Share

82 & 83. Meluap

Penulis: Bintu Ikhwani
last update Terakhir Diperbarui: 2022-07-25 18:05:22
Beberapa jam sebelumnya, di hari yang sama di rumah tuan Aji.

Sesuai janji, Pramono membawa Tasya ke rumah sang Ayah. Namun keputusan itu harus disesalinya karena akhirnya dia harus memberi jawaban atas permintaan sang ayah untuk menikahi Ratna.

Pramono menoleh ke arah wanita yang kini sibuk bermain dengan sang putri, tak jauh dari tempatnya duduk berbincang dengan sang ayah.

“Pram tidak mencintai dia, ayah. Adilkah bagi Ratna dinikahi dan digauli tanpa rasa cinta?” ucap Pramono berharap sang ayah mempertimbangkan poin itu, meski sebenarnya itu wujud keengganannya menuruti keinginan sang ayah.

Sayangnya Tuan Aji selalu punya cara untuk menyanggah pendapat sang putra. Dia tertawa sarkastik seolah pendapat itu terlalu klise. “Laki-laki bahkan tidak tahu apa itu cinta, Pram. Kenapa harus mempermasalahkan itu?”

Tidak demikian bagi Pramono. Jika dia hanya tahu nafsu tanpa mengerti apa itu mencintai, kenapa dikhianati terasa begitu menyakitkan? Bahkan rasanya bagai sesuatu tengah mengir
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   84 & 85. Kilas Balik

    Dalam foto itu, wanita bergaun pastel tengah menatap sendu laki-laki di depannya. Di belakangnya Ratna melihat bangunan rumah sakit berlantai dua.Pada foto di sampingnya, sebuah mobil terparkir di halaman rumah Pramono. Dari pelat nomornya, dan sepertinya si pengambil gambar memang fokus ke identitas mobil itu—Ratna tahu itu bukan milik sang kakak. Lagi pula Pramono tidak di rumah selama sebulan terakhir.Di foto berikutnya, seorang lelaki berdiri di depan rumah dengan bersandar pada pintu mobil menatap ke balkon rumah Pramono dengan satu tangan terangkat seperti memegangi ponsel di telinga.Foto di bawahnya masih menampilkan gambar yang sama, bedanya kali ini lebih jauh. Di kiri atas foto itu, Nadya tengah berdiri dengan posisi tangan yang sama. Ratna menerka mereka saling bicara dengan telepon, dan gambar itu diambil dari dalam mobil—atau kamera mobil.Foto terakhir, lebih memuakkan. Dan Ratna akhirnya tahu, sang ayah adalah seseorang dengan kuasa melebihi siapa pun melihat dari ba

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-25
  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   86 & 87. Tamparan

    Waktu menunjukkan pukul sembilan malam. Dari teras belakang, tepat setelah selesai bicara dengan Ratna, Pramono melangkah panjang menuju ruang kerja sang ayah. Dia tahu benar sang ayah masih di sana. Hampir separuh hidupnya dia habiskan hanya di ruang kerja. Bahkan dia yakin, waktunya untuk sang istri tak lebih banyak daripada waktu untuk pekerjaan. Brak! Suara keras pintu terbuka terdengar ketika Pramono mendorong kasar pintu ruang kerja tuan Aji hingga daun pintunya membentur dinding. Pandangannya mengedar lalu berhenti tepat di depan jendela. Di sana sang ayah duduk termangu di atas kursi roda, menatap keluar jendela. Seolah telah memprediksi apa yang akan terjadi, Tuan Aji sama sekali tak terkejut dengan kehadiran Pramono. Dia masih memandang ke luar jendela seakan ada hal lebih menarik yang enggan dia lewatkan. “Ayah tahu apa yang Nadya lakukan, kenapa diam saja? Sejak kapan ayah tahu?” Tuan Aji menoleh ke arah Pramono. “Maksudmu perselingkuhan istrimu?” Tak ingin memperjel

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-26
  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   88 & 89. Dipermainkan Takdir

    “Mas Pram?” Lalu suara itu muncul kembali. Suara yang begitu merdu dan terasa bagai candu namun berubah menjadi begitu menyakitkan, kini, berdengung dan bersahut-sahutan di tempurung kepalanya. Pramono mengabaikannya, dan kembali mengisap rokok itu entah untuk ke berapa kalinya. “Mas Pram ...?” panggil suara itu lagi. Lalu bayangan wanita bergaun merah dengan belahan dada rendah mengikutinya di belakang, muncul bagai slide film lama. Wanita itu menatap curiga sesampainya di hadapan Pramono. “Mas, kok bau rokok? Mas merokok?” Nadya bertanya lagi. “Oya?” Laki-laki itu menjatuhkan diri di sofa. “Iya.” “Coba tebak?” Pramono mendekatkan wajah agar sang istri bisa memastikannya. Setengahnya untuk mencuri aroma harum yang sudah tersaji dari wanita yang selalu menaati perintahnya: tampil ayu saat menyambut suami pulang kerja. Nadya menatap curiga wajah itu sesaat, seakan tahu niat dalam hati suaminya. Dia mendekatkan penciuman ke wajah suaminya, mengendus. Tapi bukan Pramono namanya j

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-27
  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   90 & 91. Menerima Kenyataan

    “Telepon dari siapa?” Nadya bertanya tepat setelah Ali menurunkan ponsel dari samping telinga, separuhnya karena melihat raut di wajah itu berubah masam.“Pramono,” jawab laki-laki itu, masih memandang ke arah Nadya seakan ingin melihat bagaimana reaksinya saat mendengar nama laki-laki itu disebut.Sebaliknya, Nadya tersenyum samar, menampakkan kesan tak peduli di hadapan Ali. “Lalu kenapa wajah Mas berubah?”Ali memandang wanita itu beberapa detik sebelum menjawab, seolah tengah memperkirakan bagaimana reaksinya andai Nadya tahu apa yang terjadi pada putrinya. “Tasya sakit. Dia dirawat sekarang.”Ali tahu, tidak ada ibu yang benar-benar tega pada putrinya, sebejat apa perbuatannya. Mendengar kabar dari Ali, wajah Nadya berubah pias. Dia sempat tertegun sebelum menunduk, menyembunyikannya dari Ali.“O—oh ... “Terlihat dari bagaimana wanita itu mengepalkan tangan yang gemetar. Ali tahu Nadya tidak baik-baik saja, dan sedang berusaha menguatkan hatinya.Nadya bangkit. “Sebaiknya ki—kit

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-28
  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   92 & 93. Membagi Hati

    “Saya terima nikahnya Nadya Arfianti dengan mas kawin seperangkat alat salat, tiga puluh gram emas, buku, dan satu unit rumah beserta isinya, dibayar tunai.” “Sah?” “Sah.” Dengan tubuh gemetar Pramono menengadahkan tangan mengamini setiap doa yang dilantunkan penghulu. Ucapan “Aamiin” bersahut-sahutan terdengar dari para tamu. Bagai isi dunia tergenggam di tangan, ada bahagia yang nyaris meledak di dada Pramono hingga membobol pertahanan diri dengan tetes demi tetes air mata di pipi. Dia mengusap cepat lalu diam-diam melirik gadis di sebelah kirinya yang juga terisak-isak. Pramono menenggelamkan wajah di lengan sofa tempatnya terbaring, karena detik ini dia menyadari tangisan Nadya itu bukan wujud dari air mata bahagia, melainkan sebuah keterpaksaan. *** Malamnya, di hari yang sama saat mereka menikah. Di rumah orang tua Pramono yang megah, Nadya duduk menepi di sudut ruangan dengan kedua kaki terlipat. Menatap keluar jendela seakan ada hal menarik di luar sana yang membuat gad

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-29
  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   94 & 95. Pengobat Luka

    Pada sarapan esok paginya Ratna menyiapkan sendiri makanan untuk Pramono sebagai bentuk pelayanan kepada sang suami. Dari bagaimana sikapnya, Tuan Aji tahu putrinya sedang bahagia. “Sore nanti, Pram akan berangkat ke Bandung, Yah.” Pramono memulai pembicaraan setelah mendapatkan piring nasinya. Kalimat itu sontak membuat sang ayah dan Ratna menoleh bersamaan. “Bukankah sudah ada Annisa?” Tuan Aji bertanya. “Ya, Pram butuh melihat sendiri bagaimana perkembangan di sana, sebelum Grand opening.” “Kalau begitu untuk apa memperkerjakan Annisa?” Ratna menyela. Dia menatap kesal ke arah Pramono. Dibalas dengan tatapan dingin oleh laki-laki itu. Ratna bungkam karena teringat perbincangan malam itu, tentang tidak berhaknya dia menuntut, bahkan sekadar nafkah yang layak. Dia berpaling untuk menyembunyikan rasa kecewanya. “Kau mau ikut, Ratna?” Tuan Aji menawarkan. Mendengar tawaran menyenangkan itu, seketika Ratna menoleh ke arah sang ayah. Dia baru akan menjawab dengan anggukan, saat Pra

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-29
  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   96. Babak Baru

    “Pram berangkat, Yah.” Tuan Aji mengangguk. Pramono memandang wanita yang berdiri di belakang sang ayah, dan menyadari hangat menyelusup ke sudut hatinya. “Aku berangkat. Tolong jaga ayah untukku.” Ratna mengangguk. Sedikit kecewa karena bahkan laki-laki itu belum bisa memanggil namanya dengan nyaman. “Hati-hati di jalan, jaga diri.” “Tentu.” “Kau yakin tak ingin mengajak dia?” tanya Tuan Aji, membuat wanita di belakangnya seketika memandang Pramono penuh harap. Pram tercenung sesaat lalu menatap wanita yang menggigit bibir itu lagi. Dan dia sadar, belum siap untuk itu. “Tidak, Yah. Pram usahakan pulang secepatnya.” Tentu saja, Ratna harus kecewa sekali lagi jika berharap Pramono akan berubah pikiran setelah apa yang mereka lalui beberapa jam yang lalu. Di depan sang ayah, meski sorot mata itu tak setajam sebelumnya, Pramono masih enggan tersenyum seakan tak pernah terjadi apa-apa di antara mereka. Ratna menunduk saat menyadari usahanya seperti belum menghasilkan apa-apa kecu

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-03
  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   97 & 98. (Bukan) Kebetulan yang Manis

    “Tinggallah di sini untuk sementara waktu,” ucap Edwin saat mobil yang dia kemudikan berhenti di depan sebuah rumah. “Rumah ini milik ibuku. Masih terawat walau sedikit tua. Kau boleh pergi setelah menemukan tempat tinggal baru.” Nadya belum menanggapi. Pandangannya masih memindai rumah bergaya lama yang masih tampak begitu kokoh dan terawat. Di halamannya yang cukup luas, Nadya melihat beberapa tanaman hias tumbuh cantik dan dia yakin, melihat bagaimana seorang Edwin, tanaman itu memiliki ahlinya sendiri. Wanita itu kemudian berpaling saat mengingat percakapan terakhir mereka di telepon waktu itu. Tentang pengakuan Edwin mengenai perasaannya. “Edwin ...” Belum sampai Nadya melanjutkan, Edwin memotong. “Tak perlu merasa berhutang budi. Aku paham posisimu. Ini hanya ... Ayolah, kamu pasti tahu terlalu bahaya bagi perempuan di kota besar sendirian.” Nadya menunduk. Edwin benar. Masih segar dalam ingatan Nadya bagaimana sopir taksi yang dia sewa sempat akan mencelakai Nadya di jalan

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-05

Bab terbaru

  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   136. Last Part Season 2

    Usai makan malam, dan menidurkan Tasya di kamarnya, Nadya termenung di ujung ruang tamu. Remote di pangkuan. Televisi menyala di ujung ruangan. Namun, pikirannya melayang entah kemana. Ada hal yang membuat dia enggan dengan mudah menerima kebaikan Pramono. Salah satunya, dosa yang dia perbuat. Nadya malu. Dia merasa tak tahu diri jika menerima kebaikan Pramono begitu saja, sementara tangannya telah begitu jahat mencabik hati laki-laki baik itu. Hal yang juga sekali lagi akhirnya Nadya sesali, adanya lebam biru di pipi Tasya yang ternyata akibat ulah Ratna, wanita yang selama ini menampakkan wajah lembutnya di hadapan Pramono, yang seolah sanggup menggantikan kedudukan istri mana pun. Nadya menunduk. ‘Ini semua salahku. Andai aku tak menanggapi Ali. Andai aku tak menyerahkan kehormatanku begitu saja ... mungkin ini semua tak akan terjadi. Dan jika ada yang pantas dihukum, maka itu adalah aku,’ bisik Nadya dalam hati. Dia menangis dalam diam. “Apa yang kau pikirkan?” Dari arah dapur,

  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   135. Mengubah Niat

    “Mas baik-baik saja?” tanya Annisa pada Pramono tepat ketika membuka pintu kamar rawatnya. Setelah sempat melirik sebentar, alih-alih menanggapi, laki-laki itu justru berpaling dari gadis yang mendekat ke arahnya. “Jadi Nadya bersamanya, sekarang?” tanya Pramono tak terkejut. Annisa mengedikkan bahu, seolah ada jawaban, ‘Begitulah’ pada gerakan itu. “Hanya untuk minta maaf. Tak ada yang lain,” jawabnya datar. Sontak laki-laki di bed menoleh. Dahinya berkerut begitu saja. “Minta maaf? Untuk?” “Mbak Nadya merasa apa yang menimpa Ali—kalian adalah salahnya.” Laki-laki itu menatap skeptis, lalu terkekeh pada detik berikutnya. Ekspresi wajahnya berubah begitu getir. “Korban sesungguhnya bukan dia,” ucapnya di antara geraham beradu. “Bukan dia yang seharusnya mendapatkan permintaan maaf itu, kau tahu bukan?” “Mas, Nisa pikir bukan itu maksud Mbak Nadya.” “Lalu apa?” Annisa menelan ludah sebelum mulai bicara, “Dia hanya merasa Ali tak perlu mendapat pukulan itu.” Kerutan di dahi Pra

  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   134. Semakin Keruh

    Berniat pulang lebih awal, pukul tiga sore Pramono keluar dari ruangannya. Melewati meja Hana, berbelok kiri, dia melangkah menuju ruang editor untuk menemui Nadya dan bermaksud mengajaknya pulang bersama. Namun, Pramono harus kecewa karena wanita itu tidak ada di mejanya. Laki-laki itu berbalik. “Kau tahu di mana Nadya, Hana?” Sontak Hana mendongak. Pandangannya sempat melirik ke ruangan sebelah di mana Nadya biasanya berada, sebelum kembali pada sang bos yang berdiri dengan tatapan dingin, menunggu jawaban. “Tidak, Pak. Saya kira tadi sudah izin sama Bapak.” Pramono memicing. Artinya dia pergi? “Sejak kapan?” “Mungkin satu jam yang lalu.” Laki-laki itu meninggalkan meja Hana dan keluar dari ruang editor dengan langkah panjang. Satu tangannya menyelip ke dalam saku kanan celana, lalu keluar dengan ponsel dalam genggaman dan mulai menggulirkan ibu jari. “Kau di mana?” tanyanya pada seseorang di ujung sana setelah nada sambung terputus. “Aku di rumah.” “Rumah yang mana?” “Yang

  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   133. Persaingan Dua Lelaki

    “Sebenarnya apa yang ingin kau katakan?” tanya Pramono berusaha menutupi kemarahannya. Laki-laki di hadapannya berdeham pelan. Detik berikutnya punggung dan menatap dingin ke arah Pramono. “Aku ingin mengatakan, mari kita bersaing secara sehat,” jawabnya tenang. “Aku tahu, meski Anda begitu marah, jauh dalam lubuk hati Anda, Anda masih sangat mengharapkan Nadya—demi putri kalian. Dan mungkin, masih ada sedikit cinta untuk dia di dalam sana. Benar? Kupastikan, aku akan mencintainya dengan baik. Jika Anda tidak yakin bisa memaafkannya dengan ikhlas, sebaiknya menyerah lah dari sekarang.” ‘Astaga ...’ Pramono meraup wajah lelah. Gigi geraham bergemeletuk. Menoleh ke kanan, diraihnya ponsel yang tergeletak di meja. Ibu jarinya bergulir menelusuri daftar kontak. Pada nama Annisa dia berhenti dan menekan tombol call. “Ya, Mas?” sapa Annisa tepat setelah bunyi dengung di telinganya terputus. “Sa, aku bisa minta tolong?” “Ya. Minta tolong apa?” *** Sepulang dari kantor Pramono, Edwin

  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   132. Kedatangan Edwin

    Beberapa menit yang lalu. “Nah, begini kan cantik.” Shofwa mengulum senyum. “Coba Teteh lihat. Cantik, ‘kan?” tanya Shofwa pada wanita di sampingnya. Dipandanginya wajah itu dari pantulan kaca di depan mereka. Tak menyahut, Nadya memandang seraut wajah di cermin. Dia hampir tak mengenali dirinya sendiri yang kini dibalut jilbab panjang. Tak ada yang terlihat lagi melainkan wajah bersih dengan mata coklat dalam dan bibir yang dipulas dengan warna lembut, khas dirinya. Gadis di samping Nadya mengulum senyum. Kedua matanya menyipit. Menampakkan ekspresi kebahagiaan yang tak dibuat-buat. “Bahkan ... masih secantik itu setelah Teteh pakai jilbab. Maha Kuasa Allah menciptakan wanita dengan kecantikannya yang sempurna.” ‘Cantik?’ Nadya menatap ragu pada dirinya sebelum menunduk. ‘Apakah itu anugerah, atau musibah?’ Dia bahkan mengira kecantikannya adalah petaka yang berakhir dengan terlukanya hati banyak orang. Kini, bahkan keluarga dan orang tuanya juga. Nadya merasakan hangat merebak

  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   131. Perbincangan dengan Shofwa

    “Mama masih di sini?” tanya Tasya saat menuruni anak tangga dan melihat ada sang ibu di dapur. Wanita yang masih mengenakan pakaian yang sama sejak kemarin siang, memandang ke arah bocah yang mendekat. Selarik senyum dia suguhkan seolah tak ada beban apa pun di hatinya. “Mama harus masak dulu. Terus antar Tasya ke Sekolah, terus berangkat kerja,” jawabnya. “Tapi ... tapi ... mama pulang lagi, kan?” Gerakan tangan Nadya melambat. Piring berisi nasi itu sempat mengambang sebelum diletakkannya ke meja, lalu memandang bocah di ujung meja dengan tatapan teduh. Dia bisa melihat dengan jelas ketakutan di wajah bocah itu. Nadya menoleh pada laki-laki yang kini siap dengan kemeja putihnya. Tak ikut campur, namun dia yakin Pramono menyimak pembicaraan itu, dan ingin tahu apa jawabannya. Tak berselang lama, wanita yang berdiri di ujung meja mengangguk. “Iya, Sayang. Mama akan datang lagi,” jawabnya seiring tatapan ke arah Pramono. Pandangan mereka beradu. Pramono sadar dia belum mendapat j

  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   130. Permintaan (Mantan) Suami Bag. 2

    “Kuingin kau menemui Tasya barang semenit. Dia membutuhkan ibunya.” Terngiang kembali kalimat Pramono kemarin. Nadya meremas jemarinya gugup. Di depan sana Playground tempat Tasya bermain sudah terlihat. “Kau gugup?” tanya Pramono. Nadya memilih tak menanggapi. Mobil berhenti. Tak langsung keluar, Nadya justru sibuk mengatur napas. Mempersiapkan diri pada apa pun yang mungkin terjadi nanti. Penolakan, misalnya. Saat marah, anak itu sering menolak sang ibu. Dan besar kesalahannya, membuat Nadya merasa pantas mendapat kemarahan dari Tasya, bahkan mungkin bukan kata maafnya. Sementara dalam pandangan Pramono, sikap itu tampak seperti seseorang yang menunggu dibukakan pintu. Maka laki-laki yang telah berada di luar itu lalu mendekat ke pintu, membukanya. Satu tangannya lalu terulur ke arah Nadya. Wanita itu terenyak. Sempat dipandangnya tangan itu, lalu ragu-ragu menerimanya. “Tasya pasti senang melihat kau datang,” ucap Pramono sembari menutup pintu. Sebaliknya, keraguan justru mem

  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   129. Permintaan (Mantan) Suami

    “Mas, di sini.” Annisa melambai pada laki-laki yang mengedar pandang di tepi alun-alun kota Bandung. Topi hitam di kepala. Jam di tangan kirinya. Laki-laki berkemeja putih itu menoleh. Lalu tersenyum. Dia melangkah mendekat. Namun perempuan dari arah sebaliknya melangkah lebih cepat. Gadis itu berhenti ketika jarak mereka hanya tersisa beberapa senti. Dengan teliti, dipandanginya wajah itu. Binar kebahagiaan terpancar jelas di matanya. Senyum jujur yang dibalut rasa malu. Satu lagi ... rasa yang sama. Annisa hampir tak percaya bisa melihat laki-laki itu datang begitu jauh hanya untuk menemuinya. Annisa melangkah maju dengan kedua tangan terbuka, dan merengkuh erat tubuh laki-laki itu. “Aku kangen, sama Mas.” Ragu, laki-laki itu mundur selangkah. Kedua tangannya sempat akan mengurai dekapan Annisa, namun akhirnya memilih membiarkan ketika dekapan itu terasa lebih erat. *** “Ratna!” Mendengar namanya dipanggil, wanita di pintu keluar bandara menoleh. Wajah yang semula sendu, beru

  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   128. Kemarahan Pramono Bag. 2

    Beberapa menit sebelumnya. “Mas sarapanlah dulu.” Ratna meletakkan mangkuk sayur di meja. Satu piring dia ambil dan meletakkannya di depan Pramono. Di atasnya, nasi lengkap dengan sayuran telah tersaji. “Terima kasih,” jawab Pramono melirik wanita di seberang meja sebentar. Tampak sembab di wajah itu. Dia yakin, Ratna menangis belum lama tadi. Beralih ke piring, laki-laki itu meraih sendok di atasnya. “Kau baik-baik saja?” Ratna tertawa datar. “Apa ada yang baik-baik saja, setelah diceraikan suaminya?” Butuh waktu bagi Ratna untuk mendengar tanggapan laki-laki di depan meja. Wajahnya menunduk ke arah makanan di hadapan. “Aku hanya tak ingin membebanimu, Ratna,” ucap Pramono dengan nada begitu rendah. “Aku tahu.” Wanita itu mengangguk. “Itulah kenapa kuminta Kak Syarif datang untuk menjemput ke sini.” “Syarif? Asisten Ayah?” “Ya.” Pramono manggut-manggut. Kabari aku saat dia datang. Aku harus ke kantor sebentar. *** Usai mengantar Tasya ke sekolah, Pramono bergegas menuju kan

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status