Hana menghela napas di depan cermin kamar mandi, saat berusaha membersihkan kekacauan yang dibuat Evan padanya."Heran, nggak bisa sabar. Untung nggak kebablasan, untung juga sempet lari ke kamar mandi sebelum ada yang masuk," gerutu Hana.Saat ia keluar dari kamar mandi, Evan tersenyum tengil melihatnya.MUA dan beberapa asisten yang ada di situ bukannya tidak sadar kalau beberapa saat sebelumnya telah terjadi 'pertempuran' singkat. Tapi hal itu biasa mereka temukan pada sepasang pengantin baru, jadi mereka cukup menutup mata dan mengabaikannya."Mas Evan bisa ganti baju di kamar mandi ya, biar Mbak Hana di-make up dulu," ujar salah seorang asisten MUA seraya mengangsurkan pakaian untuk Evan."Istri saya nggak ganti baju juga, Mbak?"Hana mendelik kesal pada Evan yang berani menggodanya di depan orang-orang."Mbak Hana di-make up dulu, Mas. Ganti bajunya nanti.""Yaah kecewa saya nih." Dengan berpura kesal Evan melangkah ke kamar mandi."Maaf ya, Mbak," ucap Hana tak enak."Nggak apa
"Halo." Evan mengangkat ponselnya yang bergetar berulang kali, tanpa melihat caller id yang muncul di layar. Matanya terlalu berat untuk sekedar memperhatikannya."Evan, turun dulu, sarapan. Kamu ih. Kasihan Hana belum sarapan." Suara mamanya langsung menyapa indra pendengaran Evan dan membuatnya mengerjap pelan."Udah kok, Ma. Tadi sarapan dulu, trus tidur lagi.""Oh gitu, jam berapa? Kok nggak ketemu?""Pagi pokoknya, laper, dibikinin roti bakar sama Hana.""Kamu ngigo ya, Van? Ngapain Hana bikin roti bakar? Udah buruan turun, restonya udah mau close order buat breakfast.""Hah?" Evan sedang berusaha meluruskan pikirannya. "Oooh, aku lupa bilang, aku udah check out semalem, Ma. Ini udah di rumah.""Loh kok nggak ngomong? Di rumah kamu?""Iya, Ma.""Jangan kecapekan, jangan telat makan.""Iya, Ma."Usai sambungan telepon itu berakhir, Evan meletakkan ponselnya kembali ke atas nakas. Kemudian ia merebahkan diri lagi, berbalik, menghadap Hana yang masih tertidur pulas, sama sekali tida
Evan mendaratkan satu kecupan di bibir wanitanya itu, dan tiba-tiba sebuah kenangan menyeruak begitu saja."Kamu tau nggak, Han, waktu pertama kali aku nyium kamu, di ruang kerjaku. Awalnya aku cuma mau bikin kamu berhenti ngomongin kesalahanku ke kamu, tapi justru aku yang terperangkap. Abis itu rasanya pengen lagi dan lagi."Ingatan Hana seperti tersedot ke beberapa bulan sebelumnya, yang membuatnya kini bisa tersenyum kala mengingat kejadian itu. "Itu yang pertama buatku, dan jahat banget kamu ngelakuinnya tanpa perasaan."Mata Evan terbelalak. Evan memang belum pernah mendengar Hana memiliki pacar, tapi ia pikir tanpa pacar pun, Hana bisa bersenang-senang, dan sekadar kissing bukanlah hal yang aneh untuk anak muda zaman sekarang. "Seriously, Han? Kamu dua puluh lima tahun ngapain aja? Kamu kayaknya terlalu mendalami omongan Mama sama Ayah ya?"Hana memutar kedua bola matanya dengan malas. "Ya nggak mau aja, emang salah kalo aku nggak mau kontak fisik tanpa perasaan?""Ya ... nggak
"Maaf ya, mestinya aku ngajakin kamu honeymoon yang bener-bener honeymoon, ini malah disambi kerja." Tangan kanan Evan mengusapi puncak kepala Hana yang terkulai di bahunya karena kelelahan.Selain meminta maaf karena tidak bisa mengajak Hana honeymoon dengan totalitas, harusnya Evan juga meminta maaf karena membuat Hana kelelahan setiap harinya."Hm, aku kan asistenmu."Beberapa detik setelah mengucapkannya, tidak terdengar suara lagi dari Hana, justru napasnya terdengar lebih teratur dan matanya menutup sempurna. Evan membiarkannya, sadar kalau ia lah penyebab Hana kelelahan.Supir ayahnya yang diminta Evan mengantarnya ke bandara hanya bisa melirik melalui rear view mirror dan membuatnya mengulum senyum. Ia harus melaporkan interaksi Evan dan Hana kepada Letta, karena itu lah tadi yang dititahkan nyonya-nya.Evan baru membangunkan Hana saat mereka hampir tiba di drop off point. "Sayang, bangun, udah mau sampe."Dalam sekejap, Hana terbangun. Meskipun ia kini adalah istri Evan, tapi
"Jadi nginep di villaku kan?" tanya Melinda.Sebenarnya ia tidak butuh kehadiran semua orang, ia hanya butuh kehadiran Evan."Kayaknya aku nginep di hotel deh," jawab Evan. Karena niatnya tidak hanya untuk bekerja, tetapi juga untuk honeymoon, Evan merasa tidak enak kalau 'kegiatannya' sampai mengganggu Arfindo dan Melinda."Kamu ngebiarin aku sama Arfindo tinggal sevilla?""Maksudku ....""Gue nggak akan ngapa-ngapain lo kali." Arfindo menatap Melinda dengan tatapan tidak suka. "Udahlah semua tinggal di hotel aja.""Tapi kan gue udah nyuruh orang buat siap-siap di villa."Hana memberi kode pada Evan untuk mengiakan ajakan Melinda, toh Hana akan selalu berada di sisi Evan. Tidak ada kesempatan bagi Melinda untuk mencoba mendekati Evan.Evan balas menatap Hana seakan bertanya, 'Kamu yakin?'Hana mengangguk pelan."Ok, ok, aku sama istriku ikut tinggal di villa."Melinda hampir saja mengeluarkan dengusan kesal, sebelum akhirnya ia sadar, yang diinginkannya adalah keberadaan Evan di deka
"Kok kamu kayaknya bete habis makan malam?"Hana berusaha menyembunyikan perasaan kesalnya tapi tetap saja terendus Evan. Hana akui, ia bisa membalas semua ucapan Melinda, tapi tetap saja rasanya menyebalkan mengetahui Melinda masih menaruh hati pada suaminya."Tadi kayaknya kamu ngobrol sama Melinda. Karena itu? Dia ngomong apa?"Hana mengedikkan bahu kemudian memilih merebahkan diri di atas kasur dan memainkan ponselnya.Evan menarik tangan Hana, menatap manik matanya dengan intens dan menahan tangannya agar tidak memainkan ponsel. Caranya itu berhasil membuat Hana fokus kembali pada pembicaraan mereka. "Dia ngomong apa, Sayang?""Urusan cewek, Van. Kamu nggak perlu tau. Aku bisa handle itu kok.""Aku perlu tau kalo itu bikin mood kamu anjlok. Aku perlu tau kalo itu ada hubungannya sama aku.""Nggak apa-apa kok. Aku bisa ngatasinnya. Tunggu bentar lagi juga mood-ku bakal baikan.""Haaan ...."Hana menghela napas lelah karena tidak bisa berkelit dari keinginan Evan dan akhirnya menga
"Ada sedikit masalah di lapangan. Beberapa warga yang nggak mau ngejual lahannya mulai provokasi warga yang lain," ucap Arfindo saat melihat kerumunan orang berada di depan kantor sementara yang dibangun sebagai tempat kerja mandor proyek."Kenapa lo nggak bilang dari tadi?" Evan mendengkus kesal, kemudian menatap istrinya dengan gelisah.Sifat baru yang muncul pada dirinya, memperhatikan apa pun juga yang berpotensi mengganggu atau membahayakan istrinya. Kalau ia tahu ada masalah di lapangan, ia tidak akan mengajak Hana pergi meskipun istrinya itu merengek padanya."Ya kan ada masalah atau nggak, tetep aja kita mesti ke lapangan.""Kalo gue tau ada masalah, nggak akan gue ngebiarin Hana ikut.""Loh, Hana ikut sebagai istri lo apa asisten lo sih?""Istri gue lah. Dia bisa kapan aja resign sebagai asisten gue, tapi dia nggak akan bisa resign sebagai istri gue. Jadi ke manapun dia pergi, di manapun dia berpijak, dia berperan sebagai istri gue."Tiga reaksi berbeda muncul dari ketiga ora
Hana: Ka, lagi sibuk nggak?Azka: Nggak, kenapa?Hana: Bisa jemput ke bandara?Azka: Loh bukannya kamu pergi sama Evan?Hana: Iya, tapi pulangnya nggak barengAzka: Kok bisa nggak bareng?Azka: Bukannya dia lumayan posesif?Azka: Ya udah, nanti kabarin kalo udah mau boarding.Setelah selesai berbalas pesan dengan Azka, Hana membuka koper dan menyiapkan pakaian Evan yang akan dikenakannya. Ia memang marah, tapi entah kenapa ia masih saja melakukan apa yang biasa dilakukannya sejak menikah dengan Evan. Menyiapkan pakaian lelaki itu, mengambilkan nasi beserta lauk dan sayur, merapikan baju kotor yang suka diletakkan Evan sembarangan, dan hal-hal kecil lainnya yang mungkin sering tidak disadari Evan dalam pernikahan mereka yang baru seumur masa semai tanaman hidroponik itu.Namun Hana tidak pernah bermain-main dengan ucapannya. Ia tidak membiarkan Evan menyentuhnya semalaman, walaupun Evan sudah meminta maaf, merengek, dan merayunya semalaman."Masih marah?" tanya Evan yang sudah kebingun
"Lucu banget siiih." Vio yang menggendong sesosok bayi kecil tidak bisa mengalihkan matanya dari bayi yang belum bisa membuka mata itu. "Boleh bawa pulang satu nggak? Kan masih ada satunya lagi.""Kalo dia laper, lo mau nyusuin?" Hana mendelik ke arah Vio."Ck! Lucu banget tau, Han." Vio dengan gemasnya mengecupi pipi bayi merah itu."Udah pengen ya?" tanya Hana menggoda Vio yang agak terlihat kaku menggendong bayi di tangannya.Vio mengedikkan bahu sebagai jawabannya.Saat keduanya tengah bermain-main dengan bayi kembar itu, Evan dan Azka masuk ke dalam kamar rawat dengan dua tote bag yang berlogokan salah satu minimarket. Hana memang meminta pada suaminya untuk dibelikan cemilan karena makanan dari rumah sakit hanya mampu mengganjal setengah ruangan di perutnya."Van, si twin siapa sih namanya? Astaga, udah setengah jam aku nanya ke Hana, katanya kamu yang bakal ngasih tau karena kamu ngelarang dia ngasih tau. Apaan coba?"Evan tersenyum pongah. Ia memang melarang Hana memberitahukan
Hana mengusap peluh yang mulai terasa di dahinya. Ia berusaha menahan rasa sakit yang mulai menyergapnya. Evan masih tertidur pulas di sebelahnya.Setelah mengatur napasnya beberapa saat dan sakit di perutnya tidak kunjung mereda, tangan Hana terpaksa menggapai suaminya untuk membangunkannya."Maaas.""Hmm?" Evan mendengar panggilan istrinya tapi matanya masih enggan untuk membuka."Mas, perutku mules."Barulah setelah mendengar itu, mata Evan membuka sempurna. "Kontraksi?"Hana hanya bisa kembali mengatur napasnya. Ini yang pertama untuknya, bagaimana ia bisa membedakan itu kontraksi palsu atau kontraksi yang sebenarnya."Aku bangunin Mama dulu ya."Sejak satu bulan sebelum Hari Perkiraan Lahir (HPL), semua anggota keluarga Evan sudah menginap di rumah Evan, mama papanya, termasuk Elga dan Elaksi. Euforia dan khawatir yang berlebihan adalah penyebabnya. Tapi Evan juga tidak memungkiri kalau ia membutuhkan kehadiran mamanya yang sudah berpengalaman menghadapi proses persalinan."Masih
"Permisi, Pak." Ribka melongokkan kepala ke ruang atasannya setelah mendengar sahutan dari Evan yang mempersilakannya masuk."Kenapa, Rib?""Hana?"Evan hanya menunjuk dengan dagu posisi Hana yang sedang tidur di sofanya. Sejak kehamilan Hana, Evan sengaja mengganti set sofa di ruangannya dengan yang lebih besar agar Hana bisa tidur dengan nyaman.Apalagi kini kehamilan Hana menginjak tujuh bulan. Dengan perut sudah sebesar itu, sebenarnya Evan tidak tega membiarkan Hana masih bekerja, walau setengah hari kerja Hana hanya dihabiskan untuk tidur. Tapi ke-clingy-an Hana belum juga berkurang hingga Evan tidak mungkin membiarkannya di rumah sendiri."Kenapa nyari Hana?""Ada proposal yang nunggu approval Pak Evan. Dan belum di-review Hana. Tadi tim pengembangan 2 udah nanya hasilnya, Pak.""Langsung kirim ke saya aja, Rib. Biar saya periksa.""Nggak lewat Hana nggak apa-apa, Pak?""Lihat sendiri dia teler begitu." Evan terkekeh melihat Hana yang tertidur dengan nyaman tanpa merasa tergang
"Maaas, meluknya jangan kenceng-kenceng. Nanti dedeknya kegencet."Evan merenggangkan pelukannya meskipun rasanya masih belum rela."Gemes abisnya. Kamu jadi lebih enak dipeluk."Hana mendelik kesal. Pasti ada yang tersirat di balik ucapan suaminya itu. "Maksudnya aku gendutan? Jadinya empuk untuk dipeluk?""Ya ampun, jangan sensitif gitu dong, Han. Nanti kalo kamu kesel, baby-nya ikut kesel sama ayahnya gimana?"Hana mengerucutkan bibir karena kesal, tapi justru ditanggapi Evan sebagai kode untuk mencium bibir istrinya itu, yang semenjak kehamilannya sama sekali tidak pernah terpoles lipstik."Ya orang hamil memang gendutan, Sayang. Kalo nggak gendutan gimana lah, mesti kita periksain lagi ke dokter, apalagi kamu bawa dua baby di perut," ucap Evan setelah puas mengeksplorasi kelembutan bibir istrinya."Mas nggak akan ninggalin aku meskipun aku gendut kan?" tanya Hana tiba-tiba."Kok kamu jadi clingy banget sih sejak hamil?" tanya Evan sampai hampir terbahak. Tidak pernah terbayangkan
"Mbak Hana mikir apa?" tanya Bi Lastri yang memperhatikan Hana melamun sambil mengaduk lemon tea yang baru saja dibuatnya. "Jangan banyak pikiran, Mbak. Kasihan yang di perut."Hana tersenyum melihat kekhawatiran Bi Lastri padanya. Pasti mama mertuanya sudah mewanti-wanti ART di rumahnya untuk memperhatikannya.Ia memang sedang berpikir, tapi bukan masalahnya yang sedang menguasai pikirannya. Hari sebelumnya ia sempat mengobrol dengan Vio, dan curahan hati Vio tentang hubungannya benar-benar membuat Hana memutar otaknya.Dan inilah saatnya ia mencoba melakukan sesuatu untuk membantu hubungan sahabatnya."Bibi, minta tolong bawain minum sama cemilannya ke ruang tengah ya," ucap Hana, kemudian berlalu menyusul suaminya dan sepupu iparnya yang sedang mengobrol di ruang tengah."Mas, Arfindo udah punya cewek belum sih?" Kalimat pertanyaan pertama yang disampaikan Hana begitu menginjakkan kaki di ruang tengah membuat Evan mengernyitkan dahi."Ngapain nanyain Arfindo?"'Evan dan cemburunya.
"Jadi Evan nerima lo lagi?"Sudah beberapa minggu sejak keluarga Evan akhirnya tahu apa yang dilakukan Hana untuk menyelamatkan perusahaan. Hana sedang sibuk mempersiapkan pernikahannya dengan Evan yang disangka Vio tidak akan terjadi.Hana mengedikkan bahu, karena dia sendiri juga bingung dengan apa yang diinginkan Evan. "Lo sama Kak Azka gimana?""Loh kok jadi ngomongin gue?""Ayolah Vi, gue butuh hiburan kisah cinta orang lain daripada kisah cinta gue.""Nggak ada apa-apa, Han. Jadi nggak ada yang perlu gue ceritain.""Hah? Serius? Waaah, Kak Azka mesti didorong nih."Hana meraih ponselnya dari dalam tas kemudian sibuk mengirim pesan pada Azka, sementara Vio menatap makan siang di depannya dengan malas padahal dia yang sejak pagi mendesak Hana untuk menemaninya makan siang di salah satu restoran kesukaannya.Keduanya larut dalam obrolan sampai Hana tidak sadar kalau makanannya sudah habis sementara makanan Vio bisa dibilang masih utuh."Makan yang bener, Vi.""Lo kayak nggak pernah
"See? Dia udah nggak ada perlu lagi, makanya nggak ngehubungin." Vio menatap ponselnya dengan kesal. "Emang dia nggak ada rasa. Sadar dong, Vio!" Vio berusaha meyakinkan diri sendiri kalau perasaannya tak berbalas.'Telepon duluan aja!' Entah sisi hatinya yang mana yang sedang berbisik."Dih, nggak ada ceritanya seorang Vio ngehubungin laki-laki duluan." Sambil menggeram kesal, Vio menjauhkan ponselnya, kemudian mencoba larut dalam berkas gugatan yang baru saja dikirimkan stafnya melalui e-mail.Sepanjang hari Vio berusaha menyibukkan diri sendiri, dan jika mode Vio yang seperti ini sedang kumat, maka yang menjadi buklan-bulanannya adalah para staf dan junior pengacara di law firm itu. Vio bisa saja bekerja seakan besok hari kiamat, dan hari itu juga semua berkas perkara atau pledoi yang sedang mereka siapkan harus selesai."Kenapa sih Mbak Vio?" bisik Indri pada Laras."Putus cinta kali, kayak biasanya. Masih kaku aja, tau sendiri kita rutin ngalamin hal ini beberapa bulan sekali.""
Vio mengerjap pelan, diiringi dengan suara terkikik pelan dari resepsionis yang mendengarkan ucapan Azka yang hanya berjarak tidak lebih lima meter darinya."Hmm ... Mas, bukannya aku sok sibuk. Tapi aku ngecek jadwalku dulu ya—"'Dan kesiapanku.' batin Vio. Andai ia bisa mengutarakannya. Tapi tidak lama kemudian ia sadar kalau Azka dan mamanya berurusan dengannya hanya demi Hana, tidak ada niat lain. Ia hampir tertawa kalau tidak ingat Azka masih berada di depannya."Ya udah, jangan dipaksain kalo gitu, nanti aku whatsapp lagi ya, kamu bisa atau nggak-nya."Vio mengangguk mengiakan. Sebenarnya ia lebih senang ditelepon, paling tidak ia bisa mendengar suara berat Azka, tapi tidak mungkin diungkapkannya kan."Aku ... berangkat kerja dulu ya."Kali ini suara terkikik Achi semakin keras dan baru berhenti setelah Vio memelototinya."Mbak Vio kayak lagi main rumah-rumahan deh."Kalau saja wanita itu tidak lebih tua dari Vio, mungkin Vio akan memarahinya habis-habisan. "Main rumah-rumahan?
"Ma, Pa, aku nggak sarapan di rumah ya." Azka bergegas merapikan barangnya ke dalam tas ransel sambil berpamitan pada kedua orang tuanya yang sedang duduk menyantap sarapan."Ke mana, Ka? Pagi banget?""Jemput Vio, Ma. Semalem dia kuanter pulang, pagi ini dia naik apa kalo mobilnya di kantor?"Rimbi terbengong mendengar jawaban Azka. Sementara Ferdi menahan tawanya."Demi dapet alamat Hana. Pergi dulu Ma, Pa." Azka mencium tangan kedua orang tuanya lantas berlalu pergi.Setelah Azka hilang dari pandangan mereka, barulah Ferdi berani meledakkan tawanya. "Udah, kamu aja yang turun tangan. Nungguin hasil dari Azka pasti lama.""Emangnya Azka ...?" Rimbi menatap suaminya dengan bingung."Kali ini Azka dapet lawan yang sepadan, kayaknya kamu yang mesti turun tangan."***Azka melajukan mobilnya ke sebuah perumahan elit. Jelas Azka tahu di mana Vio tinggal karena sudah beberapa kali mengantar Hana ke rumah itu, dan malam sebelumnya pun ia mengantar Vio sampai depan gerbang rumahnya. Akan te