Clara tidak bisa berhenti tersenyum melihat keakraban antara saudaranya dan lelaki yang dia cintai.
Dia pikir, jika dirinya punya lelaki pilihannya sendiri (Seperti saat dulu berhubungan dengan Rendy), saudara-saudaranya akan memberi jarak dan sedikit terlihat tidak suka.
Ternyata hal itu tidak berlaku kepada Joy.
Saat ini Joy sedang membantu Raka membakar jagung, sosis, dan makanan lainnya di atas bara api.
Sesekali Clara dapat melihat Joy melirik ke arahnya, setelah mendengarkan sesuatu yang Raka atau Radit ucapkan, kemudian mereka akan tertawa.
Clara melihat itu kesal sekaligus geli karena tawa mereka bertiga begitu heboh dan bagi orang yang melihat itu pasti ikut tertawa juga walau tidak tahu apa yang ditertawakan.
"Kamu bahagia, Ra?"
Suara berat itu membuat Clara menoleh dan memperbaiki posisi duduknya yang tadi dengan kaki menguasai seluruh sofa.
"Kenapa, Pa?"
"Ya ngga apa-apa, Papa cuma tanya aja kok."
Clar
Clara duduk termangu dengan perasaan campur aduk. Seperti perasaan deja vu saat melihat sebuah foto sebuah tangan di atas pangkuan dengan cincin bunga serupa melingkari jemari seseorang. Foto yang keduanya tadi abadikan sebelum keduanya berpisah, lelaki itu abadikan dan dia umumkan kepada publik bahwa mereka sudah memasuki jenjang serius. Clara sedikit mendengus. Tidak... tidak, bukan dengusan hinaan atau sarkas yang sering dia tujukan pada orang-orang. Dengusan itu karena dia senang dan tidak bisa percaya dengan apa yang terjadi. Semuanya bagaikan mimpi dan Clara sangat takut untuk bangun dari kenyataan. Pada realitanya, mimpi akan selalu lebih indah dari kenyataan, bukan? Harapan bisa tumbuh dihati semua orang walau orang itu sudah berjanji untuk mumupuskan semua angan, khayalan, dan harapan. Tanah tandus saja masih bisa dihidupi oleh rumput liar jika air turun pada permukaan itu. Batu yang keras saja
Dua minggu berlalu sejak tahun baru yang Joy habiskan dengan keluarganya, keduanya semakin lengket tak terpisahkan.Bahkan keluarga Clara pun semakin mendukung keduanya untuk sedikit 'mencicipi' salah satu kegitan rumah tangga yaitugroceries shopping yang biasanya rutin dilakukan oleh kedua orang tua Clara dan salah satu dari anak mereka, entah dirinya, sang Kakak, atau adiknya.Sabtu sore itu pun mereka berdua dimanfaatkan oleh sang Ibu untuk membeli beberapa kebutuhan dapur di rumah Clara.Dalihnya sih sang Ibu bilang pada Joy bahwa kedua orangtua Clara ingin kencan tapi Clara tahu itu hanya akal-akalan saja karena paginya sebelum Joy datang, sang Ayah memberitahunya rencana sang Ibu."Eh, Clara Devina ya?"Clara yang saat itu ada di supermarket besar dan sedang memilih penyedap mana yang akan dia pilih dari salah satu rak, menoleh ke sumber suara."Iya, gue Clara. Lo..." Clara berusaha mengingat laki-laki yang ada di
"Ra." "Yoow." Yudith menaruh satu map berwarna kecokelatan di meja kerjanya dengan tatapan antusias. Clara yang saat itu tengah fokus mengisi data client untuk dimasukkan ke dalam kontrak draft menoleh malas-malasan ke arah map tersebut. "Apaan lagi nih?" Tanpa menoleh, Clara bertanya sambil fokus mengetik di layar laptopnya. "Proposal lo ditolak Pak Boss? Apa suratresignlo ngga di approve?" "Sialan." Umpat Yudith. "Dari cowok lo." Tangannya yang sedari tadi tak henti-henti mengetik seketika berhenti. "Mana sini." "Ilaah, baru dikasih tau gitu aja langsung 'mana mana mana'." Ejek sahabatnya. "Bodo amat." Clara mendelik pura-pura kesal walau diwajahnya ada senyum yang menghiasai. Dua hari lalu, ketika Joy mampir ke rumahnya tanpa kabar karena ingin memberikan ayahnya pot dan pupuk untuk tanamannya, tiba-tiba saja kekasihnya itu iseng bertanya mengenai surat cinta mereka berdua ketika
"Beneran cuma satu?" "Iya, Yang. Astagaa ngga percaya banget sih." Ini adalah percakapan mereka ketika Clara sudah berada di dalam satu mobil dengan sang Kekasih. Saking seringnya Clara bertanya, muka lelaki itu sampai agak jengkel dan sebal ketika niat baik dan romantisnya dipertanyakan. "Kalo ngga mau, yaudah balikin aja." "Lah kok kamu ngambek sih?" Clara mengapit lengannya pada lengan sang Kekasih dan bersandar pada pundak yang selalu menjadi sandaran perempuan itu dalam satu tahun terakhir ini. "Aku kan cuma tanya aja, Sayang." Tak lama, Clara bisa merasakan elusan pelan di pucuk kepalanya dan kecupan beruntun saat mobil mereka terhenti di pertigaan yang rambunya sedang memerah menembus kaca mereka. Clara menghembuskan napas dan membuka kedua matanya ketika kejadian tadi teringat olehnya. Joy selalu bisa membuat hatinya campur aduk di saat yang bersamaan. Entah itu perasaan dengan konteks bahagia at
"Ra, lo ikut ngga?" "Hm?" "Astaga nih orang ya!" Sungut Ica kesal. Clara yang masih sibuk membalas chat dari sang Kekasih tidak begitu mendengarkan celotehan Ica. Ghiffary yang sedang bersandar di bangku taman belakang rumah Ica hanya menggeleng pelan. "Udah gue bilang, dia kalau sampe pacaran sama Joy, bucinnya jadi 1000 kali lipat lebih berbahaya dari sebelumnya." "Kurang dihajar lu, Gip!" Balas Clara sebal. Ghiffary menggelus pundaknya yang dihantam tidak berprikemanusiaan oleh Clara. Benar-benar kuat tenaga perempuan itu. Ponselnya pun akhirnya Clara taruh di atas meja bundar di depan mereka dan mengalihkan atensinya lagi ke Ica. "Jadi apa yang kalian omongin?" Ica melotot. "Hhhh astagaaa!" Saking gemas bercampur kesal, Ica menenggak air minumnya sampai tandas. Akhirnya doa melanjutkan pertanyaannya yang sama sekali tidak didengar sahabatnya itu. "Bulan depan, anak-anak angkatan
Sepulang dari rumah Joy, Clara tidak langsung pulang ke rumahnya melainkan ke rumah Ica. Kemarin dia sudah izin kepada orang tuanya untuk menginap ke rumah Ica. Ya, perempuan dewasa yang sudah berumur 26 tahun dan masih tinggal dengan orang tuanya juga masih harus izin jika ingin pergi atau menginap di tempat lain. Ada kalanya dulu Clara luar biasa kesal dan marah kepada kedua orangtuanya tapi semua amarah itu perlahan menghilang seiring berjalannya waktu dan usianya bertambah. Clara paham apa yang dilakukan kedua orang tuanya, terutama sang Ayah untuk menjaganya. Yang Clara pahami adalah cinta dan kasih sayang orang tua tidak lekang oleh waktu. Mau umur berapa pun anaknya, di mata orang tua, anaknya pasti tetap anak kecil yang membutuhkan perlindungan mereka. Untuk itulah setiap pertengkaran yang terjadi antara Clara dan sang Ibu, Joy selalu berusaha memberi pemahaman tersebut yang pada akhirnya, Clara pahami dengan baik dan berusaha perlahan
Beberapa menit berlalu pun keduanya masih terdiam."Ra, surat ini..."Ini bukan benar-benar surat.Kedua amplop tersebut berisi foto yang ada tulisan di belakangnya.Kedua foto itu Clara pernah lihat.Kejadian yang pernah dia lihat langsung dengan kedua matanya.Tapi hal itu sudah terjadi lama sekali."Ini Joy sama..."Davina.Perempuan itu menghembuskan napas berat. Berat sekali."Ini... foto ini udah lama kok." Jelas Clara dan dengan cepat tangannya menyatukan kedua foto yang di pegang olehnya dan Ica lalu membelah foto itu menjadi beberapa bagian kecil yang kemudian dia buang pada tempatnya.Tempat sampah adalah tempat yang tepat dan seharusnya foto-foto itu berada.Ica menatap horor ke arahnya. "Ra, what the h*ll? Kenapa lo robek?"Masih dia ingat pose kedua orang di dalam foto yang beberapa detik lalu masih dia pandangi dengan tatapan tak percaya.Joy sedang duduk bersebel
Dia benar-benar sudah bucin. Buta Cinta.Alih-alih mengamuk dan mengkonfrontasi Joy seperti yang Ica sarankan untuk dia lakukan seminggu yang lalu, Clara malah berpura-pura tidak menerima, membaca, dan melihat amplop yang dia terima seminggu yang lalu.Dan bersikap normal seperti biasanya pada kekasihnya, Joy.Malah, perempuan itu makin manis dan lebih perhatian dari biasanya.Joy yang tidak pernah merasa diperlakukan se-special itu oleh siapapun, termasuk Clara jadi makin mencintai kekasihnya itu.Sudah seminggu ini dengan secara misterius, tiba-tiba saja Clara jadi dua kali lipat perhatian dan... manja padannya.Joy pun dengan senang hati menanggapi semua perubahan sikap Clara.Pasalnya, hal itu lah yang Joy sering pinta namun masih sulit dilakukan oleh Clara.Agar lebih rileks dan bergantung padanya karena Clara terlalu mandiri dan cuek. Joy senang jika Clara perlahan meruntuhkan dinding tebalnya yang sudah selama setahun in
Beberapa hari yang lalu saat mereka baru saja tiba di depan rumah Clara pukul sembilan malam sehabis pulang dari kantor seperti biasanya, tiba-tiba saja Joy melontarkan satu pernyataan yang membuatnya syok bukan main sampai-sampai dia kehilangan kemampuan untuk berbicara dan berpikir. "A-apa kamu bilang?" Pria itu tersenyum tipis, membuat lesung pipinya sedikit terlihat. "Minggu ini aku mau ke rumah orang tua kamu dengan bawa sekalian orangtua aku, Ra. I really want to make it official by asking you formally to your parents." "Kamu gila?" Clara memegang pipinya yang memanas. "Kamu serius?!" Tanya Clara sedikit histeris. Saat Joy mengangguk antusias, perempuan itu pun menghantukkan kepalanya ke dashboard mobil sedikit keras dan menghela napas panjang, batinnya gelisah. Keningnya yang sedikit sakit akibat ulah bodohnya, diusap pelan oleh kekasihnya. "Loh, kok kamu kaget, yang? Katanya kamu nggak mau pisah sama aku. Diajak nikah beneran, malah panik." Pria itu terkekeh. Lalu pucuk
Ini yang Joy takutkan sedari awal. Well, mungkin bukan dari awal tetapi disaat hatinya mulai goyah dan merasakan hal yang berbeda ketika bersama Clara. Dari awal beberapa teman dekatnya sudah mewanti-wanti untuk tidak melakukan dare gila yang Alvin dan Devina usulkan. Namun egonya yang mereka sentil tidak terima akan hal itu. Disaat Clara menghilang beberapa hari terakhir, sebenarnya Joy sudah mengetahui di mana sang kekasih tapi dia menahan diri karena dia sudah siap dengan konsekuensi dari tindakannya yang brengsek. Dia sudah siap saat Clara memutuskan untuk menghilang dari hidupnya. Disaat harapannya sudah hampir pupus, gadis yang sudah berhasil mencuri hatinya itu muncul tepat di depannya pukul 3 pagi dan Joy benar-benar menertawakan dirinya atas apa yang sudah dia tunjukkan. Performa yang sangat baik dia lakukan agar terkesan natural. Dia sama sekali bingung mana yang realita dan mana yang palsu, saking banyak dan sering kebohongannya menumpuk seiring berjalannya waktu. Di
Begitu dia sampai, hal pertama yang dia lakukan adalah tidur. Ya, Clara memilih tertidur di hotelnya dengan lampu cukup remang karena sejujurnya dia tidak punya tenaga untuk melakukan apapun seperti yang sudah direncanakan. Badan dan… hatinya sudah hancur, remuk tak bersisa. Semuanya sakit. Siangnya, Clara terbangun karena alarm yang memang tadi dia pasang agar dirinya tidak terbablas ketiduran sampai sore. Setelah selesai mandi dan rapi, Clara memutuskan untuk makan siang di salah satu kafe kecil di Braga. Berbekal sling bag kecil, sepatu sneakers dan semangat yang perlahan mulai dia rasakan, Clara pergi menuju jalan Braga menggunakan taksi online. Tak banyak yang berubah menurutnya. Bangunan antik dengan struktur yang menurutnya unik, Clara suka itu. Setelah makan di Braga Permai dengan burger yang cukup besar dan membuatnya kesulitan menghabiskan sendiri. Clara kembali membuka list tempat yang sempat dia cari ketika sedang di dalam travel bus. Tujuan Clara selanjutnya adala
"Mbak, tolong bantuin temen saya ya." Pesannya pada pramuniaga di salah satu merk toko ponsel yang sedang banyak diminati muda-mudi saat ini. "Nah, elo." Tunjuk Clara. "Pilih deh lo mau yang mana. Aman pokoknya." "Siap, bosquee!" Clara memilih menjauh dan duduk di salah satu kursi tinggi yang ada di toko itu dan mulai menyeting ponsel baru sesuai dengan gayanya. Dia sudah membeli ponsel lebih dulu dari Yudith karena temannya itu memaksa dan saat ini Yudith tengah memilih warna pilihannya. Walau tadi Yudith setuju untuk dibelikan ponsel baru, tapi ketika menuju toko, Yudith membujuk Clara agar dia bisa membayar setidaknya setengah harga yang mereka putuskan untuk pilih nanti. Setelah perdebatan alot dan pada akhirnya Clara setuju dan sesuai yang mereka sepakati bersama kalau Yudith akan membayar setengah dari harga ponselnya nanti. "Udah selesai pilihnya?" "Hooh." Yudith mengangguk dan mengangkat ponsel barunya. Mereka memiliki tipe ponsel yang sama hanya berbeda warna. Clara
"Karena sekalinya berbohong, akan ada kebohongan lainnya untuk menutupi kebohongan yang pertama dan begitu untuk seterusnya. Kepercayaan aku nggak bisa digadai, Joy, dan aku benci seorang pembohong." Clara menyentuh cincin yang dia kenakan dan memutarnya beberapa kali. "Kamu... kamu nggak pernah bohongin aku, kan?" "Kenapa kamu tiba-tiba tanya begitu?" Tiba-tiba saja Clara tertawa dan menarik Joy berdiri. "Mungkin aku ngelantur ya. Mana mungkin kamu pernah bohongin aku. Yuk masuk." *** Topeng yang sejak tiga jam Clara pakai akhirnya lepas juga ketika pintu kamarnya tertutup. Sekarang sudah pukul sebelas malam ketika Clara sampai rumah setelah diantar Ica dan Ghiffary. Ya, dia diantar temannya karena rupanya Alvin ingin melanjutkan pesta perayaan pertunangannya dengan Monica di salah satu bar di daerah Kemang yang sudah pria itu booking khusus untuk hari ini. Joy pun termasuk di dalam list itu. Dan Clara
"Goyang-goyang lagi... mobilnya! Asyikk!" Kelakar temannya yang lain.Sontak pipi putih pualam perempuan itu memerah melebihiblush on yang dia kenakan malam itu."Huaaa aku maluuu!" Pekik perempuan itu."Aduh, aku malu, Yang." Ulangnya. Refleks Clara menarik kedua tangannya dari genggaman Joy dan menutup wajahnya yang dia sandarkan pada dashboard mobil.Joy berdecak sebal dan membuka kaca mobil."Berisik kalian! Sana pergi!" Teriak laki-laki itu cepat lalu jendela mobiln kembali dinaikkan.Keduanya terdiam, tak lama, mereka tertawa karena dengan ketukan dan kedatangan teman-temannya, sudah merusak momen spesial mereka."Rusak ya momen romantis kita." Kata Joy yang disambut dengan anggukan dan tawa dari Clara."Yasudah, mungkin kita kelamaan di sini jadinya temen-temen kamu curiga. Kok kita lama banget ya di dalam mobil."Joy terkekeh sembari menghapus sisa air mata Clara. "Iya, emang mereka nge
"Kamu tunggu di sini dulu ya, Sayang.""Kamu mau ke mana?" Clara menarik Joy yang tadinya sudah membalikkan badan.Pria itu terkekeh. "Mau cari pramuniaganya dulu. Alvin katanya udah nitip ke si Mbak itu.""Oh, yaudah.""Tunggu di sini ya.""Iya."Joy mengantarnya duduk di salah satu sofa untuk tamu kemudian pergi untuk mencari pramuniaga toko cincin yang mereka datangi saat ini.Khusus hari ini, Clara cuti setengah hari karena malamnya mereka akan datang ke acara reuni SD yang sudah diribut-ributkan sejak berminggu-minggu yang lalu oleh teman-temannya.Berhubung salah satu temannya akan mengadakan acara lamaran dadakan di tempat pertama Alvin dan Monica bertemu dan menjalin hubungan, maka Alvin berniat untuk melamar Monica di sekolahnya itu.Karena Joy salah satu sahabat dekat Alvin dan orang yang mengetahui sepak terjang hubungan keduanya, maka dari itu Alvin meminta bantuan kekasihnya untuk mengambil pesanan cin
Clara terbangun terlebih dahulu karena tubuhnya terasa panas dan terasa berat seperti ada yang menimpanya.Setelah berhasil mengumpulkan kesadarannya, Clara baru ingat dan sadar bahwa semalam dia menginap di apartemen milik sang Kekasih dan saat ini sedang berada di dalam dekapan lelaki itu.Perlahan Clara turunkan lengan Joy yang menahannya di pinggang dan turun dengan sangat hati-hati karena takut membangunkan kekasihnya itu.Matahari belum terbit sempurna ketika Clara membuka tirai. Setelah mencuci muka, Clara berjalan ke dapur untuk membuatkan sarapan untuk mereka berdua.***Joy terbangun ketika tidak merasakan sumber kehangatan disebelah kirinya. Tangannya meraba-raba tapi tak menemukan siapapun.Apa ini mimpi?,pikirnya."Sayang." Panggilnya tapi tetap tak ada siapapun yang menjawab.Joy terdiam sesaat untuk berpikir tentang semalam. Apa benar Clara menginap dengannya dan tidur di dalam dekapannya? Rasanya
"Weekend ini kamu ngga ada kegiatan kan?""Kenapa?""Aku ajak ke rumah ya.""Apart kamu?" Tanya Clara bingung.Ah, Clara rindu bau lelaki ini. Pelukan itu pun dipererat Clara."Ke rumah orang tuaku.""Dadakan?" Clara merenggangkan pelukan mereka. "Aku nggak mau kamu jadi terpaksa ngenalin aku ke keluarga kamu, Joy."Clara menatap lelaki di depannya. "Aku baru sadar, hanya karena kamu udah menjadi bagian keluargaku, bukan berarti kamu juga harus begitu. Aku tahu aku masih belum pantas—""Whoaa... bukan gitu maksudnya. Kamu jangan salah paham dulu ya, Sayangku." Putus Joy. "Kita take it slow aja. Kalau kamu belum mau aku perkenalkan secara resmi dengan kedua orangtuaku yang langsung ke rumahmu, it's okay.""Tapi..."Joy tertawa. "Tapi benar yang kamu katakan waktu itu. Aku terlalu pasif dan saking pasifnya, aku sampai lupa untuk membawa kamu ke duniaku juga. Ke lingkungan pertemananku, ke keluargaku dan yang l