Home / Romansa / FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang) / 50. Menagih Janji Bag. 1

Share

50. Menagih Janji Bag. 1

Author: Bintu Ikhwani
last update Last Updated: 2022-06-22 17:59:00
“Gimana ceritanya, Bulik?” tanya Annisa pada wanita di ambang pintu.

“Bulik dengar masalahnya hutang, dan kamu mengingkari perjanjian nikah dengan anaknya.” Erna berpaling, lalu kembali menatap Annisa. “Kenapa, Nduk? Mbok nurut saja. Kasihan bapakmu.”

Annisa kembali tergugu mengingat percakapan beberapa menit yang lalu. Di sepanjang jalan menuju rumah Rizal, dengan pandangan buram dia menatap deretan nomor telepon yang diberikan Erna padanya. Itu nomor yang orang tuanya berikan sebelum meninggalkan rumah akibat pengusiran yang diterima.

‘Pengusiran? Kejam sekali.’ Annisa tak menyangka bahwa orang yang mereka anggap keluarga tega memperlakukan Narto sekejam itu.

Tangis Annisa belum reda saat laki-laki yang menyetir turun di depan sebuah bank dan melangkah gesit ke arah mesin Anjungan Tunai Mandiri di ujung halamannya. Lalu kembali keluar dan berjalan cepat ke mobil dengan segenggam uang, setelah berada di dalamnya cukup lama.

Tangis Annisa semakin menjadi saat melihat laki-laki yan
Locked Chapter
Continue Reading on GoodNovel
Scan code to download App

Related chapters

  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   52. Menagih Janji Bag. 2

    Beberapa hari lalu. Rizal menghentikan laju mobilnya di jalan tak jauh dari rumah Ratno. Setelah mengatakan melalui sambungan telepon tentang niat kedatangannya, Rizal disambut baik oleh pasangan sepuh itu di teras rumah. Pemuda itu melangkah perlahan, bukan hanya untuk menjaga sikap di depan calon mertuanya tetapi juga agar kepalanya tak menyentuh atap rumah Narto yang rapuh dan nyaris roboh, yang setiap kali dia melintas maka ujung atap itu akan sangat dia perhatikan. Itu membuatnya ingin segera memboyong Annisa beserta kedua orang tuanya ke rumah baru. “Pripun wartosipun, Pakde?” Rizal meraih tangan kanan Ratno dan mengecupnya. “Baik, Zal. Apa kabar, kamu?” Rizal melangkah masuk, mengikuti paman bibinya dan menyusul duduk setelah dipersilakan. Sementara Salamah berpaling ke dapur bermaksud membuat jamuan. Dulu, Rizal memang kerap berada di sana. Bisa dibilang dialah yang mengisi rumah itu dengan keberadaannya, karena Salamah yang mengasuh dia selama sang ibu mengajar. Bagi Riz

    Last Updated : 2022-06-23
  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   Menagih Janji Bag. 3

    Rizal memasuki mobilnya dengan perasaan marah dan terhina. Marah, karena sikap laki-laki yang bersama Annisa. Tapi juga bersyukur atas jaminan gadis itu baik-baik saja. *** Satu hari berlalu sejak insiden di tepi jalan yang nyaris membuat pipinya memar akibat pukulan dari laki-laki sok pahlawan itu, Rizal ingin tahu bagaimana kabar Annisa. Maka diambilnya ponsel, dan mulai menggulirkan ibu jari mencari nama perempuan yang sebenarnya berada di urutan teratas. Bahkan lebih atas dari kata “Ayah” dalam daftar kontak itu. Setelah satu tarikan nafas dalam, bunyi dengung tanda panggilan terhubung akhirnya terdengar. Dan nasib baik, suara itu terputus cepat, berganti sapaan salam tanpa harus membuatnya menunggu lama seperti biasanya. Mendengar suara itu lagi, desiran hangat menjalar ke sekujur tubuhnya. Laki-laki itu tersenyum tipis untuk rasa rindu yang akhirnya terobati. “Apa kabar, Sa?” tanya Rizal, meski dia ingin sekali protes andai memiliki hak. Tentang sikapnya yang berubah tepat

    Last Updated : 2022-06-24
  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   Pengakuan Annisa

    Rizal membuang muka. Kecuali itu dia tak tahu apa-apa mengenai kepergian Paman dan bibinya. Detik berikutnya, terdengar ketukan halus sol sepatu di atas lantai keramik. Seorang lelaki dengan kantung plastik di tangan kanan, mendekat perlahan ke arah orang-orang di ruang tamu. Ali. Laki-laki itu berdiri di tak jauh dari Naryo. Beberapa detik dia menunggu dipersilakan duduk, tapi kemudian sadar, keadaan tidak sedamai itu untuk sang tuan rumah sempat memikirkan kenyamanan tamunya, dan memilih tetap berdiri. “Saya mewakili keluarga Annisa, untuk membayarkan hutang mereka.” Ali meletakkan kantung berisi sejumlah uang di atas meja, kemudian mundur dua langkah dan tetap pada posisi berdiri. Sementara Sunaryo justru menghela napas. Dia berpaling kepada Annisa setelah sempat melihat kantung hitam itu sesaat. “Pasti ada salah paham, Nissa. Paklik ndak pernah menagih pembayaran hutang itu harus lunas dalam waktu dekat.” Naryo menatap Rizal dan Annisa bergantian, “apa tidak ada nomor yang bi

    Last Updated : 2022-06-25
  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   Berhutang Cinta

    “Aku harap begitu. Sayangnya dia mencintai wanita lain. Dan ... Bersuami.” Ali menghentikan laju mobil di tepi jalan ketika terngiang kembali kalimat Annisa beberapa menit lalu. Sesaat dia berupaya menetralkan rasa panas di dada dengan helaan napas panjang dan bersandar di kursi kemudi. Itulah hal yang dia takutkan sekaligus alasan dia marah pada Nadya malam itu. Karena berhutang cinta kepada orang lain tidak selalu bisa ditunaikan pertanggungjawabannya. Nadya .... Ali memejam ketika nama itu terlintas di benaknya. Sudah dua hari sejak hari itu dia tak mengetahui kabar wanita itu. Wanita yang entah bagaimana wajahnya tak juga mau menyingkir dari ingatan. Lihatlah, bahkan hanya dengan mengingat wanita itu sudut hati Ali terasa hangat sekaligus ngilu. Laki-laki itu merogoh saku celana dan menggulirkan ibu jari pada daftar kontak sebelum berhenti pada satu nama. Tanpa berpikir dua kali laki-laki itu kemudian menekan tombol call. Persetan soal Pramono, dia harus mendengar suara wanita

    Last Updated : 2022-06-26
  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   Wasiat Bag. 1

    Rumah dua lantai itu terlihat sedikit berbeda karena pintunya terbuka. Dua orang lelaki baru melangkah melewati pintu dan pandangannya langsung tertuju ke arah Ali. Mereka mengangguk diiringi senyum ramah saat melihat Laki-laki itu keluar dari mobil. Ali menyapa mereka. Dengan raut penuh tanya, sesekali pandangannya tertuju ke arah pintu, lalu ke arah dua pria itu. Tak biasanya orang-orang datang ke rumah bersama-sama. Apa yang terjadi? “Ada apa, Paklik?” Ali bertanya. Setelah saling melihat satu sama lain, satu di antaranya menjelaskan bahwa Roro belum lama tadi pingsan di jalan. Mereka bermaksud membawanya ke rumah sakit, namun Roro menolak dan meminta dibawa pulang untuk beristirahat di rumah. Mendengar penjelasan mereka, seketika Ali memicingkan mata. “Kenapa tidak menghubungi saya?” **** Setelah mengucapkan terima kasih kepada dua orang itu, juga pada wanita yang menyusul keluar di belakangnya, Ali melangkah ke menuju kamar sang Ibu. Laki-laki itu membuka pintu kamar sang

    Last Updated : 2022-06-27
  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   Wasiat Bag. 2

    Suara tangis Hasna menjadi pengiring perjalanan sang ibu ke rumah sakit. Selama di ruang ICU perempuan itu tak sekejap pun bisa duduk tenang. Seorang dokter membuka pintu. Dia menyampaikan, “Hanya satu orang yang boleh mendampingi, dan pastikan tidak ada kegaduhan.” Laki-laki itu menatap bergantian Ali dan Alifiya, sebagai intervensi bahwa merekalah yang dimaksud. Keduanya saling menatap lalu mengangguk paham sebelum dokter itu melangkah pergi. Ali meminta Hasna menunggu di luar kecuali dia bisa menahan tangisnya. Memasuki ruang ICU yang dingin, Ali memandang wajah wanita terlelap itu seiring langkah mendekat. Dia lalu meraih satu tangan sang ibu, mengecup dan menggenggamnya. “Maaf, Ibu.” Meski telah berupaya menahan agar air matanya tak luruh, nyatanya kecemasan tetap merajai hati. Ali mengusap sudut matanya sebelum menganak sungai. “Ibu ndak apa-apa,” Roro berucap, dan kontan membuat air mata Ali justru membanjir di pipi, bukan hanya akibat sakitnya sang ibu, namun ... lebih d

    Last Updated : 2022-06-28
  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   Wasiat Bag. 3

    Rumah dua lantai dengan halaman cukup luas itu menjadi begitu ramai dengan kehadiran para pelayat. Orang-orang besar, relasi Ali di beberapa toko menyempatkan hadir ke rumah duka untuk menyampaikan belasungkawa. Ali berusaha menampakkan wajah tegar dengan sedikit senyum yang dipaksakan meski siapa pun tahu, hatinya pasti begitu renyut. Dari ujung halaman sepasang manusia yang sangat dia kenal—yang entah bagaimana justru tampak seperti selebriti yang menjadi aktor utama dalam cerita menyedihkan ini—memasuki halaman rumah Ali. Keduanya langsung disibukkan dengan aktivitas menyalami tamu lain. Kali ini giliran Ali. Alih-alih menampakkan raut berduka, Pramono justru menatap wajah laki-laki itu tajam seiring tangan yang terulur. Ali menyambutnya. Keduanya saling menatap. Bedanya, Pramono lebih tajam dengan kedua rahang mengeras. “Turut berduka cita.” Pramono memeluk Ali dengan beberapa tepukan di punggung untuk menguatkan. “Thanks.” Pandangan Ali berpaling pada wanita di sebelah Pram

    Last Updated : 2022-06-28
  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   Permintaan Maaf Bag. 1

    “Mbak Nisa di sini dulu, ‘kan?” Hasna meletakkan piring bekas makan putrinya ke wash bak. Dengan cekatan perempuan itu mencuci tangan lalu mengusap bibir putrinya yang berlepotan dengan sisa air di tangan, dan mengulangi gerakan itu untuk beberapa kali hingga bersih. “Mbak Nana kan lebih tua dari aku, kenapa panggil aku ‘Mbak'?” Malu-malu Annisa mengatakannya sambil mematikan kompor di depannya. Belum lama tadi dia memasak sup brokoli dengan bakso berharap Ali mau makan sesuatu. Sayangnya sejak malam itu dia belum juga mau memakan sesuatu. Annisa paham, saat hati berduka sulit bagi mulut menikmati hidangan apa pun. Tapi bukankah tubuh butuh tenaga? Jika menantang sendok dan memasukkannya ke dalam mulut saja tak mampu bagaimana akan menghadapi ujian hidup? “Mbak Nisa kan calonnya Mas Ali, jadi wajar aku panggil ‘Mbak'.” Mendengar jawaban Hasna, Annisa tersipu. Sebenarnya, satu-satunya yang pantas membuat Annisa dipanggil Mbak adalah ukuran badannya yang sedikit lebih tinggi dari H

    Last Updated : 2022-06-29

Latest chapter

  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   136. Last Part Season 2

    Usai makan malam, dan menidurkan Tasya di kamarnya, Nadya termenung di ujung ruang tamu. Remote di pangkuan. Televisi menyala di ujung ruangan. Namun, pikirannya melayang entah kemana. Ada hal yang membuat dia enggan dengan mudah menerima kebaikan Pramono. Salah satunya, dosa yang dia perbuat. Nadya malu. Dia merasa tak tahu diri jika menerima kebaikan Pramono begitu saja, sementara tangannya telah begitu jahat mencabik hati laki-laki baik itu. Hal yang juga sekali lagi akhirnya Nadya sesali, adanya lebam biru di pipi Tasya yang ternyata akibat ulah Ratna, wanita yang selama ini menampakkan wajah lembutnya di hadapan Pramono, yang seolah sanggup menggantikan kedudukan istri mana pun. Nadya menunduk. ‘Ini semua salahku. Andai aku tak menanggapi Ali. Andai aku tak menyerahkan kehormatanku begitu saja ... mungkin ini semua tak akan terjadi. Dan jika ada yang pantas dihukum, maka itu adalah aku,’ bisik Nadya dalam hati. Dia menangis dalam diam. “Apa yang kau pikirkan?” Dari arah dapur,

  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   135. Mengubah Niat

    “Mas baik-baik saja?” tanya Annisa pada Pramono tepat ketika membuka pintu kamar rawatnya. Setelah sempat melirik sebentar, alih-alih menanggapi, laki-laki itu justru berpaling dari gadis yang mendekat ke arahnya. “Jadi Nadya bersamanya, sekarang?” tanya Pramono tak terkejut. Annisa mengedikkan bahu, seolah ada jawaban, ‘Begitulah’ pada gerakan itu. “Hanya untuk minta maaf. Tak ada yang lain,” jawabnya datar. Sontak laki-laki di bed menoleh. Dahinya berkerut begitu saja. “Minta maaf? Untuk?” “Mbak Nadya merasa apa yang menimpa Ali—kalian adalah salahnya.” Laki-laki itu menatap skeptis, lalu terkekeh pada detik berikutnya. Ekspresi wajahnya berubah begitu getir. “Korban sesungguhnya bukan dia,” ucapnya di antara geraham beradu. “Bukan dia yang seharusnya mendapatkan permintaan maaf itu, kau tahu bukan?” “Mas, Nisa pikir bukan itu maksud Mbak Nadya.” “Lalu apa?” Annisa menelan ludah sebelum mulai bicara, “Dia hanya merasa Ali tak perlu mendapat pukulan itu.” Kerutan di dahi Pra

  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   134. Semakin Keruh

    Berniat pulang lebih awal, pukul tiga sore Pramono keluar dari ruangannya. Melewati meja Hana, berbelok kiri, dia melangkah menuju ruang editor untuk menemui Nadya dan bermaksud mengajaknya pulang bersama. Namun, Pramono harus kecewa karena wanita itu tidak ada di mejanya. Laki-laki itu berbalik. “Kau tahu di mana Nadya, Hana?” Sontak Hana mendongak. Pandangannya sempat melirik ke ruangan sebelah di mana Nadya biasanya berada, sebelum kembali pada sang bos yang berdiri dengan tatapan dingin, menunggu jawaban. “Tidak, Pak. Saya kira tadi sudah izin sama Bapak.” Pramono memicing. Artinya dia pergi? “Sejak kapan?” “Mungkin satu jam yang lalu.” Laki-laki itu meninggalkan meja Hana dan keluar dari ruang editor dengan langkah panjang. Satu tangannya menyelip ke dalam saku kanan celana, lalu keluar dengan ponsel dalam genggaman dan mulai menggulirkan ibu jari. “Kau di mana?” tanyanya pada seseorang di ujung sana setelah nada sambung terputus. “Aku di rumah.” “Rumah yang mana?” “Yang

  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   133. Persaingan Dua Lelaki

    “Sebenarnya apa yang ingin kau katakan?” tanya Pramono berusaha menutupi kemarahannya. Laki-laki di hadapannya berdeham pelan. Detik berikutnya punggung dan menatap dingin ke arah Pramono. “Aku ingin mengatakan, mari kita bersaing secara sehat,” jawabnya tenang. “Aku tahu, meski Anda begitu marah, jauh dalam lubuk hati Anda, Anda masih sangat mengharapkan Nadya—demi putri kalian. Dan mungkin, masih ada sedikit cinta untuk dia di dalam sana. Benar? Kupastikan, aku akan mencintainya dengan baik. Jika Anda tidak yakin bisa memaafkannya dengan ikhlas, sebaiknya menyerah lah dari sekarang.” ‘Astaga ...’ Pramono meraup wajah lelah. Gigi geraham bergemeletuk. Menoleh ke kanan, diraihnya ponsel yang tergeletak di meja. Ibu jarinya bergulir menelusuri daftar kontak. Pada nama Annisa dia berhenti dan menekan tombol call. “Ya, Mas?” sapa Annisa tepat setelah bunyi dengung di telinganya terputus. “Sa, aku bisa minta tolong?” “Ya. Minta tolong apa?” *** Sepulang dari kantor Pramono, Edwin

  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   132. Kedatangan Edwin

    Beberapa menit yang lalu. “Nah, begini kan cantik.” Shofwa mengulum senyum. “Coba Teteh lihat. Cantik, ‘kan?” tanya Shofwa pada wanita di sampingnya. Dipandanginya wajah itu dari pantulan kaca di depan mereka. Tak menyahut, Nadya memandang seraut wajah di cermin. Dia hampir tak mengenali dirinya sendiri yang kini dibalut jilbab panjang. Tak ada yang terlihat lagi melainkan wajah bersih dengan mata coklat dalam dan bibir yang dipulas dengan warna lembut, khas dirinya. Gadis di samping Nadya mengulum senyum. Kedua matanya menyipit. Menampakkan ekspresi kebahagiaan yang tak dibuat-buat. “Bahkan ... masih secantik itu setelah Teteh pakai jilbab. Maha Kuasa Allah menciptakan wanita dengan kecantikannya yang sempurna.” ‘Cantik?’ Nadya menatap ragu pada dirinya sebelum menunduk. ‘Apakah itu anugerah, atau musibah?’ Dia bahkan mengira kecantikannya adalah petaka yang berakhir dengan terlukanya hati banyak orang. Kini, bahkan keluarga dan orang tuanya juga. Nadya merasakan hangat merebak

  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   131. Perbincangan dengan Shofwa

    “Mama masih di sini?” tanya Tasya saat menuruni anak tangga dan melihat ada sang ibu di dapur. Wanita yang masih mengenakan pakaian yang sama sejak kemarin siang, memandang ke arah bocah yang mendekat. Selarik senyum dia suguhkan seolah tak ada beban apa pun di hatinya. “Mama harus masak dulu. Terus antar Tasya ke Sekolah, terus berangkat kerja,” jawabnya. “Tapi ... tapi ... mama pulang lagi, kan?” Gerakan tangan Nadya melambat. Piring berisi nasi itu sempat mengambang sebelum diletakkannya ke meja, lalu memandang bocah di ujung meja dengan tatapan teduh. Dia bisa melihat dengan jelas ketakutan di wajah bocah itu. Nadya menoleh pada laki-laki yang kini siap dengan kemeja putihnya. Tak ikut campur, namun dia yakin Pramono menyimak pembicaraan itu, dan ingin tahu apa jawabannya. Tak berselang lama, wanita yang berdiri di ujung meja mengangguk. “Iya, Sayang. Mama akan datang lagi,” jawabnya seiring tatapan ke arah Pramono. Pandangan mereka beradu. Pramono sadar dia belum mendapat j

  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   130. Permintaan (Mantan) Suami Bag. 2

    “Kuingin kau menemui Tasya barang semenit. Dia membutuhkan ibunya.” Terngiang kembali kalimat Pramono kemarin. Nadya meremas jemarinya gugup. Di depan sana Playground tempat Tasya bermain sudah terlihat. “Kau gugup?” tanya Pramono. Nadya memilih tak menanggapi. Mobil berhenti. Tak langsung keluar, Nadya justru sibuk mengatur napas. Mempersiapkan diri pada apa pun yang mungkin terjadi nanti. Penolakan, misalnya. Saat marah, anak itu sering menolak sang ibu. Dan besar kesalahannya, membuat Nadya merasa pantas mendapat kemarahan dari Tasya, bahkan mungkin bukan kata maafnya. Sementara dalam pandangan Pramono, sikap itu tampak seperti seseorang yang menunggu dibukakan pintu. Maka laki-laki yang telah berada di luar itu lalu mendekat ke pintu, membukanya. Satu tangannya lalu terulur ke arah Nadya. Wanita itu terenyak. Sempat dipandangnya tangan itu, lalu ragu-ragu menerimanya. “Tasya pasti senang melihat kau datang,” ucap Pramono sembari menutup pintu. Sebaliknya, keraguan justru mem

  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   129. Permintaan (Mantan) Suami

    “Mas, di sini.” Annisa melambai pada laki-laki yang mengedar pandang di tepi alun-alun kota Bandung. Topi hitam di kepala. Jam di tangan kirinya. Laki-laki berkemeja putih itu menoleh. Lalu tersenyum. Dia melangkah mendekat. Namun perempuan dari arah sebaliknya melangkah lebih cepat. Gadis itu berhenti ketika jarak mereka hanya tersisa beberapa senti. Dengan teliti, dipandanginya wajah itu. Binar kebahagiaan terpancar jelas di matanya. Senyum jujur yang dibalut rasa malu. Satu lagi ... rasa yang sama. Annisa hampir tak percaya bisa melihat laki-laki itu datang begitu jauh hanya untuk menemuinya. Annisa melangkah maju dengan kedua tangan terbuka, dan merengkuh erat tubuh laki-laki itu. “Aku kangen, sama Mas.” Ragu, laki-laki itu mundur selangkah. Kedua tangannya sempat akan mengurai dekapan Annisa, namun akhirnya memilih membiarkan ketika dekapan itu terasa lebih erat. *** “Ratna!” Mendengar namanya dipanggil, wanita di pintu keluar bandara menoleh. Wajah yang semula sendu, beru

  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   128. Kemarahan Pramono Bag. 2

    Beberapa menit sebelumnya. “Mas sarapanlah dulu.” Ratna meletakkan mangkuk sayur di meja. Satu piring dia ambil dan meletakkannya di depan Pramono. Di atasnya, nasi lengkap dengan sayuran telah tersaji. “Terima kasih,” jawab Pramono melirik wanita di seberang meja sebentar. Tampak sembab di wajah itu. Dia yakin, Ratna menangis belum lama tadi. Beralih ke piring, laki-laki itu meraih sendok di atasnya. “Kau baik-baik saja?” Ratna tertawa datar. “Apa ada yang baik-baik saja, setelah diceraikan suaminya?” Butuh waktu bagi Ratna untuk mendengar tanggapan laki-laki di depan meja. Wajahnya menunduk ke arah makanan di hadapan. “Aku hanya tak ingin membebanimu, Ratna,” ucap Pramono dengan nada begitu rendah. “Aku tahu.” Wanita itu mengangguk. “Itulah kenapa kuminta Kak Syarif datang untuk menjemput ke sini.” “Syarif? Asisten Ayah?” “Ya.” Pramono manggut-manggut. Kabari aku saat dia datang. Aku harus ke kantor sebentar. *** Usai mengantar Tasya ke sekolah, Pramono bergegas menuju kan

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status