Alvian berdiri di sana dengan sebelah tangan di masukan ke dalam saku celana. Pakaiannya kusut, dasinya melonggar dan rambutnya sedikit berantakan, tapi justru itu membuatnya terlihat seksi. Alvian memandang Flowie dengan senyuman hangatnya. Setelah cukup lama saling memandang, Alvian melangkahkan kakinya mendekat kepada Flowie. “Aku pikir kau sudah pulang,” kata Flowie memulai pembicaraan. “Memang, tapi aku tidak benar-benar pulang,” ucap Alvian yang lagi-lagi tidak dimengerti Flowie. Alvian tertawa renyah melihat kerutan di dahi Flowie. Ia mencubit kedua pipi Flowie dengan lembut. Sungguh ia tidak tahan untuk tidak menyentuh wanita yang ada di hadapannya ini. “Ayo kita pulang,” ajak Alvian membuka telapak tangannya, menunggu Flowie meletakan sebelah tanganya di atas telapak tangan miliknya. Flowie memandang tangan itu dan lagi-lagi pikirannya terlempar pada Luke. Luke sangat suka menyeretnya begitu saja tanpa meminta persetujuannya terlebih dahulu. Memaksanya tanpa peduli Flow
Luke Croose. Ia berdiri di sana, di bawah hujan tanpa menggunakan payung. Ia membiarkan hujan menyerbunya. Ia tidak tersenyum sama sekali dan terus menatap Flowie. Tatapan yang begitu dalam dan sendu. Ada hasrat kerinduan dan luka yang terpancar dari sorot matanya. Bahkan itu terlihat jelas di tengah-tengah hujan yang begitu deras. Flowie melangkahkan kakinya untuk mendekat pada pria itu. Pria yang dengan ngotot bercokol di pikirannya sebulan terakhir ini. “Apa yang kau lakukan di bawah hujan begini?” tanya Flowie dengan suara seraknya. Susah payah ia meluncurkan kata-kata itu karena sesuatu sepertinya tercekat di tenggorokannya. Mereka saling memandang di bawah derasnya hujan yang bahkan tak memberi jedah untuk mereka saling menatap dengan jelas. Luke masih diam membisu. Sungguh ia ingin sekali menarik tubuh Flowie dalam pelukannya. Ia begitu merindukan gadis ini. “Apa kau tidak merindukanku sama sekali?” pemilik suara bariton itu bertanya. Pertanyaan itu membuat hati Flowie me
“Luke,” panggil Flowie sambil mengguncang tubuh Luke dengan pelan. “Hmm,” gumam Luke menggeliat. Perlahan kedua kelopak mata itu terbuka. “Flow, kau sudah bangun?” tanya Luke dengan suara parau. Flowie mengerutkan dahi. Ada yang aneh pada suara pria ini. “Apa kau tidak apa-apa?” tanya Flowie. Luke tidak menjawab. Pria itu kembali menutup kedua matanya. Flowie mengangkat telapak tangannya dan meletakkannya di dahi Luke dan – “Astaga, Luke! Badanmu panas sekali. Kau sakit!” seru Flowie sambil meraba-raba dahi dan pipi Luke. Flowie melihat kearah nakas, kotak persegi itu menunjukan pukul 2 malam. Ini bahkan belum bisa dikatakan pagi. Flowie turun dari tempat tidurnya dan berjalan keluar kamar untuk mencari kotak P3K. Untung saja Luke meletakannya di tempat yang gampang terlihat oleh mata. Luke menggantungnya di ruangan keluarga. Flowie membukanya dan mendapatkan paracetamol. Kemudian ia meraih sebuah baskom dan beberapa es batu dari dalam kulkas. Setelah mendapatkan semua yang dip
“Luke, aku lapar,” ujar Flowie sedikit terkejut dengan nada manja yang barusan ia keluarkan. Astaga! Apakah seorang Luke bisa merubah jati dirimu, Flow? Luke tersenyum geli melihat Flowie yang kaget dengan perkataannya sendiri. “Tetaplah seperti itu, sayang. Aku menyukainya,” kata Luke mengacak rambut Flowie dan mengecup kecil ujung hidung wanita itu. Oh, astaga! Apakah pria ini biasa melakukan hal semacam itu pada semua gadis? Mengapa ia begitu gampang melakukannya kepada Flowie? Tidakkah dia tahu bahwa sedari tadi Flowie merasa salah tingkah. Luke meraih tangan Flowie dan segera keluar dari kamar mereka. Flowie sedikit terkejut melihat seorang wanita paruh bayah yang sedang sibuk membersihkan apartemen Luke dan ia juga baru menyadari bahwa apartemen ini cukup besar. Mereka berjalan melewati para wanita itu yang menunduk untuk memberi hormat dan tersenyum kepada mereka. Setibanya di dapur, mereka mendapatkan seorang wanita paruh baya lain yang sedang sibuk menyiapkan sarapan mere
“Kau terlihat seperti baru saja memenangkan lotre kak,” celetuk Tyo yang sedari tadi memperhatikan Flowie yang merona dan tersenyum sendiri. Flowie berjingkat kaget. Sungguh ia tidak menyadari kehadiran Tyo yang dari tadi duduk di sofa dan terus memperhatikannya. Bahkan kali ini Natalie yang tadinya sibuk belajar di meja makan juga memperhatikannya. “Mengapa kau di sini? Kau tidak membantu mama?” tanya Flowie pada Tyo sambil berkacak pinggang. “Jadi pria tadi siapa? Pacarmu?” tanya Tyo yang membuat mata Flowie membulat sedangkan Natalie mendelik. Ia melangkah kearah Tyo dan Flowie. “Kau punya pacar kak? Siapa? Apakah dia teman kerjamu?” tanya Natalie dengan penasaran. “Kalau dilihat dari mobil yang dibawanya, ia jelas bukan seorang karyawan. Sepertinya ia sangat kaya,” ucap Tyo menjelaskan bak seorang detektif. “Ba-bagamaimana kau tahu?” tanya Flowie sedikit gugup di depan adik-adiknya. Wajahnya kini kembali merona. “Tentu saja aku tahu. Aku melihatmu turun dari mobilnya dan me
‘Sweetheart, bisakah kita makan malam bersama nanti?’ Luke mengirim sebuah pesan untuk Flowie. ‘Sure.’ Balas Flowie singkat. ‘Aku jemput pukul 5. Tunggu aku jangan kemana-mana. Apalagi pergi bersama pria lain!’ Flowie tersenyum membaca pesan pria yang sudah semenjak 3 minggu lalu berstatus pacarnya. Ya, sudah 3 minggu mereka menjalani hubungannya dan hampir setiap hari mereka selalu bertemu hanya untuk sekedar makan siang atau makan malam. Pada saat akhir pecan Flowie menginap di apartemen Luke untuk selalu dekat dengan prianya. Flowie merasa hubungannya dengan Luke begitu sempurna. Mereka saling mencintai apa adanya. Cinta? Jadi Flowie sudah mengakui bahwa perasaannya pada Luke adalah cinta? “Akhir-akhir ini kau terlihat sangat bahagia,” ujar sebuah suara yang menyentakkan Flowie dari lamunannya. Flowie mendongak dan menemukan Alvian. “Alvian,” sapa Flowie tersenyum. Untung saja ini adalah jam istirahat. Jadi ruangan tempatnya bekerja cukup sepi. Bagaimanapun mereka sedang bera
Flowie mengerjapkan matanya berkali-kali. Ia terbangun lebih dulu. Ia melihat kearah nakas, jam masih menunjukan pukul 6 pagi. Ia kembali melihat Luke yang terlelap di sebelahnya, masih memeluknya dengan posesif. Oh, astaga! Wajahnya bahkan tetap tampan walau saat terlelap seperti ini. Flowie kembali teringat akan kejadian semalam. Entah setan apa yang telah merasuki mereka hingga mereka bisa berakhir di ranjang. Ia bersemu merah dan menggigit selimut yang menutupi seluruh tubuhnya dengan kuat. Apa yang kau lakukan Flow? Sehabis bercinta dan kemudian menyesal, huh? Tidak. Tidak. Flowie tidak menyesal. Ia hanya malu. Malu pada Luke. Ia bahkan sangat menikmati setiap sentuhan Luke tadi malam. Bagaimana ia akan bertemu Luke pagi ini? Flowie mengangkat tangan Luke perlahan, takut membangunkannya. Kemudian ia berjalan sedikit terhuyung menuju kamar mandi masih dengan selimut yang menyelimuti tubuh polosnya. Ia mengamati pantulan bayangannya di cermin. Luke meninggalkan banyak tanda di bag
“Ya, ampun! Ini indah sekali Luke!” seru Flowie mengagumi pemandangan yang terhempas di hadapannya. “Apa kau suka?” tanya Luke sambil melingkari lengannya di pinggang Flowie. “Terima kasih, Luke. Aku sangat menyukainya,” ucap Flowie mencium pipi Luke sekilas. Luke mempererat pelukannya. Di sinilah mereka berada. Di balkon salah satu villa milik Luke. Setelah menempuh perjalanan lebih dari 3 jam, mereka tiba di tempat indah ini. Villa ini terletak di atas bukit. Pemandangan dari balkon lantai atasnya memperlihatkan gunung yang sepertinya terlihat dekat, namun sebenarnya sangat jauh. Pemandangan yang begitu indah dan segar. Banyak pepohonan pinus yang mengelilingi villa ini dan benar sekali jika Luke menyuruhnya memakai Pakaian yang tebal. Karena udara di daerah ini begitu dingin. Selain tempatnya yang terletak di pegunungan, sekarang juga adalah musim dingin. “Tadinya aku ingin menghadiahkan ini di hari pernikahan kita, tapi aku sudah tidak sabar ingin menunjukan tempat ini padamu
DEGAlvian mematung. Ia sungguh tidak percaya akan apa yang ia lihat. Wanita yang sudah memporak porandakan hatinya kini berdiri di hadapannya. Bukankah Alice meninggalkannya demi cita-citanya? Bukankah Alvian merasa begitu sakit? Namun mengapa ia masih merasakan getaran yang sama saat seperti pertama sekali ia bertemu wanita ini bertahun-tahun yang lalu? Getaran yang membuatnya ingin menarik gadis ini ke dalam pelukannya.“Alice,” gumam Alvian dengan suara yang tidak kalah serak. Sepertinya sesuatu sedang tersangkut pada tenggorokannya.Luke yang tersadar lebih dahulu, menarik tangan Flowie dengan lembut dan melangkah keluar, meninggalkan mereka tanpa kata-kata pamitan. Luke hanya tidak ingin mengganggu momen yang menurutnya sangat pas untuk saling menyerukan kerinduan mereka.“Apa yang sedang kau lakukan di sini?” tanya Alvian memecah keheningan.“Aku merindukanmu. Apakah aku masih berhak berada di sisimu?” tanya Alice dengan mata berkaca-kaca.Alice menunggu dengan harapan Alvian m
“Maaf, apakah ini apartemennya Alvian Sanchez?” tanya wanita tersebut dengan sedikit ragu-ragu.“Benar. Silakan masuk,” kata Flowie mempersilakan masuk.Wanita itu menatapnya bingung. Ia menyeret kopernya memasuki apartemen Alvian.“Maaf, tapi kau siapa?” tanya wanita itu saat Flowie sudah menutup pintunya.“A-aku. Aku teman Alvian,” jawab Flowie terbata.Tunggu dulu. Mengapa ia harus terbata dan mengapa ia yang harus ditanya?Wanita itu menatap Flowie penuh selidik. Ia menatap Flowie dari bawah hingga ke atas. Flowie hanya menggenakan dress berwarna dark green dan flat shoes saat ini. Uhm, sepertinya ia lupa menata rambutnya yang hanya dikucir ekor kuda saat ini.“Dimana Alvian?” tanya wanita itu sedikit kesal.“Dia sedang keluar. Mungkin sebentar lagi kembali,” jawab Flowie mengikuti jawaban bibi Gissel padanya tadi.“Kau tinggal di sini? Siapa kau sebenarnya? Teman one night stand nya?” tanya wanita itu lagi yang membuat Flowie membulatkan matanya terkejut.“Tidak. Aku tidak tingga
“Mama?” Flowie membuka sedikit pintu kamar Anna dan mendapati Anna yang sedang duduk termenung memegang rajutanAnna hanya menoleh sesaat lalu membuang muka dan melanjutkan rahutannya. Sedangkan Flowie melangkahkan kakinya masuk dan menutup pintu kamar dengan sempurna sebelum ia mengambil posisi duduk di sebelah Anna.“Aku kangen sekali dengan mama,” kata Flowie sambil memeluk Anna dari belakang dan menyenderkan kepalanya di bahu Anna.Anna hanya menghela napas dan kemudian melanjutkan aktivitasnya.“Apa yang sedang mama buat? Baju hangat? Apa ini untuk Hans, ma?” tanya Flowie berusaha memecah kecanggungan karena ia tahu Anna senang membuatkan Hans baju hangan sarung tangan bahkan topi dari wool.“Hm,” gumam Anna singkat.“Apakah mama marah karena aku sama Luke akan menikah?” tanya Flowie yang membuat Anna menghentikan rajutannya dan menoleh ke arah Flowie.“Apa kau benar-benar ingin menikah dengannya?” tanya Anna.“Hm. Aku mencintainya ma,” jawab Flowie apa adanya.Anna sekali lagi m
“Aku tidak punya tujuan hidup ataupun impian. Aku tidak dicintai orangtuaku hingga aku memutuskan untuk pindah ke Madrid. Aku menghabiskan hari-hariku dengan bersenang-senang di sana dan aku sungguh tidak mau memikirkan persoalan kedua orangtuaku. Hingga aku pulang dan bertemu denganmu, aku kembali merasa hidup dan memiliki rencana masa depan denganmu,” Luke menatap lekat kedua mata hazel Flowie yang sudah dibanjiri air mata.“Namun belakangan, aku memahami satu hal. Ibumu tidak bersalah. Bahkan dia dan papa adalah korban permainan kotor mama dan nenekku dan mengetahuinya membuatku sangat sakit. Aku adalah rencana kotor itu, Flow. Aku adalah rencana kotor mama untuk memisahkan papa dan ibumu saat itu,” Luke terisak berusaha menekan rasa sakit di dadanya.Flowie menutup mulutnya tidak percaya, air mata tidak henti keluar dari mata cantiknya.“Sebelum kecelakaan, aku baru mengetahui bahwa kau adalah anak dari Mrs. Annabelline, dan aku merasa sangat sesak, Flow. Aku sudah sangat jatuh ci
Sepanjang makan malam mereka membicarakan hal-hal yang Flowie tidak mengerti, namun entah mengapa Flowie merasa Luke tidak terlalu menyukai pertemuan ini. Padahal sikap keluarganya tidak seburuk yang Flowie bayangkan, mengingat betapa mengerikannya Elya.“Jadi kalian sudah memutuskan tanggalnya?” tanya Diego tiba-tiba kepada Luke dan Flowie.“Dua minggu dari sekarang,” jawab Luke mantap yang membuat Flowie menoleh kearah Luke dengan tatapan tidak mengerti.“Kenapa cepat sekali, Luke?” tanya Alberto.“Kami sudah memutuskannya, pa. Jangan dipikirkan lagi. Aku akan mengurus semuanya.” jawab Luke kemudian mengelap lembut bibirnya dengan napkin.Flowie yang tidak mengerti apapun yang mereka bicarakan hanya diam saja dan kemudian ia meraih gelas berisi wine dan meneguknya cukup banyak. Entah mengapa wine ini sungguh terasa nikmat di tenggorokan Flowie.“Baiklah. Siapkan pesta yang besar untuk mereka Alberto,” kata Diego.“Baiklah pa,” kata Alberto mengangguk setuju.“Tidak perlu, kek. Aku s
Flowie mengerjapkan matanya berkali-kali. Hal pertama yang ia dapat adalah wajah Luke yang tampak sibuk dengan sesuatu di i-padnya. “Uhmm,” Flowie berdeham pelan. Tenggorokannya terasa begitu kering. Sudah berapa lama ia tidur? Bukankah sebelumnya ia tertidur di pesawat? Lalu kenapa ia sekarang tidur di paha Luke? Dan kenapa mereka berada dalam mobil? “Kau sudah bangun, sayang?” tanya Luke ketika menyadari Flowie yang sudah terbangun. “Kita di mana? Di mana Hans?” tanya Flowie sambil mengucek matanya. “Hans tertidur di kursi belakang. Kita sedang dalam perjalanan menuju apartemen,” jawab Luke sambil mengelus rambut cokelat Flowie. Mendengar kata apartemen, membuat Flowie tiba-tiba bangkit dari rebahannya dan menatap Luke tidak setuju. “Tidak, Luke. Aku tidak mau kembali ke apartemenmu!” Flowie menggeleng kuat. Luke menarik Flowie ke dalam pelukannya. “Ssst! Tenanglah, sayang. Aku tidak akan membawamu ke situ, kita sedang di Swiss, kita akan ke apartemenku yang ada di Swiss maks
“Mari kita pulang ke rumah kita sayang,” ajak Luke kepada Flowie sambil mengusap kepala Hans yang tengah tertidur di pangkuan Flowie.Flowie menggeleng lemah.“Kenapa? Apa karena ibuku?” tanya Luke menangkup kedua pipi Flowie dengan lembut.Hening.“Aku mencintaimu, Flow. Tidakkah kau mencintaiku? Apa kau akan memisahkanku dari anakku juga?” tanya Luke dengan sendu.Flowie kembali terisak. Sungguh ia tidak tahu harus berbuat apa. Di satu sisi ia begitu ingin terus di samping Luke dan terus diperlakukan begini lembut olehnya. Ia begitu merindukan Luke, namun ia juga begitu takut jika Elya melakukan sesuatu terhadap anaknya.“Aku bersumpah, ibuku tidak akan pernah menyakitimu lagi. Aku bersumpah keluarga Croose tidak akan menyentuhmu dan anak kita sedikitpun,” ujar Luke penuh keyakinan sambil menarik Flowie ke dalam pelukannya.“Bagaimana caranya?” tanya Flowie ragu.Luke merapikan rambut Flowie.“Kita akan pergi jauh meninggalkan mereka,” jawab Luke sambil tersenyum hangat.===Luke ti
Sungguh ia membenci ini. Kenapa di saat ia ingin melupakan Luke, ia malah bisa sedekat ini dengan Luke. Aroma perfume Luke meruak di indera penciumannya. Aroma yang selalu ia rindukan, dan juga tangan kekar yang kini melingkar sempurna di perutnya, tangan yang selalu ia rindukan untuk memeluknya.Luke bisa merasakan tubuh Flowie yang menegang dan tangisan gadis itu memecah. Flowie menangis sejadi-jadinya dengan bahu yang naik turun. Luke membalikan badan Flowie dan menarik tubuh mungil itu masuk ke dalam pelukannya dan ia ikut menangis bersama wanita kesayangannya itu. Ia bisa merasakan kesedihan terdalam yang Flowie rasakan, dan entah mengapa mendengar tangisan Flowie membuat hatinya tercubit. Sakit.“The fault is not in our stars, babe, but in ourselves. Let’s fix it,” ujar Luke pelan sambil mengusap air mata di pipinya.Berkali-kali Luke menciumi pucuk kepala Flowie, meresapi aroma yang sudah lama ia rindukan. Luke mengelus punggung Flowie dengan lembut, seolah ia menyampaikan pesa
Luke merasa napasnya tercekat. Ia sungguh ingin segera menghampiri Flowie dan memeluk wanita itu, namun ia belajar dari pengalamannya. Bagaimana Flowie lari melihatnya, Luke ingin melakukannya dengan pelan kali ini. Ia mengikuti Flowie dari belakang sampai wanita itu menaiki lift. Ketika pintu lift tertutup sempurna Luke berlari menuju lift di sebelahnya dan melihat lantai yang dituju Flowie. Lantai 7. Dengan segera Luke menaiki lift di sebelahnya dan menekan tombol 7, namun sialnya pada saat pintu nyaris tertutup ada orang dari luar yang menekan tombol buka sehingga pintu lift kembali terbuka. “Oh shit!” Luke kembali mengumpat membuat pasangan yang baru saja masuk ke dalam lift menatapnya kaget. Pintu lift kembali tertutup dan mengantarkan mereka ke lantai 7. TING!! Luke melesat dengan cepat saat pintu lift terbuka di lantai 7. Ia berjalan tergesa mencari sesosok Flowie. “Sial mengapa lorongnya begitu panjang?” batin Luke. Namun sepertinya kali ini semesta berpihak pada Luke, d