Lily mana?
"Lily!!!" Seru Juna panik seraya dengan cepat menarik tangan Lily hingga tubuh Lily jatuh ke dalam pelukannya. Ponsel Juna yang belum dimatikan, membuat Baskara dapat mendengar seruan panik Juna.
Baskara mematikan telponnya dan bergegas menyusul kakaknya yang saat ini sedang berada di lobi rumah sakit. Pegawai unit gawat darurat dengan sigap menyiapkan brankar untuk Lily. Begitu brankar itu tiba, Juna dengan segera meletakkan tubuh Llily yang sudah begitu lemah dan pucat.
Petugas UGD akhirnya membiarkan Juna tetap di dalam ruangan UGD, setelah gagal meminta Juna untuk menunggu di luar, karena langsung ditolak Juna.
"Saya suaminya, dan saya berhak melihat dan menyaksikan pemeriksaan istri saya." Juna menolak permintaan sang petugas. Ia masih bersikukuh untuk menemani Lily. Ia tidak ingin melewatkan sedikitpun kesempatan untuk menemani Lily.
Obat Juna berpikir keras. Bagaimana mengatakan pada sang kakek jika Lily sebenarnya sudah ada di sini tanpa menceritakan keadaan Lily saat ini? Ia berjalan pelan tak tentu arah. Kepalanya tak berhenti berpikir, hingga langkah kakinya tiba kembali di depan ruang UGD. Saat tangannya hendak mendorong masuk pintu kaca yang berukuran besar itu, tiba-tiba pundaknya ditepuk seseorang. Sialan! Juna tersentak kaget, memaki seraya menengok ke belakang. Dilihatnya seorang pria tambun yang menggunakan seragam khas ruangan UGD, berdiri dengan ramah di belakangnya. "Cari siapa, Pak?" Pria itu menatap Juna setengah keheranan. "Istri saya. Tadi istri saya tiba-tiba pingsan dan dirawat di sini." Juna kembali mengayunkan langkah dan mengangkat tanganya hendak mendorong pintu besar itu. Kening pria itu berkenyit. "Tidak ada pasien di ruang UGD, Pak. P
Jangan Kau Terima!Lily menatap wajah Juna dengan seribu satu tanda tanya. Mengapa harus itu yang menjadi obat bagi kakek tua itu? Mengapa? Apakah sang kakek tidak merestui rencana mereka untuk bercerai tahun depan? Apakah artinya sang kakek lebih memilih Juna sebagai suami sah Lily?Juna memapah tubuh Lily dan mendudukkan tubuh ramping itu ke kursi tepat di sebelah pembaringan sang kakek. "Tenanglah. Kita akan mengurus hal ini secepatnya. Sekarang tugas kita menjadi pendengar yang baik bagi kakek. Yang penting kakek senang hari ini, jadi bisa segera pindah ke kamar rawat inap." Juna berusaha meyakinkan Lily bahwa ia akan mengurus permintaan sang kakek secepatnya.Lily yang masih terkejut tidak merespon pernyataan Juna. Ia justru sibuk dengan perasaannya sendiri. Benarkan tebakanku. Permintaan aneh inilah yang ia takutkan dan akhirnya terjadi, dan dirinya sama sekali tidak memiliki persiapa
Takdir "Apa maksudmu?" Pikiran Baskara seketika teringat pada bungkusan yang hendak diberikan Juna padanya. Apa bungkusan itu yang dimaksud gadis ini, pikirnya dalam hati. "Apakah kau belum pernah bertemu sekali pun dengan orang tua ku?" Gadis itu memandang Baskara dengan ragu. Mamanya mengatakan jika sudah bertemu dengan penyelamatnya, tapi mengapa sang penyelamat justru mengatakan hal sebaliknya. Baskara terdiam. Ingin dirinya mengatakan yang sebenarnya namun hatinya menolak dengan keras. Perasaannya tidak enak. Apa pun yang akan ke luar dari bibirnya, seperti akan membawa kesialan dalam hidupnya. "Mengapa dirimu sangat ingin tahu hal itu?" Giliran gadis itu yang terdiam dan kembali melemparkan tatapannya ke arah dua kupu-kupu yang sedang asyik terbang di sekitaran bunga-bunga yang ada di taman itu. "Aku hanya ingin memastikan jika orang tuaku tidak melakukan hal-hal yang akan membuat malu diriku." Baskara berdeham. "Aku menolak permintaan kedua orang tuamu." Gadis yang dudu
Seandainya "Apa yang baru saja kamu katakan, Lily?" Baskara menatap lekat gadis di depannya yang kini tertunduk dalam, tidak berani menatap dirinya. Dunianya hancur berkeping selaksa cermin dan pecahannya tercerai berai tak tentu arah di lantai. Ingin rasanya menangis, tapi Baskara masih cukup waras untuk menjaga wibawanya di depan gadis pujaannya. Tapi, rasa perih terhantam palu besar menyesakkan dadanya ketika mendengar kalimat demi kalimat mengalir tersendat dari bibir Lily. "Bolehkah aku tidak mempercayai semua ucapanmu, Lily?" suara Baskara menyayat dinding hati Lily. Gadis itu sudah bisa menebak apa yang akan terjadi pada pria di depannya itu saat dirinya menyampaikan permintaan kakek tua itu. Satu kata yang begitu dinanti sebagian besar orang tua di dunia ini ketika anak mereka menikah. Satu kata yang sangat dinanti pasangan muda yang baru saja selesai mengikat janji suci di depan penghulu. Cucu. Dan satu kata itu membuat dunia Baskara hancur luluh lantak tak bersisa, membu
"Kak..." Baskara begitu terkejut melihat perubahan di wajah Juna. "Ingatkan dirimu jika kau yang pertama kali menolak permintaan kakek. Ingatkan dirimu jika kau yang memilih pergi lebih dulu sebelum bertemu dengan gadis yang hendak kakek jodohkan pada salah satu dari kita. Sekarang, setelah semua terlambat, kau dengan seenaknya menyalahkan kakek?" Juna menjadi murka. Lily yang merasakan adanya hawa panas dari Juna segera mengambil inisiatif untuk menyentuh lengan pria itu. "Sst, sudah. Nggak enak. Ini masih di lingkungan rumah sakit," tegur Lily sepelan mungkin. Ia merasa tidak enak dengan pegawai kantin yang sesekali menoleh ke arah mereka. Juna menghembuskan nafasnya dengan kasar. "Kau pikirkan sendiri langkah apa yang sebaiknya kau ambil. Jika kau tanya aku, kau bisa menilai sendiri dari percakapan kita sejak awal. Aku pergi dulu." Juna menarik tangan Lily, mengajak gadis itu untuk meninggalkan kantin rumah sakit. Wajahnya tiba-tiba kaku. Ia paling benci jika harus mengungkit-
Status"Menambah satu hari lagi? Memangnya kakek masih harus menjalani satu tes lagi sebelum ke luar dari rumah sakit?" Juna menatap heran Pak Broto.Lelaki tua itu malah terkekeh. "Kakek masih mau di sini sehari saja. Besok kamu jemput kakek, sendirian saja. Biarkan Lily menyiapkan makanan untuk kakek."Wajah Lily langsung berubah. Ia mengira jika sang kakek hendak memberikan waktu khusus pada dirinya dan Juna untuk mewujudkan keinginannya. Namun ternyata, dugaannya salah. "Baik, Kek. Lily akan memasak masakan yang enak khusus untuk kakek." Pak Broto mengangguk. "Sekarang kalian pulanglah. Kamu, Juna. Antarkan istrimu berbelanja, biarlah Baskara yang menjaga kakekmu di sini. Besok barulah kamu jemput Kakek.""Baik, Kek." Juna dan Lily langsung pamit dan ke luar dari ruangan itu. Mereka berdua berjalan beriringan, tanpa berbicara sedikit pun. Mereka sibuk dengan pikiran mereka sendiri.Pak Broto mengalihkan tatapannya ke arah Baskara yang sejak tadi hanya menunduk, sibuk dengan pons
Lily menganggukkan kepalanya. "Iya. Aku akan memperjelas statusku sekarang pada Baskara." Ia sudah bertekad untuk menghentikan laju perasaannya pada Baskara. Ia harus segera membuat batasan sendiri pada dirinya, paling tidak untuk saat ini hingga satu tahun ke depan. Ia harus bisa menetapkan pada siapa dirinya harus berlabuh saat ini. Mobil Juna akhirnya membawa mereka berdua ke kediaman Pak Broto. Juna memandang sekitarnya. Para asisten sudah mulai berbenah dan membersihkan semua bagian rumah, termasuk halaman dan kebun tempat biasanya Pak Broto menghabiskan waktunya. Lily membawa sebagian kecil barang belanjaannya, sedangkan sisanya dibawa oleh Juna. Setengah jam kemudian Lily sudah sibuk menata belanjaannya dan memisahkan mana yang akan ia masak hari ini, mana yang akan dimasaknya esok pagi. Juna duduk mengamati kegiatan Lily dalam diam sambil sesekali memeriksa ponselnya. "Lily!" panggil Juna, saat Lily berdiri di dekatnya menata coklat, keju dan mentega di meja makan. Lily m
Haruskah? Wanita berkacamata hitam itu bergeming. Tatapannya tidak lepas dari Baskara. Rasa penasarann mengusik hatinya. Benarkah yang dikatakan oleh Merry? Sedingin itukah? "Aku akan mencoba menyapanya." Gadis bernama Merry yang duduk di atas kursi roda terkejut. "Apa katamu?" "Aku akan mencoba menyapanya," ulang wanita itu penuh percaya diri. Merry menggelengkan kepalanya. "Jangan salahkan aku jika dirimu ditolak mentah-mentah." Wanita berkacamata itu menyunggingkan senyum di sudut bibirnya. "Kita lihat saja nanti." "Terserah kamu saja, Cin." Merry memutarbalik kursi rodanya, berniat kembali ke kamarnya. Seperti sebuah kebetulan yang direncanakan, lorong yang dipilih Merry ternyata sama dengan yang dilewati Baskara. Wajah Cindy merekah bahagia, melihat sosok Baskara berjalan beberapa langkah di depan mereka. Wanita yang baru saja bercerai itu, dengan cepat mendorong kursi roda Merry hingga jarak mereka tinggal satu meter. Cindy berpikir keras mencari bahan obrolan yang bis
Suara itu begitu mengejutkan Juna dan Baskara. Mereka sama sekali tidak mengira sosok yang sedang mereka bicarakan, tiba-tiba muncul di tengah-tengah mereka. "Lily...!" seru kakak beradik itu bersamaan, menatap wanita muda yang menggendong seorang bayi mungil. "Kebetulan sekali kita bertemu di sini." Lily tersenyum sangat manis. Sangat bertolak belakang dengan apa yang ia rasakan saat ini. Juna terngaga. Apakah ini semua rencana Tuhan? Mendatangkan Lily ditengah-tengah mereka yang sedang bersiteru tentang dirinya? "Lily! Kamu mau kemana?" Baskara segera bangkit dari duduknya. Ia lantas menghampiri Lily. Rasa sayang terlihat jelas dari sikap dan tutur kata Baskara, memaksa Juna kembali merasa bersalah. "Tidak kemana-mana." Lily masih tersenyum. Namun, perubahan di kedua manik cokelatnya, segera diketahui Baskara. Mata yang mulai berair itu, membuat Baskara secara tidak sadar menarik Lily ke dalam dekapannya. Ia thu jika wanita itu sedang berpura-pura tegar. "Aku tidak apa-apa,
Juna bergeming, kembali menatap langit biru yang membentang bersih tanpa sedikit pun awan. Ia mengabaikan pertanyaan Baskara, yang menuntut penjelasan lebih atas pernyataan yang baru saja ia ucapkan. Bukan hal yang mudah bagi seorang Juna, untuk mengambil keputusan itu. Ia sudah menimbang jauh hari sebelumnya. Ya. Sebelum ia dan Lily, pada akhirnya menyepakati untuk melakukan gencatan senjata, membuat kesepakatan untuk menjalankan peran mereka masing-masing, sebagai pasangan suami-istri, selama satu tahun. Dan kini, sudah tiba waktunya untuk mereka berdua, duduk bersama kembali, membicarakan hubungan mereka untuk ke depan. Membayangkan perpisahannya dengan Lily, dan juga Arka, membuat Juna tersiksa. Tidak pernah ia merasakan kebimbangan yang sangat seperti sekarang ini. "Aku sudah berjanji, akan menceraikannya setelah satu tahun pernikahan kami." Sontak Baskara mengangkat kepalanya. Ia tidak mengira jika Juna masih mengingat hal itu. "Kak?" Juna menganggukkan kepalanya dengan t
Tangan kiri Juna bergerak sebentar lalu kembali diam. Ia mendengar beberapa orang sedang berbicara di dekatnya tapi ia tidak bisa memahami apa yang mereka bicarakan. Pria itu sibuk mencari-cari sumber cahaya. Ia tidak bisa melihat apa pun di sekitarnya. Gerakan ini tanpa ia sadari, membuat kepalanya secara otomatis bergerak ke kanan dan ke kiri. Sayangnya, di ruangan itu sedang tidak ada seorang pun. Gelap. Juna tidak bisa melihat apa-apa. Ia mencoba mengangkat tangan kanannya, tapi mengapa terasa begitu berat. Digantinya dengan tangan kiri. Berhasil. Tangannya terangkat sempurna, tapi ia tidak bisa meraih apa pun. Dikerjapkannya berulang kali, namun kedua matanya tetap tidak bisa melihat apa pun. 'Apa yang terjadi?' batin Juna mulai panik. 'Buta. Apakah aku sekarang buta?' Kini, Juna menjadi benar-benar panik. Tiba-tiba perutnya terasa begitu lapar. Ia ingin memakan sesuatu. Apa saja yang bisa mengganjal perutnya sekarang ini. Bayangan semur daging melayang-layang di benakn
Baskara tenggelam dalam tumpukan map-map yang nyaris menutupi dirinya. Ia tidak punya banyak waktu untuk menyelesaikan semua dokumen-dokumen itu. Tiga jam berlalu sejak kedatangannya ke ruangan Juna. Karena kondisi Juna, maka ia terpaksa mengambil alih semua pekerjaan sang kakak,untuk sementara waktu. Untung saja ia pernah memimpin anak cabang perusahaan itu, jadi ia tidak perlu belajar terlalu lama untuk melanjutkan pekerjaan yang sudah dikerjakan Juna sebelumnya. Ketukan yang sebenarnya tidak terlalu keras, membuyarkan konsentrasi Baskara. Ia nyaris terjungkal dari kursinya. Begitu wajah asisten Juna muncul dari balik pintu, Baskara sontak saja melayangkan satu pensil dan nyaris mengenai pelipis pria muda itu. "Aisssh, Kau ini! Tidak tahukah jika aku sedang sangat serius dengan pekerjaanku..." Tatapan kesal mengiringi langkah sang asisten. Ditutupnya dengan kasar, berkas yang berada di hadapannya "Maafkan saya, Pak. Tapi, ada telpon dari rumah sakit mengabarkan..." Belum juga kali
Lily bergeming. Ia tidak lagi berani membalas tatapan Baskara. Ia merasa seperti seorang pencuri yang tertangkap basah oleh pemilik rumah. Otaknya dipaksa berputar, mencari alasan yang tepat untuk menjawab pertanyaan Baskara yang dirasa menyudutkan dirinya. "Ak-Akuu... Aku hanya... Yaaah, hanya... Kebetulan...Ya, aku hanya kebetulan berada di sini..." Entah apa yang dipikirkan Lily. Jawabannya justru memicing pertanyaan lanjutan Baskara. "Kamu di sini sendiri?" Tanpa bisa dicegahnya, kepala Lily dengan pasrah mengangguk. "Sendiri? Lalu di mana Arka? Kamu meninggalkannya sendirian?" Suara Baskara tanpa sadar meninggi, membuat Lily sontak membulatkan matanya. "Suaramu!" seru Lily tertahan. Baskara segera menarik tangan Lily, membawa wanita muda itu keluar dari ruang serba putih itu. Lily meringis kesakitan. Baru kali ini, ia merasakan kemarahan Baskara. Apakah yang ia lakukan sangat salah? "Bas. Sssa-kiit," keluh Lily berusaha melepaskan cengkeraman Baskara di pergelangan tangann
Pak Yono berjalan cepat keluar dari kamarnya, meraih kontak mobil yang tergeletak di atas nakasnya. Langkahnya terkesan buru-buru, sambil berbicara dengan seseorang dengan ponselnya. "Baik, Mbak. Saya segera berangkat. Perlukah saya menghubungi Mas Baskara?" *Tidak perlu. Biar aku sendiri saja yang memberitahunya. "Baik. Saya berangkat ke sana sekarang." Mobil sedan hitam Juna meluncur mulus meninggalkan pekarangan luas milik Pak Broto. Lily menelpon Pak Yono untuk menjemputnya pulang, karena hari ini adalah hari terakhirnya dan bayi mungil Arka berada di rumah sakit. -0- Lily baru saja selesai membereskan semua barang bawaannya, tanpa bantuan siapa pun. Baskara masih menyelesaikan urusan administrasi persalinan dan perawatannya. Ia berjalan keluar, melihat apakah Pak Yono, orang kepercayaan Pak Broto sudah tiba di sini atau belum. Ia sangat membutuhkan Pak Yono saat ini. Ada sesuatu yang harus ia lakukan, sebelum dirinya dan bayi mungil Arka meninggalkan tempat ini. Lima bela
Baskara langsung berdiri dan kembali ke loket tempat pembayaran. Telpon dari Lily membuat dirinya melupakan sejenak tentang nama pasien yang mirip dengan Juna. Untungnya, antrian tidak lagi sebanyak tadi. Hanya tinggal dua orang. *Apakah begitu banyak yang mengantri hingga kau membutuhkan waktu begitu lama menyelesaikan pembayarannya, Bas? Suara Lily terdengar seperti seseorang yang sedang merajuk. "Antri, Sayang. Banyak orang yang sedang mengantri melakukan pembayaran di sini." Baskara berbohong. Ia sendiri sedang berjalan, kembali menuju loket pembayaran. *Bukankah hari masih pagi, mengapa orang-orang sudah mengantri? Baskara menghela nafas panjang. Beginikah perubahan seorang wanita yang baru saja melahirkan? Begitu cerewet, mengomentari semuanya dengan sangat detil? "Kamu tidak percaya padaku?" Baskara menjauhkan ponsel dari telinganya. Ia bersiap-siap dengan lengkingan suara Lily, tapi itu tidak terjadi. *Bukan begitu. Hanya saja, aku sudah bosan di sini. Pengen cepet-cepe
Juna duduk di sebuah kursi panjang berwarna putih, Ia menghisap sebuah cerutu yang anehnya, cerutu itu juga berwarna putih. Kepulan asap hanya terlihat bak garis tepi yang membentuk bulatan-bulatan tembus pandang, terbang hingga satu meter lalu menghilang tanpa jejak. Juna terus menghisap cerutu tanpa henti. Ia seakan sedang melepaskan semua beban yang ada di pundaknya. Pikiran Juna melanglang buana, entah kemana. Hanya saja, saat itu Juna sedang menghitung dalam hati usia pernikahannya dengan Lily. Jarinya mulai melambat kemudian berhenti berhitung. Ia menatap ke semua jari tangannya. Kurang satu bulan lagi, usia pernikahannya dengan Lily akan genap berusia satu tahun. "Sudah hampir satu tahun. Apakah aku sudah siap untuk melepasnya?" gumam Juna lirih. "Apa yang akan dilakukan Lily setelah perceraian ini? Akankah ia menikah dengan Baskara?" Juna kembali mengulang hitungannya dan tak lama kemudian dirinya berhenti . Berapa kalipun ia menghitung, ia akan berhenti di tempat yang sama
Juna berlari mengejar taksi yang baru saja berhenti di halaman depan bandara. Ia tidak menghiraukan hujan deras yang mengguyur kota Jakarta setibanya ia dari Singapura. Yang ada dalam benaknya hanyalah Lily dan kandungannya. Ia sangat ingin menemani istrinya melewati masa-masa kritisnya saat melahirkan buah cinta mereka. Saat ia berhasil mencapai pintu taksi, mendadak sebuah sedan hitam menghantamnya dari samping kanan, membuat Juna terlempar ke udara setinggi satu meter sebelum jatuh ke sebelah kiri, berjarak sepuluh meter dari tempatnya berhenti semula. Ia tidak merasakan apa-apa lagi. Yang ia ucapkan saat dirinya menyentuh tanah hanya satu kalimat. "Maafkan aku, Lily." Juna mendengar teriakan orang-orang di sekitarnya hingga kemudian kehilangan kesadarannya. Juna memimpikan Baskara dalam alam bawah sadarnya. Tiba-tiba ia sudah berada dalam satu bangku panjang dengan adiknya. "Apakah dia sudah tidur?" tanyanya pada Baskara yang baru saja menjatuhkan tubuhnya di kursi yang sama