Pertanyaan yang diajukan Sulastri membuat Salsa terkejut. Dia mencoba mengalihkan pandangan. Menghindar dari tatapan sang ibu.
"Kenapa kamu berpaling? Apa kamu enggak mau bilang sama ibu?"
"Bukan itu, Bu. Cuman pertanyaan Ibu aneh buat Salsa."
"Aneh gimana? Bagi ibu enggak aneh sama sekali. Kata cerai yang keluar dari bibir suami kamu itu. Menyakitkan buat Ibu. Tau kamu?!"
Salsa terdiam, dengan kepala yang tertunduk. Dia tak tahu harus menjawab apa?
"Apa benar yang Ibu bilang tadi?"
"Enggak benar itu, Bu!"
Sulastri yang kesal. Menarik kedua bahu anaknya. Hingga menghadap dirinya. Dia pun menatap tajam pada Salsa.
"Tatap Ibu, Salsa!"
"Iya, Bu."
"Sekarang katakan dengan jujur. Apakah Romy mempunyai wanita lain?"
Salsa langsung menggeleng.
"Kamu jujur?"
"Iya, Bu. Buat apa Salsa bohong. Lagian buat apa nikah sama Salsa kalau ada cewek lain."
Suara Salsa terdengar tegas. Membuat Sulastri men
"Kau mau ajari aku tentang rasa sakit Amelia?" Suara Romy terdengar kesal."Aku enggak mau berdebat sama kamu, Rom!"Terdengar suara Romy yang terkekeh. Seolah menggoda Amelia agar tersenyum atau malah tertawa bersamanya. Namun Amelia semakin kesal."Aku enggak mengajak kamu berdebat, Mel. Besok aku sudah di Surabaya. Malam aku ke rumah.""Maksud kamu ke rumahku?""Iya lah. Emangnya mau ke rumah siapa?""Jangan!""Apa maksud kamu jangan?""Kamu sudah punya istri, Rom. Tolong mengertilah hal ini!""Yang aku hanya bisa mengerti hanya semua tentang kamu. Baru aku mau memahami dan mau untuk mengalah."Amelia masih terdiam terpaku. Dia tak tahu harus meyakinkan Romy, tentang apa lagi."Aku sudah lelah, Romy. Aku sudah tak mau lagi menghadapi kepahitan hubungan kita. Jadi tolonglah, Rom. Jangan kamu kacaukan semua ini.""Mana ada aku kacaukan semua. Yang ada
Selama perjalanan mereka berdua saling terdiam. Amelia melirik pada lelaki di sebelahnya. Wajahnya terlihat kokoh dengan rahang yang tegas. Hidungnya mancung, dengan garis mata yang sedikit meruncing. Terkesan oriental. Membuat wajahnya begitu indah dipandang. "Ada yang salah dengan wajahku, Mel?"Seketika pertanyaan Adrian membuat Amelia gelagapan. Dia membenarkan posisi duduknya. Seolah sedang merapikan pakaiannya. Yang sebenarnya sudah terlihat rapi."Apa kamu heran lihat aku di sini sekarang?""Jujur, iya. Aneh aja sih." Amelia memberikan jawaban tanpa menoleh pada Adrian."Kenapa? Wajar 'kan? Lagian Surabaya - Malang itu hanya satu jam. Bahkan enggak sampai."Entah mengapa suara Adrian begitu menggetarkan jiwanya yang sepi. Seakan luruh oleh sebuah rasa yang asing.'Ishhh, kamu ini kenapa sih Mel? Mikir yang aneh 'kan? Ingat si pacarnya yang galak!'"Kok diam? Malah ngelamun lagi.""Ehhh ...."
Sejenak Adrian terdiam. Mungkin yang dikatakan Amelia benar. Andai Sella mengumumkan hubungannya di sosmed. Wanita mana saja yang berhubungan dengan Adrian akan dinilai sebagai perusak hubungan mereka."Aku baru sadar Mel.""Baru sadar? Maksudnya?""Dia ternyata pintar sekali menjebak aku. Kenapa waktu itu aku kasihan sama dia?""Yah, mungkin karena pertemanan kalian selama ini Adrian. Jadi ada perasaan enggak tega sama dia.""Bisa jadi seperti itu Mel."Adrian menjalankan mobilnya dengan kecepatan yang cukup."Papa dia selalu menemui aku. Hanya untuk menjodohkan anaknya. Dan selalu aku tolak. Pernah suatu hari aku bilang akan mencoba. Kamu tau bagaimana reaksi Sella?""Seperti kemarin pas aku di rumah kamu itu?""Iyup."Mobil melaju memecah keheningan jalan malam ini. Hanya lima belas menit. Mereka sudah kembali ke rumah Amelia."Dita pasti sudah tidur Mel.""Iya, tadi waktu aku tinggal.""Ap
Mendapat pertanyaan seperti, Maya kebingungan untuk menjawab.'Dari mana dia bisa tau?'"Mbak Lastri kok bisa berpikiran seperti itu? Mereka ini baru saja menikah lho. Pasti hubungan mereka lagi manis-manisnya, Mbak." "Sampean yakin seperti itu?""Sangat yakin!""Syukurlah kalau gitu Mbak Maya. Saya sudah khawatir sekali. Sepertinya mereka pulang dari rumah saya kayak habis bertengkar. Kan saya jadi sedih.""Eggak kok Mbak. Mereka kelihatan baik kok.""Ya, sudah kalau gitu. Maaf ya Mbak, saya bikin Mbak Maya jadi ikutan cemas."Terdengar Maya menghela napas panjang. Dengan mata yang terpejam. Dia menyandarkan tubuh di sofa. Sejenak dia ingin menghilangkan keresahan dalam hati."Dari mana dia bisa tau tentang ini. Apa Salsa yang cerita? Atau--"Dia kembali termenung. Memikirkan tentang hubungan Romy dan Salsa.Surabaya ....Mobil yang dikendarai Romy memasuki halama
Pagi ini langkah Romy terburu-buru. Aroma parfumnya begitu menyengat. Salsa hanya memperhatikan dari meja makan."Mas Romy, sarapan dulu!""Aku buru-buru.""Kalau gitu minum kopi susunya dulu, sama roti Mas.""Enggak sempat. aku berangkat Mas!""Ta-tapi--"Brakkk!Pintu sudah tertutup. Untuk kesekian kali, hati Salsa terluka. Perih dan menyakitkan. Bola matanya yang indah, mulai berkaca-kaca. Air mata luruh membasahi pipinya yang memerah. Isak tangis tak tertahankan lagi."Aku harus bagaimana lagi menghadapinya? Aku harus bagaimanaaa ...?"Tubuhnya lunglai, terduduk di kursi makan. Tatap matanya nanar. Semua usaha yang coba dia lakukan untuk merebut hati Romy seakan sia-sia.Tak sedikit pun Romy memperhatikan dirinya. Bahkan hanya untuk menanyakan kabar dia hari ini. Tak pernah terlontar dari bibirnya. Walau hanya beberapa kata yang Salsa harapkan.Namun ....Bagai pungguk merindukan
Salsa masih melirik ke arah Melinda. Tatap matanya memandang lurus ke depan. Fokus pada jalanan yang sangat padat merayap."Kita keluar kota. Enggak jauh kok," ucap Melinda.""Haaahhh?""Tenanglah bentar lagi sampai kok. Enggak usah takut. Lagian aku yakin suami kamu datangnya malam.""Kok bisa kamu tau?""Tau ajalah."Pandangan Salsa masih belum bisa lepas dari Melinda. Hingga mobil mereka memasuki sebuah jalan kampung yang tak terlalu lebar. Rumah penduduk pun tak berjejal seperti di kota mereka."Kita ini mau ke mana Lin?""Lihat aja nanti."Sampai mobil itu berhenti di depan sebuah rumah. Yang terlihat sangat asri dan rindang."Ayo turun!"Salsa mengikuti langkah Melinda yang berjalan cepat. Dia sudah mengetuk pintu rumah yang tertutup rapat.Tok tok tok!"Permisiiii!"Melinda kembali mengulang ketukannya.Tok tok tok!Terdengar dari arah samping rumah. Suara langkah y
"Serius?" teriak Melinda."Iya. Kami tidur di kamar berbeda. Waktu malam pertama. Bahkan dia tidur di lantai.""Dia benar-benar menolak kamu?" tanya Tante Molly prihatin.Salsa hanya mengangguk."Jadi apa yang harus saya lakukan, Tante?""Kau harus menggodanya!""Menggoda Mas Romy?""Iya. Ajak dia main bersama kamu di ranjang. Suguhkan permainan panas yang tak bisa dia lupakan!"Salsa semakin tertunduk malu. Tampak dia tak mengerti maksud dari Tante Molly."Kenapa, Sal?" tanya Melinda."Jangan bilang kamu enggak ngerti semua yang aku ucapkan.""Memang saya enggak paham, Tante. Saya enggak tau semua itu."Tante Molly tak bisa menahan tawanya. Lalu melirik pada Melinda. Yang juga tergelak."Lucu ya?""Sangat lucu lah, Salsa. Di usia kamu ini, enggak paham apa yang aku bilang.""Saya benar-benar enggak paham, Tante."Terdengar Tante Molly menghembuskan napas keras."Se
Kendaraan mereka melaju cepat menembus padatnya jalan raya. Sesekali Salsa melihat ponselnya. Sangat berharap kalau sang suami memberi kabar walau hanya sekedar mengirim pesan."Kenapa lagi? Berharap suami kamu kirim pesan atau menelepon gitu?""Jujur iya, Lin. Aku berharap dia memberikan perhatian padaku. Walau hanya sebutir wijen, aku sudah senang.""Sepertinya kamu sangat mencintai suami kamu ya?""Awal enggak, Lin. Tapi ternyata dia mempunyai pesona yang luar biasa di mata aku. Membuat hati ini luluh dan--""Enggak usah kamu terusin aku juga udah tau."Salsa menoleh dengan tersenyum tipis."Lin, jangan marah ya?""Apa?""Aku mencoba menebak yang dibicarakan sama Tante Molly. Apa, kamu istri simpanan? Atau pacar kamu Om-Om? Atau--" Salsa tak melanjutkan lagi apa yang ada dalam pikirannya.Sedangkan Linda terlihat santai, dengan semua praduga Salsa."Aku pelayan Om-Om kaya, Sal.""Ka-kamu? Punya Pa
“Saya terima nikahnya dan kawinnya Amelia Pratiwi binti Assobri dengan maskawinnya tersebut, tunai karena Allah.”Suara Adrian terdengar tegas dan lantang."Sah?!" teriak penghulu. Disambut dengan jawaban serempak para undangan yang hadir, "Sah!""Alhamdulillah, Tabarakallah. Aamiin."Kali ini perhatian kembali tertuju pada pasangan pengantin Adi Hermansyah dan Salsa Munandar.“Saudara Muhammad Adi AlQorni bin H. Ahmad Komarudin. Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan Salsa Munandar, dengan maskawinnya berupa seperangkat alat sholat dan uang seratus juta, tunai!”“Saya terima nikahnya dan kawinnya Salsa Munandar binti Munandar, dengan maskawinnya yang tersebut, tunai karena Allah.”"Bagaimana, sah?""Sah!!!""Alhamdullillah." Rumah Maya dan Hartono terdengar riuah dengan ucapan doa yang penuh kebahagiaan. Begitu juga terpancar dari wajah-wajah penuh cinta dan kasih sayang.
_Dua bulan berlalu_Sejak kematian Romy Pradipta. Membawa duka yang mendalam bagi Maya dan Hartono. Begitu juga bagi Salsa dan Amelia. Walau pernah menoreh luka bagi mereka. Namun, anak yang dititipakan oleh Romy, membuat Salsa dan Amelia akan selalu teringat padanya.Hingga Maya dan Hartono meminta pada Salsa dan Amelia untuk melangsungkan pernikahan mereka di Semarang. Secara bersamaan. Walau awalnya Adrian menolak, pada akhirnya dia mencoba untuk mengerti.Karena bagi Amelia, Maya dan Hartono satu-satunya keluarga bagi dirinya. Tepat di hari jumat akad nikah akan dilangsungkan. Tak ada acara besar, atau pun pesta meriah. Karena baik Amelia maupun Salsa tak menginginkan hal itu.Pada hari kami pagi. Amelia beserta Adrian dan Dita serta Rini sudah berada di hotel yang tak terlalu jauh dari rumah Maya. Dia meletakkan kebaya pengantin milik Renata dulu. Mengusapnya perlahan dari ujung leher hingga ujung paling bawah."Ren ... mungkin aku tak p
"Maaa ... Mama!""A-ada apa, Sa?""Perut Salsa kok sakit ya, Ma?""Sa-sakit gimana?""Sepertinya mau melahirkan, Ma.""Haaahhh?!"Maya pun kelihatan panik. Dia memanggil beberapa saudara dan kerabatnya. Untuk segera mengantar Salsa ke rumah sakit terdekat."Sa, semisal menunggu Papa pulang gimana?""Salsa udah enggak kuat, Ma. Kok sakit banget.""Apa pakaian semuanya sudah kamu siapkan?""Sudah, Ma. Di kamar."Maya berjalan cepat menuju kamar. Dia mengambil tas yang ada di atas kasur. Sesaat Maya terpaku dalam diam. Selintas kenangan Romy masih membayang di matanya. Terbayang saat dia masih sakit dan terbaring di atas kasur."Haahhh! Ya Allah, anakku Romy!" desahnya.Teringat akan Salsa yang kesakitan. Buru-buru dia keluar kamar."Sa, ayo aku gandeng!" Salsa yang tak bisa jalan cepat, dibantu Maya berjalan ke luar rumah. Dari arah dalam Bulek Titut berlari ke arah mereka."Bulek!
Sengaja Adrian tak langsung memberitahukan kematian Romy, pada Amelia. "Bapak Adrian!" Segera dia mendatangi seorang perawat. "Silakan Bapak kalau mau ke kamar Bu Amelia. Baru saja dipindah kamar." "Baik, Sus. Di sebelah mana Sus?" "Bapak lurus dan belok kanan. Ada Pavilium mawar nomer 2, itu kamar Bu Amelia." "Maksih, Sus." "Sama-sama." Adrian menghampiri Dita dan Rini. "Ayo ke kamar Mama, Dit!" "Mama sudah di kamar?" "Sudah!" tegas Adrian. Mereka mengikuti langkah lebar Adrian yang berjalan mendahului. Pintu kamar terbuka lebar. Seorang perawat masih membantu Amelia pindah ranjang. "Nanti jangan terlalu banyak gerak dulu ya Bu. Besok pagi, kita rangsang ASInya buat Dedek bayi." "Iya, Sus." Amelia masih terlihat lemah. Wajahnya terlihat kuyu dan lelah. "Dita, adek kamu cowok apa cewek?" "Cowok, Ma." Amelia tersenyum senang. "D
Pandangan Romy terlihat bersinar terang. Tak lagi hampa dan kosong, seperti sebelumnya."Mas Rom! Mas Romy bisa dengar Salsa?"Namun, Romy seperti tak mendengar. Dia masih menggerakkan tangan perlahan. Terus membelai, entah apa yang ada dalam pandangannya saat ini. Sembari senyum yang tak lepas dari wajahnya."Rooom, ini Mama Nak. Coba lihat Mama, Sayang!"Namun tak ada respon yang ditunjukkan Romy. Dia terus memandang ke atas. Maish terus tersenyum.Tiba-tiba, seisi kamar terkejut dibuatnya. Mereka sampai tak percaya setelah sekian lama, tak mendengar Romy bicara."Amel ... Amelia," desis Romy. "Amelia ... Amelia."Romy terus menyebut nama Amelia terus menerus."Salsa, co-coba kamu telponkan Amelia. Mungkin dia ingin mendnegar suaranya.""Ba-baik, Ma."Saat Salsa mengambil ponslenya. Terdengar Romy yang terbatuk-batuk, hingga muntah darah. Membuat semua terperanjat."Dok! Kenapa Romy?""
Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Kontraksi yang dirasakan oleh Amelia, intervalnya mulai teratur. Sakit yang dia rasa berkisar 30 sampai 70 detik."Adrian kayak ada yang merembes di kaki aku.""Haaahhh?!!!" Adrian tersentak. Sekilas dia melihat pada bagian perut kebawan yang tampak basah. "Tenang, Mel." Wajah Adrian semakin tegang. Dia terus membunyikan klakson agar mobil di depannya memberikan ruang untuk dia lewat."Mama enggak apa-apa ya Om?" tanya Dita ikut panik."Enggak apa-apa Dita. Semua jangan ikutan panik kayak Om ya.""Mas Adrian jangan panik dong. Kita jadi ikutan cemas juga," sahut Rini, smabil mendekap Dita. Yang ikut panik."Enggak apa-apa, mulesnya mulai berkurang kok," lanjut Amelia. "Adrian, nanti aku minta tolong.""Apa?""Tolong adzankan anakku ini.""I-iya, Mel. Aku udah siapin soal itu.""Makasih, Adrian."Hampir dua puluh menit perjalanan. Mobil memasuki pelataran parkir ru
Dalam kepanikan mereka, Salsa memberi kabar kalau Dokter Helmi akan datang ke rumah."Dia langsung ke sini, Sa?""Iya, Ma. Kata Dokter mungkin sepuluh sampai lima belas menit.""Ya, udah kalau gitu, kita tunggu."Hartono yang cemas, hanya bisa mondar mandir di dalam kamar Romy. Sedangkan Maya semakin gelisah dengan suhu tubuh Romy yang masih tinggi. Tak lama, Salsa masuk membawa Dokter Helmi ke kamar."Ohhh, syukurlah Dok. Saya udah cemas sekali.""Biar saya periksa dulu!""Dari tadi, Romy enggak bangun-bangun Dok," ucap Salsa kalut. Sedari tadi dia meremat jemari tanganya yang dingin. Lalu menghampiri Maya yang hanya bisa bungkam."Kita harus bawa ke rumah sakit. Ini Mas Romy bukan cuman tidur biasa.""Maksud Dokter?" tanya Hartono mengejar."Saya masih belum bisa pastikan, Pak Hartono. Cuman kalau di rumah sakit, Mas Romy bisa terbantu dengan obat yang masuk lewat selang infus. Saya yang langsung tangani di sana
Langkah Salsa bergerak cepat menuju arah kamar. Sekilas dia mendapati Maya yang menangis di ruang tengah. Sedang ditenangkan oleh Hartono."Kamu mau ke kamar, Sa?""Iya, Pa.""Panggilah Yono, biar dia yang angkat di atas kasur.""Baik, Pa."Maya masih terlihat sesenggukkan."Memangnya kamu ini kenapa sih, Ma?""Aku sedih, Pa. Barusan aku telponan sama Amelia. Mama jadi merasa semua ini salah kita.""Hussst! Apa maksud Mama bilang kayak gitu?"Bukan malah tangisannya berhenti. Maya semakin terisak, hingga beranjak pergi meninggalkan Hartono yang ikut sedih. Maya melangkah cepat menuju kamar. Diikuti oleh Hartono.Maya menghempaskan tubuhnya di atas kasur. Menelungkupkan wajahnya di bantal."Maksud kamu tadi apa, Ma?""Mungkin ini teguran buat kita juga, Pa. Terlalu memaksakan kehendak kita, pada Romy.""Bukan, Ma. Mama jangan merasa bersalah kayak gitu.""Entahlah Pa. Mama merasa bersala
Selepas kepulangan Adi, tampak Salsa masih berdiri termenung di depan pagar. Dia menoleh pada taman samping rumah. Sepertinya Maya sedang mengajak Romy jalan-jalan. Bergegas Salsa mengejar langkah mereka."Ma ... Mama!""Ehhh ... kamu kok nyusul ke sini?""Iya, Ma. Mas Adi sudah pulang kok.""Ka-kamu ... apa mencintai dia?"Wajah Salsa memerah. Dia tersipu saat mendapat pertanyaan itu."Kenapa Mama tanya kayak gitu?""Mama tidak bisa menuntut apa pun dari kamu, Sa. Kebaikan yang kamu berikan pada keluarga kami, itu tak ternilai buat Mama. Sama Papa juga. Apalagi cinta dan sayang kamu pada Romy masih terlihat nyata di mata Mama."Salsa langsung memeluk wanita itu dari samping."Maafkan Salsa, Ma. Yang mungkin enggak bisa selamanya menemani Mas Romy.""Mama tahu, Sa. Dan sangat paham sekali.""Makasih atas semuanya ya.""Iya, Ma. Salsa juga makasih sama Mama, yang mau menganggap Salsa anak sendiri."