*****
"Wuhuuu! Semangat teman!"
Teriakan yang berasal dari mulut Frank dan teman-temannya yang lain itu membuat anak laki-laki bersurai pirang platina yang kini sudah berbaris bersama peserta lain menatap sengit keempatnya yang sedang cekikikan di tribun penonton.
Sore ini, pertandingan yang dimaksud oleh ibunya kemarin sedang berlangsung di sebuah stadion yang lapangannya berisi pasir.
Tapi, kau tahu lombanya apa? Mengambil sebuah berlian biru yang berada di kepala sang naga. Artinya, harus mengalahkan naganya dahulu baru bisa mengambil berliannya.
Perlombaan macam apa itu? Percobaan bunuh diri atau bagaimana? Yang punya ide ini pasti penyuka film petualangan semacam Harry Potter. Eh, Felix lupa jika di sini tidak ada hal semacam itu.
Sebenarnya, tadi dia tidak mendaftarkan namanya sama sekali. Gila saja dia berani menantang maut seperti ini. Felix masih ingin berumur panjang. Jadi, dia hanya plonga-plongo tak
**** Anak laki-laki bersurai pirang platina itu menurunkan bahunya sambil mengembuskan napasnya pelan. Sekarang gilirannya, dan dia sangat—ah, dia tidak takut. Apa yang perlu ditakuti? Itu hanya seekor naga. Iya, itu hanya naga. Dia merapatkan genggamannya pada senjata panah yang tadi diberikan oleh panitia pengatur lomba kepadanya. Bohong, lah. Dia takut—sedikit. Bagaimana dia tidak takut? Keempat peserta lainnya saja bisa terkalahkan dengan mudah oleh naga itu. Padahal para peserta itu sudah termasuk jejeran anak-anak seumuran dia di negeri ini yang tak terkalahkan, kata Frank tadi. Yang kuat saja bisa dihempas dalam beberapa menit, bagaimana dengan dirinya yang bahkan baru saja belajar tentang kekuatannya? Mungkin hanya beberapa detik. Kenapa cepat sekali, ya? Dia baru saja datang beberapa hari yang lalu, namun mengapa dirinya sudah beberapa kali melalui hal besar dan masalah, mempelajari banyak hal tentang n
🐲🐲🐲🐲 Ssssshhhh! Dak! Byurrr! Felix menepuk pelan tanah di depannya, mencoba melindungi dirinya dengan mencoba mengeluarkan air asin dari tanah tempat Black Dragon berpijak menggunakan kekuatan airnya. Naga bersisik hitam itu terangkat ke atas udara karena semburan air dari tanah ulah Felix tadi yang begitu kuat dan banyak. Anak itu dengan cepat terbang menjauh dari sana untuk kembali ke stadion sebelum naga itu berhasil lolos. Ketika hampir sampai di stadion, matanya tak sengaja menangkap sebuah objek yang menurutnya sekarang sangat ia butuhkan sekarang ini. Senyumnya merekah kala menyadari apa itu. Itu apel dari pohon kembar. Kata Frank, jika ada yang memakan buah itu, orang yang memakannya akan menjadi tak kasat mata hanya pada orang yang dia ingin dirinya tak terlihat di mata orang itu, sedangkan untuk orang lain dia tetap terlihat. Atau dalam kata lain, te
***** Frank menepuk pundak Gazza kala melihat hal aneh yang dilakukan oleh pria bertudung yang berada di tribun sebelah mereka. "Lihat itu," ucap anak laki-laki bersurai hijau apel itu membuat Gazza serta Si Kembar Tak Bersaudara mengikuti arah pandangnya. Pria bertudung hitam yang hanya terlihat mulutnya saja itu menggerakkan bibirnya seperti sedang memantrai sesuatu. Gazza beralih menatap Black Dragon yang mulai mengendus-endus, padahal semula tidak. "Naga itu," ujarnya sambil menunjuk Black Dragon. Frank, Dean, dan Hardwin menoleh ke arah anak laki-laki bernetra abu-abu itu. "Dia telah memantrainya," sambungnya. Frank, Dean, dan Hardwin menatap khawatir Felix kala Black Dragon mulai bisa mencium kehadiran anak itu. Sedangkan Gazza mencoba berkomunikasi dengan Felix, siapa tahu kali ini akan berhasil. Dia bernapas lega saat Felix menatap pria bertudung itu. "Perasaanku sungguh tak
***** Frank, Gazza, Dean, dan Hardwin memandang aneh makanan yang kini tersaji di depan mereka. "Kenapa?" Tanya Felix yang tengah menatap keempat temannya sambil melingkarkan tangannya di depan dadanya yang terlapisi oleh apron tersebut. "Ini apa?" Tanya Dean sambil menoel-noel pelan kue yang berbentuk bulat dan mempunyai lubang pada bagian tengah itu. "Itu makanan," balas Felix lalu ikut mendudukkan dirinya di depan teman-temannya. "Benarkah? Kurasa ini terlalu lucu untuk ukuran makanan," ucap Hardwin yang dibalas anggukan oleh Gazza dan Frank. Felix memutar bola matanya malas. Iya, dia tadi membuat beberapa donat yang dengan sengaja dia buat dengan bentuk beberapa hewan. Seperti koala, panda, hamster, rubah, dan beruang. Bentuk mereka sangat lucu, oleh karena itu mereka sampai terheran-heran. Karena di Wynstelle tidak ada makanan semacam itu. Jangan tanya kenapa Felix bisa membuatnya, nenek
***** "Vancy dan Lavender sedang ditugaskan Paman James untuk meneliti sesuatu, jadi mungkin mereka tidak akan datang malam ini," ucap Gazza yang tengah merebahkan dirinya di kursi empuk di ruang tengah. Tunggu, kursi empuk? Anak laki-laki itu kembali duduk, menoleh ke belakang untuk mengamati kursi kayu yang biasanya selalu ia duduki sekarang sudah berubah menjadi kursi empuk berwarna biru. Dia melirik keempat temannya yang sedang sibuk bermain membentuk kunang-kunang menjadi sebuah bentuk hewan sesuai yang diperintah oleh pemain lain. "Siapa yang mengubah kursi ini?" Tepat saat giliran Hardwin yang akan membentuk kunang-kunang, Gazza bertanya kepada mereka mereka. Mendengar itu, keempatnya menoleh ke arah sofa tempat Gazza duduk. "Siapa lagi kalau bukan temanmu yang berasal dari dunia manusia ini," ujar Dean sambil melirik Felix. Anak laki-laki bersurai pirang platina
***** Felix berlari tergesa-gesa diantara beberapa pohon yang tumbuh tinggi menjulang di sekitar Hutan Cahaya. Ibunya ditangkap. Berita sampah macam apa itu? Awas saja jika dia dibohongi. Tidak mungkin ada yang menyakiti Ibunya. "Kau punya sayap, bodoh! Kenapa malah berlari?!" Ujar Frank yang kini sedang terbang di atasnya bersama dengan keenam temannya yang lain. Anak laki-laki bersurai pirang platina itu mendongak. Seketika timbul keinginan menempeleng kepala anak itu karena cara mengingatkannya yang amat menyebalkan. Tapi...benar juga kata Frank. Kenapa dia seketika melupakan fungsi sayapnya? Ah, entahlah. Pikirannya campur aduk sekarang. Entah itu tentang keberadaan Batu Permata Bintang maupun tentang ibunya yang katanya ditangkap entah oleh siapa. Dia mengepakkan sayapnya, ikut terbang bersama dengan teman-temannya. Namun diantara ketujuhnya, Felix lah yang terbang dengan sangat cepat da
***** "Paman, Ibu tidak bernapas. Aku harus bagaimana?" Ucapnya lirih, bahkan mungkin tak terdengar oleh yang lain selain mereka. Suara putus asa itu membuat jantung Andrio serasa berhenti berdetak detik itu juga. Kepalanya menoleh cepat kearah perempuan bersurai pirang platina tergerai bebas yang sedari tadi masih dalam keadaan memejamkan mata. Dia menggeleng pelan. Itu tidak mungkin. Dia belum menyalurkan mantra itu sepenuhnya. Seharusnya tidak secepat itu. Andrio berlari cepat ke arah wanita yang masih berstatus pasangan hidupnya tersebut. "Freya... Itu tidak benar, kan?" Ucapnya lirih di hadapan Freya. Telunjuknya bergerak untuk dia taruh di depan lubang hidung Freya agar ia bisa merasakan deru napas wanitanya. Oh, masihkah kata itu berlaku? Tepat sebelum hal itu terjadi, Felix lebih dahulu menyambarkan petir yang berasal dari Berlian Biru yang tengah ia hadapkan ke arah pria itu. A
***** "Hahaha, apakah kau akan terus melindunginya, Andrio?" Suara tawa terdengar menggema di sebuah rumah yang hanya di terangi oleh cahaya lilin dan pantulan cahaya dari sang bulan. Anak bersurai pirang platina itu perlahan membuka matanya, merasakan tubuhnya tengah terbaring di atas lantai marmer berwarna hitam yang terasa begitu dingin menusuk tulangnya. Dia mengubah posisinya menjadi duduk. Di depannya terlihat kedua pria yang mungkin seumuran Paman Edward tengah saling bertarung mengeluarkan kekuatan mereka masing-masing. Salah satu diantara mereka bertanduk hitam serta bersayap hitam sedangkan yang satunya tidak mempunyai sayap maupun tanduk. Peri bersayap hitam itu tampak sedang membelakangi seseorang yang sedang disekap pada sebuah kursi dengan sihir merah yang mengelilingi tubuhnya. Dia mengucek-ucek matanya yang masih buram karena mungkin sudah terlelap entah berapa lama. Tapi, kenapa dia berada
****"Paman Edward?"Keenam anak peri itu terlonjak kaget kala tak sengaja mendapati Edward yang tengah berdiri tepat di depan Goa Dua Pintu.Frank menelan salivanya susah payah lalu membalikkan badannya, namun ditahan oleh Gazza dengan cara ditarik ujung kerah lehernya. Lagi? Astaga, dia lelah terus yang terkena omelan Ayahnya karena ketahuan melakukan hal mencurigakan. Padahal Ratu Freya biasa-biasa saja, tapi respon Ayahnya sangat berlebihan menurutnya."Frank?" panggil Edward ke arah putranya yang kini tengah menundukkan kepala.Frank yang sangat tahu apa maksud dari Sang Ayah pun memejamkan matanya sebentar, mendongakkan kepalanya dan menghalau semua rasa gugup bercampur takut yang ada. "Kami ingin mengambil Batu Permata Bintang," ucapnya.Edward menaikkan sebelah alisnya bingung. "Batu Permata Bintang? Mengapa di sini?" tanyanya ke arah ketujuh anak itu.Frank menyerahkan peta yang sedari tadi berada di tangannya kepada Edward.Dengan ragu, Edward menerima peta itu. Dia cukup t
***** "AAAAAA!" "TIDAKKK!" Kaki Edward melemas melihat kedua sahabatnya yang kini telah tak sadarkan diri akibat diserang Habis-habisan oleh Raja Peri Hitam. Dia terlambat. Netra hijau emeraldnya mengamati anak laki-laki bersurai pirang platina yang kini tengah mengarahkan tatapan membunuh ke arah pria yang menjadi biang keladi dari kerusuhan yang terjadi malam ini. "BERANI SEKALI KAU MENGHENTIKAN MANTRAKU, BOCAH!!" Pria bertanduk hitam itu menatap tajam Felix yang baru saja menghalau mantranya, sehingga mantra itu tidak mengenai Andrio sepenuhnya. Tapi, bagaimana anak itu bisa bangun lebih cepat dari dugaanya? "Kau mencariku, bukan? Lalu untuk apa kau membunuhnya? Melakukan hal yang sia-sia?" ucap Felix tak berekspresi sambil menaikkan sebelah alisnya. Rahang Orazio mengeras melihat ekspresi anak laki-laki di depannya. "Kau tidak tahu apapun!" Felix terkekeh pelan, "ken
***** "Hahaha, apakah kau akan terus melindunginya, Andrio?" Suara tawa terdengar menggema di sebuah rumah yang hanya di terangi oleh cahaya lilin dan pantulan cahaya dari sang bulan. Anak bersurai pirang platina itu perlahan membuka matanya, merasakan tubuhnya tengah terbaring di atas lantai marmer berwarna hitam yang terasa begitu dingin menusuk tulangnya. Dia mengubah posisinya menjadi duduk. Di depannya terlihat kedua pria yang mungkin seumuran Paman Edward tengah saling bertarung mengeluarkan kekuatan mereka masing-masing. Salah satu diantara mereka bertanduk hitam serta bersayap hitam sedangkan yang satunya tidak mempunyai sayap maupun tanduk. Peri bersayap hitam itu tampak sedang membelakangi seseorang yang sedang disekap pada sebuah kursi dengan sihir merah yang mengelilingi tubuhnya. Dia mengucek-ucek matanya yang masih buram karena mungkin sudah terlelap entah berapa lama. Tapi, kenapa dia berada
***** "Paman, Ibu tidak bernapas. Aku harus bagaimana?" Ucapnya lirih, bahkan mungkin tak terdengar oleh yang lain selain mereka. Suara putus asa itu membuat jantung Andrio serasa berhenti berdetak detik itu juga. Kepalanya menoleh cepat kearah perempuan bersurai pirang platina tergerai bebas yang sedari tadi masih dalam keadaan memejamkan mata. Dia menggeleng pelan. Itu tidak mungkin. Dia belum menyalurkan mantra itu sepenuhnya. Seharusnya tidak secepat itu. Andrio berlari cepat ke arah wanita yang masih berstatus pasangan hidupnya tersebut. "Freya... Itu tidak benar, kan?" Ucapnya lirih di hadapan Freya. Telunjuknya bergerak untuk dia taruh di depan lubang hidung Freya agar ia bisa merasakan deru napas wanitanya. Oh, masihkah kata itu berlaku? Tepat sebelum hal itu terjadi, Felix lebih dahulu menyambarkan petir yang berasal dari Berlian Biru yang tengah ia hadapkan ke arah pria itu. A
***** Felix berlari tergesa-gesa diantara beberapa pohon yang tumbuh tinggi menjulang di sekitar Hutan Cahaya. Ibunya ditangkap. Berita sampah macam apa itu? Awas saja jika dia dibohongi. Tidak mungkin ada yang menyakiti Ibunya. "Kau punya sayap, bodoh! Kenapa malah berlari?!" Ujar Frank yang kini sedang terbang di atasnya bersama dengan keenam temannya yang lain. Anak laki-laki bersurai pirang platina itu mendongak. Seketika timbul keinginan menempeleng kepala anak itu karena cara mengingatkannya yang amat menyebalkan. Tapi...benar juga kata Frank. Kenapa dia seketika melupakan fungsi sayapnya? Ah, entahlah. Pikirannya campur aduk sekarang. Entah itu tentang keberadaan Batu Permata Bintang maupun tentang ibunya yang katanya ditangkap entah oleh siapa. Dia mengepakkan sayapnya, ikut terbang bersama dengan teman-temannya. Namun diantara ketujuhnya, Felix lah yang terbang dengan sangat cepat da
***** "Vancy dan Lavender sedang ditugaskan Paman James untuk meneliti sesuatu, jadi mungkin mereka tidak akan datang malam ini," ucap Gazza yang tengah merebahkan dirinya di kursi empuk di ruang tengah. Tunggu, kursi empuk? Anak laki-laki itu kembali duduk, menoleh ke belakang untuk mengamati kursi kayu yang biasanya selalu ia duduki sekarang sudah berubah menjadi kursi empuk berwarna biru. Dia melirik keempat temannya yang sedang sibuk bermain membentuk kunang-kunang menjadi sebuah bentuk hewan sesuai yang diperintah oleh pemain lain. "Siapa yang mengubah kursi ini?" Tepat saat giliran Hardwin yang akan membentuk kunang-kunang, Gazza bertanya kepada mereka mereka. Mendengar itu, keempatnya menoleh ke arah sofa tempat Gazza duduk. "Siapa lagi kalau bukan temanmu yang berasal dari dunia manusia ini," ujar Dean sambil melirik Felix. Anak laki-laki bersurai pirang platina
***** Frank, Gazza, Dean, dan Hardwin memandang aneh makanan yang kini tersaji di depan mereka. "Kenapa?" Tanya Felix yang tengah menatap keempat temannya sambil melingkarkan tangannya di depan dadanya yang terlapisi oleh apron tersebut. "Ini apa?" Tanya Dean sambil menoel-noel pelan kue yang berbentuk bulat dan mempunyai lubang pada bagian tengah itu. "Itu makanan," balas Felix lalu ikut mendudukkan dirinya di depan teman-temannya. "Benarkah? Kurasa ini terlalu lucu untuk ukuran makanan," ucap Hardwin yang dibalas anggukan oleh Gazza dan Frank. Felix memutar bola matanya malas. Iya, dia tadi membuat beberapa donat yang dengan sengaja dia buat dengan bentuk beberapa hewan. Seperti koala, panda, hamster, rubah, dan beruang. Bentuk mereka sangat lucu, oleh karena itu mereka sampai terheran-heran. Karena di Wynstelle tidak ada makanan semacam itu. Jangan tanya kenapa Felix bisa membuatnya, nenek
***** Frank menepuk pundak Gazza kala melihat hal aneh yang dilakukan oleh pria bertudung yang berada di tribun sebelah mereka. "Lihat itu," ucap anak laki-laki bersurai hijau apel itu membuat Gazza serta Si Kembar Tak Bersaudara mengikuti arah pandangnya. Pria bertudung hitam yang hanya terlihat mulutnya saja itu menggerakkan bibirnya seperti sedang memantrai sesuatu. Gazza beralih menatap Black Dragon yang mulai mengendus-endus, padahal semula tidak. "Naga itu," ujarnya sambil menunjuk Black Dragon. Frank, Dean, dan Hardwin menoleh ke arah anak laki-laki bernetra abu-abu itu. "Dia telah memantrainya," sambungnya. Frank, Dean, dan Hardwin menatap khawatir Felix kala Black Dragon mulai bisa mencium kehadiran anak itu. Sedangkan Gazza mencoba berkomunikasi dengan Felix, siapa tahu kali ini akan berhasil. Dia bernapas lega saat Felix menatap pria bertudung itu. "Perasaanku sungguh tak
🐲🐲🐲🐲 Ssssshhhh! Dak! Byurrr! Felix menepuk pelan tanah di depannya, mencoba melindungi dirinya dengan mencoba mengeluarkan air asin dari tanah tempat Black Dragon berpijak menggunakan kekuatan airnya. Naga bersisik hitam itu terangkat ke atas udara karena semburan air dari tanah ulah Felix tadi yang begitu kuat dan banyak. Anak itu dengan cepat terbang menjauh dari sana untuk kembali ke stadion sebelum naga itu berhasil lolos. Ketika hampir sampai di stadion, matanya tak sengaja menangkap sebuah objek yang menurutnya sekarang sangat ia butuhkan sekarang ini. Senyumnya merekah kala menyadari apa itu. Itu apel dari pohon kembar. Kata Frank, jika ada yang memakan buah itu, orang yang memakannya akan menjadi tak kasat mata hanya pada orang yang dia ingin dirinya tak terlihat di mata orang itu, sedangkan untuk orang lain dia tetap terlihat. Atau dalam kata lain, te