutu Trisa. Lalu, perempuan itu bicara pada tamunya. “Wyn, kapan kamu bisa mengirim daftar belanjaan untuk minggu depan? Lebih cepat lebih baik, kan?”“Iya Kak, aku akan menyiapkan daftarnya secepatnya. Besok atau paling telat lusa,” janji Wynona.Trisa mengangguk senang. “Mungkin sehari sebelum acara, akan leb
“Tidak apa-apa. Walau sebenarnya aku ke sini cuma ingin bertemu Om, Tante, dan Kakak,” sahut Wynona. “Agak pesimis juga awalnya, karena menurut Leon, Kakak nggak tinggal di sini.”Trisa tersenyum lebar. “Begitulah kalau menjadi anak perempuan satu-satunya. Kalau aku nggak datang selama beberapa hari, pasti ada yang menelepon. Kalau tidak Mama, Papa, kadang asisten rumah tangga. Ada saja alasan yang diajukan. Yang terbanyak sih, Nadya. Padahal, mereka itu merindukanku,” kelakarnya.“Hahah, aku jadi sangat iri. Aku juga anak perempuan satu-satunya tapi tak ada yang merindukanku seperti itu.”Trisa menatap Wynona sungguh-sungguh. “Aku justru yang iri dengan kemampuan memasakmu, Wyn! Aku semur hidup cuma bisa memasak nasi goreng. Itu pun menggunakan bumbu instan. Kemampuan memasakku nol besar. Padahal Mama jago di dapur. Dan kami terbiasa dimanjakan dengan masakannya.”Setelah kembali ke ruang tamu,
Wynona hampir menabrak dada seseorang saat membalikkan tubuh. Sendok kayu yang dipegangnya, jatuh ke lantai. Tangan kanannya memegang dadaku, seakan dengan begitu rasa kaget gadis itu akan berkurang jauh.“Syukurlah kamu baik-baik saja,” gumamnya dengan ekspresi lega tergambar jelas. Leon pasti tidak pernah tahu kalau Wynona pun tak kalah lega melihatnya.“Kamu mengagetkanku,” bibir Wynona cemberut. Dia hendak berjongkok memungut sendok kayu, tapi Leon bergerak lebih cepat dan menaruh benda itu di wastafel.“Dapurnya indah. Aku suka,” puji Wynona. “Sebentar, aku harus memindahkan mi-nya dulu.”“Butuh mangkuk besar?” Leon membuka sebuah pintu kabinet di bagian atas dan mengeluarkan sebuah mangkuk kaca transparan. “Apakah ini cukup?”Wynona mengangguk. Dengan gerakan hati-hati, dia menyusun mi, kol, dan telur rebus yang sudah dipotong-potong. Saat hendak menua
David menatap Wynona tak percaya. Kemarahan tergambar di setiap gerak tubuhnya. “Putus? Kenapa kamu terlalu cepat mengambil keputusan?”Gadis itu menggeleng. “Ini bukan keputusan yang terburu-buru. Selama ini, aku hanya tidak berani mengakui kenyataan.”“Wynona!”Gadis itu menatap wajah David dengan perasaan campur aduk. Betapa lelaki ini pernah membuat hati Wynona berpesta karena cintanya. Betapa David pernah menjadi orang terpenting dalam hidup gadis itu. Betapa Wynona pernah sangat ingin mengubah dirinya agar menjadi sosok paling diinginkan dalam hidup lelaki ini. Itulah kuncinya, pernah. Artinya, itu sudah berlalu lama, sebelum gadis itu akhirnya diterpa kesadaran. Terlambat, tapi Wynona tidak menilainya sebagai sebuah kefatalan. Dia tidak menyesali semuanya. Gadis itu hanya menganggap semua ini sebagai proses panjang yang mendewasakan.“Wyn, jangan cuma karena masalah ini, hubungan kita m
“Wyn,” David menjajari langkah kekasihnya. Sementara Wynona berusaha berjalan lebih cepat. Dia hampir mencapai pintu gerbang ketika David berhasil meraih lenganku.“Apa kamu tidak mendengarku?” tanyanya marah. Ekspresinya berubah keras.“Aku cuma ingin pulang. Aku tidak mau dihina lagi.”David menggelengkan kepalanya. “Mama hanya ingin tahu tentang kamu.”Wynona menatap David dengan tajam. Andai bisa, dia ingin mengguncang tubuhnya David dan meniupkan kesadaran di benaknya agar lelaki ini melihat fakta yang sebenarnya.“Vid, mamamu tidak menyukaiku. Sampai kapan pun akan tetap seperti itu. Percayalah, tidak akan ada yang berubah. Dan aku tidak nyaman diperlakukan seperti tadi.”David masih memegang lengan Wynona. “Aku tidak mengizinkanmu pulang. Nanti aku akan mengantarmu, Wyn! Sekarang, ayo kita masuk ke dalam lagi,” ajaknya.Wynona menggeleng tegas seraya melepa
Wynona tersenyum kecil menanggapi gurauannya. David nyaris tidak pernah antusias menikmati masakanku. Gadis itu mengitari ruang tamu yang luas itu dengan tatapannya. Ada belasan perempuan paruh baya yang bergaya trendi. Juga ada beberapa gadis muda yang usianya tak jauh beda dengan Wynona. Aneka aroma parfum mahal menyengat hidung. Membuat campuran aneh yang memusingkan kepala Wynona. Semua orang sibuk berbincang seraya menikmati aneka makanan yang tampak lezat. Gadis itu tidak melihat kehadiran ayah dan saudara David lainnya.Irene mendekat ke arah Wynona, Sofia, dan David yang duduk di sebuah sofa panjang. Perempuan itu memilih sofa tunggal di depan mereka. Wynona baru ingat, dia sama sekali tidak diperkenalkan dengan tamu yang ada.“Ma, coba cicipi ini.” Sofia menyodorkan sepotong kecil pie yang dibawa Wynona. Irene menggigit ujungnya sedikit. Entah mengapa, Wynona menjadi tegang karenanya.“Enak,” ujarnya. Namun dia menolak m
Wynona mendesah. “Kukira kamu akan memberiku usul yang masuk akal. Kamu kan tahu apa yang terjadi padaku saat resepsi? Kenapa kamu masih bisa mengusulkan ini?”“Wyn, aku tidak ingin melihatmu sedih atau terluka. Akan tetapi, ada kalanya kita harus berhadapan dengan kepahitan untuk mengetahui apa sebenarnya kebenaran di baliknya. Kalau kamu tidak mau bertemu mamanya David, apa masalah kalian akan selesai? Bukannya malah membuat semuanya menjadi makin rumit?”Wynona mengerutkan alis. “Aku tidak mengerti maksudmu.”Gadis itu mendengar suara tawa ringan di seberang.“Menghindar pasti lebih mudah. Tapi, apa kamu tidak penasaran ingin tahu bagaimana sebenarnya sikap keluarga David? Maksudku, mamanya. Kamu butuh kesempatan untuk bisa menilai dengan objektif. Dan menurutku, ini saat yang tepat.”Wynona tercenung mendengarnya. Keheningan menyergap selama sesaat.Leon bicara lagi. “Sebenarnya
Wynona masih berada di dalam kepungan kabut membingungkan sebagai efek dari kata dan tindakan Leon. Dia masih belum bisa berpikir dengan jernih untuk tahu apa yang sebenarnya diinginkan. Semuanya serba membingungkan. Seakan Wynona berada di sebuah labirin paling rumit di dunia.Lalu, David menghubunginya setelah berhari-hari menghilang tanpa kabar. “Wyn, apa kamu baik-baik saja?” tanyanya penuh perhatian.“Ya,” dusta Wynona sembari menggigit bibir.“Aku minta maaf untuk berbagai masalah di antara kita. Tapi aku ingin menyelesaikannya satu per satu.” Jeda beberapa detik. “Mama ingin bertemu denganmu. Nanti malam bisa?”Wynona benar-benar tak siap dengan permintaan itu. “Nanti malam?”“Iya. Apa kamu tidak bisa? Ada pekerjaan?”“Aku....”Jawaban Wynona belum tuntas tapi sudah menukas dan mendesak. “Tolong luangkan waktu, ya? Aku tidak enak kalau har