Aku melirik jam pada dinding warung, pukul setengah sepuluh malam. Ah, aku lupa, aku juga memakai jam tangan sendiri. Aku melirik jam tanganku, sama persis dengan waktu yang ditunjukkan oleh jam dinding warung. Papa dan mama pasti akan mengomeliku ketika aku pulang nanti. Ini adalah waktu yang cukup malam untuk diriku.
“Adi, aku mau pulang.” Kataku pada Adi yang sedari tadi hanya banyak diamnya.
“Ayo.” Sahutnya tidak kalah lirihnya dengan suaraku.
Oh, iya, teman-teman! Aku tadi tidak hanya minum es teh hangat. Eh, maksudku teh hangat. Aku tadi juga makan, sebab aku pun merasa lapar. Jadi, jumlah yang harus aku bayarkan sekitar sepuluh ribu rupiah. Murah sekali. Aku segera mengeluarkan uang dari saku celana, dan memberikannya kepada ibu penjaga warung. Tapi, belum sempat ibu itu menerimanya, Adi telah membayarnya terlebih dahulu. Ah, aku jadi tidak enak sendiri dengan dia. Aku sudah menumpang motornya, dia pula yang membayar makanan dan mi
“Nisa, tadi malam kamu pulang jam berapa?” tanya mama kepadaku ketika kami sekeluarga kumpul untuk sarapan pagi.Samar-samar aku menjawab, “Pukul setengah sebelas.”“Malam sekali?” tanya mama lagi.“Iya, mah.” Sahutku. “Kan, tadi malam hujan, terus aku menjadi tempat berteduh. Dan hujannya kan baru selesai pukul sepuluh malam. Setelah itu barulah aku pulang.”“Kok, mama telpon tidak kamu angkat-angkat?” tanya mama lagi. Ah, menyebalkan.“Aku lupa membawa hp. Hp aku ketinggalan di kamar. Ma.” Jawabku.“Sudah, yang penting sekarang Nisa sudah pulang. Lain kali kalau mau keluar rumah jangan lupa membawa hp. Jaman sekarang ini hp adalah kebutuhan yang sangat membantu untuk kita.” Kata papa. “Misal kalau kita tersesat kita bisa menggunakan google map. Kalau kita tidak mendapatkan angkot, kita bisa memanggil ojek online.” Lanjut papa dengan
Pukul setengah tiga sore aku duduk-duduk santai di teras rumah sembari membaca komik yang aku beli beberapa hari lalu. Sebenarnya aku tidak konsentrasi penuh dengan komik itu, melainkan aku tengah fokus dengan isi hatiku dan pikiranku sendiri. Pasalnya hari ini aku sangat-sangat bahagia dan sangat menikmati setiap tarikan nafas yang aku hirup di dunia. Adakah kalian yang mengetahuinya?Hari ini aku sangat bahagia. Tadi di sekolah, Faisal memberikan kejutan lanjutan kepadaku. Dia secara terang-terangan mengatakan kepadaku bahwa dia selama ini suka kepadaku. Sebenarnya aku tidak kaget, tapi demi menghormati dia yang susah payang mengungkapkan rasa itu aku berpura-pura kaget. Istilahnya agar terjadi kejutan begitu saja, tidak lebih. Tapi pada tarikan-tarikan nafas berikutnya, aku benar-benar kaget. Dia tidak hanya mengatakan bahwa dia suka kepadaku, tapi lebih dari itu, dia menunggu jawabanku apakah mau menjadi pacarnya. Nah, jadi sekarang ini aku tengah memikirkan jawaban apa y
Pagi hari aku terbangun dengan sendirinya. Wah, ini adalah pagi yang luar biasa. Bagaimana mungkin aku bisa bangun sepagi ini? Aku melihat jam mungil yang terletak di samping tempat tidur, pukul setengah lima pagi. Sayup-sayup dari kejauhan terdengar adzan subuh berkumandang, dan aku segera bangkit dari tempat tidur. Apa yang akan aku lakukan? Mandi? Ah, masih dingin sekali. Biasanya juga aku baru mandi pukul lima lebih, itu pun setelah diomeli berkali-kali oleh mama.Pelan-pelan aku membuka pintu kamar, benar-benar pelan. Aku khawatir jika membuat papa dan mama tahu bahwa aku sudah bangun. Bukan khawatir, sepertinya lebih mengarah pada rasa malu. Aku yang biasanya bangun pukul lima lebih rasanya malu saja jika ketahuan bangun sepagi ini. Dan apesnya lagi, kemarin sore aku berbicara kepada mama bahwa ada anak yang suka kepadaku. Wah, ini bisa jadi perbincangan yang sangat-sangat menyebalkan di meja sarapan nanti. Ah, tapi tidak apalah, aku sudah mempunyai beberapa amunisi unt
Di sinilah sekarang aku berada. Pukul setengah dua siang.Angin semilir menggerak-gerakkan pucuk dedaunan. Sesekali ikan-ikan menghirup oksigen, menampakkan kepalanya sejenak. Langit di atas sana cerah merona, berhiaskan bintik-bintik awan putih dengan berbagai bentuk. Aku duduk di kursi putih ukuran satu setengah meter, berbahan besi, di bawah salah satu pohon. Satu dua capung beterbangan bergerak mendekat. Mungkin karena begitu banyaknya capung-capung yang menghuni daerah ini, daerah ini dinamakan dengan sebutan Sungai Capung. Sebenarnya ini bukan sungai, tapi lebih mirip dengan waduk yang panjang dan lebarnya tidak terkira. Saking panjangnya maka orang-orang lebih suka menyebutnya dengan sungai.Di sinilah sekarang aku berada. Pukul setengah dua siang. Sesekali capung datang menghampiri, ingin menabrak kepala, tapi beberapa saat kemudian terbang menjauh.“Kamu tahu, Nisa? Ini adalah hari yang sangat membuatku berdebar-debar,” katanya.Aku h
“Hai, Nisa! Apakah malam ini kamu bisa jalan?” SMS dari Faisal masuk. Aku harus menjawab apa? Baiklah, aku akan meminta ijin kepada mama terlebih dahulu. Waktu menunjukkan pukul setengah enam petang, hujan telah terhenti namun hawa dingin tidak dapat dihindari. Hujan hanya meninggalkan buih-buih kecil seperti embun yang masih turun dari langit. Sepertinya mama tengah asyik dengan tayangan-tayangan berita petang di televisi. “Seorang anggota Dewan terjerat kasus korupsi, KPK tengah mengamankan dan mencari barang bukti lebih...” Itu adalah suara narasi berita yang aku dengar dari televisi. Ah, kenapa bangsa ini tidak lelahnya dengan kasus korupsi? Hemm... kenapa pula televisi-televisi masih menayangkan tayangan seperti itu? Ataukah kekurangan tayangan yang lebih bermanfaat? “Ma, nanti malam aku mau jalan dengan teman! Boleh atau tidak, Ma?” tanya Nisa hati-hati ketika sudah duduk di samping mamanya. “Dengan siapa?” tanya
Betapa terkejutnya aku bahwa ternyata Faisal adalah anak dari orang kaya. Lalu, kenapa selama ini Faisal sekolah di sekolah SMA yang tidak ada unggulnya sama sekali? Atau, dia ingin menyembunyikan dirinya yang sejati? Ah, semua kelabu.“Kita ke mana, Faisal?” tanyaku gugup.“Kita akan bertemu dengan keluargaku!” ujar Faisal mantap.“Untuk apa?” tanyaku ragu, sebenarnya aku ingin menolak itu.“Aku akan memperkenalkanmu kepada kedua orang tuaku, Nisa!” sahut Faisal menoleh kepadaku, senyumnya benar-benar membuatku lumpuh.“Tapi, kenapa harus...”“Memang demikian aturan dalam keluargaku! Aku harus mengenalkan kepada mereka sebelum melakukan hubungan lebih jauh!” ujar Faisal lagi.“Tapi kenapa harus demikian?” tanyaku lagi. Aku takut jika kedua orang tua Faisal tidak memberikan ijin untuk berhubungan denganku.“Tenang saja, orang tuaku tidak j
Bahaya Tekanan Darah TinggiSemua orang tahu bahwa tekanan darah tinggi dapat menyebabkan komplikasi dan masalah kesehatan serius. Kekinian, masalah tekanan darah tinggi di usia paruh baya ternyata dikaitkan dengan risiko demensia saat memasuki usia lanjut.Menurut sebuah penelitian yang dilakukan peneliti dari UCL Queen Square Institute of Neurology, masalah tekanan darah tinggi di usia muda memiliki korelasi dengan risiko demensia di kemudian hari.Lewat penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Lancet Neurology pada 2019 lalu, masalah tekanan darah tinggi diduga dapat membuat kerja otak menjadi terancam.Penelitian sendiri dilakukan terhadap sekitar 500 orang yang lahir pada tahun 1946. Hasilnya, masalah tekanan darah yang terjadi pada rentang usia 36 sampai 43 tahun memiliki korelasi dengan kerusakan otakSebenarnya, kemampuan otak untuk bekerja memang akan terus menurun seiring bertambahnya usia. Namun masalah tersebut akan semakin besar apabila seseorang memiliki masalah neuro
Pagi hari yang cerah.Udara masih sangat terasa dingin, sehingga aku masih belum beranjak keluar dari tempat tidur. Jam menunjukkan pukul 05:30 WIB, terlalu pagi jika aku bangun sekarang. Aku mengembalikan smartphone kesamping tempatku tidur setelah mengetahui jam berapa sekarang.Namun sayang, tidak bertahan lama aku bisa membaringkan diri di atas tempat tidur, sebab pintu sudah diketuk keras dari luar. Nampaknya Mama sudah bangun, dan sepertinya juga menyuruhku bangun.“Nisa … Bangun. Sudah siang ini, masih tidur saja.” Benar yang aku duga, pasti Mama kalau jam segini mengetuk pintu.“Iya ma, sebentar lagi aku juga bangun.”“NISA, jangan nanti-nanti. Sekarang juga BANGUN. Nanti kalau punya suami mau jadi apa kamu.”Ini yang selalu menyebalkan dari Mama, setiap kali aku bangun pagi, selalu masa depan, suami, yang Mama bicarakan agar aku segera bangun.Tapi benar juga, setelah aku pikir-pikir nanti aku mau menjadi apa jika selalu bangun sepagi ini, bukan pagi maksudku, mungkin ini sud
Kisah Nisa selalu menjadi menarik ketika manusia menjadi saling membunuh sebabnya. Maka dari itu, jangan sampai berhenti menjadi manusia yang lebih baik. ***Aku melirik jam pada dinding warung, pukul setengah sepuluh malam. Ah, aku lupa, aku juga memakai jam tangan sendiri. Aku melirik jam tanganku, sama persis dengan waktu yang ditunjukkan oleh jam dinding warung. Papa dan mama pasti akan mengomeliku ketika aku pulang nanti. Ini adalah waktu yang cukup malam untuk diriku.“Adi, aku mau pulang.” Kataku pada Adi yang sedari tadi hanya banyak diamnya.“Ayo.” Sahutnya tidak kalah lirihnya dengan suaraku.Oh, iya, teman-teman! Aku tadi tidak hanya minum es teh hangat. Eh, maksudku teh hangat. Aku tadi juga makan, sebab aku pun merasa lapar. Jadi, jumlah yang harus aku bayarkan sekitar sepuluh ribu rupiah. Murah sekali. Aku segera mengeluarkan uang dari saku celana, dan memberikannya kepada ibu penjaga warung. Tapi, belum sempat ibu itu menerimanya, Adi telah membayarnya terlebih dahulu.
Jika kalian mengira bahwa dimensi ruang itu hanya satu, maka adalah sebuah kesalahan besar. Dimensi tidak terkira jumlahnya, hanya saja kita tidak atau belum mengenalnya. Tahukah kalian bahwa bangsa Jin itu bisa hidup bahkan sampai dua ribu tahun? Tahukah kalian bahwa satu hari pada hari manusia, itu sama dengan satu tahun dalam waktu Jin? Atau, tahukah kalian bahwa di bawah tanah sana ada sebuah bangsa yang telah membodohi manusia bahwa yang membuat gempa adalah pergerakan lempeng? Merekalah yang menjadikan gempa bumi, dan novel ini akan menguak tabir misteri tersebut.***“Apakah semua sudah siap?” tanya Misa selaku ketua rombongan kecil itu.Mereka berkumpul dan berangkat dari rumah Misa, pukul setengah tujuh malam. Mereka menuju sebuah desa yang telah ditetapkan oleh dosen pembimbing. Dika, akan menjadi sopir mobil pribadi ayahnya yang mereka pinjam.Rombongan itu berjumlah empat mahasiswa. Misa, Dika, Aurel, dan Jimat. Sebenarnya nama Jimat bukanlah nama asli, aslinya Rahmat. Nam
Malam yang gelap telah tergantikan dengan sinar matahari yang menerangi. Hawa hangat berangsur-angsur kembali menemani setiap tarikan nafas manusia.Malam yang larut itu dilalui Danu dan Permata dengan bersembunyi di balik bongkahan batu besar, semak-semak mengelilinginya. Desa yang mereka berdua lewati tidak menyediakan penginapan, semua pintu telah tertutup ketika mereka mengamati dengan mengendarai kudanya. Tidak ada pintu yang terbuka, mereka berdua memilih untuk bermalam pada tempat yang aman. Batu akan melindungi dari hujan jika sewaktu-waktu turun kembali, semak-semak melindungi dari gangguan hewan ataupun manusia.“Kita lanjutkan perjalanan, Permata!” kata Danu.Perjalanan siang itu sepertinya tidak banyak halangan dan rintangan yang mereka alami. Perjalanan berlangsung lancar, dan nanti sore mereka akan sampai pada sebuah tempat yang menjadi tujuan mereka. Seseorang yang diharapkan bisa membantu melawan pasukan yang telah menawan Diana.Matahari bersinar cukup terang, tapi ti
“Kita harus segera melakukan sesuatu, Rosan!” ujar Karim, dia benar-benar tidak bisa konsentrasi untuk menghadapi para prajurit di depan sana, para prajurit yang bersembunyi di balik bukit juga bebatuan besar.“Tidak ada yang bisa kita lakukan, Karim. Hal terbaik yang bisa kita lakukan adalah menunggu para pasukan bangsat itu kehabisan anak panah dan kita bertarung jarak dekat!” sahut Rosan, matanya tidak lepas dari pandangan yang mengarah tajam ke depan, ia sama sekali tidak kehilangan konsentrasi entah bagaimanapun keadaannya.Karim tidak sependapat dengan kakaknya. “Kita tidak bisa hanya menunggu, Rosan. Siapa yang melangkah lebih cepat maka akan sampai terlebih dahulu!”“Percuma berjalan lebih dahulu dan cepat,” Rosan memandang Karim sekejap, lalu kembali menatap ke depan, “jika langkah kita salah!” lanjutnya.Gelengan kepala kecewa dari Karim terdengar, ia benar-benar berbeda sifat dengan Rosan. Rosan lebih tenang dan bersabar menunggu sebuah hal, namun sebaliknya, Karim sama sek
Tangan kanan Danu mengirimkan pukulan namun dengan mudah Karim menepisnya. Hampir dua belas kali Danu mengirimkan pukulan, dua belas kali tendangan dengan tenaga penuh, sebanyak itu pula Karim menangkisnya. Permata tidak kalah cekatan, dia telah mengirimkan belasan tendangan dan pukulan kuatnya, nihil, tidak ada yang mengenai sasaran.Karim memasang busur panah itu di pundaknya, tanpa merasa bersalah ia tertawa keras-keras, “Hahaha! Kalian bukan lawanku!”Danu bertambah geram, ini bukanlah soal harga diri, tepi lebih dari itu. Ini adalah tentang amanah yang Danu emban dari Rangkasa, menjaga tempat Serat Agung sekarang tengah berada.Tangan mengepal, rahang mengatup kuat, Danu konsentrasi penuh. Permata tidak pernah melihat Danu seperti itu, matanya terpejam dengan sendirinya menyaksikan kengerian itu. “Hati-hati, Danu!” ujar Permata, Danu bergeming.“Haa....” Pukulan Danu mengarah pada wajah Karim.Bug...Sebuah pukulan yang kuat mengenai rahang Karim, dia marah, meringis kesakitan. D
“Dari mana kalian berasal?” tanya seorang prajurit kepada Danu.“Aku dari desa Banjar Rejo!” jarab Danu.Permata tidak paham dengan apa yang ada dalam pikiran Danu. Tadi pagi ketika ada yang bertanya dari mana dia berasal Danu menjawab dari Lereng Gunung Tiga Maut, sekarang dengan pertanyaan yang sama ia menjawab dari Banjar Rejo. Manakah yang benar? Permata bingung sendiri.“Jauh sekali. Untuk keperluan apa kau melintasi wilayah kerajaan?” Seorang prajurit dengan nada mengancam bertanya, dan Danu sangat tidak menyukainya.“Aku mempunyai seorang saudara yang berada di desa Sambijajar, dan aku akan mengunjunginya dengan adikku ini!” Danu menunjuk Permata dengan jari telunjuknya. Permata tersenyum, sebuah senyum yang ia paksakan karena kaget.“Apakah kalian tidak membawa barang-barang yang bisa membahayakan orang lain?” tanya prajurit itu lagi, matanya menjelajah dari ujung kaki sampai rambut kepala, tidak ada yang terlewat.“Aku kira tidak ada yang membahayakan orang lain, aku bisa men
“Dari mana kalian berasal?” tanya seorang prajurit kepada Danu.“Aku dari desa Banjar Rejo!” jarab Danu.Permata tidak paham dengan apa yang ada dalam pikiran Danu. Tadi pagi ketika ada yang bertanya dari mana dia berasal Danu menjawab dari Lereng Gunung Tiga Maut, sekarang dengan pertanyaan yang sama ia menjawab dari Banjar Rejo. Manakah yang benar? Permata bingung sendiri.“Jauh sekali. Untuk keperluan apa kau melintasi wilayah kerajaan?” Seorang prajurit dengan nada mengancam bertanya, dan Danu sangat tidak menyukainya.“Aku mempunyai seorang saudara yang berada di desa Sambijajar, dan aku akan mengunjunginya dengan adikku ini!” Danu menunjuk Permata dengan jari telunjuknya. Permata tersenyum, sebuah senyum yang ia paksakan karena kaget.“Apakah kalian tidak membawa barang-barang yang bisa membahayakan orang lain?” tanya prajurit itu lagi, matanya menjelajah dari ujung kaki sampai rambut kepala, tidak ada yang terlewat.“Aku kira tidak ada yang membahayakan orang lain, aku bisa men
“Permata, aku harus segera menemukan bagaimana cara menangkap perkataan dua naga itu!” kata Danu kepada Permata ketika siang hari, matanya memandang Permata lekat-lekat.“Apakah itu adalah bantuan yang akan diberikan oleh Kosala?” Permata menebak-nebak, dan tebakannya benar.“Benar sekali Permata. Jika aku bisa menerjemahkan apa yang dikatakan dua naga itu, maka kita akan mendapatkan bantuan yang sangat besar!” kata Danu sungguh bersemangat.Permata diam sejenak, diam antara senang sebab mendapatkan bantuan, bingung sebab belum mengetahui bagaimana cara berbicara dengan dua naga. “Berarti apa sekarang yang bisa aku lakukan untukmu, Danu?” tanya Permata dengan senyum mengembang di kedua pipinya, alis terangkat.“Aku juga belum mengerti apa yang harus aku lakukan, Permata. Intinya beberapa hari ini kita akan di sini terlebih dahulu sampai akhirnya aku bisa berbicara dengan dua naga itu!” kata Danu menjawab. Dia juga belum menemukan apa gerangan yang dapat ia lakukan untuk bisa berbicara
“Danu, ayolah aku inginkanmu malam ini!” Permata merajut, wajahnya dibuat semenawan mungkin.“Tidak, Permata! Aku tidak berani melakukannya!” sahut Danu, ia berusaha memalingkan wajah.Namun Permata tidak membiarkan Danu lepas begitu saja, ia menghadkan kembali wajah Danu padanya. Permata benar-benar kehilangan kendali dalam dirinya, dia menginginkan Danu malam ini.“Aku takut jika kamu akan hamil, Permata!” Danu menjelaskan apa yang membuat dirinya tidak berani.“Tidak akan. Aku akan membuat ramuan yang bisa membuat aku tidak hamil!” jelas Permata.“Tidak, Permata! Itu adalah sebuah perbuatan gila dan akan membahayakan dirimu!” terang Danu.Beberapa saat diam, Permata kembali merayu dan meremas-remas telapak tangan Danu, mengelus-elusnya.“Danu, aku sungguh tidak tahan lagi!” Permata merayu, matanya menyipit, mulutnya dibulatkan agar Danu tergoda.“Gila, kau benar-benar gila, Permata!” Danu kembali mengelak.Permata tidak kehilangan akal, ia merah tangan Danu dan meletakkan di lehern