Raisa mengiringi Sanjaya yang dipapah Kun hingga tiba di dekat pintu mobil. Pria paruh baya itu berbalik, menatap menantunya dengan senyum terkembang.
Setiap kali Sanjaya memandang wajah teduh Raisa, maka bayangan Widia akan tampak di pelupuk mata. Entah kenapa rasa itu masih berdiri kokoh di hatinya, padahal sudah sangat lama. Sudah lebih dari dua puluh tahun.
"Raisa, papa berangkat. Jaga kesehatanmu dan bayi di dalam perutmu," ucap Sanjaya ketika hendak masuk ke dalam mobil.
Raisa seketika merasa kikuk. Dadanya berdegup dua kali lebih kencang. Perempuan itu melirik kepada Kun yang ternyata menatap sembarang ke arah jalan raya. Ya, Kun sudah tidak kuasa menahan amarah yang hampir meluap.
Raisa mengangguk ringan sambil berusaha mengembangkan senyum.
"Papa hati-hati. Cepat sembuh, cepat pulang," balas Raisa.
"Tentu, Raisa. Terima kasih." Sanjaya membalas.
Perpempuan itu kemudian meraih tangan Sanjaya dan menciumnya dengan t
Raisa membuka mata. Pandangannya terlihat kabur. Setelah beberapa kali mengerjap, barulah ruangan bernuansa monokrom itu tampak jelas.Ragam tanda tanya berkelindan di benak. Termasuk berada di mana dirinya. Kepalanya mencoba mengingat-ingat kejadian terakhir yang terjadi padanya. Raisa tersentak begitu ingatannya pulih dan mengulang dengan jelas peristiwa menyakitkan itu.Netranya berkaca-kaca. Rasa nyeri di bagian tungkainya tidak seberapa jika dibandingkan dengan tuduhan Kun hingga talak yang dijatuhkan padanya.Perih. Jika saja boleh memilih, dia lebih memilih berakhir di kamar itu, mati di tangan sang suami. Namun, benda tajam di tangan Kun ternyata tidak menancap di perutnya, melainkan pada tepian kasur di dekatnya.Belum puas menyakiti, Kun mengusirnya dari rumah itu dengan paksa. Menyeretnya ke teras."Pergi, aku tidak ingin melihat wajahmu lagi!""Mas, dengarkan aku ...."Debaman pintu yang dibanting Kun membuat R
Sehari semalam Raisa berada di kamar rumah sakit. Perempuan itu terlihat lebih pendiam. Matanya tampak bengkak sebab hampir setiap waktu menangis. Dokter Farah paham, ini sangat berat bagi Raisa.Hidup Raisa hancur. Hatinya remuk redam. Kun adalah bedebah!"Raisa," ucap Dokter Farah.Buru-buru Raisa menyeka air matanya, lalu menoleh pada perempuan yang dengan sabar menungguinya.Setiap kali menatap wajah Dokter Farah, ada rasa bersalah berkelindan di hati Raisa."Hari ini kamu boleh pulang."Raisa menggeleng. Dia tidak ingin kembali ke rumah itu, rumah yang membuat hidupnya seperti neraka. "Aku tidak mau pulang.""Kamu ingin pulang ke rumah orang tuamu?"Raisa berpikir sejenak. Tidak. Itu bukan ide bagus. Bapaknya pasti khawatir jika dia pulang ke desa tidak bersama Kun.Raisa kembali menggeleng. Dokter Farah menatap lekat wajah Raisa. Dokter cantik itu memikirkan sebuah ide."Aku ikut Mbak ...." Raisa menat
Sudah dua minggu Raisa berada di rumah Dokter Farah. Rumah itu sangat sepi ketika Dokter Farah tidak ada. Raisa kesepian. Ingin rasanya dia pulang kampung. Namun, itu tentu saja tidak mungkin dia lakukan. Dia belum siap memberitahukan semua kepada Sulaiman.Seperti malam-malam sebelumnya, Dokter Farah mengajak Raisa berjalan-jalan agar tidak penat berada di rumah. Sebenarnya, dia sudah menyediakan kendaraan untuk Raisa jalan-jalan ketika dirinya sedang bekerja. Namun, Raisa tak sedikit pun menjamah kendaraan tersebut."Aku pengin kerja, Mbak," ucap Raisa. Perempuan itu berkata pelan. Keputusan ini sudah dipertimbangkan oleh Raisa. Dia ingin memiliki kesibukan agar terbebas dari kungkungan bayangan yang begitu menyakitkan itu."Kerja?" Dokter Farah mengernyit."Iya."Dokter Farah menghela napas. Memandang kosong ke arah kanan dengan benak berpikir mencari ide. Dia paham apa yang sedang dipikirkan Raisa."Nanti aku bantu cari pekerjaan,"
Raisa mematung dengan mata enggan berkedip. Serasa mimpi, Raisa ternyata bertemu dengan dia di tempat ini. Perempuan itu terus saja memandang pria yang tengah tersenyum di depannya. Saat debar di hatinya semakin jelas terasa, Raisa tahu rasa itu masih ada di dalam sana."Mas Pras, ini Raisa yang diperintah Pak Direktur untuk di-interview."Suara Ayu membuyarkan lamunan Raisa dan Pras. Raisa mengerjap, lalu menoleh kepada Ayu. Perempuan itu menangkap sesuatu yang berbeda pada wajah Ayu. Wajah itu tidak seceria sebelumnya. Ada apa?Sempat terbetik anggapan kalau Ayu dan Pras terlibat suatu hubungan. Hingga akhirnya, Raisa mengenyahkan pikiran tidak penting tersebut."Terima kasih, Ayu." Pras tersenyum lembut kepada Ayu. Namun, Ayu hanya mengangguk kecil dengan wajah datar.Pras menatap Ayu yang berbalik badan hingga keluar ruangan."Silakan duduk, Raisa."Raisa menarik kursi, lalu mendudukinya.Bermacam tanya menggantung di benak
Benar kata Dokter Farah, Ben sangat baik. Dia banyak sekali berbicara, sehingga Raisa tidak merasa rikuh saat bersama sang atasan.Ben melihat jam di tangannya, lalu mengalihkan pandangan ke arah Raisa yang tengah sibuk memeriksa berkas."Raisa, waktunya makan siang.""Sebentar lagi, Pak. Tanggung." Raisa menjawab dengan mata tetap fokus pada berkas di depannya. Tangannya cekatan membuka lembaran-lembaran berkas.Ben bersyukur memiliki bawahan seperti Raisa. Perempuan itu begitu rajin. Tidak seperti asisten sebelumnya.Ben mendekat ke arah Raisa, dua tangannya menyentuh ujung meja. Merasakan ada seseorang di dekatnya, Raisa menengadahkan wajah."Ada apa, Pak?" tanya Raisa, penasaran.Yang ditanya malah tersenyum dengan penuh arti. Raisa mengernyit bingung, hingga kemudian tatapan lekat itu membuat perempuan itu merasa jengah."Aku ingin kamu menemaniku makan siang."Raisa menyengir, menganggap ucapan Ben hanyalah g
"Kun, papa tunggu di rumah.""Ada perlu apa, Pa? Kun sedang ada janji," jawab Kun yang tengah mengemudikan mobilnya. Dia harus segera ke rumah Delila. Perempuan itu merengek ingin diajak jalan-jalan sejak tadi."Pulang, papa ingin bicara." Sanjaya bekata datar."Bicara saja, Pa ...."Sambungan telepon terputus. Kun menahan geram mendapati papanya sangat bersikukuh agar dirinya pulang. Dia sudah dapat menduga-duga apa pemicu sikap Sanjaya yang terkesan marah.Sementara, pesan WhatsApp dari Delila berjejal. Kun hanya memandang pesan-pesan tersebut tanpa berniat membacanya, kemudian pria itu memutar balik kendaraan.Hari sudah gelap ketika Kun sampai di depan pagar. Lisa segera menghambur ke arah pagar begitu terdengar pekikan klakson. Perempuan itu menarik pagar.Di ruang tamu, Sanjaya bergelut dengan pikirannya yang berkecamuk sejak tadi. Bagaimana mungkin Kun bisa menceraikan Raisa seperti ucapan Bi Imas?Setelah didesak agar a
Raisa segera menghambur ke arah Sulaiman yang menatapnya dengan tatapan tajam. Gamang, Raisa bergelut dengan ragam tanya yang tiba-tiba memenuhi benak."Bapak kapan datang?" Raisa mengulurkan tangan.Namun, bukan sambutan yang Raisa dapat, jutru tamparan keras menghantam pipi halusnya."Raisa!" Dokter Farah berseru panik, lalu menghampiri Raisa.Wajah Raisa tertoleh ke arah kiri sebab tamparan sang bapak. Pipi itu terasa panas, tapi lebih panas lagi hatinya saat ini. Raisa sudah dapat meraba apa yang sedang terjadi. Perempuan itu menegakkan kepala, memberanikan diri menatap wajah nanar Sulaiman."Kamu telah mecoreng nama bapak!""Apa ... maksud Bapak?""Kamu selama ini membohongi bapak. Kenapa, Raisa? Kenapa!" teriak Sulaiman.Raisa menggeleng. Air matanya mengucur deras."Pak ... dengarkan Raisa. Raisa tidak pernah ....""Jangan mencoba-coba membohongi bapak lagi!" Sulaiman mengacungkan jari telunjuk tepat di dep
Layaknya hari-hari sebelumnya, Raisa menjalani hidup dengan lebih ringan. Beban-beban yang selama ini memenuhi kepala, satu-persatu terurai.Pada saat jam istirahat, Raisa terpikirkan pada percakapannya dengan Pras tempo hari. Tentang janji makan siang bersama. Pras tidak menagih, tapi entah kenapa Raisa ingin sekali bertemu dengannya. Beberapa hari ini, mereka hanya berpapasan tanpa ada kalimat terlontar. Hanya berbalas senyum, tidak lebih.Raisa meraih ponsel di atas mejanya. Mengetik sesuatu untuk Pras.[Sibuk?]Pesan masuk. Tak butuh waktu lama, balasan dari Pras masuk. Sontak senyum Raisa terpantik.[Tidak. Kenapa?][Bagaimana kalau kita makan siang bareng?]Pesan terbaca, tetapi hingga beberapa detik Pras tak kunjung membalas. Raisa yang tidak sabar, kembali mengirimi pesan.[Kalau tidak bisa, tidak apa]Tak berselang lama, Pras membalas.[Oke, kita ketemu di kantin]Raisa tersenyum. Ini begitu
Saat itu, setelah mendapatkan kecewa lagi dari perempuan yang sangat dicintainya, Ben langsung pergi begitu saja, tidak menghiraukan panggilan Raisa.Beberapa hari terakhir, pria itu juga tidak masuk kantor. Raisa semakin gelisah sebab nomor Ben tak dapat dihubungi.Raisa berjalan menuju sebuah rungan di mana Pras berada. Barangkali dia tahu di mana keberadaan Ben kini."Pak Ben tidak masuk kerja beberapa hari. Kamu tahu dia ke mana?""Ben sedang ke luar negeri. Aku tidak tahu pasti ada urusan apa," jawab Pras.Raisa tersenyum dan berterima kasih. Lalu dia berderap keluar ruangan.Waktu pulang tiba. Rasa penat yang mendera kian bertambah saat Dokter Farah menunjukkan sebuah foto.Raisa membekap mulut saat tiba-tiba dadanya terasa terhimpit."Ini Pak Ben, bukan?" Dokter Farah awalnya ragu untuk memberi tahu Raisa. Namun, jika mendiamkannya, sama halnya dengan mengkhianati Raisa.Raisa tak mampu berkata-kata, dia han
Ben tidak kuasa menahan cemburu saat Raisa bertemu Kun. Bayangan Kun ketika membingkai wajah Raisa bergelantungan di matanya. Kejadian empat hari lalu itu benar-benar membuat hatinya perih.Ben mendengkus, sebelum akhirnya Raisa masuk dengan membawa sebuah baki berisi segelas teh dan kudapan."Ada apa?" tanya Raisa. Perempuan itu mengambil posisi duduk di depan Ben."Tidak ada apa-apa, Raisa." Ben berbohong.Raisa mengangguk dengan senyum lembut tersungging. Kemudian dia berlalu dari hadapan Ben.Tadi pagi, Sanjaya mengabarkan pada Raisa jika Kun akan dibawa pulang besok. Berkat Raisa yang selalu datang menemui Kun, kondisi pria itu berangsur pulih.Sementara, Raisa merasa ragu untuk memberi tahu Ben jika setiap hari dirinya mengunjungi Kun. Takut pria itu cemburu.Setelah mempertimbangkan, Raisa memutuskan untuk tetap merahasiakannya pada Ben. Dia yakin sebentar lagi Kun akan kembali seperti sediakala dan dirinya tidak perlu mengunju
Sanjaya semringah melihat Kun tersenyum. Sudah sangat lama dirinya tidak melihat sang anak segembira itu. Hampir setiap malam, Kun mengalami mimpi buruk.Lalu saat terjaga, maka yang selalu disebut adalah nama Raisa. Hingga sakit yang diderita Kun semakin parah dan tubuhnya semakin kurus.Beberapa psikiater sudah dikunjungi. Akan tetapi, tidak ada hasil signifikan. Semua menyarankan agar Kun dipertemukan dengan seseorang yang selalu disebutnya.Semakin hari, Kun semakin aneh. Nama Raisa selalu diracaukan olehnya. Terkadang, ketika melihat seorang wanita berhijab, maka dia tersenyum girang dan sambil berseru nama Raisa. Begitu mendekat, maka senyum itu menguncup."Raisa ...."Raisa yang sejak tadi melamun, menoleh ke arah Sanjaya di sampingnya. Menunggu kalimat lanjukan yang akan dikatakan oleh pria itu.Hari sudah hampir gelap. Sesuai janjinya, Sanjaya akan mengantar perempuan itu pulang."Terima kasih," ucap Sanjaya.
Seorang diri, Ben termenung meratapi betapa sialnya nasibnya. Setelah sekian lama berjuang untuk mendapatkan cinta Raisa, dia kira semuanya akan berjalan mulus sesuai harapan. Nyatanya anggapannya meleset. Pada saat makan malam waktu itu, setelah kedua orang tuanya tau jika Raisa janda dan sudah memiliki anak, mereka dengan lantang mengutarakan ketidaksetujuan pada hubungan Ben dan Raisa. "Pokoknya Mama tidak setuju kamu menikah dengan Raisa!" Ben yang sudah melihat jejak tidak mengenakkan di wajah sang mama, menghela napas panjang. Dia menggeleng pelan dengan kepala terasa berdenyut. "Apa yang salah dengan dia, Ma?" Ben bertanya dengan suara keras dan dahi mengkerut, sekilas menatap sang Papa yang hanya menyimak dengan mata fokus pada layar televisi yang tengah menampilkan berita. "Apa kamu sudah tidak waras, Ben? Tidak adakah wanita yang masih gadis?" Perempuan itu menatap nanar wajah sang anak. Ben membuang napas. Dia sangat t
Raisa mematut diri di depan cermin. Saat ini, dia merasakan jantungnya berdetak lebih kencang. Ben akan memperkenalkan dirinya kepada orangtua pria tersebut. Entahlah, ini benar-benar membuat dia gugup.Setelah segalanya siap, Raisa menoleh kepada Nadia di dalam box bayi. Perempuan anggun itu menatap wajah polos sang bayi. Tiba-tiba berkelebat wajah pria yang sangat familier saat melihat sang anak. Ya, wajah bayi itu begitu mirip dengan Kun.Teringat kembali tentang permintaan Sanjaya dua hari lalu agar menemui Kun, Raisa merasa kepalanya berdenyut. Itu adalah kunjungan Sanjaya yang kedua kalinya dengan permintaan sama."Apakah Kun benar-benar sakit? Atau ini hanya akalan mereka saja?" Raisa memijit pelipis sebelum akhirnya sebuah ketukan pintu terdengar."Masuk," kata Raisa.Rahmi masuk dan langsung berkata, "Pak Ben menunggu di ruang tamu."Raisa mengerutkan kening lalu buru-buru melihat ponsel. Benar saja, ada dua panggilan tak terjawab d
Raisa dan Ben memasuki sebuah restoran mewah bergaya Italia yang sudah terlihat ramai oleh pengunjung. Raisa berjalan di samping Ben yang kini memasuki lift. Keduanya tiba di lantai tiga tak lama kemudian berjalan menuju lift. Mereka menuju lantai tiga. Ruangan luas dengan dinding nyaris seluruhnya kaca itu tidak seramai di lantai dasar.Dari sana, Raisa dapat melihat kendaraan yang padat merayap di jalanan. Ben menuju meja di dekat kaca. Tak lama setelah mereka duduk, waiter datang dengan menyerahkan buku menu setelah sebelumnya menyapa dengan begitu ramah."Mau makan apa?" Ben bertanya, membuat Raisa yang sebelumnya melempar pandangan ke luar menoleh ke arah pria di depannya."Apa saja." Raisa menjawab sekenanya, lalu kembali mengarahkan pandangan pada semua objek yang tertangkap mata di luar.Ben mengembuskan napas, kemudian memberitahu waiter menu yang dia pesan."Kamu sepertinya lebih tertarik memandang keluar daripada ke sini," celetuk Ben.&n
Raisa meraih sebuah kunci yang berada di balik selarik kertas kecil. Ragam tanya berkelindan di benak, sebelum akhirnya dirinya menemukan jawaban pada kertas yang ternyata berisi tulisan dari Sanjaya."Raisa, terimalah ini. Ini kunci rumah yang berada di pusat kota. Rumah itu papa hadiahkan untukmu dan Nadia. Papa tahu, itu tidak akan pernah sebanding dengan apa yang telah kami perbuat padamu."Raisa terduduk dengan perasaan campur aduk. Senang? Tidak sama sekali. Bahkan perempuan itu merasa terbenani dengan pemberian Sanjaya. Dengan menerima hadiah besar itu, sama saja dengan membiarkan dirinya dillit hutang budi.'Ah, berpikirlah logis, Raisa! Dia itu bukan Kun. Lagi pula, Sanjaya adalah kakek dari Nadia.'Raisa mengusap wajah sebelum akhirnya terdengar ketukan. Daun pintu melebar setelah dirinya menyuruh Rahmi untuk masuk. Baby sitter Nadia itu berjalan pelan menuju box bayi.Dering ponsel terdengar menggema memenuhi ruangan yang lengang.
Suasana berubah menjadi sangat kaku bagi Raisa. Tak menampik, pria paruh baya di depan Raisa juga merasakan hal sama, hanya saja dia lebih pandai mengontrol kondisi hati, sehingga tidak kentara terlihat di wajahnya.Setelah Sanjaya membayar semua belanjaan Raisa, pria itu mengajak sang mantan menantu untuk duduk di kursi teras supermarket.Rasa kecewa yang diperbuat Kun, membuat Raisa tidak mau berhubungan lagi dengan orang-orang di rumah itu, kecuali dengan Bi Imas yang sudah dianggapnya layaknya orangtua sendiri. Sanjaya, dengan segala ragu yang mendera hati, dia juga enggan menghubungi perempuan di depannya sebab merasa kecewa.Hingga tempo hari Kun mengungkapkan bahwa Raisa tidak pernah melakukan kesalahan apa pun. Dan hari ini setelah meneguhkan hati, Sanjaya mencoba untuk menemui Raisa. Entah kebetulan atau memang rencana Tuhan, dia dipertemukan di sini saat hendak membeli oleh-oleh untuk sang cucu."Apa kabar, Nak?" Suara itu terdengar begitu berat
Kun meringis menahan sakit di bagian pelipisnya. Dia terkesiap setelah pandangannya teralih pada pria yang kini berada di dekat Raisa. Rasa kesal berjelanak, tapi dia tidak ada waktu untuk meladeninya saat ini. Raisa lebih penting dari apa pun."Raisa ...." Kun kembali berseru pelan."Pergi sekarang, atau aku tambah!" Pria di samping Raisa mengancam. Sementara, Raisa terisak. Terpahat rasa iba di wajahnya melihat sang mantan suami yang pelipisnya tampak lebam."Aku tidak punya urusan denganmu!" Kun sudah tegak berdiri. Dia melangkah pelan untuk mendekati Raisa.Sigap, Ben mengangkat tangan untuk menghadiahi pria di depannya dengan satu bogem berikutnya. Namun, Raisa berseru, "Jangan ...!"Merasa dibela, Kun terkekeh dengan menumbuk tatapan sinis kepada Ben yang terlihat kesal."Lihat. Raisa masih ingin mendengarkanku, jadi minggirlah!"Raisa menggeleng. "Aku minta kamu angkat kaki dari sini. Dan jangan pernah temui aku dan Nadia lagi