Gina yang tadi diam, akhirnya berbicara. “Ibumu dan Ayah Jonas punya hubungan terlarang. Darryl adalah anak mereka, sekaligus adik kalian berdua.”
Bak disambar petir, Anna jatuh terduduk di sofa itu. Tangannya lemas, kepalanya pening mendengar hal itu.
“Tidak… Tidak mungkin…” Bisik Anna.
“Ku rasa, ayahmu… membunuh ibumu setelah tahu kalau Darryl adalah anak ibumu dengan ayahku,” kata Jonas. Ia masih bergeming di tempatnya dan tidak tergerak untuk menghampiri Anna yang terlihat sangat tergoncang.
“Apa kau yakin Darryl itu juga adikmu?”
Gina menatap Anna dan menjelaskannya. “Jonas menemui Darryl tempo hari untuk mendapatkan sampel DNA. Hasilnya… dia memang adalah adik kalian berdua.”
Jonas menambahkan. “Alasan sebenarnya kenapa aku tidak mendekatimu lagi dari dulu karena aku marah pada orang tuamu dan membenci kalian semua. Awalnya aku tidak tahu kalau Darryl itu adikku juga. Tetapi semakin anak itu dewasa, ia semakin mirip denganku dan
“Anna.” Panggil ibunya sayup-sayup dari dalam kamarnya. Anna menggosok matanya seketika suara ibunya membangunkannya dari tidurnya yang lelap di malam hari itu. Ia menoleh pada jam yang ada di dinding di mana jarum pendeknya telah menunjukkan pukul 5 subuh. Suara ayam berkokok yang bersahut-sahutan terdengar jelas sekali, berasal dari kandang yang dimiliki oleh para tetangga. “Iya ma,” kata Anna setelah kakinya menyentuh lantai yang dingin dan berjalan menuju kamar ibunya. Sesampainya di sana, Anna disuguhi pemandangan yang membuat mata Anna terlepas dari belenggu kantuk seketika. Ibunya tengah duduk di atas ranjang dengan napas berat sambil memegangi perut besarnya yang seakan-akan siap meledak. Ia bisa melihat dengan jelas lantai yang basah karena cairan bening. Cairan itu juga membasahi sprai yang tengah diduduki oleh ibunya saat ini. “Mama? Ada apa?” Tanya Anna yang bingung
“Aku tidak bermaksud menyembunyikan hal itu darinya. Aku hanya tidak siap jika Darryl ikut terluka.” Jonas berbalik kembali dan menatap balkon. “Aku tidak siap jika Darryl memiliki reaksi yang sama denganmu.” “Maka pergilah dari hidup kami,” bisik Anna lirih. Jonas berbalik lagi dan terperangah. “Aku tidak bisa kehilangan kalian sekaligus!” Gina mencoba berargumen dengan Anna. “Aku tidak mengerti denganmu, awalnya kau ingin memberitahu semua pada Darryl, sekarang kau menyuruh Jonas pergi darimu. Kau sebenarnya kenapa?” “Aku di sini sedang memberi pilihan.” “Ini sulit untukku, Anna.” “Darryl itu bukan anak kecil lagi, Jonas. Dia sudah dewasa dan punya pemikiran sendiri.” “Tetap saja, aku sendiri tidak berpikir memberitahunya adalah hal yang benar,” kata Gina sambil melipat tangannya di depan dadanya. “Jonas. Aku ingin kau memberitahunya,” kata Anna sambil berjalan mendekati Jonas. “Beritahukan saja padanya, dia akan hanc
Anna lalu kembali ke kontrakannya setelah mengembalikan mobil Rona yang ia pinjam. Reaksi Darryl persis seperti tebakan Gina, bahwa ini adalah hal yang terlalu besar untuk diberitahukan padanya sekarang. Gina meneleponnya untuk menanyakan kabar Darryl. Suara Gina terdengar muram. Baginya, Darryl juga sudah seperti adiknya sendiri. “Tetapi bagiku, ini adalah yang terbaik. Dari awal, takdir sudah menuliskan dia lahir dengan cara seperti itu. Kita hanya harus mengarahkannya dan membantunya agar tidak dibelenggu oleh takdir yang buruk seperti orangtuanya.” Ucap Anna pada Gina setelah memberitahunya tentang reaksi Darryl. Sekarang, Anna akan membiarkan Darryl selama beberapa hari, menunggu hatinya melunak dan segalanya menjadi lebih tenang. Beberapa hari kemudian, ia lalu menelepon Miss Ratna, wali kelas Darryl. Panggilan itu dijawab setelah beberapa kali dering. “Halo Miss Ratna, ini saya Anna, kakaknya Darryl.” “Sel
“Kita mau kemana?” tanya Anna saat menyadari kalau Jonas tidak membawanya ke jalan yang seharusnya mereka tempuh menuju tempat tinggla Anna. “Kita harus makan, bukankah kau lapar? Ini sudah jam 3 siang,” kata Jonas. Jonas membelokkan mobilnya ke sebuah rumah makan. Restoran yang luas bernuansa alam yang sangat luas sekali. Di sebelah kirinya terdapat bangunan besar yang tertutup dinding. Di tengah, terdapat danau buatan dengan air jerih yang dikelilingi gazebo-gazeo di atasnya. Satu gazebo bisa menampung hingga 8 orang. Jonas menarik tangan Anna pergi ke patio yang ada di ujung sana. Patio itu dihiasi dengan tiang-tiang di setiap sudut dengan tanaman gantung dan lampu kecil-kecil. Mereka harus berjalan masuk lebih dalam lagi untuk menuju tempat itu. Anna dapat melihat beberapa meja makan untuk 2 orang. Tempat ini bisa dijadikan tempat makan malam romantis. Meski sudah lewat jam makan siang, restoran itu masih tetap ramai. Jonas tidak ada pilih
Anna merebahkan dirinya di atas tempat tidurnya sambil menutup matanya setelah lelah seharian berkutat dengan semua masalahnya dengan Darryl yang menguras energi dan juga emosinya. Walau ia berusaha untuk tidur, tetapi matanya tidak tertutup dan pandangannya tidak meredup. Belakangan ini, kualitas tidur Anna sangat menurun. Ia jadi tidak berstamina dan tidak bersemangat. Suasana hatinya dapat terjun bebas dan ia bisa menghabiskan waktunya seharian dengan menangis. Anna tidak suka merasa seperti ini. Ia perlu pengalihan. Ia lalu menelepon Rona untuk mengajaknya berpesta di klub malam ini yang langsung saja Rona setujui. Wanita itu akan menjemput Anna sekitar jam 9 malam. Anna menggunakan celana pendek selutut dengan kemeja gombrang berwarna putih. Alas kaki yang ia kenakan hanya sendal kulit setinggi 3cm berwarna pink. Tidak ada sentuhan make up di wajahnya karena ia tidak berniat menarik perhatian orang, ia ke sana hanya untuk bersenang-senang
Gina meletakkan gelasnya dengan nyaring sehingga membuat seisi rumah makan itu mengarahkan pandangannya pada Gina. Ia terkejut saat mendengar cerita mabuknya Jonas itu dari Rona. Gina sendiri berada di sana pada jam makan siang yang di mana tempat itu sedang ramai sekali pengunjung. Setelah menghabiskan makanannya, ia kembali ke mobilnya dan membuat panggilan ke ponsel Jonas. “Angkat, dasar sialan!” bentaknya pada panggilan yang belum terjawab itu. Ketika panggilan itu terhubung pada pesan suara, Gina segera mematikannya lalu menelepon ulang nomor yang sama hingga ia mengangkatnya. “Halo?” kata Jonas dengan suara biasa. “Apa yang kau lakukan pada sahabatku itu rendah sekali!” seru Gina dengan marah. Jonas menutup matanya sambil memijit kepalanya. “Aku memang salah.” “Kau itu tidak ada bedanya dengan Rian. Bisa-bisanya kau mengulang… ” “Rian? Aku mengulang apa?! Jelaskan sekarang, apa yang kalian sembunyikan dari
Darah di mana-mana. Anna menjerit saat melihat dapur itu penuh darah. Ia panik saat melihat sesosok tubuh yang ambruk dengan sebuah pisau yang tertancap di dadanya. Anna menangkupkan tangannya pada wajahnya dan menangis sekencang-kencangnya ketika melihat ibunya yang sudah terkapar dalam keadaan mengenaskan. Anna menyaksikan detik demi detik saat ibunya meregang nyawa, mengerang dengan napas yang tercekat, melemah hingga akhirnya tidak ada satu hembusan napas pun yang membuat dada ibunya bergerak lagi. Itu adalah detik-detik paling mengerikan dalam hidupnya, sekaligus yang paling merusak jiwanya. Gadis itu bisa melihat dengan jelas, perlahan-lahan, cahaya kehidupan yang ada di mata ibunya itu meredup lalu menghilang. Berulang kali ia mencoba membangunkan ibunya yang kini tidak bergerak itu, tetapi semua usahanya sia-sia belaka. Anna menunduk sambil menangis tersedu-sedu hingga
“Mama, kenapa kau meninggalkanku dengan cara seperti ini?” Ibunya terlihat sangat cantik dengan gaun putih itu. Ia memegangi wajah Anna-nya yang telah lama tidak ia lihat. “Kau sudah banyak menderita, Sayang.” “Aku ingin ikut mama,” kata Anna dengan mata berkaca-kaca. “Kau tidak marah pada mama?” “Bagaimana aku bisa marah dengan mama?” “Aku sangat mencintai ayah Jonas.” Kata ibunya sambil berpaling. “Hubungan kami akan menghalangi hubunganmu dengan Jonas.” Anna menangis terisak. “Aku tidak peduli lagi tentang itu, Ma.” “Tapi kau harus peduli. Karena semua ini salahmu,” kata ibunya yang dengan mata yang berubah menjadi kelam dan gaun putih itu berubah menjadi hitam pekat. Seketika seluruh dunia berputar-putar dan membuat kepala Anna menjadi pusing. Ia membuka matanya hanya untuk mendapati cahaya putih berpendar yang berhamburan k
Satu tahun kemudian… Matahari pagi membangunkan Anna dan Jonas yang tertidur lelap di atas kasur di sebuah ruangan yang bukan milik mereka. “Selamat pagi sayang,” kata Jonas pada Anna sambil menggosok matanya. “Selamat pagi,” jawab Anna dengan mengusap wajahnya. Keduanya terlihat kusut setelah melalui malam yang panjang. Bagaimana tidak? Mereka pulang ke rumah Paman Rudy bersama juga dengan Gina dan mereka mengobrol hingga pukul 2 dini hari. Anna menoleh pada jam dinding yang menunjukkan pukul 8 pagi. Ketika Anna hendak turun untuk membuat kopi untuk Jonas, Jonas tiba-tiba menghentikannya. “Aku ingin menyapa Joanna dulu,” kata Jonas. Anna tersenyum lalu kembali duduk di samping Jonas yang segera duduk dan mengarahkan wajahnya pada perut Anna yang kini terlihat membuncit karena telah ada sosok manusia kecil yang bermukim dalam perutnya selama 5 bulan ini. “Hai Joanna, ini Papamu. Selamat pa
Tiga bulan kemudian… Jreng… suara gitar yang tak beraturan terdengar dari sebuah ruangan yang ada di tengah rumah tersebut diikuti oleh suara anak-anak kecil tertawa cekikikan, menandakan kalau para pelaku keributan itu lebih dari satu orang. Jonas mencari anak yang bernama Dina itu ke ruangan yang dipenuhi dengan instrumen gitar dan menemukan Dina, saudara kembar Dina yang bernama Doni, dan Vika sedang memainkan gitar dengan sembarangan. “Hayo, kalian sedang apa?” tanya Jonas sambil bersedekap. Dina dan Vika terkejut dan mereka berdiri dengan tegang, sementara Doni langsung buru-buru meletakkan gitar itu pada stand yang ada di dekat mereka. Wajah mereka terlihat cemas dan takut dan sambil melirik satu sama lain. Jonas melepas tangannya dan berjongkok, “Doni, Dina, kalian sudah dijemput oleh mama kalian.” Doni dan Dina langsung sumringah dan menghampiri Jonas, menyalaminya dan pamit padanya secara bersamaan, “bye
Satu minggu setelah pernikahan Anna dan Jonas, semua orang akhirnya kembali ke Balikpapan. Jonas dan Darryl sempat cemas pada keadaan ayahnya karena beliau sempat berkata sakit pinggang dan hampir tidak bisa berjalan, sehingga harus menggunakan kursi roda untuk bisa turun dari pesawat. Tanpa menunda, Jonas dan Anna langsung membawa Paman Jonathan ke rumah sakit terdekat. Paman Jonathan menerima perawatan di sana kurang lebih selama satu minggu untuk memulihkan kondisinya yang kelelahan akibat acara. Anna sempat kuatir pada Paman Rudy juga, tetapi lelaki tangguh itu jelas tidak apa-apa dan menuruhnya fokus pada Paman Jonathan yang terlihat lebih lemah dari biasanya. Di rumah sakit, Darryl, Jonathan dan Michelle akan menjaga ayahnya secara bergantian tanpa kenal lelah. Sedangkan Anna akan membawakan makanan dan pakaian ganti untuk mereka setiap harinya. Ketika Paman Jonathan diizinkan pulang, Jonas menyuruh Michelle untuk menyiapkan kamar untuk
“Kenapa wanita itu bisa ada di sini?” tanya Anna saat melihat nyonya Vina duduk di sana seraya menampilkan wajah angkuhnya dan dengan gaun pendek yang tidak cocok dengan usianya. Seketika, perasaan bahagianya langsung sirna, digantikan dengan perasaan takut yang sama sekali tidak menyenangkan. Dengan pakaian minim itu, wanita ini lebih mirip seorang PSK dari pada orang kaya. Nyonya Vina menoleh pada mereka. Jelas, ada yang salah pada wanita ini. Anna dan Jonas sedikit tercengang dengan penampilan Nyonya Vina yang terkesan kusut dan berantakan. Rambutnya terlihat memutih, kerutan di wajahnya terlihat tambah banyak dan beliau terlihat lebih kurus. Nyonya Vina berjalan ke arah Anna dan Jonas. “Halo…” “Halo,” jawab Anna. “Jangan kuatir, oke?” kata Jonas mencoba menenangkan Anna, lalu memalingkan pandangannya pada Nyonya Vina. “Selamat malam, Nyonya. Ada yang bisa kami bantu?” Nyonya Vina menunduk untuk menelan salivanya, la
10 hari kemudian Akhirnya pernikahan itu terjadi juga. Konsep yang mereka pilih adalah konsep pernikahan di taman berumput hijau yang menghadap laut, di mana taman itu masih ada dalam area hotel yang sekelilingnya dipenuhi pepohonan rindang dan lampu-lampu temaram yang bergelantungan. Awalnya Anna ingin menikah di pantai, tetapi urung karena ada potensi gelombang tinggi. Jonas melihat kalau taman itu bukanlah tempat yang buruk, dan memutuskan memilih menikah di sana. Venue utama tersebut terbagi dua. Sebelah kanan digunakan untuk resepsi, sebelah kiri digunakan untuk acara pernikahan. Di area acara pernikahan sendiri telah tersusun kursi-kursi yang terletak di sisi kiri dan sisi kanan, dan menyisakan satu jalan di tengah yang akan dilalui oleh pengantin Acara berlangsung tepat pukul 5 sore menjelang senja yang akan dilanjutkan dengan makan malam di area resepsi yang terdapat gazebo yang digunakan sebagai panggung untuk para perf
Tiga Bulan Kemudian Singkat cerita, Anna shock mendengar berita kepergian Rian. Namun, saat itu, dia sudah jauh lebih tegar. Anna begitu menyesal karena ia tidak bisa menemui Rian untuk terakhir kalinya dan berkata kalau ia telah benar-benar memaafkan Rian. Pak Hendri dan juga Silvanna tidak bersedia memberitahu di mana Rian dimakamkan. Bahkan setelah Anna memaksa, mereka tetap bungkam. “Ini adalah amanat Rian pada kami,” kata Silvanna saat menjelaskan kenapa mereka tidak memberitahunya. “Rian tidak ingin kau temui lagi. Kau harus melanjutkan hidupmu.” Hal itu membuat hati Anna jadi penuh sesak karena rasa bersalah. Namun Silvanna benar, Anna harus melanjutkan hidupnya dengan mengingat seluruh kebaikan Rian. Kejadian ini membuka mata hati Anna, bahwa tidak ada orang yang terlahir dengan hati yang jahat. Tanpa sadar, Rian telah mengajarkan Anna banyak hal. Bahwa kata “jahat” hanyalah sebuah kata yang digunakan orang-orang
Orang yang pertama tahu tentang lamaran Jonas adalah Rona yang kebetulan mampir ke apartemen Gina untuk menjenguk Anna. Tetapi Anna menyuruhnya untuk tidak memberitahukannya pada Gina karena Anna akan memberitahukan mereka malam nanti. Jonas kemudian memberitahu Michelle dan ayahnya kalau dia dan Anna telah bertunangan dan disambut bahagia oleh mereka, meski Paman Jonathan akhirnya lupa lagi kalau Anna dan Jonas sekarang sudah dewasa dan akan menikah. “Jonas, kau kah itu? Kenapa badanmu besar sekali?” kata Paman Jonathan sambil memperhatikan Jonas dengan kaca matanya yang tebal. “Papa, aku sudah dewasa sekarang. Ini calon istriku,” kata Jonas saat Anna melambaikan tangannya pada Paman Jonathan. Di mata Paman Jonathan, mereka selalu menjadi anak SMP yang lugu. Jonas dan Anna hanya tertawa melihat Paman Jonathan yang kebingungan lalu mengingat lagi kalau mereka kini sudah dewasa. Anna merahasiakan ini semua sampai mereka dapat berkumpul bersama-
Buat kalian yang bingung guys kenapa bab ini diulang, ada plot hole yang harus aku perbaiki mulai bab 48. Jadi ini ngga diulang ya guys, tapi digeser dikit heheh. Enjoy… Tidak ada satu pun informasi yang didapat Anna dan Jonas, para perawat dan tenaga medis, semuanya berkata tidak tahu. Ketika Anna dan Jonas kembali ke apartemen, Anna memutuskan untuk menelepon Pak Hendri dan Silvanna. Di sini, Anna sudah tahu, kalau semua orang bersepakat terhadap sesuatu. Hingga kini, Anna tidak tahu Rian masih hidup atau tidak. Bukannya mendoakan dan meragukan kuasa Tuhan, tetapi tubuh Rian pasti terlalu lemah untuk bertahan tanpa sokongan tenaga medis dan oksigen. Saat ini, Anna berdiri di dekat pintu balkon, sedang melamun dengan pikiran yang kosong. Jonas muncul di belakangnya sambil membawa dua gelas cokelat panas. Dia menyerahkan salah satu gelas yang ada di tangannya dan Anna menyambut gelas
“Kalau kau mau, kita tidak usah masuk. Kita bisa lihat dia dari luar,” ucap Jonas sambil menggenggam tangan Anna dengan erat. Begitu mendengar bahwa Rian telah sadar, Anna dan Jonas memutuskan untuk datang ke rumah sakit keesokan harinya. Anna berhenti sebentar tepat di depan ruang ICU itu. Napasnya menderu dengan cepat. Jonas memperhatikannya dan mempererat genggamannya. “Apa kau baik-baik saja? Kita bisa pulang jika kau berubah pikiran.” Anna menggeleng, mencoba menepis gejala serangan panik yang mulai datang. “Aku ingin masuk.” Jonas lalu menunggu di luar tepat di dekat jendela kamar Rian. Ia memperhatikan Rian yang sudah kurus kering itu dengan mata memicing, urat-urat lehernya mencuat di balik kulitnya dengan jelas. Tangannya terkepal waspada. Dengan perlahan, Anna berjalan mendekati Rian yang terbaring lemah dan masih menggunakan oksigen. Bibirnya terlihat kering dan wajahnya masih pucat. Di sebelahnya terlihat Silvanna yang sedang membe