Hari ini adalah hari dimana Elena kembali ke kantornya. Ia mencoba melupakan semua tentang hari kemarin, ya, bukankah ia memang sangat ahli dalam melupakan sesuatu? Di kantor, beberapa kali ia mendengar bisik-bisik dari beberapa karyawannya. Inbox dari Yogiepun semakin menjelaskan jika mereka berdua kini menjadi gosip hangat di kalangan karyawannya.
Dan, Elena tidak ingin ambil pusing. Ia tidak ingin merusak hari barunya dengan mengurusi beberapa karyawan pemalas yang hanya suka menggosip. Lebih baik ia mengurus beberapa pekerjaannya yang sempat terbengkalai.
Ponselnya yang bergetar membuyarkan semua konsentrasi Elena. Elena menggerutu kesal, apalagi ketika melihat nama orang yang terpampang di layar ponselnya.
“Halo? Kamu mau apa? Astaga, aku sibuk.” Elena berkata dengan ketus karena tahu jika orang yang sedang menghubunginya itu adalah Yogie yang pastinya hanya ingin menggodanya.
“Makan siang, Elena.”
&ld
Elena semakin memucat ketika lelaki itu berjalan ke arahnya dan juga Yogie. Oh, apa yang akan terjadi? Kenapa lelaki itu di sini? Dan astaga, jika lelaki itu di sini, berarti ‘Dia’ ada di sekitar sini.Wajah Elena jelas menampakan rasa ketakutan yang amat-sangat, dan itu membuat Yogie yang sejak tadi mememperhatikannya semakin heran dengan tingkah Elena.“Apa yang terjadi? Kamu mengenalnya?” Yogie bertanya dengan sedikit berbisik pada Elena.Elena menggeleng cepat.“Jangan bohong!”Dengan spontan Elena merangkul lengan Yogie ketika lelaki itu semakin mendekat ke arahnya. Yogie sendiri semakin heran dengan tingkah Elena yang sangat berbeda dari biasanya.“Elena, ini kamu? Apa kamu ingat aku?” tanya lelaki itu ketika sudah berada di hadapan Elena dan Yogie.Elena enggelengkan kepalanya cepat.“Aku Nanda, teman Gilang, yang saat itu sering-” Lelaki yang mengaku bernama Na
Yogie mengerutkan keningnya. “Melecehkan? Melecehkan seperti apa”“Dia selalu memuaskan hasrat seksualnya sendiri tanpa mempedulikan kesakitan yang aku alami. Dia melakukan itu hampir setiap saat ketika kami bertemu.”“Dan orang tuamu?”“Mereka tidak tahu. Mereka tentu lebih fokus dengan pekerjaan mereka. Aku sendirian.”“Kenapa kamu tidak mengadu?”“Karena dia mengancamku.” Elena mulai meneteskan air matanya meski ia tidak terisak. “Beberapa kali dia memvideokan aktivitas ranjang kami, dan kamu pikir aku bisa berbuat apa saat itu ketika dia mengancam akan menyebarkan video kami?”Yogie mengepalkan jemarinya, ia ingin memukul seseorang, si brengsek Gilang seharusnya mendapat hukuman yang setimpal dulu sebelum dia mati.“Dia sudah tidak ada, Elena, kamu sudah bebas.” desis Yogie.“Aku merasa dia masih di sekitarku.”
Elena menatap batu nisan di hadapannya. Itu benar-benar makam Gilang, dan Gilang benar-benar sudah meninggal. Astaga, Elena bahkan tidak percaya jika hal ini terjadi.“Bagaimana dia bisa pergi?” tanya Elena pada Nanda yang kini masih berdiri di sebelahnya.“Dia sedikit gila ketika tiba-tiba kamu pergi.”“Gila? Maksud kamu?”“Dia suka uring-uringan, ngomel sendiri, dan dia tidak berhenti memanggil nama kamu.” Elena tampak ngeri membayangkan hal itu.“Orang tuanya khawatir, akhirnya membawanya kepada seorang psikiater, Gilang ternyata mengalami depresi, dan dia harus di rawat.”“Dia seorang psikopat. Dia memiliki penyakit jiwa.”“Elena, kamu tidak bisa menghakiminya seperti itu.”“Tapi itulah yang kurasakan selama aku mengenalnya. Dia membuatku takut, dan hingga kini dia meninggalkan efek buruk pada diriku.”“Aku tidak tah
Elena keluar dari dalam kamar mandinya dengan wajah yang lebih segar dari sebelumnya. Setelah menunjungi makam Gilang tadi, Elena lantas berendam di dalam kamar mandinya. Pikirannya berkelana, mencerna apa yang sebenarnya terjadi.Gilang sudah benar-benar pergi meninggalkannya. Lalu sekarang apa lagi? Seharusnya ia sudah berhenti ketakutan ketika mengenang tentang masa lalu buruknya. Hanya saja, Elena tidak bisa. Ia masih takut jika hal itu terulang lagi.Elena melirik ke arah jam dindingnya. Waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore. tidak ada tanda-tanda Yogie menghubunginya. Apa lelaki itu masih marah dengannya? Yang benar saja. Harusnya ia yang marah karena lelaki itu sudah terlalu banyak tahu tentang kehidupan pribadinya.Elena mengembuskan napas dengan kasar. Yogie, lelaki itu jelas sudah mempengaruhi hidupnya. Beberapa hari terakhir lelaki itu menampakkan sikap lain, seperti suka mengatur, suka seenaknya sendiri, suka memaksa dan sikap lainnya yang anehnya Ele
Yogie benar-benar melakukannya.Besok sorenya, setelah pulang dari kantor, Elena terkejut mendapati Yogie yang datang ke apartemennya dengan membawah seikat bunga mawar dan juga sekotak cokelat. Oh, menggelikan sekali. Tapi sepertinya bukan masalah jika mereka harus bersandiwara seperti ini.“Jadi, jadwal kita kemana?” tanya Elena yang kini sedang mengganti pakaiannya.“Nonton, mungkin.”“Nonton? Aku tidak suka nonton, itu sama sekali bukan tipeku.”“Hei, ingat tujuan kita adalah mengubah kebiasan buruk kita.”“Jadi kamu akan menjadi lelaki romantis?”“Ya, kita benar-benar sedang berkencan, Elena.”Elena tersenyum. “Oke, aku akan melakukan apapun maumu.”“Bagus.” Dan akhirnya keduanya memutuskan untuk nonton bersama.***Di dalam bioskop.“Apa serunya nonton seperti ini? Membosankan sekal
Elena kembali berkutat dengan pekerjaannya setelah ia menyempatkan diri membalas email dari Megan, sahabatnya. Ya, hingga kini, hanya Meganlah tempat dimana Elena mengadu. Megan selalu mengerti apa yang di inginkan dan di rasakan Elena.Elena juga sudah bercerita semua tentang Gilang. Tentu saja Megan terlihat sangat shock ketika menghubunginya dengan video call. Temannya itu tidak menyangka jika dirinya pernah mengalami masalalu sepahit itu.Tentang Yogie, Elena juga sudah bercerita pada Megan. Elena terlalu bingung dengan perasaannya sendiri hingga membuatnya tidak mampu membendung semua yang di rasakannya pada Yogie.Yogie semakin aneh dan itu membuat Elena semakin gila.Bukan aneh dalam hal buruk, hanya saja, lelaki itu semakin bersikap manis terhadapnya. Bukannya Elena tidak suka, hanya saja Elena masih merasa tidak nyaman.Megan berkata jika Elena harus membiasakan dengan hal tersebut, karena itulah hubungan normal
Sampai di apartemen Yogie, Elena hanya mampu mengamati seluru isi apartemen tersebut. khas laki-laki, pikirnya. Tidak ada barang yang istimewa, hanya peralatan sehari-hari yang di butuhkan lelaki tersebut. Apartemen itu juga lebih sederhana dari pada apartemennya. Apa Yogie memang orang yang sederhana?“Kenapa? Kecewa karena ini bukan apartemen mewah?”Elena menggeleng. “Tidak, aku malah suka dengan suasananya.”“Suasananya? Yang benar saja. Di sini sangat sepi dan membosankan. Aku bahkan sudah bosan tinggal di sini sendirian.”“Kalau begitu, kenapa tidak pulang?”“Kamu tahu bukan, kalau aku sedikit ada masalah dengan orang tuaku, jadi, kupikir di sini lebih baik.”Elena hanya menganggukkan kepalanya. Ia tidak ingin membahas terlalu jauh tentang keluarga Yogie, karena ia yakin jika lelaki itu tidak ingin membahasnya.“Oke, kamu boleh duduk di sana, aku akan menyiapkan m
Yogie masih tercengang dengan apa yang baru saja di ucapkan Elena. Kakinya ingin bergerak menyusul wanita itu, tapi rasanya sangat berat, tubuhnya terasa kaku, rasa shock benar-benar mengambil alih tubuhnya.Jantungnya tidak berhenti berdebar kencang, dan sedikit senyum terukir begitu saja pada wajahnya.Elena mencintainya? Wanita itu mencintainya? Apa benar? Lalu kenapa Elena malah memutuskan hubungan mereka? Atau, jangan-jangan Elena memang sengaja mengucapkan kata cinta supaya hubungan mereka berakhir?Yogie mendengus sebal. Ya, tentu saja, mana mungkin wanita itu jatuh hati padanya. Elena pasti cuma mengada-ada, membuat alasan seperti itu untuk putus darinya. Sialan! Wanita itu sangat pintar, pintar dan licik.***Baru kali ini Elena menangis sesenggukan karena seorang lelaki. Dulu ia pernah menangis, tapi itu karena kekasaran yang ia peroleh dari guru les privatnya yang gila. Kini, tangisnya jelas berbeda, tangis seorang w
“Hansel, berhenti memainkan itu, hei, hei.” Yogie masih sibuk mengurus bocah berumur satu tahun yang masih duduk dengan tenang di tempat duduk khusus untuk memberi makan bayi. Namanya Hansel Pradipta, putera pertamanya dengan Elena.Setelah melahirkan, Elena memberi Yogie wewenang untuk menamai putera pertama mereka, dengan spontan Yogie menamainya dengan nama Hansel, entahlah, ia suka saja dengan nama tersebut. Sedangkan nama belakanngnya tetap membawa nama Pradipta, karena ayah Elena ingin cucu pertamanya itu menjadi penerus keluarga Pradipta.Yogie sendiri tidak mempedulikan nama belakang putera pertamanya itu, yang pasti, Hansel adalah puteranya, dan semua orang tahu kenyataan itu.“Sayang, Stiletto aku yang warna merah di mana?” suara lembut dari dalam kamar membuat Yogie mengangkat wajahnya. Itu pasti Elena, istrinya yang kini sering kali bersikap manja padanya.“Dengar Hansel, Papa akan ke tempat mama dulu, ka
Sorenya...Elena masih setia berada dalam pelukan Yogie, kepalanya tersandar dengan santai di dada Yogie, sedangkan lelaki itu kini masih asik bermain Playstation miliknya yang memang berada di kamar Elena.“Kamu masih seperti anak kecil.” Suara Elena terdengar serak, sesekali ia menggesekkan pipinya pada dada telanjang Yogie.“Anak keci katamu? Aku sudah menghamilimu, bagaimana mungkin kamu bilang aku seperti anak kecil.” Yogie menjawab datar, sedangkan matanya masih fokus pada layar televisi di hadapannya.“Sikap dan perilaku kamu mengingatkanku dengan anak kecil, masih suka main Ps, keluyuran, kencan dan lain sebagainya, lagian, kamu yakin sekali jika kamu yang menghamiliku.”Yogie mem-pause permainannya kemudian menatap lembut ke arah Elena. “Sampai kapan kamu akan membohongiku tentang dia?” jemarinya mengusap lembut perut telanjang Elena.“
Pagi itu, entah pagi ke berapa Elena bangun dalam pelukan seorang Yogie Pratama. Setelah hari di mana Yogie melamarnya, lelaki itu berubah menjadi lelaki yang lebih baik lagi setiap harinya, menjadi calon ayah dan juga seorang pasangan ideal untuk wanita manapun. Elena bahkan merasakan jika ia seakan jatuh lagi dan lagi dalam pesona seorang Yogie Pratama.Hubungan Yogie dengan Elena kini masih berjalan di tempat hingga usia kandungan Elena kini yang sudah memasuki bulan ke sembilan. Selama itu, Yogie bahkan tidak pernah sekalipun menuntut untuk berhubungan intim dengan Elena, meski sejak hari itu Yogie sudah kembali pindah ke apartemen Elena dan tidur di sana bersama dengan Elena.Elena bahkan sempat berpikir, apakah tubuhnya yang sudah membengkak seperti saat ini sudah tidak menarik lagi untuk Yogie? Hingga lelaki itu hanya tidur memeluknya saja tanpa melakukan apapun? Entahlah.Tentang lamaran saat itu, Elena belum menjawabnya hingga saat ini. Elena masih sang
“Kamu yakin kalau kamu akan tetap bekerja hari ini?” tanya Yogie penuh perhatian. Saat ini Yogie sudah mengantar Elena tepat di depan kantor Elena. Tadi pagi Yogie sempat melihat Elena mual-mual setelah meminum susu buatannya. Yogie bahkan tidak berhenti meminta maaf karena ia pikir susu buatannya tidak enak. Dan Elena hanya tersenyum dengan sikap Yogie yang terkesan polos tersebut.“Ya, aku harus kerja.”“Kamu kan pemilik perusahaan, kamu bisa cuti hamil dari sekarang.”“Aku nggak mau manja. Bukannya kamu juga harus kerja?”“Ya, sebenarnya aku harus kerja juga, sudah berminggu-minggu aku bolos. Yongki pasti ngamuk-ngamuk.” Elena tersenyum setelah mendengar pernyataan Yogie tersebut.“Oke, sekarang pulanglah, dan kerjalah. Aku baik-baik saja.”Elena membuka sabuk pengamannya kemudian akan bangkit keluar dari mobil Yogie, tapi Yogie lebih dulu menarik lengannya kemb
Yogie mengejar Elena, tapi wanita itu sudah tak ada. Akhirnya Yogie berinisiatif menyusul Elena sampai ke apartemen wanita tersebut. Dan benar saja, ketika Yogie sampai di depan pintu apartemen Elena dengan napas yang terputus-putus karena lari, Elena masih berada di sana dan sedang sibuk memencet password pintu apartemennya.“Elena.”“Apa yang kamu lakukan di sini?”“Sudah jelas, aku mengejarmu.”“Aku tidak mau di kejar, sekarang pergilah.”“Please, maafkan aku, aku akan melakukan apapun asal kamu memaafkanku dan kembali padaku.”“Aku nggak mau, Gie. Sekarang pergilah.”“Aku tidak akan pergi, aku tidak akan meninggalkan kamu dengan bayi kita.”“Bayiku.” ralat Elena dengan spontan mendaratkan telapak tangannya pada perutnya sendiri.“Aku turut andil dalam pembuatannya.”“Sial!”
Aaron menatap gelas kecil di hadapannya yang berisi minuman beralkohol. Saat ini dirinya sedang berada di aparetemen milik Yogie. Keduanya duduk di bar milik Yogie setelah keduanya membersihkan diri dari darah-darah yang berada di wajah mereka.“Lo dulu yang mulai.” ucap Aaron kemudian.“Gue suka Elena.”“Sejak kapan?”Yogie tercenung sebentar. “Dua tahun yang lalu.”Aaron memejamkan matanya. Jadi kemungkinan besar ayah dari bayi yang di kandung Elena adalah Yogie? Selama ini Elena tidak pernah mau memberi tahu siapa ayah dari bayi yang di kandungnya. Jangan-jangan memang benar Yogielah Ayah dari bayi yang di kandung Elena.“Sejauh apa hubungan lo sama dia? Apa kalian pernah melakukan seks?” tanya Aaron tanpa sedikitpun rasa sungkan.“Hampir setiap hari kita melakukan seks.”“Sialan lo! Kalau begitu kenapa lo tidak mencurigai diri lo sendiri seb
Yogie semakin menggila. Ia bahkan sudah tidak mau bekerja lagi, semua pekerjaannya terbengkalai karena ia lebih memilih menghabiskan waktunya untuk mengikuti kemanapun Elena pergi. Bukan mengikuti secara terang-terangan, melainkan secara sembunyi-sembunyi.Ya, sejak pengakuan cintanya saat itu pada Jihan, pikiran Yogie semakin kacau. Ia sudah memantapkan diri jika ia memang jatuh cinta pada sosok Elena, tapi di sisi lain hatinya meragu. Bagaimana jika Elena menolaknya? Bagaimana jika wanita itu kini benar-benar hamil anak dari lelaki lain? Mengingat itu Yogie kembali marah.Yogie melanjutkan mengemudikan mobilnya ke arah manapun mobil Elena melaju. Saat ini ia sudah seperti seorang mata-mata yang mengikuti kemanapun targetnya melangkah.Ternyata mobil Elena berhenti di sebuah kafe, dan Yogie masih setia mengikuti wanita tersebut sedikit lebih jauh. Ternyata wanita itu bertemu dengan seseorang, lagi-lagi orang itu adalah Aaron Revaldi.Sial, benar-benar si
Elena kini sudah duduk di ujung kafe milik Jihan. Telapak tangannya menangkup secangkir cokelat hangat yang mengepul di hadapannya. Sesekali ia menatap ke arah Yogie. Yogie sendiri tampak murung dengan ekspresinya. Entah apa yang sedang di pikirkan lelaki tersebut.“Kita lupakan saja semuanya.” Setelah cukup lama berdiam diri tanpa ada yang mau memulai pembicaraan, akhirnya Elena berucap dengan datar.“Kenapa tiba-tiba bicara seperti itu?”“Aku akan kembali ke luar negeri, jadi lupakan semuanya.”Yogie tersenyum miring. “Benarkah? Kupikir kamu sedang berniat menggoda suami orang.” sindir Yogie.“Jaga mulut kamu, Yogie!”“Aku sudah tahu Elena, kamu kembali menjalin hubungan dengan Aaron, kan? Padahal kamu jelas tahu, kalau dia sudah menikah dengan Bella.”“Bukan urusanmu.” Elena berdiri kemudian bergegas pergi, tapi kemudian tangan Yogie mer
“Terima kasih kamu mau menemaniku.” lirih Elena pada sosok lelaki di sebelahnya. Itu Aaron yang kini sedang mengemudikan mobilnya.Tadi Elena memang berniat ke tempat dokter kandungan untuk memeriksakan kehamilannya, hanya saja setelah sampai di sana, Elena sangat malu karena di sana hanya ia yang sendirian, sedangkan wanita yang periksa di sana di temani oleh suami masing-masing.Dengan spontan Elena berbalik dan meninggalkan tempat tersebut. Ia juga ingin di temani dengan ayah dari bayi yang di kandungnya, tapi meminta Yogie untuk menemaninya, benar-benar tidak mungkin.Yogie terlalu sibuk dengan urusannya sendiri, lelaki itu sudah berubah dan hanya mementingkan kesenangannya sendiri, mana mungkin Yogie mau mengakui bahwa bayi yang di kandungnya adalah bayi dari lelaki tersebut.Belum lagi kenyataan jika dulu Yogie juga pernah membuat dirinya kehilangan calon bayinya, ah, saat itu Yogie pasti sengaja meminta dokter untuk menggugurkan bayinya