Tiga tahun yang lalu.
Duncan Caldwell sedang bicara di gawainya dengan nada riang yang dipenuhi cinta. Respons dari lawan bicaranya membuat lelaki itu tak henti merekahkan senyum. Taksi yang ditumpanginya masih membelah jalan tol yang tetap ramai di pagi buta itu.
Hari ini, dia akan bertolak menuju Australia, tepatnya di kota Melbourne. Laki-laki itu mendapat kesempatan untuk menyaksikan secara langsung seri pembuka Formula One di sirkuit Albert Park. Duncan tumbuh besar dengan menemani ayahnya menonton kehebatan Michael Schumacher di lintasan dan melibas lawan-lawannya tanpa ampun. Tanpa terduga, itulah yang menumbuhkan kecintaannya pada balapan jet darat dan Herr Schumacher.
Sembari mendengarkan kekasihnya bicara di telepon, Duncan memeriksa arlojinya. Penerbangannya masih sekitar empat jam lagi. Namun dia terbiasa sudah hadir di bandara jauh sebelum jam keberangkatan. Apalagi jika harus bepergian ke luar negeri.
“Maaf ya, aku menelepon terlalu pa
“Hahaha, sebenarnya itu maksudku, Sis,” Duncan tergelak. Nina selalu bisa membuatnya merasa terhibur. Sepanjang adiknya tidak berada dalam mode si tukang ikut campur yang menyebalkan itu. “Boleh tahu kenapa kalian putus dan kamu nggak kelihatan sedih sama sekali? Pasti ada alasannya, kan?”“Aku memergokinya selingkuh. Basi dan mainstream, ya? Kenapa aku bukannya memergoki Troy saat konsultasi ke spesialis kandungan karena ternyata dia perempuan dan sedang hamil? Pasti itu lebih seru.” Nina mengangkat bahu. “Sudah ah, aku nggak mau membahas soal dia lagi. Sama sekali tidak penting. Buanglah mantan pada tempatnya, Bro.”Sejak awal, Duncan sudah melihat gelagat jika Troy bukan orang yang setia. Sebagai sesama pria, tak sulit melihat tanda-tanda ke arah sana. Cara Troy memerhatikan gadis lain saat mereka mengobrol, cukup menggangu Duncan. Meski dia baru dua kali bertemu lelaki itu. Duncan pernah mengingatkan Nina den
Duncan tergelak, lumayan terhibur dengan kalimat temannya. Sebenarnya, andai Felix dan Nina benar-benar saling tertarik pun, dia tak punya alasan untuk merasa keberatan. Felix memang memiliki daftar panjang sekelompok mantan pacar, tak terlalu jauh berbeda dengan Nina. Meski demikian, bukan berarti Felix tipe pria yang suka mendua. Felix setia, tapi tak pernah mau berlama-lama menyandang status single.“Aku masih belum percaya kalau sekarang kamu sudah bertunangan. Kamu bahkan belum memperkenalkanku dengan calon pengantinmu,” gurau Felix. Mendadak, Duncan merinding mendengar dua kata terakhir yang diucapkan sahabatnya dengan penuh tekanan itu. Calon pengantinmu.“Aku memang sengaja melakukannya. Karena aku nggak mau kamu melirik calon tunanganku, sampai kami benar-benar terikat,” Duncan menunjukkan cincinnya. Gurauan itu dilontarkan untuk membenamkan perasaan yang sesungguhnya.“Siapa sangka, kamu akan menika
“Pa, aku kan sudah bukan anak kecil lagi. Masa dibelikan sabun bayi, sih?” protes seorang gadis remaja pada ayahnya seraya mengembalikan sebotol sabun cair ke rak.“Tapi untuk Papa, kamu masih balita, Kak.”“Ish, balita dari mana? Dua bulan lagi aku sudah SMA, Pa,” balas si gadis dengan wajah merengut.Kelly mendengarkan dialog itu sambil menahan senyum. Jika melihat keakraban antara anggota keluarga, membuat Kelly merindukan rumah. Namun, dia paham, hidup terus berjalan dan tak henti berubah. Apalagi pekerjaan membuatnya terpaksa mengambil langkah untuk menetap di Bogor dan meninggalkan ibunya sendirian, hanya ditemani asisten rumah tangga.“Mama setuju kalau kamu indekos, Kel. Bolak-balik Bogor-Depok, apalagi setelah capek bekerja, bukan hal yang ideal. Kamu akan menghabiskan lebih banyak waktu di jalan. Kalau indekos, bisa segera istirahat sepulang kantor. Asal tempat kosnya tak terlalu jauh dari toko,” s
Sebelum berpisah, kedua gadis itu bertukar nomor ponsel. Setelahnya, Kelly menuju kasir dengan cepat. Dia tidak mau Sherwin mengomel panjang karena menunggu terlalu lama. Meski sudah berusaha menuntaskan acara belanjanya secepat mungkin, nyatanya Kelly segera berhadapan dengan wajah cemberut milik Sherwin begitu dia masuk ke dalam mobil lelaki itu.“Aku sudah menunggu hampir sepuluh menit. Kenapa kamu lama sekali, sih? Kamu harusnya tahu, aku benar-benar capek hari ini,” kritik lelaki itu.Kelly mendadak dipenuhi rasa bersalah yang bercampur kekesalan. Entah berapa kali dia menolak dijemput Sherwin tiap pulang dari belanja bulanan. Namun pria itu tidak sudi mengabulkan keinginan Kelly. Bukan apa-apa, Sherwin akan merasa kesal jika menunggu lebih dari lima menit. Kelly lebih nyaman naik angkutan umum ketimbang berhadapan dengan wajah cemberut dan gerutuan Sherwin.“Supermarketnya penuh, Win. Maklum, awal bulan. Lain kali, lebih baik aku naik ang
Duncan tahu Nuke sudah menyukainya sejak lama. Namun lelaki itu tidak berhasrat melirik gadis itu. Di masa lalu, Duncan jatuh cinta setengah mati pada Agatha, gadis yang dikenalnya pada sebuah pameran otomotif. Mereka akhirnya bersama, menjadi sepasang kekasih dengan banyak mimpi yang siap untuk diwujudkan. Hingga sebuah tragedi mengubah semuanya. Menjadikan semua asa pun mendebu.Tiga tahun lalu, arah hidup Duncan berbelok dengan drastis. Memberinya banyak kepedihan dan interpretasi baru tentang cinta. Kecelakaan itu juga merenggut Agatha yang memilih undur diri dari hidup Duncan. Lelaki itu pun sendiri, menghadapi dunianya yang mendadak terasa pengap dan gelap.“Kamu memang lebih baik sendiri ketimbang punya pasangan seperti Agatha,” komentar Nina pedas, saat tahu apa yang terjadi. “Aku tidak suka melihatmu menderita.”“Aku nggak menderita,” ralat Duncan sambil mencubit hidung adiknya. “Aku cuma putus cinta. Titik.&rdq
Setelahnya, Nuke lebih banyak memimpin obrolan. Gadis itu membahas tentang pekerjaannya sebagai bankir, rencana umrah di akhir tahun dengan keluarga besarnya, hingga tentang kakak sulungnya yang akan segera memiliki bayi.“Duncan, kenapa aku kok selalu merasa kalau Nina tidak menyukaiku, ya?”Pengakuan blak-blakan dari Nuke itu membuat pupil mata Duncan melebar. “Kenapa kamu bisa menarik kesimpulan itu? Nina menyukaimu, kok,” akunya. Tentu saja itu dusta.Nuke tersenyum lembut. Gadis itu memesona dengan mata cokelatnya yang besar, dagu runcing, serta bibir yang kemungkinan besar memenuhi standar “seksi”. Namun, bagi Duncan, semua yang dimiliki Nuke tak memberi efek apa pun baginya.“Mudah-mudahan aku keliru. Entahlah, aku merasa adikmu itu ... menjaga jarak. Nina kayaknya tidak bisa benar-benar nyaman di dekatku.”Itu kesimpulan yang baru didengar Duncan. Dia memang tahu Nina berkali-kali mempertanyak
Kelly membantu gadis bernama Gina itu untuk mengenakan gaun keempat yang dipilihnya. Peplum dress bersiluet A-Line tanpa lengan dengan garis leher berbentuk sweetheart itu dipercantik dengan hiasan kristal swarovski dan berlian buatan di pinggang kiri. Sebelumnya, Gina sudah mencoba sebuah trumpet gown dan dua buah ball gown. Namun tampaknya belum ada yang mampu mencuri hati sang calon mempelai. “Trumpet gown malah bikin semua lemak di perut saya jadi terlihat jelas,” kelakar Gina tadi. “Sementara dua ball gown favorit, justru kurang cocok dengan bentuk tubuh saya. Padahal, saya selalu bermimpi mengenakan ball gown saat resepsi. Mudah-mudahan gaun keempat ini hasilnya lebih baik,” harapnya. Kelly merapikan kerutan di bagian lengan kiri Gina sebelum mengangguk puas. “Sudah, Mbak. Sekarang, Mbak bisa menilai sendiri,” tunjuknya ke arah cermin di ruang ganti itu. Gina sempat memejamkan mata sejenak s
Kelly memekik pelan sebelum tangan kanannya menutup mulut. Matanya membulat. “Kamu tidak bercanda, kan? Karena kalau iya, aku tidak akan bisa memaklumi keisengan seperti ini. Sumpah! Terlalu jahat kalau kamu cuma sekadar bercanda,” kicaunya.“Memangnya kapan aku mengisengimu untuk masalah serius seperti ini?” Cilla bersandar di kursinya yang tinggi. Kedua tangannya diletakkan di lengan kursi. “Aku tahu kamu sedang pusing. Tebakanku, pasti berhubungan dengan Sherwin. Dan itu sudah terjadi berminggu-minggu. Jadi, lebih baik kamu berlibur untuk menenangkan diri. Seminggu.”Kelly mendadak tidak nyaman saat Cilla menyinggung nama Sherwin. Mereka kerap berselisih pandang jika sudah berhubungan dengan laki-laki itu. Cilla tidak ragu mengungkapkan ketidaksetujuannya saat Kelly memutuskan menerima lamaran Sherwin beberapa bulan yang lalu.“Aku tidak pusing karena Sherwin,” elak Kelly sambil menggeleng.“Tersera
Wynona memasuki masa berkabung karena patah hati tanpa air mata atau kesedihan yang berlarut-larut. Kendati berpisah dari David setelah hubungan selama sembilan tahun, tetap saja bukan hal yang mudah untuk dihadapi. Akhir hubungan mereka begitu tak menyenangkan karena sikap David dan keluarganya. Namun Wynona makin yakin dia sudah mengambil keputusan yang tepat.Ada beberapa sebab, tak cuma melulu “dosa” David saja, melainkan juga kesalahan Wynona. Sejak malam itu, David bahkan tak berusaha menghubungi Wynona lagi. Lelaki itu seolah menghilang begitu saja. Sembilan tahun yang mereka miliki bersama-sama, tak penting. Wynona pun tampaknya dianggap bukan lagi perempuan yang pantas untuk diperjuangkan.Sementara dari sisinya, Wynona kian yakin bahwa perasaannya pada David sudah benar-benar tawar. Hatinya sudah berubah. Gadis itu tak keberatan disalahkan karena seolah memberi peluang pada Leon untuk masuk dalam hidupnya.Dia tak akan menampik hal itu. Nam
Kata-kata yang dilontarkan orangtua Leon itu membuat Wynona benar-benar merasa dihargai. Dia tak bisa mencegah rasa haru menusuk-nusuk dadanya. Namun. Tentu saja dia tak boleh menangis lagi di sini. Sudah cukup air mata yang ditumpahkannya hari ini.“Wyn, mau main ludo atau halma?” Suara erangan terdengar dari berbagai arah sebagai respon untuk kata-kata Anton. Lelaki itu menunjukkan ekspresi tak berdosa saat membela diri. “Papa kan belum pernah main ular tangga dengan Wynona.”“Tolong Pa, kreatiflah sedikit. Setiap tamu selalu diajak main halma atau ludo. Apa tidak ada yang lain?” gerutu Trisa. Lalu, perempuan itu bicara pada tamunya. “Wyn, kapan kamu bisa mengirim daftar belanjaan untuk minggu depan? Lebih cepat lebih baik, kan?”“Iya Kak, aku akan menyiapkan daftarnya secepatnya. Besok atau paling telat lusa,” janji Wynona.Trisa mengangguk senang. “Mungkin sehari sebelum acara, akan leb
“Tidak apa-apa. Walau sebenarnya aku ke sini cuma ingin bertemu Om, Tante, dan Kakak,” sahut Wynona. “Agak pesimis juga awalnya, karena menurut Leon, Kakak nggak tinggal di sini.”Trisa tersenyum lebar. “Begitulah kalau menjadi anak perempuan satu-satunya. Kalau aku nggak datang selama beberapa hari, pasti ada yang menelepon. Kalau tidak Mama, Papa, kadang asisten rumah tangga. Ada saja alasan yang diajukan. Yang terbanyak sih, Nadya. Padahal, mereka itu merindukanku,” kelakarnya.“Hahah, aku jadi sangat iri. Aku juga anak perempuan satu-satunya tapi tak ada yang merindukanku seperti itu.”Trisa menatap Wynona sungguh-sungguh. “Aku justru yang iri dengan kemampuan memasakmu, Wyn! Aku semur hidup cuma bisa memasak nasi goreng. Itu pun menggunakan bumbu instan. Kemampuan memasakku nol besar. Padahal Mama jago di dapur. Dan kami terbiasa dimanjakan dengan masakannya.”Setelah kembali ke ruang tamu,
Wynona hampir menabrak dada seseorang saat membalikkan tubuh. Sendok kayu yang dipegangnya, jatuh ke lantai. Tangan kanannya memegang dadaku, seakan dengan begitu rasa kaget gadis itu akan berkurang jauh.“Syukurlah kamu baik-baik saja,” gumamnya dengan ekspresi lega tergambar jelas. Leon pasti tidak pernah tahu kalau Wynona pun tak kalah lega melihatnya.“Kamu mengagetkanku,” bibir Wynona cemberut. Dia hendak berjongkok memungut sendok kayu, tapi Leon bergerak lebih cepat dan menaruh benda itu di wastafel.“Dapurnya indah. Aku suka,” puji Wynona. “Sebentar, aku harus memindahkan mi-nya dulu.”“Butuh mangkuk besar?” Leon membuka sebuah pintu kabinet di bagian atas dan mengeluarkan sebuah mangkuk kaca transparan. “Apakah ini cukup?”Wynona mengangguk. Dengan gerakan hati-hati, dia menyusun mi, kol, dan telur rebus yang sudah dipotong-potong. Saat hendak menua
David menatap Wynona tak percaya. Kemarahan tergambar di setiap gerak tubuhnya. “Putus? Kenapa kamu terlalu cepat mengambil keputusan?”Gadis itu menggeleng. “Ini bukan keputusan yang terburu-buru. Selama ini, aku hanya tidak berani mengakui kenyataan.”“Wynona!”Gadis itu menatap wajah David dengan perasaan campur aduk. Betapa lelaki ini pernah membuat hati Wynona berpesta karena cintanya. Betapa David pernah menjadi orang terpenting dalam hidup gadis itu. Betapa Wynona pernah sangat ingin mengubah dirinya agar menjadi sosok paling diinginkan dalam hidup lelaki ini. Itulah kuncinya, pernah. Artinya, itu sudah berlalu lama, sebelum gadis itu akhirnya diterpa kesadaran. Terlambat, tapi Wynona tidak menilainya sebagai sebuah kefatalan. Dia tidak menyesali semuanya. Gadis itu hanya menganggap semua ini sebagai proses panjang yang mendewasakan.“Wyn, jangan cuma karena masalah ini, hubungan kita m
“Wyn,” David menjajari langkah kekasihnya. Sementara Wynona berusaha berjalan lebih cepat. Dia hampir mencapai pintu gerbang ketika David berhasil meraih lenganku.“Apa kamu tidak mendengarku?” tanyanya marah. Ekspresinya berubah keras.“Aku cuma ingin pulang. Aku tidak mau dihina lagi.”David menggelengkan kepalanya. “Mama hanya ingin tahu tentang kamu.”Wynona menatap David dengan tajam. Andai bisa, dia ingin mengguncang tubuhnya David dan meniupkan kesadaran di benaknya agar lelaki ini melihat fakta yang sebenarnya.“Vid, mamamu tidak menyukaiku. Sampai kapan pun akan tetap seperti itu. Percayalah, tidak akan ada yang berubah. Dan aku tidak nyaman diperlakukan seperti tadi.”David masih memegang lengan Wynona. “Aku tidak mengizinkanmu pulang. Nanti aku akan mengantarmu, Wyn! Sekarang, ayo kita masuk ke dalam lagi,” ajaknya.Wynona menggeleng tegas seraya melepa
Wynona tersenyum kecil menanggapi gurauannya. David nyaris tidak pernah antusias menikmati masakanku. Gadis itu mengitari ruang tamu yang luas itu dengan tatapannya. Ada belasan perempuan paruh baya yang bergaya trendi. Juga ada beberapa gadis muda yang usianya tak jauh beda dengan Wynona. Aneka aroma parfum mahal menyengat hidung. Membuat campuran aneh yang memusingkan kepala Wynona. Semua orang sibuk berbincang seraya menikmati aneka makanan yang tampak lezat. Gadis itu tidak melihat kehadiran ayah dan saudara David lainnya.Irene mendekat ke arah Wynona, Sofia, dan David yang duduk di sebuah sofa panjang. Perempuan itu memilih sofa tunggal di depan mereka. Wynona baru ingat, dia sama sekali tidak diperkenalkan dengan tamu yang ada.“Ma, coba cicipi ini.” Sofia menyodorkan sepotong kecil pie yang dibawa Wynona. Irene menggigit ujungnya sedikit. Entah mengapa, Wynona menjadi tegang karenanya.“Enak,” ujarnya. Namun dia menolak m
Wynona mendesah. “Kukira kamu akan memberiku usul yang masuk akal. Kamu kan tahu apa yang terjadi padaku saat resepsi? Kenapa kamu masih bisa mengusulkan ini?”“Wyn, aku tidak ingin melihatmu sedih atau terluka. Akan tetapi, ada kalanya kita harus berhadapan dengan kepahitan untuk mengetahui apa sebenarnya kebenaran di baliknya. Kalau kamu tidak mau bertemu mamanya David, apa masalah kalian akan selesai? Bukannya malah membuat semuanya menjadi makin rumit?”Wynona mengerutkan alis. “Aku tidak mengerti maksudmu.”Gadis itu mendengar suara tawa ringan di seberang.“Menghindar pasti lebih mudah. Tapi, apa kamu tidak penasaran ingin tahu bagaimana sebenarnya sikap keluarga David? Maksudku, mamanya. Kamu butuh kesempatan untuk bisa menilai dengan objektif. Dan menurutku, ini saat yang tepat.”Wynona tercenung mendengarnya. Keheningan menyergap selama sesaat.Leon bicara lagi. “Sebenarnya
Wynona masih berada di dalam kepungan kabut membingungkan sebagai efek dari kata dan tindakan Leon. Dia masih belum bisa berpikir dengan jernih untuk tahu apa yang sebenarnya diinginkan. Semuanya serba membingungkan. Seakan Wynona berada di sebuah labirin paling rumit di dunia.Lalu, David menghubunginya setelah berhari-hari menghilang tanpa kabar. “Wyn, apa kamu baik-baik saja?” tanyanya penuh perhatian.“Ya,” dusta Wynona sembari menggigit bibir.“Aku minta maaf untuk berbagai masalah di antara kita. Tapi aku ingin menyelesaikannya satu per satu.” Jeda beberapa detik. “Mama ingin bertemu denganmu. Nanti malam bisa?”Wynona benar-benar tak siap dengan permintaan itu. “Nanti malam?”“Iya. Apa kamu tidak bisa? Ada pekerjaan?”“Aku....”Jawaban Wynona belum tuntas tapi sudah menukas dan mendesak. “Tolong luangkan waktu, ya? Aku tidak enak kalau har