“Coba katakan padaku, bagaimana kau bisa pacaran dengan Pak Reino? Dan sudah sampai mana hubungan kalian?” tanya Kiara saat jam makan siang. Kebetulan saja hari ini Reino ada janji makan siang dengan klien. Dia ingin membawa Lydia, tapi batal karena tidak mau kejadian yang kemarin terulang lagi. Kiara yang kebetulan mendengar percakapan itu langsung meleleh. Dia menganggap Reino pria gentle dan rumor yang beredar mungkin saja salah. Karena itu saat jam makan siang, dia menarik Lydia dan mengusir Revan. Katanya ini pembicaraan perempuan. “Itu terjadi begitu saja,” jawab Lydia asal. “Astaga kau ini. Kan pasti ada prosesnya gitu. Pas pendekatan gimana, terus nembaknya gimana. Cerita dong,” desak Kiara mendesak. Lydia jadi bingung harus menjawab apa. Hubungannya dengan Reino kan hanya pura-pura saja karena sudah Polar Bear itu bisa dibilang menyelamatkannya saat rapat beberapa waktu
“Oh, my God. Kenapa gak diangkat sih?” gerutu Lydia menaiki tangga darurat dengan ponsel menempel di telinga. Tidak berhasil menghubungi Reino, Lydia langsung menghubungi Pak Hadi. Dan untungnya pria itu mengangkat teleponnya pada dering ketiga. “Pak Hadi saya perlu bicara dengan Pak Reino sekarang juga.” “Maaf, Mbak. Beliau sedang berdiskusi dengan klien,” jawab Hadi sopan. Lydia menggeram marah. Dia tahu tidak seharusnya dia marah dan menginterupsi, tapi ini juga masalah yang penting. Bahkan jauh lebih penting dari apa pun. “Tolong bilang sama Pak Reino. Kedua orang tuanya saat ini baru saja sampai di kantor kita.” Tidak ada jawaban apa pun dari Pak Hadi, tapi Lydia tahu pria itu pasti sedang berusaha memberi tahu Reino apa yang terjadi. Butuh waktu agak lama memang, tapi Lydia dengan setia menunggu. “Pak Reino akan mencoba menghubungi mereka dan untuk sementara, Mbak Lydia boleh bersembunyi di kamar pribadi dulu.” “Okay. Thank you.” Lydia yang sudah sampai di lantai lima,
Warning! Ada sedikit adegan di bagian akhir.“Selamat pagi, Bu.” Lydia terhenyak mendengar sapaan yang ditujukan padanya itu. Tidak tahu harus menjawab apa, dirinya hanya tersenyum saja. Dan rupanya sapaan itu terus datang dari para pegawai yang lainnya, sampai Lydia kebingungan dibuatnya. Bahkan ketika Lydia tidak sengaja berpapasan dengan Pak Trisno saat menunggu lift, pria paruh baya itu juga menyapanya. Yah, walau dengan nada canggung yang agak dipaksakan sih. “Ada apa sih dengan semua orang hari ini?” gumam Lydia ketika turun di lantai lima. “Mungkin karena statusmu yang sudah naik,” jawab Maya yang kebetulan sedang menunggu lift untuk turun ke kantin. “Eh, pagi Mbak,” sapa Lydia sopan seperti biasanya. “Mau ngopi?” tanya Maya terlihat serius. “Kalau gitu aku taruh tas dulu ya.” Maya segera mengiyakan saja dan menunggu
Hari sudah malam ketika Liani menatap anaknya yang sedang mengemas beberapa pakaiannya ke dalam koper ukuran sedang. Wajahnya terlihat khawatir, tapi dia tidak kuasa melarang. “Harus selama itu ya?” tanya Liani tidak lagi bisa diam. “Mau gimana lagi, Ma. Nyonya besar maunya aku jadi asisten pribadinya selama dia di Indonesia. Dan dia minta aku tinggal di tempatnya. Katanya biar mudah,” jawab Lydia tanpa menghentikan aktifitasnya. Hanya helaan napas pasrah yang bisa diberikan Liani sebagai tanggapan. Dia juga tahu kalau anaknya tidak bisa menolak karena Lydia hanyalah karyawan biasa. Permintaan dari Nyona Besar tentu tidak bisa ditolak seenak hati kan? “Nanti perginya naik taksi online?” tanya Liani lagi. “Gak. Katanya nanti ada yang jemput,” jawab Lydia setengah berbohong. Nanti memang ada yang menjemput, tapi bukan sopir saja yang datang. Katanya Reino sendiri yang datang menjemput karena ada beberapa hal yang harus mereka lakukan lebih dulu. Tentunya dalam konotasi yang positi
“Coba bayangkan saja. Dia seenak hati nidurin aku dan pegang-pegang, tapi dia juga yang ngehina. Sakit hati juga tahu kalau keseringan dibilang rata,” sahut Lydia berapi-api pada ketiga sahabatnya yang lain. “Emang dia ngomong apa?” tanya Cinta hati-hati. “Katanya dadaku rata banget. Padahal dia suka-suka aja tuh meremasnya keras-keras,” jawab Lydia menggebu-gebu. “Bokongmu gak dibilangin rata juga?” tanya Vanessa sengaja ingin memancing. “Gak sih,” jawab Lydia jujur. “Tapi kalau dipukulin ya sakit juga.” “Dipukulin? Kekerasan maksudnya?” kini giliran Erika yang bertanya. “Ya... gak juga sih. Gimana ya ngomongnya? Yang kayak biasa ada di film-film gitu loh. Yang mainnya agak kasar.” “Kasar ya? Tapi enak gak?” lagi-lagi Vanessa ingin memancing. “Enak sih,” jawab Lydia sedikit lebih lirih dari sebelumnya, sambil menggar
“Kapan kalian mau kasih Mama cucu?” Pertanyaan Clarissa itu membuat Lydia tersedak, sementara Reino terlihat santai saja. Pria itu bahkan tidak membantu Lydia yang terbatuk-batuk kalau bukan atas perintah Clarissa. “Kamu ini masa istri tersedak gitu gak dibantuin sih?” hardik Clarissa dengan mata melotot. “Lydia kan bukan anak bayi yang gak bisa mengurus diri sendiri, Ma,” seru Reino sembari mengulurkan gelas berisi air pada Lydia. Ini adalah hari ketiga sejak Lydia tinggal di rumah orang tua Reino. Walau tidak selalu berada di rumah, dia tetap tidak terbiasa dengan kehidupan palsunya ini. Salah satunya ya itu tadi. Makan malam bersama, diselingi dengan pertanyaan ‘kapan ada cucu?’ Ugh, rasanya Lydia ingin cepat-cepat pulang ke rumah saja. “Kami gak buru-buru kok, Ma,” jawab Reino setelah batuk Lydia mereda. “Iya, Ma. Kami masih ingin menikmati masa-masa awal menikah dulu,” jawab Lydia menimpali jawaban Reino. “Apa itu artinya kalian menunda?” kali ini Leon yang bertanya. “
Lydia melirik ke arah pelayan yang membawakannya sarapan ke kamar. Pelayan wanita itu terlihat menunduk malu entah karena apa. Dia nyaris tidak mendonggak saat menaruh meja kecil di atas ranjang, tepat di depan Lydia. Dan itu membuat Lydia bertanya-tanya. Pandangan mata Lydia mencoba menyapu semua sudut kamar dan tidak ada yang aneh. Tidak ada barang berantakan atau baju berserakan di lantai. Ranjangnya juga sudah rapi dan sudah diganti dengan seprai yang baru. Tadi pagi, Lydia sendiri yang melepas penutup ranjang yang masih terasa agak lembap itu. Belum lagi masih ada bau sisa percintaannya semalam. Dan seingat Lydia tadi dia sendiri yang memasukkannya ke mesin cuci, sementara para pelayan lain memasang seprai baru. Jadi sekarang Lydia tidak mengerti kenapa para pelayan bertingkah malu-malu. “Gimana sarapannya?” tanya Clarissa menyapa menantu satu-satunya itu. “Good,” jawab Lydia yang hari ini terlambat bangun. “Maaf, ya Ma. Lydia gak bisa ikut sarapan,” ringisnya pelan. “Gak m
“Aku sudah ada di luar rumahmu. Keluar sekarang juga.” Lydia menggeram kesal ketika telepon dari Reino itu terputus tiba-tiba. Padahal baru sekitar sejam dia berada di rumahnya, tapi Reino sudah menjemput saja. Ini gara-gara Lydia harus mengelabui Clarissa. Ya. Perjalanan itu nyatanya memakan waktu lebih dua jam. Dan membuat Lydia yang sebenarnya kelelahan makin lelah saja. Mana di rumah dia juga tidak istirahat karena harus menemani ibunya. “Ma. Sepertinya Lydia sudah harus balik lagi deh,” seru Lydia dengan wajah cemberut. “Eh? Secepat ini?” tanya Liani juga ikutan cemberut. “Mau diapa lagi. Namanya juga masih kerja. Nanti kalau ada waktu dan dapat izin, Lydia pasti mampir lagi kok.” Mau tidak mau, Liani harus merelakan putri kesayangannya pergi bekerja lagi. Andaikata dia masih bisa bekerja, Liani pasti akan memastikan Lydia keluar dari pekerjaannya. Dia kurang suka putrinya harus bekerja keras, sampai menginap di rumah orang. “Bos kamu baik juga ya. Tiap kali pasti dijempu
“Amadeus Andersen?” Kenzo mengucapkan nama keponakannya yang kedua dengan kedua mata berkedip. “Apa kau ingin anak-anakmu jadi musisi?”Anak kedua Reino yang berjenis kelamin lelaki, baru saja dilahirkan dan lagi-lagi Reino baru terpikirkan soal nama. Alhasil, itu sempat membuat Lydia kesal. Untung saja, nama pemberian Reino cukup bagus. Amadeus. Diambil dari nama komposer terkenal dunia, Wolfgang Amadeus Mozart. Dengan nama anak pertama yang bernama Melody, tentu saja orang-orang akan berpikir kalau Reino ingin anaknya jadi musisi. “Tidak. Aku hanya ingin anak-anakku punya nama dengan tema yang sama.” Reino menjelaskan dengan santai. “Karena yang pertama sudah berhubungan dengan musik, jadi yang kedua pun harus sama.” “Tapi setidaknya tolong jangan membuat nama secara tiba-tiba.” Lydia menegur untuk yang kesekian kali. “Aku kesal karena nama yang sudah kusiapkan malah tidak jadi dipakai.” “Kita bisa memakainya sebagai nama tengah.” Reino memberi ide. “Sudah tidak mungkin. Aktanya
“Selamat atas kehamilan keduanya. Janinnya sudah berumur hampir empat minggu.” Lydia melongo mendengar apa yang dikatakan dokter barusan. Sungguh, dia sama sekali tidak menyangka akan mendengar kalimat seperti itu karena memang belum ingin menambah momongan. Bukannya Lydia tidak mau tambah anak, tapi rencananya nanti. Mungkin setelah Melody berumur lebih dari setahun atau bahkan setelah anaknya berumur tiga tahun. Namun, ternyata itu semua tidak bisa lagi. Di usia Melody yang ke enam bulan, Lydia sudah hamil lagi. “Makanya aku bilang juga apa?” Lydia menghardik suaminya ketika mereka sudah duduk manis di dalam mobil. “Pakai pengaman. Apa susahnya sih?” “Katanya menyusui itu KB alami kan?” tanya Reino takut-takut. “Jadi kupikir tidak masalah.” “Iya, tapi kan ada syaratnya juga. Kau pikir aku menyusui dua puluh empat jam?” Lydia makin menghardik suaminya. “Sudah kejadian juga. Kita hanya bisa pasrah.” Reino mengatakan kalimat pamungkas itu. Lydia mendesah pelan. Memang sudah tak
Waktu berlalu dengan cepat. Setelah pencarian nama yang kilat, kini dua bayi kembar yang diberi nama Meyer dan Meidi itu sudah berusia lima bulan. Hanya berbeda satu bulan kurang dua hari dari keponakan mereka, Melody. Nama mereka bertiga bahkan serupa, bahkan wajah pun agak mirip. Tidak heran kalau mereka bertiga kadang dikira kembar. “Aduh lucunya mereka.” Kenzo memekik senang ketika adik dan keponakannya berkumpul dan bermain bersama. “Kalau kau begitu suka dengan bayi, kenapa tidak segera menikah dan punya anak sendiri?” Lydia geleng-geleng kepala melihat tingkah adiknya itu. Hari ini, Lydia berkunjung ke rumah mamanya. Kebetulan dia sudah agak lama tak berkunjung karena sibuk dan baru saja sembuh dari sakit. Anak-anak dibiarkan bermain di lantai yang sudah dialasi karpet tebal. Tak lupa juga para pengasuh dan pengurus rumah berjaga di sekitar bocah-bocah itu. “Aku suka bayi, tapi masih terlalu muda untuk menikah. Lagi pula, aku baru masuk kerja. Aku harus kumpul banyak uan
“Bagaimana?” Lydia berlarian mendatangi adiknya yang berdiri di depan ruang operasi. Liani sudah diatur akan dirujuk ke rumah sakit mana ketika melahirkan nanti. Letaknya berada di antara rumahnya dan rumah Lydia. Sengaja seperti itu agar bisa memudahkan semua orang. Rumah sakit yang sama dengan Lydia dulu. Lydia bahkan sempat menyusui Melody dulu sebentar, sebelum meninggalkan bayinya dengan mama Clarissa. Untung saja bayinya anteng dan tidak terlalu rewel, sehingga Lydia dan Reino bisa segera ke rumah sakit. “Mama masih di dalam. Dia baru masuk sekitar lima belas menit lalu karena tadi diperiksa dulu,” jelas Kenzo dengan panik. “Tidak apa-apa. Kau tidak perlu sepanik itu. Mama hanya melahirkan.” Lydia mengusap lengan adiknya. “Ya, tapi ... perut mama akan dibedah untuk mengeluarkan dua bocah itu. Itu tetap saja menakutkan.” Kenzo malah bergidik ketika membayangkannya. “Bagaimana nanti kau menemani istrimu melahirkan kalau kau selemah itu?” tanya Reino sambil menggelengkan kepal
“Bagaimana rasanya jadi seorang ibu?” Erika menanyakan hal itu pada Lydia. “Luar biasa,” jawab perempuan yang baru saja melahirkan beberapa minggu lalu itu. “Ternyata cukup menyenangkan.” “Cukup menyenangkan?” tanya Cinta dengan mata melotot. “Memangnya anakmu tidak pernah terbangun tengah malam? Tidak pernah rewel?"“Rewel.” Lydia mengangguk pelan, sambil melihat anaknya yang baru saja tertidur itu. “Tapi kan banyak yang bantuin.” “Yeah, the power of money. Ada pengasuhnya.” Vanessa memutar bola matanya karena gemas. Lydia tertawa cukup keras. Yang dikatakan Vanessa itu memang tidak salah. Reino memang menyewa pengasuh untuk membantu Lydia mengurus Melody. Ada juga mama mertua baik hati yang mau membantu dan Reino juga cukup siaga. Bisa dikatakan hidup Lydia benar-benar nyaman. Dia benar-benar hanya menyusui putrinya dan membantu memakaikan baju. Selebihnya akan dilakukan pengasuh atau mama mertua. “Kalau kau kewalahan, coba ambil pengasuh. Punya dua bayi pasti lebih repot.” L
“Aku takut.” Lydia terlihat sudah ingin menangis ketika mengatakan itu. “Tidak perlu takut. Kau akan baik-baik saja.” Reino mengecup istrinya yang sudah berganti pakaian dengan jubah operasi yang steril. Yap. Hari ini pada akhirnya ibu hamil itu akan melahirkan dengan prosedur operasi cesar menggunakan metode ERACS. Itu adalah jenis operasi yang bisa membuat Lydia tak perlu tinggal lama di rumah sakit karena pemulihannya lebih cepat. Sebenarnya Lydia ingin mencoba normal, tapi dia tak bisa melakukan itu. Ukuran bayinya terlalu besar, sementara panggulnya agak kecil. Tidak tanggung-tanggung berat bayi dalam kandungan diperikan sudah melebihi tiga koma lima kilo. Itu membuat Lydia kesulitan berjalan selama trisemester akhir.“Kau tidak perlu takut.” Ibu mertua Lydia menenangkan menantunya. “Zaman sudah modern dan alat kedokteran juga sudah canggih. Semua akan aman.” “Aku juga akan mendampingimu.” Reino mengelus lengan istrinya yang makin bertambah gemuk, seiring pertumbuhan si bay
“Bagaimana ini?” Liani tampak panik ketika melihat putrinya sampai ke rumah lama mereka. “Mama kenapa?” Lydia segera menaruh tasnya di sofa dan duduk di samping sang ibu dengan wajah cemas. “Tadi mamamu ada sedikit flek.” Pak Hadi yang akhirnya menjelaskan kondisi calon istrinya itu. “Jadi kami pergi ke dokter karena Liani agak khawatir dan ternyata ....” “Kantong janinnya ada dua,” lanjut Liani memotong kalimat calon suaminya. “Hah?” Reino dan Lydia bergumam bersamaan. “Sepertinya kembar.” Lagi-lagi Hadi yang menjawab. “Maaf, Lyd. Mama bener-bener gak sengaja. Padahal kau sudah mengatakan hanya ingin satu adik lagi, tapi pada akhirnya jadi dua. Mama khawatir padamu.” Liani makin panik saja. Jujur saja, Lydia sangat syok. Dia tak menyangka akan mendapat dua adik lagi dan ingin protes, tapi mau apa lagi? Sudah terjadi juga dan dia tak bisa menyalahkan sang mama. Liani jelas tidak bisa mengontrol hal seperti itu. “Tidak apa-apa kok, Ma.” Lydia akhirnya berbicara setelah diam cu
Setelah menjalani pemeriksaan, rupanya Liani benar-benar hamil. Baru sekitar sebulan, tapi itu membuatnya jadi cemas. Bukan saja cemas ini akan membuatnya kelelahan di hari pernikahan, tapi juga cemas dengan Lydia dan Kenzo. Biar bagaimana, pendapat kedua anaknya itu penting. “Wuah.” Kenzo langsung memekik senang mendengar kabar itu. “Aku akan punya adik? Sungguh?” Liani senang ketika melihat putra bungsunya itu antusias mendengar berita bahagia yang satu itu. Artinya sekarang tinggal Lydia saja. “Asal jangan banyak-banyak. Kalau satu masih bisa kumaklumi.” Pada akhirnya hanya itu yang bisa dikatakan Lydia pada ibunya, walau dengan tampang yang masih tak rela. Desahan napas lega langsung terdengar ketika Liani mendengar kalimat putrinya. Setidaknya kini tak ada lagi yang membebani pikirannya, selain harus segera menutup kandungan setelah melahirkan nanti. “Terima kasih karena mau memberi Mama satu kesempatan lagi,” bisik Liani memeluk lengan putrinya yang terasa makin gemuk.
Lydia menatap Pak Hadi dengan tajam. Ibu hamil itu sudah beberapa menit seperti itu dan membuat Pak Hadi jadi salah tingkah. Bahkan Reino pun jadi agak salah tingkah. “Anu, Mbak. Ada apa saya tiba-tiba dipanggil?” tanya Hadi merasa sudah terlalu lama berdiri di depan kedua bosnya. “Apa kau sudah bosan hidup?” Lydia bertanya dengan nada ketus. “Tentu saja saya masih ingin hidup karena saya akan menikah sebentar lagi,” jawab Hadi tanpa berpikir. “Ya, itu. Kau kan sudah akan menikah, jadi kenapa membuat ibuku hamil di luar nikah?” Lydia menghardik dengan nada yang masih sama kesalnya. “Oh? Apa Liani sudah melakukan tes?” tanya Hadi tanpa merasa bersalah sama sekali. “Tunggu dulu.” Tiba-tiba saja Reino menyela. “Maksudmu Mama Liani hamil?” tanya lelaki itu dengan mata melotot. “Maksudnya kau akan punya adik lagi?” Reino kembali bertanya setelah istrinya mengangguk. “Anak dari Hadi?” Suara Reino makin lama makin membesar. Dia sungguh amat sangat terkejut mendengar berita ya