Bibir basah Bernard mengecupi bibir dan leher Jasmine. Tangannya membelai lembut payudara Jasmine. Dosis obat yang diberikan Bernard pada Jasmine begitu tinggi, membuatnya tidak berdaya sama sekali.Tubuh Jasmine sangat indah. Bernard memuja keindahan tubuh sang kekasih. Sudah sejak lama dia menginginkan ini. Namun, setiap kali dia meminta selalu tak pernah diberikan. Sekarang dia akan meminta, meski dengan cara licik.Jasmine hanya miliknya. Bernard ingin menjadikan Jasmine miliknya seorang. Cara ini pasti mampu membuat Jasmine memaafkannya, dan kembali padanya. Dia tidak akan pernah membiarkan Jasmine dimiliki oleh pria lain.Bernard menindih tubuh Jasmine, hendak ingin melepas gaun yang dipakai oleh Jasmine. Namun tiba-tiba …BrakkkPintu kamar hotel terdobrak sangat keras. Sontak, Bernard terkejut di kala pintu kamar hotelnya terdobrak. Tampak raut wajah Bernard berubah melihat Xavier berdiri di ambang pintu.Mata Xavier menyalang tajam penuh amarah melihat Jasmine terbaring di ra
Mata Jasmine mengerjap beberapa kali di kala merasakan sinar matahari menyentuh wajahnya. Perlahan mata Jasmine terbuka—dia menyipitkan matanya ketika sinar matahari menyentuh wajahnya. Dia sedikit bergeser menghindari sinar matahari itu.Lalu … di waktu yang sama, Jasmine mengendarkan pandangannya ke sekitar—melihat dirinya berada di dalam kamar hotel yang sangat asing. Tunggu! Di mana ini? Kenapa dirinya ada di sini? Jutaan hal muncul dalam benaknya. “Kau sudah bangun?” Suara berat, masuk ke dalam kamar, mendekat ke arah Jasmine.Mata dan bibir Jasmine melebar melihat Xavier hanya memakai celana training panjang, dan bertelanjang dada. “K-kau … k-kau kenapa di sini?”“Kau lupa tentang tadi malam?” Xavier mendekat.“T-tadi malam? A-ada apa dengan tadi malam?” Raut wajah Jasmine berubah di kala mendengar ucapan Xavier. Debar jantungnya berpacu kencang seolah ingin melompat dari tempatnya.Napas Jasmine sedikit memburu. Kepingan memorinya teringat akan sesuatu hal yaitu dirinya dijeba
#Flashback OnLangkah kaki Jasmine gontai melangkah keluar dari gedung apartemen Xavier. Mata sembab menunjukkan kerapuhannya dan putus asa. Gadis cantik itu tampak sangat pucat. Hidup Jasmine seolah ingin berhenti di sini.Xavier meninggalkannya …Xavier membuangnya ….Xavier pergi dari hidupnya …Semua kalimat itu muncul dalam benaknya. Jasmine merasa seperti boneka yang tidak layak lagi ada di dunia ini. Semua telah usai. Kisah cintanya dengan Xavier secara paksa diminta untuk selesai.Sinar matahari begitu terik berada di bawah Jasmine. Kepala gadis itu terasa sangat berat. Matanya berkunang-kunang. Pun dia mulai merasakan sakit di perut bagian bawahnya. Dalam hitungan detik—Jasmine terjatuh tak sadarkan diri tepat di area lobby apartemen Xavier.Security di area lobby terkejut melihat ada seorang gadis cantik pingsan. Mereka berbondong-bondong menyelamatkan Jasmine—dan menghubungi rumah sakit untuk menjemput Jasmine.Belum ada yang berani menghubungi pihak keluarga. Para security
PranggSecangkir kopi susu hangat yang baru saja dibuat oleh Jelena, tanpa sengaja jatuh ke lantai. Tangan Jelena terpeleset—hingga membuat cangkir itu terjatuh—dan pecahannya bercampur dengan kopi susu memenuhi lantai.“Astaga, aku ceroboh sekali.” Jelena menghela napas kasar.“Nona?” Pelayan muncul, di kala mendengar suara pecahan gelas. Jelena menatap sang pelayan yang bermaksud ingin membantunya. “Aku bisa sendiri. Kau kerjakan yang lain. Biar aku membersihkan kopi susu ini.”“Nona, apa tidak saya saja yang membersihkan lantai?” tanya sang pelayan sopan.Jelena menggelengkan kepalanya. “Aku saja. Aku yang ceroboh. Aku yang bertanggung jawab. Kau pergilah. Kerjakan pekerjaanmu yang lain.”“Baik, Nona. Jika Anda membutuhkan saya, Anda bisa memangil saya.”“Ya, jangan khawatir. Pergilah. Selesaikan pekerjaanmu yang lain.”Pelayan itu menundukkan kepalanya, lalu pamit undur diri dari hadapan Jelena.Jelena mengumpulkan perlahan pecahan beling yang berserakan di lantai, tetapi tiba-ti
Suara dering ponsel berbunyi. Jelena yang tak sengaja tertidur di sofa kamarnya langsung membuka mata, dan mengambil ponselnya yang ada di atas meja. Dia pikir yang menghubunginya adalah Xavier atau Jasmine, rupanya yang menghubunginya adalah asisten pribadinya. Tanpa pikir panjang, Jelena menjawab panggilan itu.“Halo?” sapa Jelena kala panggilan terhubung.“Selamat siang, Nona Jelena. Maaf mengganggu Anda,” ucap sang asisten dari seberang sana.“Ada apa? Apa ada masalah di salon?”“Begini, Nona, ada beberapa dokumen yang harus Anda tanda tangani. Apa hari ini Anda bisa ke salon?” “Bisa. Aku akan ke sana. Tunggulah.”“Baik, Nona. Terima kasih.” Jelena menutup panggilan teleponnya. Wanita cantik itu terdiam sejenak. Pesannya untuk Jasmine dan Xavier, tidak ada satu pun yang dijawab. Entah kenapa Jasmine dan Xavier menghilang di waktu yang bersamaan.“Astaga, Jelena. Kau ini berpikir apa.” Jelena menepuk keningnya, merutuki dirinya yang bodoh, karena sudah berpikir macam-macam. Deti
Tubuh Jasmine membeku melihat pesan masuk dari orang asing yang tak dikenal. Pesan yang merupakan sebuah ancaman, tak main-main. Tangan Jasmine sampai bergetar membaca pesan masuk itu. Otaknya mencerna dengan cepat akibat kekhawatiran melanda. Detik itu juga, Jasmine berjalan keluar rumah—dia menuruti pesan dari orang asing yang tak dia kenali.Sebuah mobil berwarna hitam terparkir tidak jauh dari rumah Jasmine. Jalanan sangat sepi, tidak ada siapa pun di sana. Rasa takut menyelimuti, tetapi dia berusaha untuk tenang, dan berusaha menepis rasa takut. Satu-satunya yang ada di dalam pikiran Jasmine saat ini adalah keselamatan Jelena.Saat Jasmine mendekat ke arah mobil yang terparkir, pintu kaca mobil itu terbuka. Tampak raut wajah Jasmine berubah melihat Bernard yang ada di dalam mobil. Sorot matanya langsung menajam penuh amarah.“Kau!” Jasmine mengepalkan tangannya, dengan raut wajah penuh kemarahan.Bernard tak memedulikan kemarahan Jasmine. “Masuk!” Jasmine berusaha menahan emosi
Jasmine turun dari mobil bersaman dengan Bernard. Tatapannya melihat dirinya berada di sebuah gudang tua yang jauh dari pusat kota. Ada empat penjaga dengan tubuh besar yang berdiri di depan gudang tua itu. Rasa takut menjalar dalam diri Jasmine, tetapi wanita itu berusaha sekeras mungkin menutupi rasa takutnya.Saat ini Jasmine fokus pada keselamatan Jelena. Kakaknya itu tidak seharusnya terlibat dalam masalah ini. Jelena adalah korban yang tak bersalah. Jasmine tidak akan membiarkan siapa pun ada yang melukai Jelena.“Di mana kakakku, Bernard?!” Mata Jasmine bagaikan laser yang siap menembak Bernard.“Kakakmu ada di dalam tenanglah, Sayang.” Bernard ingin menggenggam tangan Jasmine, tapi wanita itu menepis kasar tangan pria itu.Bernard tersenyum penuh arti. “Jangan membantahku, Jasmine. Jika kau membantah, anak buahku di dalam bisa melakukan hal buruk pada kakakmu.”“Kau mengancamku?!” Jasmine semakin menatap Bernard tajam.“Ya, aku mengancammu. Maka dari itu, aku peringatkan kau j
Jasmine sangat membenci Bernard. Semua yang terjadi merupakan jebakan agar Jelena tahu tentang dirinya dan Xavier. Umpatan dan makian lolos dalam hati Jasmine di kala pisau terulur ke lehernya. Sorot matanya sejak tadi tak lepas menatap Bernard yang tertawa meledek—seolah ini semua adalah permainan.Manik mata cokelat gelap Xavier bagaikan laser yang siap menembak. Aura kemarahan di wajah pria itu terlihat jelas. Di hadapannya ada Jelena yang diancam menggunakan pistol, sedangkan Jasmine diancam menggunakan pisau.‘Berengsek!’ Xavier mengumpat dalam hati, merada dipermainkan oleh Bernard. Tangan Xavier mengepal kuat. Dia ingin sekali menghajar Bernard, tetapi sialnya tidak bisa, karena di hadapannya Bernard memberikan ancaman tak main-main. Dia dihadapkan dengan pilihan Jasmine dan Jelena yang telah disandera. “Lepaskan Jasmine dan Jelena, Bernard. Aku peringatkan padamu, jangan sakiti mereka!” geram Xavier penuh ancaman tak main-main pada Bernard.Bernard tertawa meledek. “Xavier
Pagi-pagi, Xavier sudah meminta sopir menjemput kedua anaknya. Ya, pria itu tak ingin merusak rencana yang sudah dia buat. Untungnya keluarganya dan keluarga Jasmine mengerti bahwa Xavier ingin mengajak Jasmine dan juga dua anaknya berlibur.“Xavier, kenapa kita harus membawa paspor?” tanya Jasmine bingung.Xavier membelai lembut pipi Jasmine. “Kita akan pergi ke luar negeri, Sayang. Tentunya membutuhkan paspor.”Mata Jasmine membelalak terkejut. “Apa? Kau ingin mengajakku dan anak-anak ke luar negeri? Kenapa mendadak sekali, Sayang. Aku pikir kau hanya mengajakku berlibur ke luar kota saja.” Jasmine sama sekali tidak menyangka Xavier akan mengajaknya dan anak-anak berlibur ke luar negeri. Dia pikir Xavier akan mengajak berlibur ke luar kota saja. Namun, ternyata dugaannya salah besar. Suaminya itu malah mengajaknya untuk berlibur ke luar negeri.Xavier mendekat, dan memeluk pinggang istrinya itu. “Aku ingin mengajakmu ke negara yang ingin kau kunjungi. Tahun lalu kita tidak jadi ke
Jasmine dan Xavier harus merelakan dua anaknya dibawa oleh keluarga mereka. Sopir keluarga Xavier menjemput Jacob, dan sopir keluarga Jasmine menjemput Xavera. Meski masih kecil, tapi Xavera tidak pernah rewel jika berada di keluarga Jasmine ataupun Xavier. Kedua anak mereka akan menginap satu hari di keluarga mereka. Mereka terpisah, demi agar kedua orang tua Jasmine dan kedua orang tua Xavier tidaklah berdebat.Jasmine hendak mengajak Xavier ke dalam rumah mereka, tapi gerak mereka sama-sama terhenti di kala ada sebuah mobil masuk ke dalam halaman parkir. Tampak kening Jasmine mengerut dalam, menatap sosok pria tak asing di matanya baru saja turun dari mobil.“Dylan?” Xavier menatap pria yang menghampirinya.“Hi, lama tidak jumpa, Xavier,” ucap pria bernama Dylan itu.Xavier mendesah kasar. “Kenapa kau di sini?”Dylan terkekeh rendah. “Apa begini menyambut sepupumu, huh?”Jasmine langsung teringat di kala Dylan mengatakan ‘Sepupu’. Kepingan memorinya mengingat sosok pria tampan yang
Tiga tahun berlalu … “Bibi Jelena coming!” Jacob berseru melihat sosok Jelena yang muncul. Tampak jelas raut wajah bocah laki-laki tampan berusia tiga tahun—menunjukkan jelas kebahagiaannya.“Halo, Sayang.” Jelena langsung menggendong Jacob, dan menciumi pipi bulat Jacob. “Kau semakin tampan dan menggemaskan.”Jacob berbinar menatap Jelena. “Apakah aku sudah seperti Dad, Bibi?”Jelena mencubit pelan hidung mancung Jacob. “Kau bahkan jauh lebih tampan dari Daddy-mu.”Jacob tersenyum riang mendengar ucapan bibinya.“Wah, Jelena, rupanya kau datang.” Jasmine tersenyum seraya mendekat menghampiri kakaknya. Belakangan ini kakaknya sangat sibuk berpergian ke luar negeri. Hal tersebut yang membuat Jasmine jarang sekali bertemu dengan kakaknya. “Hi, Jasmine. Aku ke sini merindukan dua keponakanku.” Jelena tersenyum manis, seraya menatap Jasmine.Jasmine membalas senyuman Jelena.“Mommy, Bibi Jelena bilang aku lebih tampan dari Daddy,” ucap Jacob bangga. Jasmine membelai pipi bulat Jacob.
Beberapa bulan berlalu …. “Jelena, kau yang benar saja, kenapa kau ingin ke Argentina selama enam bulan? Apa kau berniat meninggalkan keluargamu?” Mila mengomel pada Jelena yang ingin pergi ke Argentina selama enam bulan. Wajar saja jika Mila marah, karena putri sulungnya itu mendadak ingin pergi. Padahal putrinya tidak membuka cabang salon.Johan dan Jasmine yang berada di sana memilih duduk dengan tenang, menunggu penjelasan Jelena. Mereka menikmati minuman dan cemilan yang diantar sang pelayan. Sudah cukup Mila saja yang mengomel. Johan dan Jasmine tak ingin mengomeli Jelena—yang sudah tampak kepusingan.“Mom, aku ke Argentina karena ingin liburan dan melihat pontensi bisnis di sana. Mungkin saja aku bisa membuka cabang salonku di sana.” Jelena menjelaskan pada sang ibu.Mila memijat keningnya. “Kau pergi sampai enam bulan. Lama sekali! Dulu waktu di New York, kau bertahun-tahun di sana. Sudahlah lebih baik kau fokus pada cabang salonmu saja yang sudah ada. Mommy lebih setuju kau
Hari yang ditunggu-tunggu telah tiba. Hari di mana Jasmine dan Xavier akan menjadi satu. Tidak pernah mereka sangka akan tiba dititik ini. Berbagai hantaman badai telah mereka lalui. Berpisah empat tahun, dan semesta kembali mempertemukan dengan cara yang unik. Sebuah cara yang tidak pernah mereka sangka.Sebuah gaun pernikahan mewah sudah terbalut di tubuh Jasmine. Semua orang di ruang rias, memuji penampilan Jasmine yang sangatlah cantik. Jelena dan Mila yang ada di sana sampai menangis karena melihat penampilan Jasmine luar biasa cantik.“Jasmine, kau sangat cantik.” Jelena dan Mila memeluk Jasmine bergantian.Jasmine tersenyum lembut. “Kalian juga sangat cantik.”Mila membelai pipi Jasmine. “Mommy tidak menyangka kau akan menikah lebih dulu dari kakakmu.”“Mom, Jasmine berhak bahagia. Siapa pun yang menikah duluan tidak masalah,” sambung Jelena lembut dan hangat.“Maafkan aku,” ucap Jasmine merasa bersalah.Jelena menggelengkan kepalanya. “Kau tidak bersalah. Kau dan Xavier berhak
Rencana pernikahan Xavier dan Jasmine telah tercium di media. Sebagai pengusaha ternama tentunya nama Xavier Coldwell tentunya bahan perbincangan. Bagaimana tidak? Seharusnya yang menjadi istri Xavier adalah Jelena, tapi malah berubah menjadi Jasmine—adik kandung Jelena.Berbagai gossip miring masuk ke media. Namun, Xavier langsung menegaskan bahwa sejak awal yang dia cintai adalah Jasmine. Pun pria itu sampai memberikan keterangan bahwa dia pertama kali memiliki hubungan dengan Jasmine. Baik Xavier ataupun Jelena sama-sama memberikan keterangan, karena tak ingin Jasmine dijelek-jelekkan di hadapan publik.Sikap Jelena dan Xavier yang membela Jasmine, membuat publik yang tadinya menjelek-jelekkan Jasmine, menjadi tak lagi menjelek-jelekkan. Xavier tak menceritakan secara lengkap kisahnya dengan Jasmine di media. Hanya sekilas saja. Tentu Xavier tidak ingin orang tak dikenal mengetahui tentang masa lalunya dengan Jasmine.Saat ini persiapan pernikahan Xavier dan Jasmine bisa dikatakan
Jasmine melambaikan tangan ke arah mobil Jelena yang mulai pergi meninggalkan mansion Xavier. Senyuman lembut terlukis di wajahnya. Jelena hanya bisa menginap satu malam saja, karena harus mengurus pekerjaannya.“Jasmine,” panggil Xavier yang muncul dari belakang.“Ya?” Jasmine mengalihkan pandangannya, menatap Xavier.“Jelena sudah pulang?”“Sudah.” “Gantilah pakaianmu. Aku sudah menyiapkan dress untukmu di kamar. Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat.”“Kau ingin mengajakku ke mana, Xavier?”“Nanti kau akan tahu.” Xavier membelai lembut pipi Jasmine.Jasmine menghela napas dalam. “Baiklah, tunggu sebentar. Aku akan mengganti pakaianku dulu.”“Aku akan menunggu.” Xavier mengecup bibir Jasmine. Detik selanjutnya, Jasmine melangkah masuk ke dalam rumah menuju kamar. Wanita itu memilih menuruti keinginan Xavier tanpa banyak bertanya.*** Dress berwarna kuning dengan kombinasi hijau sangat cantik di tubuh Jasmine. Xavier pun tak tahan untuk meloloskan pujian. Hari itu Jasmine terlihat s
Jasmine menatap cermin melihat perutnya yang masih rata. Wanita itu mengusap lembut perutnya. Dalam benaknya membayangkan jika kelak nanti perutnya membuncit. Dulu dia gagal, karena keguguran. Sekarang cerita telah berbeda, karena dirinya kembali mengandung.Terakhir dokter mengatakan kandungannya sangat sehat. Hal tersebut membuat Jasmine optimis bahwa dirinya akan melahirkan bayi kedua ini. Terkadang Jasmine merasa bahwa ini semua adalah mimpi, tapi dia sangat sadar bahwa dirinya berada di dunia nyata.“Melamun di pagi hari. Apa yang kau pikirkan, hm?” Xavier mendekat, memeluk Jasmine dari belakang.Jasmine tersentak di kala ada yang memeluknya dari belakang. Namun, keterkejutannya hanya sebentar saja, karena dia melihat dari pantulan cermin Xavier yang tengah memeluknya dari belakang.“Xavier, kau mengejutkanku,” ucap Jasmine pelan.Xavier mengecup tengkuk leher Jasmine. “Kau melamun. Apa yang kau pikirkan?”Jasmine terdiam sebentar. “Aku masih tidak menyangka hubungan kita akan mu
London, UK. Hiruk pikuk London menyambut. Cuaca indah dan menyegarkan. Jasmine dan Xavier sudah berada di dalam mobil. Setibanya di bandara, sudah ada sopir yang menjemput. Tentu semua ini diatur oleh Xavier. Jasmine hanya memilih menurut dan patuh akan apa yang diminta oleh pria itu.“Xavier, kau akan membawaku ke mana? Pulang ke rumah orang tuaku?” tanya Jasmine ingin tahu. Jantungnya terus berdebar kencang seolah ingin berhenti dari tempatnya. Perasaan yang dirasakan oleh Jasmine benar-benar sangatlah campur aduk.“Tidak. Aku akan membawamu ke rumah orang tuaku,” jawab Xavier yang sontak membuat Jasmine terkejut.Jasmine tersentak. “A-apa? K-kau membawaku ke rumah orang tuamu?”Xavier menatap keterkejutan di wajah Jasmine. Dia membelai pipi Jasmine sambil berkata, “Nanti kau akan tahu. Jangan khawatir. Aku akan selalu di sisimu. Empat tahun kita sama-sama tersiksa. Sekarang sudah waktunya untuk bahagia.”Jasmine memilih menyandarkan kepalanya di lengan kekar Xavier. Dia percaya pa