“Jadi, mulai hari ini, kamu kembali akan menandatangani kontrak untuk syuting, Adrian.
Saya rasa, kamu sudah cukup bisa dikatakan sehat secara mental. Meskipun saya melihat dirimu sesekali masih melongo tidak jelas.
Tapi, sebelum itu, kamu akan check up dulu.”
Elaine menyodorkan sebuah perangkat Tablet yang layarnya telah menampakkan sebuah dokumen kontrak untuk aku tandatangani.
Sesekali, diriku melirik ke arah Carissa yang tengah duduk di sofa. Begitu pun dengan Elaine yang juga memberikan tatapan sinis pada kekasihku itu.
Tak lama, Carissa mengangguk pelan dan melemparkan senyuman padaku. Itu tanda bahwa dirinya tidak keberatan sama sekali.
“Okay.”
Maka, aku pun mengambil touch pen di sebelah Tablet, lalu menandatangani kontrak tersebut.
Elaine tersenyum puas sambil menatapku dengan lamat.
“Akhirnya, ya, Adrian yang sangat legendaris telah kembali lagi ke agensi ini.”
Sambil
“Jadi, kamu lebih percaya apa yang Elaine katakan daripada saya, Adrian?”Carissa masih menahan diriku. Dia memeluk diriku dari belakang. Aku pun tak bisa melanjutkan langkah.“Ini bukan masalah kepercayaan, tapi lo nggak ngelakuin perlawanan. Kenapa lo cuma diem?Gue berkali-kali tanya apa yang dia bilang bener atau nggak?”Tak lama, Carissa melepaskan dekapannya. Dia kembali tertunduk. Aku menatapnya dengan penuh harap.Yah, aku berharap bahwa dia punya alasan yang kuat mengenai dirinya yang hanya terdiam oleh perkataan Elaine.“Ya, benar. Apa yang Elaine katakan memang benar, Adrian.”Demikianlah, aku tersenyum kecut mendengar pernyataan wanita ini.“Udah gue duga dari awal.”“Tapi, bukan berarti semua yang dikatakannya benar. Tidak semuanya, Adrian. Kamu harus mendengarkan saya.”“Untuk apa lagi, Carissa? Bukannya udah jelas kalau lo ngedeketin
Atas kembalinya diriku bermain film dewasa, semakin aku disibukkan oleh aktivitas di agensi. Hal ini membuat diriku memiliki sedikit waktu bersama dengan Carissa.Kami sudah lama tinggal bersama. Kemesraan-kemesraan yang selalu kami lakukan, kini seolah-olah jauh dari harapan.Aktivitas syuting, pemotretan majalah, dan lain sebagainya menjadi penghalang bagi hubungan kami.Termasuk di pagi ini, aku tak lagi punya waktu untuk menikmati sarapan bersama dengan Carissa.Padahal, dia sudah membuatkan banyak sekali makanan, termasuk makanan-makanan kesukaanku.“Sayang, kamu tidak sarapan dulu?”“Sorry, Carissa. Gue udah telat. Soalnya, hari ini akan ada pemotretan 15 menit lagi.”Tanganku menggapai roti lapis yang sudah Carissa buatkan. Dan sebenarnya masih banyak makanan lain yang ingin aku masukkan ke perut.Sebenarnya tak hanya itu, aku juga ingin menikmati waktu pagi hari, sarapan sambil mengobrol dengan s
Lagi-lagi, aku pulang tengah malam. Kulihat di meja makan telah tersedia beberapa makanan yang mungkin sengaja Carissa siapkan untukku.Aku tersenyum lebar menyadari perhatian Carissa yang begitu bermakna. Segera aku melangkah menuju kamar wanita ini.Pintu kamarnya masih terbuka sedikit. Kuintip, dia sudah tidur pulas. Sebagian tubuhnya tak berselimut. Demikian aku masuk dan menaikkan selimut hingga leher Carissa.Sambil duduk, kuelus keningnya dan sedikit merapikan rambutnya yang berantakan.“Maaf, ya, Carissa. Gue selalu sibuk sampai-sampai nggak punya waktu buat lo.”Tanganku terhenti tatkala wanita ini bergerak beberapa saat membenarkan posisi tidur. Dia masih dalam keadaan lelap.“Lo sampai susah-susah bikin makan malam, tapi gue malah pulang jam segini. Kayaknya, lo bakalan selalu terluka kalau sama gue.”Kuembuskan napas panjang. Ketika akan beranjak, tanganku digenggam erat oleh Carissa. Dia sudah bang
“Kiana?”Aku mengernyitkan dahi kala melihat seorang perempuan dengan wajah yang begitu mirip dengan Kiana tengah berjalan di tepian jalan.Rasa penasaran yang tumbuh di dalam benak tidak bisa aku redam sehingga membuat diriku memarkir mobil di tepian jalan.Setelah itu, aku mengikuti ke mana perempuan itu menjejak. Tak lama, smartphone-ku bergetar, menandakan sebuah panggilan masuk.“Halo.”“ADRIAN! KAMU DI MANA?! INI SUDAH JAM DELAPAN LEBIH!”Aku terkesiap mendengar teriakan Elaine di ujung telepon.“Aduh, ngomong yang pelan, apa! Iya, iya. Gue segera ke agensi.”“CEPAT! KAMU SUDAH DITUNGGU OLEH TIM!”Sambungan telepon terputus. Karena panggilan barusan, aku jadi kehilangan jejak perempuan yang mirip dengan Kiana.Sialnya, aku harus segera ke agensi karena ada pemotretan mendadak. Kuembuskan napas panjang dan kembali ke tempat mobilku terparkir.
Yang tak membuatku habis pikir ialah perempuan bernama Diana ini sangat mirip dengan sosok Kiana. Entah, sikap dan sifatnya.Akan tetapi, kesan pertamaku padanya begitu mencengangkan. Tak kusangka karena ini bukanlah ilusi semata.“Salam kenal, ya. Aku Diana Amel. Orang-orang sering memanggilku Diana.”Bahkan kini saat tersenyum pun, dia benar-benar terlihat seperti Kiana. Entah berapa kali lagi harus kukatakan, tetapi seperti itulah kenyataannya.“Diana?”Tatapanku masih saja kosong dan lebar.“Iya, Diana.”“Ada apa, Adrian? Teringat sesuatu?” Kilat cahaya di mata Elaine kembali muncul.Yah, dia pasti sudah bisa menebak bahwa diriku beranggapan tentang perempuan bernama Diana ini mirip dengan seseorang yang ada di dalam imajinasiku.“Nggak ada.” Maka, aku segera membenarkan ekspresi wajah. “Gue Adrian Satria Sanjaya. Lo bisa panggil gue Adrian.”
“Okay. Semua udah selesai, kan? Jadi, gue boleh pulang sekarang.”“Pulang?”Elaine mengurungkan niatku untuk beranjak bangkit.“Lah, emangnya apa lagi yang harus gue lakuin? Semuanya udah selesai, kan? Ya, lebih baik gue pulang, kan?”“Tidak bisa, Adrian. Kamu masih punya satu pekerjaan yang harus diselesaikan.”Yah, perasaanku tidak enak melihat senyuman licik di wajah Elaine. Bergantian aku menatap Diana yang sedari tadi hanya diam.“Ada apa?” Diana menyadari diriku yang tengah memperhatikannya.“Nggak apa-apa.”“Adrian dan Diana, kalian harus melakukan usaha pendekatan. Sebaiknya, kalian mengenal satu sama lain untuk kepentingan film yang akan kalian perankan.”Ah, sudah kuduga. Sepertinya, aku memang tidak akan bisa melarikan diri dari pekerjaan yang satu ini.Walau demikian, aku sebisa mungkin akan berusaha tidak membawanya ke
Kuembuskan napas panjang sebagai tanda lega. Hampir saja truk pengangkut barang itu menghantam mobilku.Kutolehkan pandangan ke arah Diana. Matanya terbelalak dan terkesan sangat kaget. Aku pikir dia sangat trauma dengan kejadian barusan.“Hampir aja, Adrian,” ucapnya dengan nada datar.Walau demikian, dia pun terkikik pelan seolah-olah urusan hidup dan mati barusan merupakan sebuah lelucon yang patut ditertawakan.Oh, hebat sekali perempuan ini. Dia sama sekali tidak syok atas kejadian tersebut dan justru tertawa sekarang.“Lo … ketawa? Apa lo sama sekali nggak syok?”Setelah tawa Diana reda, dia menanggapi pertanyaanku.“Maaf, Adrian. Aku syok banget tadi. Tapi, akhirnya kita bisa selamat. Aku pikir kita bakalan mati hari ini.”Seperti bertolak belakang dengan apa yang dia ucapkan. Ah, terserah sajalah. Mungkin memang benar bahwa perempuan ini terlalu menikmati hidupnya.Bahka
Diana melempar tasnya ke atas sofa, lalu mengempaskan pantat sambil mengembuskan napas lega.“Sampai juga, deh, kita!”Sementara itu, aku masih berdiri dan membisu menyaksikan tingkah Diana yang seperti para perempuan pada umumnya.“Ada apa, Adrian? Apa kamu nggak suka sama rumahku?”“Oh, nggak, kok. Rumah lo bagus dan besar. Udah kayak istana.”Dia tertawa pelan mendengar tanggapanku. Dan aku masih menatap ke sekeliling ruangan luas ini. Ada berbagai foto yang dipajang di dinding dengan berbagai ukuran bingkai.Juga televisi di sebelah lemari besar berisi barang-barang koleksi, entahlah apa saja.“Ayo, duduk dulu. Aku akan buatkan kamu minuman sama kue yang enak banget.”Mendengar tawaran tersebut, segera aku duduk di sofa kecil. Namun, sebelum pantatku menyentuh sofa, Diana berujar, “Aduh, jangan di situ, dong!”“Hah? Kenapa emangnya?”Kini,
“Aku udah bilang sama kamu, kan?”Sepasang tangan memelukku dari belakang. Sementara diriku masih saja tak bisa berpaling dari bayangan Carissa yang telah meninggalkanku dengan lelaki bernama Alex. Dia tak lagi terlihat di kedua mataku.Perempuan ini melepaskan dekapannya, lalu berdiri di hadapanku dengan sebuah senyuman. Sesekali, dia membenarkan kacamatanya yang sempat melorot.“Kita pulang, yuk.”Entah mengapa aku menurut begitu saja, lalu berjalan sambil bergandengan tangan dengannya. Kami masuk ke dalam mobilku. Namun, aku kembali bergeming.“Udah, nggak apa-apa. Sini, aku masih sama kamu.”Aku mengangguk pelan, lalu perempuan berkacamata ini membenamkan kepalaku dalam dekapannya. Sungguh hangat. Sungguh nyaman dan aku terbuai akan sebuah perasaan.“Kenapa semua harus terjadi sama gue? Kenapa orang-orang yang gue cintai nggak pernah bisa menetap dan menemani gue?”“Aku
“Kenapa, Carissa? L-lo bilang kalau kita akan selalu bersama. Tapi, kenapa sekarang kamu bilang kita nggak bisa bersama?”Begitulah aku bertanya pada Carissa yang sedang tertunduk di depanku. Mungkin aku sudah tidak bisa mengeluarkan air mata kesedihan. Sebab, ini terlalu sulit untuk dipercaya. Hanya karena sebuah kesalahan, kenangan yang telah kami jalani bersama akan sirna begitu saja.“Adrian, saya sudah memikirkan ini cukup lama. Atau tepatnya ketika saya jatuh cinta padamu. Saya merasa sangat mencintaimu, tapi rasanya sangat sulit jika kamu terus-menerus nggak bisa mengendalikan dirimu sendiri.”“B-bukannya semua gangguan yang aku alami atas Skizo ini udah perlahan-lahan berkurang? Maksudku, aku udah nggak mengalami Skizo lagi dalam beberapa bulan terakhir. Aku nggak mengalami ilusi dan delusi lagi,” jelasku.Terdengar bahwa napas Carissa begitu berat saat mengembus. Aku menduga bahwa dia pun begitu sulit untuk men
Tanpa pikir panjang setelah melihat bahwa lelaki bernama Alex ini melakukan hal yang tidak seharusnya pada Carissa, aku berlari dengan penuh amarah. Kemudian, tanganku yang terkepal melayang begitu saja hingga menghantam wajahnya.“Sialan lo! Berani-beraninya lo ngelakuin hal nggak pantes sama cewek gue!”Amarahku tidak terkendali. Aku menjadi orang yang sangat brutal dan emosi itu semakin lama semakin bergejolak.“Adrian! Jangan, Adrian!”Aku tahu aku mendengar suara Carissa yang berusaha menyabarkan hatiku. Hanya saja, aku sudah tidak terkendali lagi. Begitu lelaki bertubuh tinggi ini terjatuh, aku segera meraih kerah pakaiannya, lalu menghantamnya lagi dan lagi.“Lo cowok sialan! Lo nggak tahu kalau Carissa udah punya pacar?! Sialan lo! Goblok!”Secara terus-menerus kuhujani Alex dengan tinjuku. Sesekali, kakiku menendangnya tak tanggung-tanggung. Bagiku, dia sangat pantas mendapatkan perlakuan seperti
Aku tak tahu siapa laki-laki berambut pirang dan berbola mata kuning yang menyerukan nama Carissa barusan. Namun, dari gelagatnya, kurasa dia sangat mengenal Carissa.“Hai, Carissa! Kita bisa berjumpa lagi!” ucap laki-laki berambut pirang yang telah tiba di hadapanku dan Carissa.Sementara itu, perempuan ini terlihat cukup tegang dan khawatir.“A-Alex ….”“Yup! Ini saya. Alex. Apa kabar? Sudah cukup lama kita tidak bertemu.”Sembari mengalihkan pandangan padaku, Carissa menjawab, “B-baik. Saya baik. B-bagaimana denganmu?”Sepertinya, Carissa memang agak gugup berbicara dengan laki-laki bernama Alex ini. Entah, dia mungkin teman kekasihku yang telah lama tidak bertemu.Aku, sih, mengerti mengapa Carissa begitu khawatir dan terlihat gugup. Bisa saja dia sungkan berbicara karena ada diriku di tengah-tengah mereka.“Carissa, gue tunggu lo di mobil aja, ya,” ucapku k
Diana menjauhkanku dari Carissa.“Aku nggak akan menyerahkan Adrian sama kamu!”Mendengar nada tegas perempuan yang tengah mencengkeram erat lenganku ini, Carissa tersentak. Seketika, dia kembali naik pitam.“Apa maksudmu? Adrian itu kekasih saya!”“Kalian cuma sepasang kekasih, bukan suami dan istri. Saya masih punya hak merebut Adrian dari kamu!”Tentu saja, aku tidak bisa tinggal diam atas apa yang Diana lakukan. Dia sudah benar-benar kurang ajar dan tak tahu diri.“Lepasin gue, Diana!” Kutarik tangan dengan segera dan menatap perempuan ini penuh intimidasi.“Adrian! Kamu sebenarnya nggak sayang sama Carissa! Apa kamu yakin dengan perasaanmu? Gimana kalau perasaanmu cuma ilusi?!”Senyuman yang lebar terpahat di wajah Diana. Ini seolah-olah dia berusaha untuk melumpuhkan kepercayaan diriku.Bagaimana mungkin dia mengatakan bahwa perasaanku terhadap Carissa mer
Di mulut pintu gudang, telah berdiri Carissa yang menyaksikan Diana memeluk diriku. Hal ini tentu saja tidak bisa aku biarkan. Walau demikian, telah terjadi kesalahpahaman di antara kami. Tak diragukan lagi.“Carissa?!”Perempuan itu menggeleng-geleng seolah tak percaya dengan yang ia saksikan.“Gue … gue … nggak kayak yang lo lihat, Carissa!”Aku berusaha menjelaskan padanya. Entah mengapa, tak ada yang dapat aku ucapkan, sebab Diana semakin erat memeluk diriku.Segera kudorong Diana agar terlepas dari tubuhku. Tahu-tahu, pakaiannya telah compang-camping. Entah sejak kapan itu terjadi. Aku yakin bahwa dia sengaja melakukannya sendiri agar terkesan bahwa akulah yang telah melakukannya lebih dulu atas keinginan sendiri.“Jangan percaya apa yang lo lihat, Carissa!”Segera aku berlari untuk menggapai Carissa yang masih berdiri dengan tatapan nanar di mulut pintu. Dia tak bergerak sedikit
Ketika aku berjalan untuk menuju ruang syuting, seseorang mendorong tubuhku hingga masuk ke sebuah gudang penyimpanan alat dan barang-barang bekas.“Woi! Apa-apaan ini?!”Aku tak melihat apa pun di ruangan tersebut karena sangat gelap. Tubuhku didorongnya hingga mentok pada dinding. Sedangkan, mataku ditutup oleh sehelai kain. Sempurna sudah, aku tidak bisa melihat apa pun.“Siapa lo?! Apa-apaan, sih, ini?!”Tanganku berusaha meraba-raba, tetapi tak mendapatkan apa pun. Kudengar embusan napas dari orang yang menyekapku ke gudang ini.Sepasang tangan melingkar di pinggangku. Dari kelembutan kulit yang aku rasakan, kurasa pelakunya adalah seorang perempuan.“Siapa lo? Kenapa lo ngelakuin ini?”Masih tak ada jawaban. Kini, terasa bahwa tangannya meraba-raba dadaku, menelusup ke balik kemeja yang aku kenakan. Segera aku tepis dan berhasil menggenggam tangannya.Meskipun tak bisa melihat apa pun,
Aku membuka pintu ruangan Elaine dengan kasar.“Apa-apaan, sih, lo?! Kenapa si Diana cewek gila itu harus jadi partner gue?!” protesku sambil mendengkus kasar, lalu mengempaskan pantat di sofa.Elaine terlihat sedang bersantai sambil menikmati rokok putih kesukaannya. Dia menatapku sejenak dan tersenyum kecut. Ini seolah-olah dia melihat seorang lelaki bodoh.“Kenapa, Adrian? Kamu tiba-tiba datang dan berteriak seperti itu. Memangnya dia merepotkanmu selama ini?”“Udah jelas! Dia ngerepotin banget! Hubungan gue sama Carissa hampir aja berakhir gara-gara dia! Udah gila itu cewek. Bisa-bisanya lo … ahhh!”Kuembuskan napas panjang untuk sedikit meredakan kekesalan yang menyelimuti.Walau demikian, aku memang tak habis pikir dengan perempuan bernama Diana itu. Mulai dari sikapnya yang riang, lalu berubah jadi sangat licik dan merepotkan. Benar-benar tipe perempuan yang tidak pernah aku inginkan ada di d
Dengan langkah cepat, aku masuk dan mengunci pintu rumah. Tak lama kemudian, pintu diketuk-ketuk dengan keras oleh Diana dari luar.“ADRIAN! AKU NGGAK MAU PULANG! AKU MAU TETAP DI SINI!”Begitulah dia berteriak sambil membentur-benturkan tangannya di pintu, kurasa. Aku tak menanggapi semua yang dia ucapkan dengan teriakan pekak.Ini benar-benar tidak bagus. Semestinya aku sudah bermesra-mesraan sekarang dengan Carissa setelah selesai makan siang. Namun, kedatangan Diana menjadi sebuah malapetaka bagi kami.“Adrian! Please! Bukan pintunya! Aku nggak akan pulang sebelum kamu menerima aku jadi yang kedua!”Salahkah jika aku mengatakan perempuan ini murahan? Sebab, dia terlalu menuntut hati seseorang yang tidak memiliki perasaan padanya.Baru kali ini aku bertemu perempuan keras kepala seperti Diana. Ia bahkan tidak ragu mempermalukan dirinya di hadapanku. Jika benar dia mencintai dengan setulus hati, mengapa tidak memiki