Kiana bilang, jika aku ingin bercerita dan tidak bertemu dirinya dalam jangka waktu yang lama, aku harus menulisnya di buku menggunakan pena yang ia berikan.
Aku benar-benar melakukannya. Sekian bulan lamanya kami tidak bertemu, telah setengah dari buku bersampul cokelat ini kuhabiskan. Semuanya adalah ungkapan hati dan perasaan.
Segala keresahan di dalam diri aku tulis beserta beberapa cerita kelam di dalamnya.
Kembali kukatakan, dia benar. Dengan bercerita pada pena dan kertas, aku cukup merasa lega. Beban-beban itu seolah-olah berkurang, terbuang pada berlembar-lembar kertas.
Walau demikian, aku tetap merasa rindu pada Kiana. Aku merasa ingin masuk ke dalam hidupnya. Mengetahui apa yang dia lakukan setiap hari. Apa yang dia lewati. Kisah apa yang ia miliki.
Semua itu, aku ingin mengetahuinya.
Hingga kemudian, aku terdampar di perpustakaan kota. Setidaknya, aku ingin menikmati kesunyian di tengah-tengah buku yang menumpuk di rak.
Me
“Ada apa, Adrian?Dan Kiana telah selesai dengan urusannya bersama para penggemar. Sedangkan, gadis berambut sebahu yang ternyata mengenalku sebagai aktor film dewasa ini, masih berdiri di hadapanku.“Eh, nggak ada.”“Dia kenalanmu, ya?”Kiana menatap gadis yang lebih pendek darinya ini.“Hmm, iya. Iya, dia kenalan gue.”Terpaksa aku berbohong pada Kiana. Dan kalau kalian ingin tahu, aku sebenarnya tidak ingin membohongi gadis yang merupakan temanku satu-satunya.Ada rasa yang mengganjal di hati kala mulut ini mengambil keputusan yang tak semestinya.“Bentar, ya. Gue tinggal dulu.”Begitu panik diriku sehingga pada akhirnya secara spontan menarik tangan gadis berambut sebahu, kemudian berjalan menjauh dari Kiana ke tempat yang tidak dapat ia jangkau.Kubawa gadis itu keluar dari ruang baca. Dia pun mengikutiku dengan pasrah. Untungnya tak ada perlawanan yang bi
Kiana bilang, tidak perlu menjemput dirinya. Jadi, aku menuruti keinginan itu. Yang penting, bisa menikmati malam dengan suasana yang berbeda dari biasanya.Tak menutup kemungkinan ada yang gadis itu sembunyikan. Sebab, dia tak pernah mau menunjukkan jalan ke tempat tinggalnya. Atau sekadar setuju aku mengantarnya pulang.Dengan begitu, dia akan tetap menjadi mutiara yang berharga.Pukul 07.00 malam, aku berangkat ke sebuah kafe yang cukup unik. Ada yang berbeda dariku, yaitu penampilanku.Meski memang diriku begitu jarang berpenampilan resmi ala-ala orang kantoran super kaya raya. Demi malam ini, aku rela mengenakan setelan hitam yang sangat cocok dan fit di tubuhku.Kafe Alexandria merupakan sebuah tempat unik karena menyediakan pemandangan alam terbuka.Para pengunjung akan bisa menikmati betapa sejuknya bukit yang membentang, pohon-pohon yang menjulang tinggi, serta tak lupa kemerlip lampu di kota juga ikut terlihat di satu sisi lainnya.
Begitu malas memulai aktivitas pagi ini. Tapi, Elaine sudah menelepon berkali-kali sejak pukul 06.00 pagi. Padahal, biasanya aku berangkat pukul 08.00 pagi.“Kalau kamu tidak cepat datang ke agensi, saya tidak akan mentransfer pendapatanmu bulan ini!”Setidaknya, begitulah yang wanita itu ucapkan dengan ketegasan yang sering kali terkesan ingin membunuhku.Dengan begitu, aku tiba di agensi, tepat pukul 07.00. Untung saja jalanan tak macet seperti biasanya. Jadi, aku bisa datang lebih cepat.Kira-kira hal apa lagi yang akan mengejutkanku ketika memasuki ruangan wanita itu. Setiap hari, selalu saja ada hal mengejutkan. Tak heran aku berusaha menebak-nebak kali ini.Memutar kenop pintu bercat putih ruangan Elaine, ternyata dikunci. Tumben sekali ruangan ini dikunci. Faktanya, jika Elaine mengetahui kedatanganku, dia selalu membiarkan pintu tak dikunci, bahkan terbuka.Dan terpaksa aku menghabiskan tenaga untuk mengetuk pintu.
Tak segan-segan, Clara meraih rahangku. Benar-benar tak ada kelembutan dalam tindakannya ini. Dia terlalu keras mencengkeram rahangku.Mungkin karena dia sudah biasa memakan besi, jadi kulit manusia pun telah dia anggap besi. Konyol sekali perempuan ini. Dia belum tahu seorang Adrian, apa?Dengan sedikit rasa takut yang kupendam, segera kusingkirkan tangannya dengan kasar. Seketika, ekspresinya berubah. Dahi mengerut, kedua alisnya turun secara bersamaan.Tatapannya pun menjadi setajam elang.“Berani juga lo, ya!” tegasnya bersamaan dengan tangan yang bergerak ke senjata kelelakianku.Dia benar-benar kasar dan tidak elegan. Pisangku dicengkeramnya tak tanggung-tanggung. Walau demikian, aku berusaha menahan ngilu yang hadir di perutku.“Woy! Apa, sih, yang lo lakuin ini?!”“Jangan main-main sama gue!”“Lepasin anu gue!”Sekali lagi, dia menegaskan seraya mendekatkan wajahnya
Tentu, aku tidak berniat menyerah di hadapan Clara. Setelah dia benar-benar memberiku kenikmatan telak di ruangan Elaine beberapa waktu lalu, aku sudah memutuskan untuk mulai lebih memperhatikan bentuk tubuhku.Meski pada dasarnya aku memiliki bentuk tubuh yang ideal, tapi ini belum cukup untuk melumpuhkan kesombongan perempuan berotot tersebut.Oleh sebab itulah aku berada di sebuah tempat yang dipenuhi besi. Gym.Akan tetapi, ada yang aneh di tempat fitness ini. Hanya sedikit pria yang mengangkat beban, lalu sisanya tante-tante dan beberapa gadis yang terbilang masih belia.Sambil menyapukan pandangan, aku meregangkan beberapa bagian tubuh untuk lebih mempersiapkan diri mengangkat beban.“Hai, kamu baru, ya, di sini?”Tiba-tiba seseorang menyapa dari sampingku. Wanita yang jauh lebih pendek dariku, mengenakan pakaian serba ketat sehingga bentuk tubuhnya sangat terlihat. Tak lupa, elemen pertama yang aku perhatikan ialah gunduka
Seperti yang diduga, aku sama sekali tidak bisa bergerak karena sel-sel otot yang rusak. Setiap bagian yang aku latih kemarin terasa nyeri dan terlalu keras untuk digerakkan.Di satu sisi, otot-ototku terasa sangat kencang dan sensasinya sangat berbeda.Sejak pagi, aku hanya berbaring di sofa seperti orang sakit. Televisi menyala, tetapi sama sekali tak membuatku tertarik menyaksikan setiap acara.Setidaknya, aku berharap seseorang datang dan melayani kebutuhan makan dan minumku. Sebenarnya terpikir untuk menelepon Gladis. Namun, aku merasa tidak enak terus-menerus merepotkannya.Apalagi aku pernah mengecewakannya waktu itu. Yah, meskipun dia sudah memaafkan diriku dan mengirim pesan melalui ponsel.Tak kusangka, harapan itu terkabulkan dengan sangat cepat. Aku tak tahu siapa yang mengetuk pintu.Selain Gladis, seseorang yang baru pertama kali bertamu cenderung mengetuk pintu terlebih dahulu. Sedangkan Elaine tidak pernah mengetuk pintu. Dia
Clara terlalu menyepelekan diriku dan mungkin menganggap seorang lelaki jalang yang hanya senang tidur dengan banyak perempuan.Meskipun saat ini dia tengah menempelkan tangan di senjata kelelakianku yang tertutupi celana, segera aku menjauh darinya.“Sorry. Gue nggak bisa ngelakuin ini. Kalau gue bener-bener capek, apa pun yang lo lakuin, gue nggak akan terpengaruh.”Terdiam sejenak, Clara kemudian mengembuskan napas pasrah.“Okay. Kalau gitu, seenggaknya izinkan gue membantu lo. Apa yang lo butuhin sekarang?”Sungguh perubahan sikap yang aneh. Setidaknya memang aku harus berpikir bahwa masih ada setitik kebaikan di dalam dirinya.Dan saat ini, dia sedang merasa iba pada Adrian yang tengah merasakan nyeri di beberapa bagian tubuh.Aku bergerak menuju sofa yang panjang dan membaringkan diri.Tanpa basa-basi atau menunggu jawaban dariku, Clara bergerak menuju dapur. Entah apa yang ingin dia lakukan.
Tidak kusangka ketika memeluk Clara, aku merasakan hawa keberadaan seorang gadis.Gladis.Dia berdiri, tepat di belakangku dengan tatapan nanar. Hal yang selalu membuat hatinya hancur, kembali terjadi.Walau demikian, kali ini dia tak berlari seperti sebelumnya. Maka, segera kulepaskan Clara dari dekapan.“Gladis.”Dia hanya diam, lalu memalingkan wajah ke sembarang arah.Sedangkan, Clara buru-buru menghapus tiap-tiap tetes air mata dan bekasnya di kedua pipi. Dia beranjak bangkit sambil meregangkan beberapa bagian tubuh.“Kalau gitu, gue pulang dulu. Thanks, Adrian.”Langkahnya terhenti di sampingku. Tangan kirinya menepuk bahuku dan berkata, “Lo masih punya seseorang yang sangat berharga. Jaga dia.”Perempuan bertubuh kekar itu berlalu pergi.Dan aku pun masih bungkam di hadapan Gladis. Cukup lama kami tak pernah bertemu. Meskipun telah berkata memaafkanku melalui sebuah pesan
“Aku udah bilang sama kamu, kan?”Sepasang tangan memelukku dari belakang. Sementara diriku masih saja tak bisa berpaling dari bayangan Carissa yang telah meninggalkanku dengan lelaki bernama Alex. Dia tak lagi terlihat di kedua mataku.Perempuan ini melepaskan dekapannya, lalu berdiri di hadapanku dengan sebuah senyuman. Sesekali, dia membenarkan kacamatanya yang sempat melorot.“Kita pulang, yuk.”Entah mengapa aku menurut begitu saja, lalu berjalan sambil bergandengan tangan dengannya. Kami masuk ke dalam mobilku. Namun, aku kembali bergeming.“Udah, nggak apa-apa. Sini, aku masih sama kamu.”Aku mengangguk pelan, lalu perempuan berkacamata ini membenamkan kepalaku dalam dekapannya. Sungguh hangat. Sungguh nyaman dan aku terbuai akan sebuah perasaan.“Kenapa semua harus terjadi sama gue? Kenapa orang-orang yang gue cintai nggak pernah bisa menetap dan menemani gue?”“Aku
“Kenapa, Carissa? L-lo bilang kalau kita akan selalu bersama. Tapi, kenapa sekarang kamu bilang kita nggak bisa bersama?”Begitulah aku bertanya pada Carissa yang sedang tertunduk di depanku. Mungkin aku sudah tidak bisa mengeluarkan air mata kesedihan. Sebab, ini terlalu sulit untuk dipercaya. Hanya karena sebuah kesalahan, kenangan yang telah kami jalani bersama akan sirna begitu saja.“Adrian, saya sudah memikirkan ini cukup lama. Atau tepatnya ketika saya jatuh cinta padamu. Saya merasa sangat mencintaimu, tapi rasanya sangat sulit jika kamu terus-menerus nggak bisa mengendalikan dirimu sendiri.”“B-bukannya semua gangguan yang aku alami atas Skizo ini udah perlahan-lahan berkurang? Maksudku, aku udah nggak mengalami Skizo lagi dalam beberapa bulan terakhir. Aku nggak mengalami ilusi dan delusi lagi,” jelasku.Terdengar bahwa napas Carissa begitu berat saat mengembus. Aku menduga bahwa dia pun begitu sulit untuk men
Tanpa pikir panjang setelah melihat bahwa lelaki bernama Alex ini melakukan hal yang tidak seharusnya pada Carissa, aku berlari dengan penuh amarah. Kemudian, tanganku yang terkepal melayang begitu saja hingga menghantam wajahnya.“Sialan lo! Berani-beraninya lo ngelakuin hal nggak pantes sama cewek gue!”Amarahku tidak terkendali. Aku menjadi orang yang sangat brutal dan emosi itu semakin lama semakin bergejolak.“Adrian! Jangan, Adrian!”Aku tahu aku mendengar suara Carissa yang berusaha menyabarkan hatiku. Hanya saja, aku sudah tidak terkendali lagi. Begitu lelaki bertubuh tinggi ini terjatuh, aku segera meraih kerah pakaiannya, lalu menghantamnya lagi dan lagi.“Lo cowok sialan! Lo nggak tahu kalau Carissa udah punya pacar?! Sialan lo! Goblok!”Secara terus-menerus kuhujani Alex dengan tinjuku. Sesekali, kakiku menendangnya tak tanggung-tanggung. Bagiku, dia sangat pantas mendapatkan perlakuan seperti
Aku tak tahu siapa laki-laki berambut pirang dan berbola mata kuning yang menyerukan nama Carissa barusan. Namun, dari gelagatnya, kurasa dia sangat mengenal Carissa.“Hai, Carissa! Kita bisa berjumpa lagi!” ucap laki-laki berambut pirang yang telah tiba di hadapanku dan Carissa.Sementara itu, perempuan ini terlihat cukup tegang dan khawatir.“A-Alex ….”“Yup! Ini saya. Alex. Apa kabar? Sudah cukup lama kita tidak bertemu.”Sembari mengalihkan pandangan padaku, Carissa menjawab, “B-baik. Saya baik. B-bagaimana denganmu?”Sepertinya, Carissa memang agak gugup berbicara dengan laki-laki bernama Alex ini. Entah, dia mungkin teman kekasihku yang telah lama tidak bertemu.Aku, sih, mengerti mengapa Carissa begitu khawatir dan terlihat gugup. Bisa saja dia sungkan berbicara karena ada diriku di tengah-tengah mereka.“Carissa, gue tunggu lo di mobil aja, ya,” ucapku k
Diana menjauhkanku dari Carissa.“Aku nggak akan menyerahkan Adrian sama kamu!”Mendengar nada tegas perempuan yang tengah mencengkeram erat lenganku ini, Carissa tersentak. Seketika, dia kembali naik pitam.“Apa maksudmu? Adrian itu kekasih saya!”“Kalian cuma sepasang kekasih, bukan suami dan istri. Saya masih punya hak merebut Adrian dari kamu!”Tentu saja, aku tidak bisa tinggal diam atas apa yang Diana lakukan. Dia sudah benar-benar kurang ajar dan tak tahu diri.“Lepasin gue, Diana!” Kutarik tangan dengan segera dan menatap perempuan ini penuh intimidasi.“Adrian! Kamu sebenarnya nggak sayang sama Carissa! Apa kamu yakin dengan perasaanmu? Gimana kalau perasaanmu cuma ilusi?!”Senyuman yang lebar terpahat di wajah Diana. Ini seolah-olah dia berusaha untuk melumpuhkan kepercayaan diriku.Bagaimana mungkin dia mengatakan bahwa perasaanku terhadap Carissa mer
Di mulut pintu gudang, telah berdiri Carissa yang menyaksikan Diana memeluk diriku. Hal ini tentu saja tidak bisa aku biarkan. Walau demikian, telah terjadi kesalahpahaman di antara kami. Tak diragukan lagi.“Carissa?!”Perempuan itu menggeleng-geleng seolah tak percaya dengan yang ia saksikan.“Gue … gue … nggak kayak yang lo lihat, Carissa!”Aku berusaha menjelaskan padanya. Entah mengapa, tak ada yang dapat aku ucapkan, sebab Diana semakin erat memeluk diriku.Segera kudorong Diana agar terlepas dari tubuhku. Tahu-tahu, pakaiannya telah compang-camping. Entah sejak kapan itu terjadi. Aku yakin bahwa dia sengaja melakukannya sendiri agar terkesan bahwa akulah yang telah melakukannya lebih dulu atas keinginan sendiri.“Jangan percaya apa yang lo lihat, Carissa!”Segera aku berlari untuk menggapai Carissa yang masih berdiri dengan tatapan nanar di mulut pintu. Dia tak bergerak sedikit
Ketika aku berjalan untuk menuju ruang syuting, seseorang mendorong tubuhku hingga masuk ke sebuah gudang penyimpanan alat dan barang-barang bekas.“Woi! Apa-apaan ini?!”Aku tak melihat apa pun di ruangan tersebut karena sangat gelap. Tubuhku didorongnya hingga mentok pada dinding. Sedangkan, mataku ditutup oleh sehelai kain. Sempurna sudah, aku tidak bisa melihat apa pun.“Siapa lo?! Apa-apaan, sih, ini?!”Tanganku berusaha meraba-raba, tetapi tak mendapatkan apa pun. Kudengar embusan napas dari orang yang menyekapku ke gudang ini.Sepasang tangan melingkar di pinggangku. Dari kelembutan kulit yang aku rasakan, kurasa pelakunya adalah seorang perempuan.“Siapa lo? Kenapa lo ngelakuin ini?”Masih tak ada jawaban. Kini, terasa bahwa tangannya meraba-raba dadaku, menelusup ke balik kemeja yang aku kenakan. Segera aku tepis dan berhasil menggenggam tangannya.Meskipun tak bisa melihat apa pun,
Aku membuka pintu ruangan Elaine dengan kasar.“Apa-apaan, sih, lo?! Kenapa si Diana cewek gila itu harus jadi partner gue?!” protesku sambil mendengkus kasar, lalu mengempaskan pantat di sofa.Elaine terlihat sedang bersantai sambil menikmati rokok putih kesukaannya. Dia menatapku sejenak dan tersenyum kecut. Ini seolah-olah dia melihat seorang lelaki bodoh.“Kenapa, Adrian? Kamu tiba-tiba datang dan berteriak seperti itu. Memangnya dia merepotkanmu selama ini?”“Udah jelas! Dia ngerepotin banget! Hubungan gue sama Carissa hampir aja berakhir gara-gara dia! Udah gila itu cewek. Bisa-bisanya lo … ahhh!”Kuembuskan napas panjang untuk sedikit meredakan kekesalan yang menyelimuti.Walau demikian, aku memang tak habis pikir dengan perempuan bernama Diana itu. Mulai dari sikapnya yang riang, lalu berubah jadi sangat licik dan merepotkan. Benar-benar tipe perempuan yang tidak pernah aku inginkan ada di d
Dengan langkah cepat, aku masuk dan mengunci pintu rumah. Tak lama kemudian, pintu diketuk-ketuk dengan keras oleh Diana dari luar.“ADRIAN! AKU NGGAK MAU PULANG! AKU MAU TETAP DI SINI!”Begitulah dia berteriak sambil membentur-benturkan tangannya di pintu, kurasa. Aku tak menanggapi semua yang dia ucapkan dengan teriakan pekak.Ini benar-benar tidak bagus. Semestinya aku sudah bermesra-mesraan sekarang dengan Carissa setelah selesai makan siang. Namun, kedatangan Diana menjadi sebuah malapetaka bagi kami.“Adrian! Please! Bukan pintunya! Aku nggak akan pulang sebelum kamu menerima aku jadi yang kedua!”Salahkah jika aku mengatakan perempuan ini murahan? Sebab, dia terlalu menuntut hati seseorang yang tidak memiliki perasaan padanya.Baru kali ini aku bertemu perempuan keras kepala seperti Diana. Ia bahkan tidak ragu mempermalukan dirinya di hadapanku. Jika benar dia mencintai dengan setulus hati, mengapa tidak memiki