Seketika Adrian terdiam dengan pertanyaan Om Handy. Dia tak bisa menjawabnya.
"Apa kekurangan Sella?"
"Enggak ada, Om. Bahkan dia terlihat sangat sempurna."
"Dan kamu tak bisa menerima dia?"
Kali ini Adrian diam.
"Maafkan saya, Om. Bayangan Renata masih belum bisa saya lupakan. Saya masih terlalu mencintainya."
Mendengar ucapan Adrian. Membuat Sella memalingkan wajahnya. Tampak dia masih belum bisa menerima perlakuan lelaki itu terhadap dirinya.
"Aku tak memaksa kamu, Adrian. Hanya saja Om sangat senang seandainya kamu mau jadi menantu Om."
"Sekali lagi maafkan saya Om. Saya masih belum berpikir ke arah sana."
"Tak masalah Adrian. Tapi ingat! Kalau kau ingin mencari istri. Ingat Sella!"
Dia pun tak berani untuk berjanji. Baginya sulit untuk menerima Sella. Karakter wanita itu tak disukainya.
"Oke, Adrian. Om mau pergi dulu. Berbincanglah kalian berdua."
"Baik, Om."
Setelah kepergian Handy Sant
Mereka bersiap menuju kota kelahiran Salsa. Melewati jalan tol. Perjalanan pun tak terlalu jauh. Hanya sekitar dua jam.Sesekali Salsa melirik pada Romy yang hanya diam. Pandangannya terus mengarah pada luar jendela. Salsa pun tak berani mengajaknya bicara. Dia pun ikut diam."Kalian ini kok dari tadi diam aja. Nanti kalau sampai di rumah Salsa. Jangan diam aja lho!""Iya, Ma," sahut Salsa.Tak lama kemudian. Rombongan dua mobil itu pun sudah sampai di depan rumah Salsa. Di teras depan. Sudah berkumpul saudara dan kerabat Salsa. Yang menyambut kedatangan mereka."Pengantin baru datang," ujar salah seorang dari mereka.Dari dalam rumah terlihat seorang wanita berlari keluar. Dia langsung tersenyum lebar begitu melihat rombongan pengantin datang. Pandangan matanya mencari sosok anaknya, Salsa."Ibuuu ...!" ucap Salsa tanpa suara.Tampak wajah keduanya berbinar. Memendam kerinduan. Ibu Sulastri mmebesarkan Salsa semenjak kematian
Sulastri terdiam. Dia mengerutkan dahi saat melihat perubahan di wajah Salsa. Dia berjalan mendekat."Ada apa, Nak? Apa ada perkataan Ibu yang membuat kamu berpikir? Atau mungkin tersinggung?""Ohhh, enggak Bu. Ehhh ... Salsa cuman capek dikit.""Ya, sudah kamu istirahat sana. Ini kopi buat suami kamu.""Iya, Bu. Salsa ke kamar dulu ya?"Sulastri mengangguk. Dia terus memperhatikan gerak tubuh anaknya."Dia sedikit berbeda. Tak seceria dulu. Apa ada permasalahan dalam rumah tangga mereka? Tapi, wong yo belum sampe seminggu."Sulastri hanya meneguk rasa penasaran yang mendera. Tapi, dia menepis semua."Enggak mungkin. Wong mereka baik-baik aja kok," ujarnya berbisik.Kemudian Sulastri menemui kerabatnya yang lain. Di teras rumah. Sedangkan Salsa hanya bisa berdiri terpaku. Saat melihat sang suami sudah terlelap."Kalau kamu tidur seperti ini. Aku di mana?"Salsa duduk di pinggir ranjang. Sesekali dia menoleh
'Cerai?'Kata itu terus terulang di bibir Sulastri. Secara tak sengaja dia menguping pembicaraan mereka. Waita itu tersentak. Seolah tak percaya dengan apa yang baru dia dengar.'Enggak mungkin! Aku pasti salah mendengar. Apa lagi mereka baru saja menikah. Mungkin hanya pertikaian kecil. Pasti itu!'Sulastri berjalan menuju kamar. Dia asih terpaku dengan kata-kata Romy. Tak menyangka pertengkaran mereka membuatnya berpikir.Tampak wanita itu gelisah dan cemas. Kalimat itu terus terngiang di telinga dan pikirannya."Apa yang sebenarnya terjadi antara mereka? Buatku ini aneh banget.Enggak mungkin 'kan kalau suami Salsa minta cerai?"Wanita itu terus memikirkan hubungan putrinya yang baru seumur jagung. Baginya sebuah perceraian dalam rumah tangga, hal yang tabu. Apa lagi sampai menimpa Salsa. Gunjingan keluarga, kerabat, serta para tetangga.Dia langsung bergidik dan menggelengkan kepala. Tak ingin apa yang ada dalam p
"Melihat hubungan anak kamu? Si Salsa?"Sulastri mengangguk."Bukannya mereka baru menikah?""Memang Bu Kohar. Tapi saya ini gelisah."Wanita itu mempersilakan Sulastri untuk masuk."Duduklah dulu. Ini sebenarnya ada apa?""Aku mendengar mereka berdua lagi bertengkar.""Lalu? Namanya juga pengantin baru. Wajar lah kalau mereka ada pertengkaran seperti itu. Sampean jangan ikut campur urusan anaknya.""Tapi saya ini enggak bisa tenang, Bu. Apalagi suaminya Salsa sampai bilang cerai."Wanita itu mengerutkan dahinya. Dia menatap tajam pada Sulastri."Baiklah, aku lihatkan dulu!"Dia pun ke dalam. Menuju kamarnya. Hanya dalam hitungan detik. Bu Kohar sudah kembali. Dia seperti membawa sebuah kotak kecil yang berisi kartu.Kemudian dia meletakkan di atas meja. Jemari tangannya bergerak cepat menata beberapa kartu. Tampak Bu Kohar mulai membuka satu persatu. Hanya saja dia masih diam."A-apa ar
Pertanyaan yang diajukan Sulastri membuat Salsa terkejut. Dia mencoba mengalihkan pandangan. Menghindar dari tatapan sang ibu."Kenapa kamu berpaling? Apa kamu enggak mau bilang sama ibu?""Bukan itu, Bu. Cuman pertanyaan Ibu aneh buat Salsa.""Aneh gimana? Bagi ibu enggak aneh sama sekali. Kata cerai yang keluar dari bibir suami kamu itu. Menyakitkan buat Ibu. Tau kamu?!"Salsa terdiam, dengan kepala yang tertunduk. Dia tak tahu harus menjawab apa?"Apa benar yang Ibu bilang tadi?""Enggak benar itu, Bu!"Sulastri yang kesal. Menarik kedua bahu anaknya. Hingga menghadap dirinya. Dia pun menatap tajam pada Salsa."Tatap Ibu, Salsa!""Iya, Bu.""Sekarang katakan dengan jujur. Apakah Romy mempunyai wanita lain?"Salsa langsung menggeleng."Kamu jujur?""Iya, Bu. Buat apa Salsa bohong. Lagian buat apa nikah sama Salsa kalau ada cewek lain."Suara Salsa terdengar tegas. Membuat Sulastri men
"Kau mau ajari aku tentang rasa sakit Amelia?" Suara Romy terdengar kesal."Aku enggak mau berdebat sama kamu, Rom!"Terdengar suara Romy yang terkekeh. Seolah menggoda Amelia agar tersenyum atau malah tertawa bersamanya. Namun Amelia semakin kesal."Aku enggak mengajak kamu berdebat, Mel. Besok aku sudah di Surabaya. Malam aku ke rumah.""Maksud kamu ke rumahku?""Iya lah. Emangnya mau ke rumah siapa?""Jangan!""Apa maksud kamu jangan?""Kamu sudah punya istri, Rom. Tolong mengertilah hal ini!""Yang aku hanya bisa mengerti hanya semua tentang kamu. Baru aku mau memahami dan mau untuk mengalah."Amelia masih terdiam terpaku. Dia tak tahu harus meyakinkan Romy, tentang apa lagi."Aku sudah lelah, Romy. Aku sudah tak mau lagi menghadapi kepahitan hubungan kita. Jadi tolonglah, Rom. Jangan kamu kacaukan semua ini.""Mana ada aku kacaukan semua. Yang ada
Selama perjalanan mereka berdua saling terdiam. Amelia melirik pada lelaki di sebelahnya. Wajahnya terlihat kokoh dengan rahang yang tegas. Hidungnya mancung, dengan garis mata yang sedikit meruncing. Terkesan oriental. Membuat wajahnya begitu indah dipandang. "Ada yang salah dengan wajahku, Mel?"Seketika pertanyaan Adrian membuat Amelia gelagapan. Dia membenarkan posisi duduknya. Seolah sedang merapikan pakaiannya. Yang sebenarnya sudah terlihat rapi."Apa kamu heran lihat aku di sini sekarang?""Jujur, iya. Aneh aja sih." Amelia memberikan jawaban tanpa menoleh pada Adrian."Kenapa? Wajar 'kan? Lagian Surabaya - Malang itu hanya satu jam. Bahkan enggak sampai."Entah mengapa suara Adrian begitu menggetarkan jiwanya yang sepi. Seakan luruh oleh sebuah rasa yang asing.'Ishhh, kamu ini kenapa sih Mel? Mikir yang aneh 'kan? Ingat si pacarnya yang galak!'"Kok diam? Malah ngelamun lagi.""Ehhh ...."
Sejenak Adrian terdiam. Mungkin yang dikatakan Amelia benar. Andai Sella mengumumkan hubungannya di sosmed. Wanita mana saja yang berhubungan dengan Adrian akan dinilai sebagai perusak hubungan mereka."Aku baru sadar Mel.""Baru sadar? Maksudnya?""Dia ternyata pintar sekali menjebak aku. Kenapa waktu itu aku kasihan sama dia?""Yah, mungkin karena pertemanan kalian selama ini Adrian. Jadi ada perasaan enggak tega sama dia.""Bisa jadi seperti itu Mel."Adrian menjalankan mobilnya dengan kecepatan yang cukup."Papa dia selalu menemui aku. Hanya untuk menjodohkan anaknya. Dan selalu aku tolak. Pernah suatu hari aku bilang akan mencoba. Kamu tau bagaimana reaksi Sella?""Seperti kemarin pas aku di rumah kamu itu?""Iyup."Mobil melaju memecah keheningan jalan malam ini. Hanya lima belas menit. Mereka sudah kembali ke rumah Amelia."Dita pasti sudah tidur Mel.""Iya, tadi waktu aku tinggal.""Ap
“Saya terima nikahnya dan kawinnya Amelia Pratiwi binti Assobri dengan maskawinnya tersebut, tunai karena Allah.”Suara Adrian terdengar tegas dan lantang."Sah?!" teriak penghulu. Disambut dengan jawaban serempak para undangan yang hadir, "Sah!""Alhamdulillah, Tabarakallah. Aamiin."Kali ini perhatian kembali tertuju pada pasangan pengantin Adi Hermansyah dan Salsa Munandar.“Saudara Muhammad Adi AlQorni bin H. Ahmad Komarudin. Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan Salsa Munandar, dengan maskawinnya berupa seperangkat alat sholat dan uang seratus juta, tunai!”“Saya terima nikahnya dan kawinnya Salsa Munandar binti Munandar, dengan maskawinnya yang tersebut, tunai karena Allah.”"Bagaimana, sah?""Sah!!!""Alhamdullillah." Rumah Maya dan Hartono terdengar riuah dengan ucapan doa yang penuh kebahagiaan. Begitu juga terpancar dari wajah-wajah penuh cinta dan kasih sayang.
_Dua bulan berlalu_Sejak kematian Romy Pradipta. Membawa duka yang mendalam bagi Maya dan Hartono. Begitu juga bagi Salsa dan Amelia. Walau pernah menoreh luka bagi mereka. Namun, anak yang dititipakan oleh Romy, membuat Salsa dan Amelia akan selalu teringat padanya.Hingga Maya dan Hartono meminta pada Salsa dan Amelia untuk melangsungkan pernikahan mereka di Semarang. Secara bersamaan. Walau awalnya Adrian menolak, pada akhirnya dia mencoba untuk mengerti.Karena bagi Amelia, Maya dan Hartono satu-satunya keluarga bagi dirinya. Tepat di hari jumat akad nikah akan dilangsungkan. Tak ada acara besar, atau pun pesta meriah. Karena baik Amelia maupun Salsa tak menginginkan hal itu.Pada hari kami pagi. Amelia beserta Adrian dan Dita serta Rini sudah berada di hotel yang tak terlalu jauh dari rumah Maya. Dia meletakkan kebaya pengantin milik Renata dulu. Mengusapnya perlahan dari ujung leher hingga ujung paling bawah."Ren ... mungkin aku tak p
"Maaa ... Mama!""A-ada apa, Sa?""Perut Salsa kok sakit ya, Ma?""Sa-sakit gimana?""Sepertinya mau melahirkan, Ma.""Haaahhh?!"Maya pun kelihatan panik. Dia memanggil beberapa saudara dan kerabatnya. Untuk segera mengantar Salsa ke rumah sakit terdekat."Sa, semisal menunggu Papa pulang gimana?""Salsa udah enggak kuat, Ma. Kok sakit banget.""Apa pakaian semuanya sudah kamu siapkan?""Sudah, Ma. Di kamar."Maya berjalan cepat menuju kamar. Dia mengambil tas yang ada di atas kasur. Sesaat Maya terpaku dalam diam. Selintas kenangan Romy masih membayang di matanya. Terbayang saat dia masih sakit dan terbaring di atas kasur."Haahhh! Ya Allah, anakku Romy!" desahnya.Teringat akan Salsa yang kesakitan. Buru-buru dia keluar kamar."Sa, ayo aku gandeng!" Salsa yang tak bisa jalan cepat, dibantu Maya berjalan ke luar rumah. Dari arah dalam Bulek Titut berlari ke arah mereka."Bulek!
Sengaja Adrian tak langsung memberitahukan kematian Romy, pada Amelia. "Bapak Adrian!" Segera dia mendatangi seorang perawat. "Silakan Bapak kalau mau ke kamar Bu Amelia. Baru saja dipindah kamar." "Baik, Sus. Di sebelah mana Sus?" "Bapak lurus dan belok kanan. Ada Pavilium mawar nomer 2, itu kamar Bu Amelia." "Maksih, Sus." "Sama-sama." Adrian menghampiri Dita dan Rini. "Ayo ke kamar Mama, Dit!" "Mama sudah di kamar?" "Sudah!" tegas Adrian. Mereka mengikuti langkah lebar Adrian yang berjalan mendahului. Pintu kamar terbuka lebar. Seorang perawat masih membantu Amelia pindah ranjang. "Nanti jangan terlalu banyak gerak dulu ya Bu. Besok pagi, kita rangsang ASInya buat Dedek bayi." "Iya, Sus." Amelia masih terlihat lemah. Wajahnya terlihat kuyu dan lelah. "Dita, adek kamu cowok apa cewek?" "Cowok, Ma." Amelia tersenyum senang. "D
Pandangan Romy terlihat bersinar terang. Tak lagi hampa dan kosong, seperti sebelumnya."Mas Rom! Mas Romy bisa dengar Salsa?"Namun, Romy seperti tak mendengar. Dia masih menggerakkan tangan perlahan. Terus membelai, entah apa yang ada dalam pandangannya saat ini. Sembari senyum yang tak lepas dari wajahnya."Rooom, ini Mama Nak. Coba lihat Mama, Sayang!"Namun tak ada respon yang ditunjukkan Romy. Dia terus memandang ke atas. Maish terus tersenyum.Tiba-tiba, seisi kamar terkejut dibuatnya. Mereka sampai tak percaya setelah sekian lama, tak mendengar Romy bicara."Amel ... Amelia," desis Romy. "Amelia ... Amelia."Romy terus menyebut nama Amelia terus menerus."Salsa, co-coba kamu telponkan Amelia. Mungkin dia ingin mendnegar suaranya.""Ba-baik, Ma."Saat Salsa mengambil ponslenya. Terdengar Romy yang terbatuk-batuk, hingga muntah darah. Membuat semua terperanjat."Dok! Kenapa Romy?""
Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Kontraksi yang dirasakan oleh Amelia, intervalnya mulai teratur. Sakit yang dia rasa berkisar 30 sampai 70 detik."Adrian kayak ada yang merembes di kaki aku.""Haaahhh?!!!" Adrian tersentak. Sekilas dia melihat pada bagian perut kebawan yang tampak basah. "Tenang, Mel." Wajah Adrian semakin tegang. Dia terus membunyikan klakson agar mobil di depannya memberikan ruang untuk dia lewat."Mama enggak apa-apa ya Om?" tanya Dita ikut panik."Enggak apa-apa Dita. Semua jangan ikutan panik kayak Om ya.""Mas Adrian jangan panik dong. Kita jadi ikutan cemas juga," sahut Rini, smabil mendekap Dita. Yang ikut panik."Enggak apa-apa, mulesnya mulai berkurang kok," lanjut Amelia. "Adrian, nanti aku minta tolong.""Apa?""Tolong adzankan anakku ini.""I-iya, Mel. Aku udah siapin soal itu.""Makasih, Adrian."Hampir dua puluh menit perjalanan. Mobil memasuki pelataran parkir ru
Dalam kepanikan mereka, Salsa memberi kabar kalau Dokter Helmi akan datang ke rumah."Dia langsung ke sini, Sa?""Iya, Ma. Kata Dokter mungkin sepuluh sampai lima belas menit.""Ya, udah kalau gitu, kita tunggu."Hartono yang cemas, hanya bisa mondar mandir di dalam kamar Romy. Sedangkan Maya semakin gelisah dengan suhu tubuh Romy yang masih tinggi. Tak lama, Salsa masuk membawa Dokter Helmi ke kamar."Ohhh, syukurlah Dok. Saya udah cemas sekali.""Biar saya periksa dulu!""Dari tadi, Romy enggak bangun-bangun Dok," ucap Salsa kalut. Sedari tadi dia meremat jemari tanganya yang dingin. Lalu menghampiri Maya yang hanya bisa bungkam."Kita harus bawa ke rumah sakit. Ini Mas Romy bukan cuman tidur biasa.""Maksud Dokter?" tanya Hartono mengejar."Saya masih belum bisa pastikan, Pak Hartono. Cuman kalau di rumah sakit, Mas Romy bisa terbantu dengan obat yang masuk lewat selang infus. Saya yang langsung tangani di sana
Langkah Salsa bergerak cepat menuju arah kamar. Sekilas dia mendapati Maya yang menangis di ruang tengah. Sedang ditenangkan oleh Hartono."Kamu mau ke kamar, Sa?""Iya, Pa.""Panggilah Yono, biar dia yang angkat di atas kasur.""Baik, Pa."Maya masih terlihat sesenggukkan."Memangnya kamu ini kenapa sih, Ma?""Aku sedih, Pa. Barusan aku telponan sama Amelia. Mama jadi merasa semua ini salah kita.""Hussst! Apa maksud Mama bilang kayak gitu?"Bukan malah tangisannya berhenti. Maya semakin terisak, hingga beranjak pergi meninggalkan Hartono yang ikut sedih. Maya melangkah cepat menuju kamar. Diikuti oleh Hartono.Maya menghempaskan tubuhnya di atas kasur. Menelungkupkan wajahnya di bantal."Maksud kamu tadi apa, Ma?""Mungkin ini teguran buat kita juga, Pa. Terlalu memaksakan kehendak kita, pada Romy.""Bukan, Ma. Mama jangan merasa bersalah kayak gitu.""Entahlah Pa. Mama merasa bersala
Selepas kepulangan Adi, tampak Salsa masih berdiri termenung di depan pagar. Dia menoleh pada taman samping rumah. Sepertinya Maya sedang mengajak Romy jalan-jalan. Bergegas Salsa mengejar langkah mereka."Ma ... Mama!""Ehhh ... kamu kok nyusul ke sini?""Iya, Ma. Mas Adi sudah pulang kok.""Ka-kamu ... apa mencintai dia?"Wajah Salsa memerah. Dia tersipu saat mendapat pertanyaan itu."Kenapa Mama tanya kayak gitu?""Mama tidak bisa menuntut apa pun dari kamu, Sa. Kebaikan yang kamu berikan pada keluarga kami, itu tak ternilai buat Mama. Sama Papa juga. Apalagi cinta dan sayang kamu pada Romy masih terlihat nyata di mata Mama."Salsa langsung memeluk wanita itu dari samping."Maafkan Salsa, Ma. Yang mungkin enggak bisa selamanya menemani Mas Romy.""Mama tahu, Sa. Dan sangat paham sekali.""Makasih atas semuanya ya.""Iya, Ma. Salsa juga makasih sama Mama, yang mau menganggap Salsa anak sendiri."