Tiba-tiba aku berpindah ke tempat lain. Objek pertama yang kulihat adalah lampu bulat kecil yang bercahaya sangat terang. Tidak lagi gundukan kenikmatan atau wajah Nindya Nirmala.
Sejauh yang kuingat, Nindya melepaskan handuk yang menutupi senjata kelelakianku. Namun, sekarang handuk itu sirna entah ke mana dan aku sudah mengenakan pakaian berwarna putih tipis yang terlihat seperti daster.
“Hmm, kamu sudah sadar ternyata.”
Meskipun penglihatanku masih sayu dan kabur, tetapi kutahu pemilik suara itu adalah Elaine.
“Gue kenapa?” tanyaku langsung ke intinya.
Ini hal yang membingungkan bagiku. Mana mungkin aku berpindah tempat secara ajaib, lalu melupakan apa yang selanjutnya terjadi setelah Nindya berusaha menyetubuhi diriku.
Sebaiknya aku tidak menggunakan kata menyetubuhi, itu mungkin terlalu kasar bagi perempuan sepertinya. Bagaimana kalau kita ganti saja.
Nindya berusaha memaksaku melakukan hal panas lagi.
Dengan alasan sakit, untungnya aku bisa ambil cuti dan dapat beristirahat seharian. Nikmat yang bukan sekadar nikmat. Untungnya lagi, senjata kelelakianku bisa beristirahat dengan tenang dan tentram kali ini.Tidak seperti sebelumnya saat aku punya waktu libur, tetapi Elaine selalu saja membuat istirahatku tak nyaman. Entah alasan ingin memperkenalkan artis baru, menghafal skenario, dan lain sebagainya.Kuembuskan napas panjang, lalu menyeruput kopi hangat yang baru saja kubuat. Sepertinya hari ini akan kugunakan untuk bermalas-malasan, menonton film atau membaca buku yang diberikan Kiana padaku.Sayang. Rencana itu gagal setelah aku membuka pintu rumah dan terlihat Silvia berdiri dengan senyuman mengembang.Hanya sedetik, lalu kututup kembali pintu.“Adrian! Kenapa pintunya ditutup lagi?! Buka, dong! Ayo, buka!” teriak perempuan bertubuh tinggi itu sambil menggedor-gedor pintu.Yang benar saja! Ini baru pukul 10.00 pagi dan renc
Apa-apaan dengan suasana canggung ini? Bahkan dalam sepuluh menit terakhir, baik Silvi maupun Gladis tak memulai pembicaraan apa pun.Untuk ukuran perempuan seperti Silvi yang biasa cerewet dan nakal, dia hanya menatap ke arah Gladis sampai-sampai membuatnya malu untuk lebih leluasa dalam bersikap.Hal yang sepele sebenarnya. Di saat Gladis tak memiliki hubungan istimewa denganku, begitu pun dengan Silvi.Mungkin intuisi perempuan merekalah yang membuat suasana ini terkesan cukup sunyi.“K-kalian mau minum sesuatu?” tanyaku akhirnya memutuskan agar memecah keheningan.Tak satu pun dari mereka menjawab tawaran itu. Aku benar-benar tidak pintar mengubah reaksi orang-orang.“Kalau gitu, gue buatkan sesuatu dulu di dapur.”Ketika akan melangkah ke dapur, Gladis dengan cepat meraih tanganku. Dia menggeleng pelan, seolah-olah tidak ingin aku pergi meninggalkannya, mati di ruangan yang bersuasana sangat dingin.
Sebenarnya bukan hal yang patut dikejutkan bahwa Gladis tidak bisa menahan perasaan dan memutuskan untuk mengungkapkannya padaku.Hanya saja, kata-katanya bagai lesatan peluru yang langsung menembus jantungku. Tidak mungkin aku bisa menjawab dengan cepat pernyataan cinta yang diucapkan dengan ekspresi manja itu.“Adrian, aku selalu ingin melakukannya denganmu. Aku benar-benar merasa udah jatuh cinta.”Kini, tak lagi bisa aku menatap matanya dengan lamat seperti yang biasa aku lakukan sebelumnya.Kurasa mencintai seorang aktor film dewasa sepertiku bukanlah sebuah pilihan yang tepat. Meski masa depannya akan cerah secara materil, tetapi tak dipungkiri bahwa Gladis akan menanggung malu yang teramat.Keberadaanku tidak akan pernah dianggap penting di tengah masyarakat umum. Aku hanya seonggok sampah yang jika didaur ulang pun hanya akan menjadi sampah.Tangan Gladis menggapai rahangku, membuatku menoleh seolah-olah tak boleh berpali
Meskipun dalam keadaan begini sebenarnya kemungkinan untuk bisa berpikir jernih hanya beberapa persen, aku berusaha melawan setiap hasrat yang keluar ketika menatap Gladis tanpa dibalut sehelai pun benang.Menjadi seorang aktor film dewasa bukan berarti aku harus menjadi lelaki yang tidak menghargai perempuan. Aku menjunjung tinggi kehormatan mereka, tetapi dalam beberapa kondisi yang berbeda, tentu saja akan menghasilkan pemikiran yang berbeda pula.Oleh karena itu, aku menjejakkan langkah ke kamar. Bukan untuk meninggalkan Gladis sendirian yang tengah diterkam gairah sendiri.Tidak ada alasan untuk mengambil kesucian gadis polos sepertinya yang masih menempuh pendidikan di jenjang perkuliahan.Maka, menyelimuti dirinya dengan kain tebal untuk menutup semua bagian tubuh menggodanya yang terlihat merupakan pilihan yang aku ambil.“Jangan menyakiti diri lo sendiri lebih dari ini.”Kuberikan dirinya pelukan yang begitu hangat, yang
“Siapkan mental untuk bertemu para penggemarmu, Adrian.”“Ketemu penggemar? M-maksud lo apaan?”Sambil menumpu dagu dengan tangan di atas meja kerja, Elaine menatap ke arahku dan mulai menjelaskan mengapa aku harus siap bertemu dengan penggemar.“Agensi punya semacam event tahunan yang dinamakan Adult Zone Meet & Greet. Event itu akan dihadiri oleh para penggemar dari seluruh penjuru dunia.Nah, dalam event inilah agensi berusaha meraup keuntungan juga dengan menjual berbagai merchandise. Saya rasa kamu tidak perlu memahaminya secara teknis.Kamu cukup mempersiapkan diri saja saat waktu itu tiba,” jelas Elaine yang kemudian mengangkat mug di hadapannya.Memang benar-benar sial. Aku tidak bisa menjadi seorang aktor yang tetap bersembunyi di balik layar. Pada kenyataannya seperti itu, sebab film yang tersebar saja tanpa sensor sedikit pun.Wajahku terpampang jelas, senjata kelelakianku, apalagi. D
“Nih, ya. Kamar lo di sini.”Dengan perasaan lega, kuletakkan koper super berat milik Manda. Seharusnya jika koper itu hanya berisi pakaian, pasti tidak akan seberat itu hingga membuatku harus mengeluarkan tenaga dua kali lipat dan bercucur keringat.“Baik, Adrian. Terima kasih banyak.”Kuembuskan napas panjang. Mataku masih fokus pada koper miliknya.“Itu isinya apaan? Kok berat amat, sih?”“Cuma beberapa pakaian aja, kok.”“Ya, udahlah. Mungkin gue aja yang udah lemah. Ngangkat satu koper aja jadi lembek kayak gini.”“Tapi, kamu nggak lemah di ranjang, kan?”Apa-apaan dengan tampang normal wanita itu? Memang benar dia tidak seperti para perempuan lain yang bahkan pernah menginap di rumahku.Hanya saja, ini terkesan agak mencurigakan. Ini bukan berarti aku yang terlalu sensitif dengan keadaan sekitar.“Mana mungkin.”&ldquo
Ini, sih, namanya bukan ganas dan liar lagi, tapi terkesan lebih brutal. Atau mungkin lebih dari brutal dan entah apa namanya.Manda tidak hanya menjilati leherku, tetapi menggigitku seolah-olah dirinya itu vampir. Aku yakin sekarang sudah menjadi vampir karena darahku sudah diisap olehnya.“A-apa yang lo lakuin, woy!”Tidak bisa kupungkiri, sambil protes, desau kenikmatan keluar dari mulutku.Memangnya, bagaimana bisa aku menolak kenikmatan yang secara paksa masuk ke dalam diriku. Sementara itu, aku tidak punya daya untuk menghentikan aktivitas Manda.Tangannya dibelenggu sejak beberapa waktu lalu.“Tunggu sebentar, ya, Adrian. Tante akan mengambil sesuatu dulu.”Kali ini, dia melepaskanku, tapi tetap saja merasa was-was jika dia akan melakukan hal yang lebih brutal lagi.Kulihat, dia malah menutup pintu kamar dan menguncinya. Dibukanya koper yang tersandar di dinding.Sekarang aku tahu mengapa b
Di kamar yang kuberikan untuk ditempati Manda, kutemukan diriku masih dalam keadaan diikat. Dengan kepala yang agak pusing dan pandangan yang kabur, aku mengangkat kepala.Tubuhku terasa pegal-pegal dan sakit, terutama di bagian pinggang. Malam tadi, aku benar-benar melalui penyiksaan batin di fisik secara bersamaan.Sama sekali tidak ada kenikmatan di dalamnya.Sementara itu, Manda kulihat terbaring di ranjang dengan pakaian terbuka seperti tadi malam.Tak lama, dia bangun dan mulai bergerak menatapku.“Ya, ampun. Adrian, kamu nggak apa-apa?” tanyanya sambil bergegas membalik tubuhku yang sedang berposisi tengkurap.Lalu, Manda membuka tali yang mengikat tubuhku sangat erat.“Ini pasti kerjaan Wanda. Maafin aku, Adrian.”Memang sialan sebenarnya. Aku bahkan tidak bisa beristirahat dengan tenang karena wanita licik ini membelenggu dan menyiksaku bagai di neraka.Memangnya dia itu malaikat pencabut
“Aku udah bilang sama kamu, kan?”Sepasang tangan memelukku dari belakang. Sementara diriku masih saja tak bisa berpaling dari bayangan Carissa yang telah meninggalkanku dengan lelaki bernama Alex. Dia tak lagi terlihat di kedua mataku.Perempuan ini melepaskan dekapannya, lalu berdiri di hadapanku dengan sebuah senyuman. Sesekali, dia membenarkan kacamatanya yang sempat melorot.“Kita pulang, yuk.”Entah mengapa aku menurut begitu saja, lalu berjalan sambil bergandengan tangan dengannya. Kami masuk ke dalam mobilku. Namun, aku kembali bergeming.“Udah, nggak apa-apa. Sini, aku masih sama kamu.”Aku mengangguk pelan, lalu perempuan berkacamata ini membenamkan kepalaku dalam dekapannya. Sungguh hangat. Sungguh nyaman dan aku terbuai akan sebuah perasaan.“Kenapa semua harus terjadi sama gue? Kenapa orang-orang yang gue cintai nggak pernah bisa menetap dan menemani gue?”“Aku
“Kenapa, Carissa? L-lo bilang kalau kita akan selalu bersama. Tapi, kenapa sekarang kamu bilang kita nggak bisa bersama?”Begitulah aku bertanya pada Carissa yang sedang tertunduk di depanku. Mungkin aku sudah tidak bisa mengeluarkan air mata kesedihan. Sebab, ini terlalu sulit untuk dipercaya. Hanya karena sebuah kesalahan, kenangan yang telah kami jalani bersama akan sirna begitu saja.“Adrian, saya sudah memikirkan ini cukup lama. Atau tepatnya ketika saya jatuh cinta padamu. Saya merasa sangat mencintaimu, tapi rasanya sangat sulit jika kamu terus-menerus nggak bisa mengendalikan dirimu sendiri.”“B-bukannya semua gangguan yang aku alami atas Skizo ini udah perlahan-lahan berkurang? Maksudku, aku udah nggak mengalami Skizo lagi dalam beberapa bulan terakhir. Aku nggak mengalami ilusi dan delusi lagi,” jelasku.Terdengar bahwa napas Carissa begitu berat saat mengembus. Aku menduga bahwa dia pun begitu sulit untuk men
Tanpa pikir panjang setelah melihat bahwa lelaki bernama Alex ini melakukan hal yang tidak seharusnya pada Carissa, aku berlari dengan penuh amarah. Kemudian, tanganku yang terkepal melayang begitu saja hingga menghantam wajahnya.“Sialan lo! Berani-beraninya lo ngelakuin hal nggak pantes sama cewek gue!”Amarahku tidak terkendali. Aku menjadi orang yang sangat brutal dan emosi itu semakin lama semakin bergejolak.“Adrian! Jangan, Adrian!”Aku tahu aku mendengar suara Carissa yang berusaha menyabarkan hatiku. Hanya saja, aku sudah tidak terkendali lagi. Begitu lelaki bertubuh tinggi ini terjatuh, aku segera meraih kerah pakaiannya, lalu menghantamnya lagi dan lagi.“Lo cowok sialan! Lo nggak tahu kalau Carissa udah punya pacar?! Sialan lo! Goblok!”Secara terus-menerus kuhujani Alex dengan tinjuku. Sesekali, kakiku menendangnya tak tanggung-tanggung. Bagiku, dia sangat pantas mendapatkan perlakuan seperti
Aku tak tahu siapa laki-laki berambut pirang dan berbola mata kuning yang menyerukan nama Carissa barusan. Namun, dari gelagatnya, kurasa dia sangat mengenal Carissa.“Hai, Carissa! Kita bisa berjumpa lagi!” ucap laki-laki berambut pirang yang telah tiba di hadapanku dan Carissa.Sementara itu, perempuan ini terlihat cukup tegang dan khawatir.“A-Alex ….”“Yup! Ini saya. Alex. Apa kabar? Sudah cukup lama kita tidak bertemu.”Sembari mengalihkan pandangan padaku, Carissa menjawab, “B-baik. Saya baik. B-bagaimana denganmu?”Sepertinya, Carissa memang agak gugup berbicara dengan laki-laki bernama Alex ini. Entah, dia mungkin teman kekasihku yang telah lama tidak bertemu.Aku, sih, mengerti mengapa Carissa begitu khawatir dan terlihat gugup. Bisa saja dia sungkan berbicara karena ada diriku di tengah-tengah mereka.“Carissa, gue tunggu lo di mobil aja, ya,” ucapku k
Diana menjauhkanku dari Carissa.“Aku nggak akan menyerahkan Adrian sama kamu!”Mendengar nada tegas perempuan yang tengah mencengkeram erat lenganku ini, Carissa tersentak. Seketika, dia kembali naik pitam.“Apa maksudmu? Adrian itu kekasih saya!”“Kalian cuma sepasang kekasih, bukan suami dan istri. Saya masih punya hak merebut Adrian dari kamu!”Tentu saja, aku tidak bisa tinggal diam atas apa yang Diana lakukan. Dia sudah benar-benar kurang ajar dan tak tahu diri.“Lepasin gue, Diana!” Kutarik tangan dengan segera dan menatap perempuan ini penuh intimidasi.“Adrian! Kamu sebenarnya nggak sayang sama Carissa! Apa kamu yakin dengan perasaanmu? Gimana kalau perasaanmu cuma ilusi?!”Senyuman yang lebar terpahat di wajah Diana. Ini seolah-olah dia berusaha untuk melumpuhkan kepercayaan diriku.Bagaimana mungkin dia mengatakan bahwa perasaanku terhadap Carissa mer
Di mulut pintu gudang, telah berdiri Carissa yang menyaksikan Diana memeluk diriku. Hal ini tentu saja tidak bisa aku biarkan. Walau demikian, telah terjadi kesalahpahaman di antara kami. Tak diragukan lagi.“Carissa?!”Perempuan itu menggeleng-geleng seolah tak percaya dengan yang ia saksikan.“Gue … gue … nggak kayak yang lo lihat, Carissa!”Aku berusaha menjelaskan padanya. Entah mengapa, tak ada yang dapat aku ucapkan, sebab Diana semakin erat memeluk diriku.Segera kudorong Diana agar terlepas dari tubuhku. Tahu-tahu, pakaiannya telah compang-camping. Entah sejak kapan itu terjadi. Aku yakin bahwa dia sengaja melakukannya sendiri agar terkesan bahwa akulah yang telah melakukannya lebih dulu atas keinginan sendiri.“Jangan percaya apa yang lo lihat, Carissa!”Segera aku berlari untuk menggapai Carissa yang masih berdiri dengan tatapan nanar di mulut pintu. Dia tak bergerak sedikit
Ketika aku berjalan untuk menuju ruang syuting, seseorang mendorong tubuhku hingga masuk ke sebuah gudang penyimpanan alat dan barang-barang bekas.“Woi! Apa-apaan ini?!”Aku tak melihat apa pun di ruangan tersebut karena sangat gelap. Tubuhku didorongnya hingga mentok pada dinding. Sedangkan, mataku ditutup oleh sehelai kain. Sempurna sudah, aku tidak bisa melihat apa pun.“Siapa lo?! Apa-apaan, sih, ini?!”Tanganku berusaha meraba-raba, tetapi tak mendapatkan apa pun. Kudengar embusan napas dari orang yang menyekapku ke gudang ini.Sepasang tangan melingkar di pinggangku. Dari kelembutan kulit yang aku rasakan, kurasa pelakunya adalah seorang perempuan.“Siapa lo? Kenapa lo ngelakuin ini?”Masih tak ada jawaban. Kini, terasa bahwa tangannya meraba-raba dadaku, menelusup ke balik kemeja yang aku kenakan. Segera aku tepis dan berhasil menggenggam tangannya.Meskipun tak bisa melihat apa pun,
Aku membuka pintu ruangan Elaine dengan kasar.“Apa-apaan, sih, lo?! Kenapa si Diana cewek gila itu harus jadi partner gue?!” protesku sambil mendengkus kasar, lalu mengempaskan pantat di sofa.Elaine terlihat sedang bersantai sambil menikmati rokok putih kesukaannya. Dia menatapku sejenak dan tersenyum kecut. Ini seolah-olah dia melihat seorang lelaki bodoh.“Kenapa, Adrian? Kamu tiba-tiba datang dan berteriak seperti itu. Memangnya dia merepotkanmu selama ini?”“Udah jelas! Dia ngerepotin banget! Hubungan gue sama Carissa hampir aja berakhir gara-gara dia! Udah gila itu cewek. Bisa-bisanya lo … ahhh!”Kuembuskan napas panjang untuk sedikit meredakan kekesalan yang menyelimuti.Walau demikian, aku memang tak habis pikir dengan perempuan bernama Diana itu. Mulai dari sikapnya yang riang, lalu berubah jadi sangat licik dan merepotkan. Benar-benar tipe perempuan yang tidak pernah aku inginkan ada di d
Dengan langkah cepat, aku masuk dan mengunci pintu rumah. Tak lama kemudian, pintu diketuk-ketuk dengan keras oleh Diana dari luar.“ADRIAN! AKU NGGAK MAU PULANG! AKU MAU TETAP DI SINI!”Begitulah dia berteriak sambil membentur-benturkan tangannya di pintu, kurasa. Aku tak menanggapi semua yang dia ucapkan dengan teriakan pekak.Ini benar-benar tidak bagus. Semestinya aku sudah bermesra-mesraan sekarang dengan Carissa setelah selesai makan siang. Namun, kedatangan Diana menjadi sebuah malapetaka bagi kami.“Adrian! Please! Bukan pintunya! Aku nggak akan pulang sebelum kamu menerima aku jadi yang kedua!”Salahkah jika aku mengatakan perempuan ini murahan? Sebab, dia terlalu menuntut hati seseorang yang tidak memiliki perasaan padanya.Baru kali ini aku bertemu perempuan keras kepala seperti Diana. Ia bahkan tidak ragu mempermalukan dirinya di hadapanku. Jika benar dia mencintai dengan setulus hati, mengapa tidak memiki