Entah sudah berapa kali Lydia meminta untuk istirahat ketika mereka menjelajahi beberapa candi atas permintaan ibu hamil. Yang paling parah, hari minggu itu sangat terik sehingga makin menguras tenaga. Ketika berada di Borobudur, Lydia mengeluhkan betapa tingginya tangga yang harus didaki. Katanya kedua kakinya pegal sekali diajak mendaki. Ketika di kompleks candi Prambanan, Lydia mengeluhkan kompleks candi yang luas. Dan karena Cinta ingin berjalan kaki mengelilingi kompleks candi, semua rombogan ikut jalan. “Astaga! Time out.” Lydia yang sangat jarang olahraga, berteriak meminta waktu istirahat. Dia tak segan duduk di atas jalan berbatu dengan memanjangkan kaki. Sungguh hari ini kedua tungkai kurusnya tidak bisa diajak bekerja sama. “Ck. Apaan sih? Yang pasutri siapa yang gak bisa jalan siapa,” ledek Vanessa diikuti kikikan geli yang lainnya. Yeah. Kelelahan dan seluruh kaki s
“Hanya ini saja yang bisa kalian pikirkan untuk produk baru kita?” tanya Reino dengan nada rendah dan tatapan mata tajam. Reino saat ini sedang rapat dengan tim pengembangan untuk membahas rancangan produk baru perusahaan mereka. Sebagai perusahaan yang bergerak dalam bidang F&B, tentunya mereka harus selalu melakukan inovasi dan mengikuti tren. Dan hasil rapat hari ini sebenarnya sedikit mengecewakan bagi Reino. Dia mengharapkan sesuatu yang lebih spektakuler untuk produk baru mereka, tapi tim hanya membawa pengembangan produk lama yang dikemas dengan lebih menarik. “Aku menggaji kalian untuk melakukan riset agar produk kita tidak ketinggalan dengan yang lain. Aku ingin produk baru, bukan sekedar produk lama yang ditingkatkan kualitasnya,” cecar Reino tak bisa lagi menahan amarahnya. “Selama aku menjabat di sini, belum ada satu pun ide produk baru yang kalian berikan.” Reino m
Reino yang hari ini datang sedikit lebih awal, tidak menemukan Lydia di mejanya. Dan saat akhirnya dia melihat Lydia dari layar tanngkapan CCTV, wanita itu justru terburu-buru berlari ke arah toilet. Penasaran dengan asistennya, Reino mengekori dengan langkah santai. Langkah kakinya yang panjang, membuat Reino dengan mudah mengejar sekretarisnya itu. Dan betapa terkejutnya Reino ketika mendengar suara tendangan yang cukup keras. Awalnya Reino berpikir kalau itu suara Lydia yang terjatuh menghantam pintu atau sejenisnya. Tapi baru juga pintu toilet terbuka, Reino sudah bisa mendengar suara caci maki Lydia. Reino menyandarkan tubuhnya ke dinding dekat pintu untuk mendengar semua keluh kesah yang dilontarkan sekretarisnya itu. Entah dengan alasan apa, Reino merasa perlu mendengarnya. “Loh, Pak Reino? Ada yang bisa dibantu, Pak?” Tuti yang merupakan asisten Lydia dan kebetulan mau ke toilet bertanya ketika melihat bosnya bersandar dekat toilet perempuan. Reino tidak menjawab dan hanya
Hari ini mood Lydia sangat bagus. Walau dia merasa masih perlu tidur sebentar lagi, tapi rasanya energinya sudah terisi penuh. Walau rapat kemarin menguras tenaga, tapi dia senang karena banyak makanan di rumah. Kemarin dulu, Selain memberi hadiah ulang tahun pada Lydia, Reino rupanya juga memesankan makan malam untuk di rumah. Kalau kata Liani, sebagai apresiasi untuk karyawan berprestasi. Ini sungguh diluar dugaan. Reino memberikannya hadiah ulang tahun saja sudah luar biasa. Ini malah ditambah dengan makan malam yang semuanya menu kesukaan Lydia. Entah dari mana Reino tahu makanan kesukaannya, tapi yang jelas Lydia perlu berterima kasih. Karena itu hari ini dia menyempatkan diri memesan sarapan mahal yang kira-kira akan disukai Reino. seharusnya ini dilakukan kemarin, tapi Lydia lupa. “Selamat pagi, Mbak Maya,” Lydia menyapa rekan kerjanya itu dengan sopan ketika mereka berpapasan di lift. “Selamat pagi juga. Tumben ceria amat,” jawab Maya ramah se
“Hei, Pak Reinonya ada?” “Oh, ada kok. Tapi dia sedang ada tamu. Kalian bisa menunggu sebentar kan?” tanya Lydia pada dua orang yang ada didepannya. Kiara dan Revan yang hari ini diminta menggantikan Bu Nia yang sedang cuti untuk ikut rapat, mengangguk pelan. Mereka duduk di sofa dekat dengan meja Lydia untuk menunggu bos besar punnya waktu luang. Lydia tidak terlalu menggubris dua orang itu karena memang ada setumpuk dokumen yang harus dia pisahkan. Salah satu pekerjaan sekretaris yang melelahkan ya ini. Menyusun dokumen yang harus ditanda tangani Reino, baik di atas kertas maupun online. “Apa kamu sibuk?” tanya Kiara menatap Lydia ragu-ragu. “Ada masalah?” Lydia yang tadinya fokus, kini menatap mantan rekan sekubikelnya dulu. Kiara tidak langsung menjawab. Dia menyikut Revan dengan pelan dan membuat pria itu melotot padanya. Setelah beberapa detik percakapan hanya dengan tatapan mata, akhirnya Revan yang berbicara. “Anak ini ingin minta maaf padamu.” Kalimat yang dilontark
“Coba katakan padaku, bagaimana kau bisa pacaran dengan Pak Reino? Dan sudah sampai mana hubungan kalian?” tanya Kiara saat jam makan siang. Kebetulan saja hari ini Reino ada janji makan siang dengan klien. Dia ingin membawa Lydia, tapi batal karena tidak mau kejadian yang kemarin terulang lagi. Kiara yang kebetulan mendengar percakapan itu langsung meleleh. Dia menganggap Reino pria gentle dan rumor yang beredar mungkin saja salah. Karena itu saat jam makan siang, dia menarik Lydia dan mengusir Revan. Katanya ini pembicaraan perempuan. “Itu terjadi begitu saja,” jawab Lydia asal. “Astaga kau ini. Kan pasti ada prosesnya gitu. Pas pendekatan gimana, terus nembaknya gimana. Cerita dong,” desak Kiara mendesak. Lydia jadi bingung harus menjawab apa. Hubungannya dengan Reino kan hanya pura-pura saja karena sudah Polar Bear itu bisa dibilang menyelamatkannya saat rapat beberapa waktu
“Oh, my God. Kenapa gak diangkat sih?” gerutu Lydia menaiki tangga darurat dengan ponsel menempel di telinga. Tidak berhasil menghubungi Reino, Lydia langsung menghubungi Pak Hadi. Dan untungnya pria itu mengangkat teleponnya pada dering ketiga. “Pak Hadi saya perlu bicara dengan Pak Reino sekarang juga.” “Maaf, Mbak. Beliau sedang berdiskusi dengan klien,” jawab Hadi sopan. Lydia menggeram marah. Dia tahu tidak seharusnya dia marah dan menginterupsi, tapi ini juga masalah yang penting. Bahkan jauh lebih penting dari apa pun. “Tolong bilang sama Pak Reino. Kedua orang tuanya saat ini baru saja sampai di kantor kita.” Tidak ada jawaban apa pun dari Pak Hadi, tapi Lydia tahu pria itu pasti sedang berusaha memberi tahu Reino apa yang terjadi. Butuh waktu agak lama memang, tapi Lydia dengan setia menunggu. “Pak Reino akan mencoba menghubungi mereka dan untuk sementara, Mbak Lydia boleh bersembunyi di kamar pribadi dulu.” “Okay. Thank you.” Lydia yang sudah sampai di lantai lima,
Warning! Ada sedikit adegan di bagian akhir.“Selamat pagi, Bu.” Lydia terhenyak mendengar sapaan yang ditujukan padanya itu. Tidak tahu harus menjawab apa, dirinya hanya tersenyum saja. Dan rupanya sapaan itu terus datang dari para pegawai yang lainnya, sampai Lydia kebingungan dibuatnya. Bahkan ketika Lydia tidak sengaja berpapasan dengan Pak Trisno saat menunggu lift, pria paruh baya itu juga menyapanya. Yah, walau dengan nada canggung yang agak dipaksakan sih. “Ada apa sih dengan semua orang hari ini?” gumam Lydia ketika turun di lantai lima. “Mungkin karena statusmu yang sudah naik,” jawab Maya yang kebetulan sedang menunggu lift untuk turun ke kantin. “Eh, pagi Mbak,” sapa Lydia sopan seperti biasanya. “Mau ngopi?” tanya Maya terlihat serius. “Kalau gitu aku taruh tas dulu ya.” Maya segera mengiyakan saja dan menunggu