Aku dan ibu sama-sama bergeming beberapa saat. Entah apa maksud Mas Bian, bisa-bisanya membuat drama lagi dengan berusaha mengambil hak asuh Irena padahal sebelumnya sudah sepakat jika Irena bersamaku karena dia masih kanak-kanak dan butuh kasih sayang seorang ibu. Kenapa sekarang dia berusaha merebut Irena dariku, bukankah dia sudah bahagia dengan anak lelakinya dan mungkin sebentar lagi akan mendapatkan anak kedua dari istri tercintanya? Mengapa harus mengusik keberadaan Irenaku. Gadis kecil yang sedari dulu begitu mendambakan peluk cium dari papanya, timang dan cinta darinya dan semua kasih yang papanya punya tulus tanpa sandiwara. Namun, nyatanya hanya mendapatkan cinta yang semu dan perhatian palsu.Apakah Mas Bian sengaja melakukan ini semua karena dia tak pernah rela aku mendapatkan kebahagiaan lebih setelah berpisah dengannya? Dengan merebut hal asuh Irena, tentu aku tak akan pernah bahagia sekalipun sudah bersama Mas Reza. Mas Bian benar-benar licik jika berpikir sampai seja
"Aku ingin Irena, Nia. Silakan saja kalau kamu mau menikah dengannya, tapi tak akan kubiarkan laki-laki itu menggantikan posisiku di hatinya. Dia laki-laki yang sudah mencampakkanmu begitu saja, Nia. Apakah kamu amnesia?" Laki-laki itu kembali menatapku tajam, tak berkedip beberapa saat lamanya. "Kamu yang amnesia, Mas. Kamu yang selingkuh, kamu pula yang menuduhku macam-macam. Jangan suka mengkambinghitamkan orang lain!" sentakku kemudian. Mas Reza menoleh ke arahku lalu mengedipkan matanya mungkin sebagai pertanda agar aku tak terlalu meladeninya. "Kamu belum terlalu mengenal Irena, Bian. Aku pegang kartu dia karena dia adalah mantan sepupuku. Tepatnya mantan istri sepupuku. Mungkin kamu sudah tahu akan hal itu," ucap Mas Reza saat akan membuka pintu mobilnya. Mas Bian terdiam sejenak lalu mendorong kasar Mas Reza hingga terbentur tembok. Spontan aku menjerit dan berusaha memisahkan mereka berdua. "Apa-apaan sih kamu, Mas! Kasar banget." "Kasar apanya? Hanya ingin kasih secui
Seminggu berlalu, tak ada teror Mas Bian ke rumah. Aku cukup bersyukur dan tenang tak mendengar kegaduhannya. Sebab setelah kedatangannya yang pertama itu selang dua hari kemudian dia datang lagi dengan membawa perempuannya. Perempuan itu, entah mengapa mau aja diajak ke rumah ibu bahkan meminta Irena untuk tinggal bersamanya. Mereka datang saat aku tak ada di rumah dan masih sibuk di restoran. Beruntung sekali Irena bersikeras tak mau ikut meski diimingi apapun. Ibu yang menceritakan semuanya. Mas Bian begitu memohon dan bilang itu permintaannya yang terakhir. Kalau memang Irena tetap tak ingin diajak pergi, dia tak akan lagi memaksa setelah ini. Semoga saja begitu, sebab Irenaku memang tak ingin pergi bersamanya sekalipun dengan iming-iming boneka doraemon yang jauh lebih besar dibandingkan bonekanya yang baru itu. "Rena suka dan sangat sayang sama boneka ini, Pa. Ini yang beliin Om Reza. Dia baik sekali sama Rena. Sama mama dan nenek juga sama baiknya." Begitulah ucapan gadis
Pov : Bian Jarum jam hampir menunjuk angka delapan malam. Seperti biasa aku baru pulang. Akhir-akhir ini aku memang sering lembur di kantor. Sama seperti dulu saat aku bersama Dania. Bedanya, dulu aku lembur dengan suka rela, tanpa paksaan dari siapapun karena aku sendiri yang menginginkannya demi menjaga kewarasan.Aku lembur agar tak terlalu lama di rumah melihat Dania, itu saja. Namun kini dunia seolah berbalik mengejekku. Aku yang kini terpaksa lembur demi menuruti permintaan Irena. Dia yang tak puas dengan gaji bulananku padahal jelas semua gaji itu kuberikan padanya. Istriku itu menekanku dengan berbagai alasan agar aku tetap mencari uang lebih untuk jatah bulanannnya. Dia ingin memperlihatkan kesuksesannya di depan saudara-saudara mantan suaminya termasuk adik madunya. Dia yang sengaja memamerkan apapun yang kuberikan padanya, seolah tak peduli padaku yang tenggelam dalam dunia kerja dan segala rutinitas kantor yang cukup membosankan. Sering kali aku protes, tapi Irena t
Ingin rasanya kutumpahkan segala rasa yang berkecamuk dalam dada. Rasa yang selama ini kusimpan rapat sendiri karena tak ingin membuat Irena terluka dan kecewa. Kini mungkin sudah waktunya kuluapkan semuanya agar Irena tahu aku tak lagi sesabar itu. Aku juga punya hati dan rasa kecewa atas segala sikapnya. Aku yang tak pernah sekalipun menyangka akan mendapatkan perlakuan seburuk ini darinya. Aku merasa gagal dan kalah sekarang karena Dania seolah begitu bahagia setelah berpisah denganku sementara hidupku justru berantakan setelah berpisah dengannya. Teringat kembali bagaimana mama selalu mengingatkanku dulu untuk mencintai Dania dengan tulus sebab dia perempuan yang baik dan setia. Aku kembali teringat senyum tulusnya tiap kali aku pulang kerja. Dia menawariku pijatannya. Menata sepatuku ke rak dan menyiapkan teh hangat juga makan malam untukku. Meski aku jarang memakannya karena sudah makan di luar. Kini semua berubah. Bukan karena kesalahannya, tapi karena keegoisanku sendiri
Pov : Bian|Mas, gimana uangnya? Dania mau meminjamkan uangnya buat kita, kan?| Pesan dari Irena membuatku semakin pusing. Tak seharusnya dia terlalu berharap pada Dania karena belum tentu dia mau meminjamkan uang seratus juta itu. Padahal Dania saja tak peduli bahkan memintaku untuk memecahkan masalah itu sendiri. |Kenapa nggak kamu balas, Mas? Apa kamu masih ngobrol dengan mantan istrimu itu?| Aku kembali membaca pesan kedua dari Irena yang masuk di whatsapp. Mungkinkah semua ini memang sandiwaranya saja untuk mendapatkan uang Dania? Sebab selama ini Irena memang sangat menginginkan uang restoran itu, tapi setega itukah dia melibatkan Rizqi untuk ambisinya ini?Apa Irena pikir dengan alasan penculikan Rizqi, Dania mau meminjamkan uang itu? Padahal jelas Dania tak sebodoh yang dia kira. Hatinya cukup kuat dan peka. Dia pasti tak percaya begitu saja dengan ceritaku. Jangankan Dania, aku sendiri masih ragu apakah ini murni penculikan atau sekadar akal-akalan Irena saja. Aku benar-b
Irena belum jua mundur. Dia masih berusaha merayuku, lebih tepatnya memaksaku untuk memenuhi keinginannya itu. Setelah sekian menit terdiam, suara itu kembali terdengar. Suara yang dulu begitu kurindukan entah mengapa kini terdengar menyesakkan. "Pinjam mama, Mas. Aku yakin tabungan mama banyak. Kalau mobilku dijual, bagaimana aku antar jemput Rizqi ke sekolah? Bagaimana kalau kami pengin jalan-jalan saat kamu di kantor? Nggak mungkin naik motor, kan? Panas, Mas. Bisa juga kehujanan. Apa kamu nggak mikir sampai sana?" "Bisa naik taksi. Semua bisa diatur, Irena. Yang penting sekarang Rizqi selamat dan kembali ke kita. Itu saja," sahutku tak mau kalah. Aku nggak akan membiarkan Irena terus mencecar dan memanfaatkanku demi ambisinya. Aku nggak mau melibatkan mama dengan rumah tanggaku dengannya. Aku malu. "Kalau memang kamu nggak mau pinjam mama, biar aku yang pinjam sendiri ke sana. Meski mama tak merestuiku menjadi menantunya, aku yakin mama tak akan membiarkan cucunya disekap pe
Pov : Bian"Tunggu!" Aku berteriak sembari mempercepat langkah ke arah laki-laki kekar itu. Dia hampir saja memacu mobilnya meninggalkan area parkir super market. Laki-laki bernama Zaky itu pun membuka setengah kaca jendelanya lalu menatapku lekat. Dia menelitiku dari ujung kaki hingga ujung kepala. Begitu detailnya."Siapa kamu?" tanyanya singkat. "Aku adalah suami dari perempuan yang baru saja kamu temui," balasku. Zaky kembali mengernyit saat aku mengangguk yakin atas jawabanku sendiri. "Irena?" tanyanya singkat sembari tersenyum miring. "Kamu bawa ke mana anakku?""Apa? Coba ulangi?" Aku yakin dia pura-pura tak mendengar sebab suaraku cukup keras jika didengar oleh telinga normal. "Dimana Rizqi? Kenapa kamu culik anakku?" sentakku kemudian. Namun laki-laki itu justru tertawa lebar. "Siapa? Anakmu?" tanyanya lagi sembari mengangguk-anggukkan kepala. Senyumnya miring seperti semula seolah begitu mengejekku. "Seyakin itu kalau Rizqi adalah anakmu?" "Aku sudah nikah sama ibuny
Pov : BIANLima kali bertemu dengan gadis itu, membuatku semakin yakin jika dia memang bidadari yang Allah kirimkan untuk melengkapi hidupku. Dia yang sederhana, tapi terlihat nyaris sempurna. Tak ingin seperti laki-laki lain yang mengajaknya pacaran demi embel-embel saling mengenal, aku lebih nyaman mengikuti pesan mama untuk langsung melamarnya. Selain umur tak pantas lagi mengobral cinta, status duda juga membuatku sadar diri bahwa aku tak muda lagi. Urusan ditolak atau diterima urusan nanti. Yang penting aku sudah berusaha mengutarakan isi hati. Setelah aku memberinya waktu untuk istikharah selama seminggu. Akhirnya waktu yang ditunggu pun tiba. Waktu di mana Maura akan mengatakan pilihannya untuk mengiyakan atau menolak niat baikku. Tak mengapa kalaupun dia menolak. Aku cukup sadar diri, terlalu banyak perbedaan antara kami. Lagipula, aku juga tak ingin dia menerima lamaran ini karena terpaksa. Aku tak ingin dia seperti Dania beberapa tahun silam yang terpaksa mengiyakan per
Pov : BIANSeperti itulah awal perjalan cintaku dengan Maura. Aku yang tak berani mengungkapkan cinta karena merasa bukan pria idamannya dan dia yang memilih diam menunggu pria baik melamarnya. Setidaknya seperti itulah yang dikatakan sang mama. Hingga aku memberanikan diri untuk melamarnya detik ini. Tak ingin kembali menyesal, andai ada laki-laki lain yang lebih dulu melamar bahkan ingin segera mengikatnya dalam kehalalan. Iya, aku tak ingin menyesal ke sekian kalinya. Disaksikan mama dan anak kesayanganku Rizqi, aku kembali ke rumah ini. Rumah dengan dua lantai berwarna hijau pupus. Ada seorang laki-laki lain yang memang sudah lebih dulu datang. Laki-laki tampan, sepertinya juga mapan dan berpendidikan. Dia terlihat begitu akrab dengan mama dan papa Maura. Sementara aku duduk dengan gelisah dan tak tenang. Rasanya ingin mengajak mama untuk pulang, tapi sayangnya mama masih cukup sibuk ngobrol dengan Tante Lydia. "Pa, jangan khawatir. Tante Maura pasti lebih memilih papa," bisik
Pov : BIAN "Maura maunya laki-laki yang lebih dewasa, lebih ngemong dan setia, yang pasti bisa bimbing dia ke jalanNya." "Maura nggak suka pacaran sebelum nikah. Dia ingin pacaran setelah halal karena semua jadi berpahala dan InsyaAllah berkah." "Maura memang masih ingin sendiri, tapi jika ada laki-laki baik melamarnya, kenapa enggak? Tak ada salahnya menikah muda asalkan sudah siap segala konsekwensinya." Cerita-cerita mama barusan membuatku bertanya-tanya. Mungkinkah aku ada di salah satu pria idamannya? Bibirku kembali tersenyum saat membayangkan pertemuanku dengannya kemarin sore secara tak disengaja. Aku yang tengah memperhatikan Rizqi dan Rena di alun-alun tak jauh dari rumah mama, mendadak bertemu dengannya yang juga tengah mengantar keponakan-keponakannya bermain di sana.Tiap kali weekend, tempat itu memang ramai pengunjung. Pedagang kaki lima pun banyak berjejeran, menjajakan aneka kuliner murah meriah yang unik dan enak di lidah. Tak hanya golongan menengah ke bawah
Langit gelap. Mendung menggantung di sana. Sepertinya sebentar lagi hujan akan tiba. Angin berhembus menampar wajah yang gelisah. Beberapa minggu belakangan, jam tidurku mulai berantakan. Makan pun rasanya hambar. Berulang kali mama menyindirku soal jatuh cinta, tapi aku selalu menegelaknya. Di usia nyaris 35 tahun ini, mungkinkah aku merasakan jatuh cinta kembali? Aku yang sudah dua kali gagal berumah tangga, masihkah ada perempuan yang percaya jika aku tipe laki-laki setia?Entahlah. Namun kehadiran gadis itu beberapa waktu lalu di restoran ini benar-benar membuatku kesulitan tidur. Namanya Maura. Gadis manis dengan hijab dan gamis panjangnya itu adalah anak Tante Lydia yang tak lain teman arisan mama. Mama tak sengaja lewat di depan restoran yang kubangun dua tahun belakangan pasca resign dari kantor dulu, karena itulah sekalian mampir dan memperkenalkanku dengan perempuan itu. Tak banyak hal yang mama bicarakan. Hanya sekadar perkenalan biasa. Mama pun tak ada rencana menjodoh
Pov : BIAN Tahun berlalu. Kepergian Irena membuat perubahan besar dalam hidupku. Aku memang memilih berpisah dengannya, tapi tak menyangka jika perpisahanku itu tak hanya perpisahan dunia. Namun dia benar-benar pergi meninggalkan semua menuju alam keabadian yang nyata.Air mata tak terasa lolos begitu saja dari porosnya tiap kali mengingat bagaimana perjuanganku dulu untuk mendapatkannya. Hingga dia menghancurkan semua kepercayaan yang kupunya. Memilih laki-laki lain yang nyatanya tak pernah tulus mencintainya. Laki-laki yang kini disesaki perasaan bersalahnya dan pamit pergi bersama teman hidupnya yang baru. Dia yang memberikan sekepal tanggungjawab untukku dan dia yang puluhan kali minta maaf karena telah menusukku. Zaky."Gue mau minta maaf sama Lo, Bian. Selama ini gue udah hancurin keluarga Lo. Gue nikam Lo dari belakang. Semua salah gue. Gue ancam Iren hingga dia menuruti semua kemauan gue. Rizqi sebagai tamengnya sebab Iren tahu jika dia adalah darah daging gue. Iren selalu b
Pov : DANIAPapa dan Mas Reza tampak begitu khawatir saat kubilang ada bercak coklat di celana dalam. Mereka saling pandang lalu buru-buru mengajakku ke klinik yang tak jauh dari rumah. Klinik Medika.Setelah mengantri di urutan ke empat, akhirnya aku diizinkan untuk masuk ke dalam ruangan. Seorang dokter mempersilakanku duduk dan menceritakan keluhan yang terjadi. Dengan serius sang dokter mendengarkan ceritaku. Mas Reza bertanya ini itu, terlihat cukup khawatir dengan kesehatanku dan calon buah hatinya. Selama di mobil, papa memang menceritakan bagaimana aku sampai terjengkang dari kursi. Mas Reza beberapa mengucapkan istighfar saat papa menceritakan ulah menantu pertamanya. Papa juga menceritakan bagaimana wajah asli Mas Aris dan istrinya itu. Aku sendiri tak menyangka jika firasatku tentang ketidakberesan mereka ada benarnya. Beruntung papa sudah tahu sebelumnya. Aku hanya khawatir papa shock saat mendengar rekaman percakapan Mas Aris dan Mbak Shila yang rencananya akan kuberi
Pov : DANIASyukuran empat bulan digelar hari ini. Banyak sekali tamu yang datang. Tak hanya keluarga papa, tetangga dan teman-teman Mas Reza, tapi juga beberapa karyawan Mas Reza. Tak ketinggalan mama dan Mas Bian. Laki-laki itu tengah ngobrol dengan Mas Reza dan Mas Fano. Entah membicarakan apa, tapi di sampingnya ada jagoan kecil yang begitu familiar. Rizqi. Laki-laki kecil yang tampan itu sekarang menjadi anak asuh Mas Bian. Meski tetap tinggal bersama kakek dan neneknya, tapi biaya hidup dan pendidikannya ditanggung Mas Bian. Begitu yang kudengar dari cerita Mas Reza beberapa menit lalu padaku. Aku sangat bersyukur akhirnya Mas Bian lebih ikhlas menerima segala takdirNya. Kulihat sekarang dia jauh lebih tenang, murah senyum dan tak lagi gemar melamun seperti dulu. Mungkin memang banyak belajar arti hidup yang sebenarnya, sebab akhir-akhir ini memang banyak sekali ujian yang menerpanya. Banyak perubahan yang kulihat darinya. Selain lebih tenang, Mas Bian juga terlihat lebih d
Kabar bahagia itu benar-benar datang. Aku positif hamil dan kini hampir empat bulan janin itu tumbuh di rahimku. Malaikat kecil yang begitu diimpikan Mas Reza dan papa karena memang mereka yang paling antusias saat mendengar kabar bahagia ini. Aku sendiri tak paham mengapa papa selalu bilang bahwa ini adalah cucu pertama yang begitu dinantikannya. Padahal Mas Aris juga sudah memiliki buah hati. Rista yang kini berusia tujuh tahun. Saat aku merasakan hari-hari yang membahagiakan, kabar duka pun datang. Mas Bian benar-benar berpisah dengan Irena. Tak hanya itu saja, bahkan kabar tak terduga itu pun datang. Kepergian Irena yang mendadak benar-benar membuatku shock seketika.Tak terasa bulir bening menetes dari kelopak mata. Mengingat dan sengaja membaca kembali pesan-pesan yang dia kirimkan beberapa hari sebelum kepergiannya.|Maaf jika sudah mengganggu hari-hari bahagiamu, Dania. Aku dapatkan nomor barumu dari mama, setelah berusaha meyakinkannya jika aku tak akan menyakitimu. Entahla
Pov : Dania "Semangat pagi, Sayang. Gimana, udah enakan badannya?" Mas Reza sudah duduk di samping pembaringan sembari tersenyum manis ke arahku. Aku yang ternyata bangun kesiangan. Bakda subuh, aku memang sengaja rebahan sebab kepala mendadak pusing sepertinya bumi bergoyang-goyang nggak jelas. Mas Reza pun membantuku ke kamar setelah menyiapkan secangkir kopi untuknya di meja makan. Dia begitu mengkhawatirkanku, sebab itulah memintaku untuk istirahat. Tak perlu menemaninya joging seperti biasanya. "Mas joging sendiri deh, Sayang. Rena juga belum bangun. Biarlah, mungkin dia kecapekan karena kemarin main seharian dengan papanya, kan?" Ucapan Mas Reza tadi pagi kembali terlintas dalam ingatan. Rena Bagaskara. Iya, nama anak perempuanku itu memang sudah diganti. Cukup singkat sekarang. Mas Bian yang meminta agar nama anak semata wayangnya itu tak ada hubungannya dengan masa lalu. Toh semua hanya karena dendam dan keegoisan semata, bukan karena memang menyukai namanya. "Mas, udah